URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP LAKI – LAKI
on
URGENSI PERLINDUNGAN HUKUM KEKERASAN
SEKSUAL TERHADAP LAKI – LAKI
I Made Suryantara Widi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: suryantarawidi12@gmail.com
Gede Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: gdmade_swardhana@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i06.p12
ABSTRAK
Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada urgensi dalam pembentukan peraturan kekerasan seksual kepada laki – laki, dalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan pendekatan perundang – undangan serta komparatif yang mengarah kepada perbandingan antara pengaturan kekerasan seksual dengan metode normatif. Metode Penelitian Normatif ialah suatu hal yang digunakan sebagai metode dalam penelitian hukum yang diperoleh melalui penelitian terhadap bahan pustaka. Dalam penelitian menunjukkan kesimpulan dimana kekerasan seksual yang terjadi pada masa kini tidak hanya perempuan menjadi korban, laki – laki pun menjadi korban dari kekerasan seksual tersebut yang dalam pengaturan hanya mengkhususkan untuk perempuan. Terkait pengaturan yang dimiliki sekarang diharapkan agar tidak mendiskriminasi terkait gender tersebut.
Kata Kunci : Laki - Laki, Perlindungan Hukum, Urgensi
ABSTRACT
The benefits of this research are aimed at the urgency in establishing regulations for sexual violence against men, in writing this journal, the authors use a legislative and comparative approach that leads to a comparison between the regulation of sexual violence with normative methods. Normative Research Methods is something that is used as a method in legal research obtained through research on library materials. The research shows the conclusion that sexual violence that occurs today is not only women who are victims, men are also victims of sexual violence which in the setting only specializes for women. Regarding the current arrangements, it is hoped that there will be no discrimination related to gender.
Key Words: Legal Protection, Men, Urgency
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Di Indonesia, hukum merupakan salah satu aspek penting untuk menjalankan hidup dimasyarakat, membuat masyarakat untuk bertingkah laku agar tidak melewati batas dan tidak merugikan satu sama lain. Hukum sendiri juga bersifat untuk melindungi masyarakat, sadar atau tidak sadarnya manusia mereka memiliki batas untuk berhubungan antar satu manusia dengan manusia lain. Nilai – nilai dasar menuntut hukum melingkupi beragam bentuk
kehidupan masyarakat, Radbruch memaparkan beberapa bentuk nilai dari dasar hukum tersebut berupa tiga pokok tujuan hukum, tiga tujuan tersebut yaitu fungsi dari keadilan, adanya kegunaan dan memberikan kepastian hukum yang terdapat hubungan atau keadaan yang memiliki tujuan berbeda antara satu sama lain yang menyebabkan pertentangan satu nilai kedan lainnya. Peraturan merupakan hal yang mengharuskan kita untuk menaati peraturan yang ada tersebut atau yang bisa kita ketahui sekarang sebagai hukum, definisi mengenai hukum dilihat berdasarkan KBBI dapat diartikan sebagai aturan atau kebiasan adat yang resmi dan mengikat yang dikeluarkan oleh pejabat negara atau pemerintah. Hukum Positif merupakan hukum yang sah dan berlaku dimasyarakat yang berlaku hanya saat waktu tertentu dan pada negara tertentu (ius contiutum).1 Nilai kepastian di jadikan hal yang utama maka akan menyampingkan nilai dari keaadilan dan kegunaannya, karena dari kepastian tersebut adanya peraturan sendiri yang berarti peraturan tersebut telah melengkapi dari rasa keadilan dan mempunyai fungsi di masyarakat dan terletak diluar dari beberapa kepastian hukum itu sendiri. Dilihat dari nilai kegunaan yang sebagai nilainya dia menyingkirkan dari kepastian hukum tersebut pada keadilan, hal tersebut bisa terjadi karena kenyataan apakah hukum tersebut memiliki manfaat atau berfungsi dimasyarakat. Jika dari nilai maka sebagai nilai keadilan akan menyingkirkan fungsi dari nilai kegunaan atau pun nilai dari kepastian hukum itu sendiri. Adanya nilai – nilai dari hukum tersebut yang memiliki perbedaan itu bisa dilihat mengenai keabsahan hukum tersebut mempunyai banyak macam yang berarti untuk itu harus melihat perbedaan diantara nilai – nilai dari hukum yang ada atau bisa kita menyetarakan dari nilai tersebut agar seimbang.
Mengenai teori hukum, biasanya dibagi menjadi tiga bentuk aturan, atau bisa disebut gelding dalam bahasa Belanda dan geltung dalam bahasa Jerman. Dari aturan hukum itu sendiri, ada beberapa asumsi terkait sebagai berikut:
-
A. Jika penetapannya didasarkan pada aturan tingkat yang lebih tinggi (Hans Kelsen), atau dapat dibentuk dengan cara yang telah ditentukan sebelumnya (W. Zevenbergen), atau jika menunjukkan hubungan wajib antara kondisi dan konsekuensinya, maka aturan hukum berlaku hukum (JHA Logman).
-
B. Jika aturan itu berlaku, maka aturan hukum itu berlaku secara sosiologis, yang berarti bahwa meskipun masyarakat tidak menerima aturan itu, penguasa akan menegakkan aturan (teori kekuasaan), atau aturan itu sah karena diterima dan diakui oleh masyarakat (Acknowledge the theory).
-
C. Negara hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai – nilai positif yang tinggi (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah).2
Ditinjau dari segi isinya kaedah hukum dapat di bagi menjadi beberapa bentuk atau bagian yaitu :
-
A. Kaedah hukum yang menyuruh dan memaksa;
-
B. Kaedah hukum yang melarang;
-
C. Kaedah hukum yang memperbolehkan.3
Dalam pembentukan hukum dilihat dari keabsahan dari hukum tersebut agar memenuhi dari unsur yang disebutkan sebelumnya, karena dinilai juga dari syarat yang harus memenuhi oleh peraturan dan mungkin saja berfungsi di masyarakat. Pembentukan peraturan memiliki tujuan yang membentuk peraturan yang baik dan memiliki nilai penting dalam masyarakat untuk menjaga ketertiban dimasyrakat itu sendiri. Dalam pembentukan hukum juga harus dilihat dari Urgensi dari suatu peraturan harus dibentuk, Urgensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keharusan yang mendesak jadi untuk hal pembentukan peraturan harus didasari pula dengan sesuatu yang mendesak dan juga dari adanya urgensi kita memiliki kekuatan untuk menjalankan hal tersebut. Salah satu yang menjadi urgensi di Indonesia yaitu peraturan terhadap kekerasan seksual. Definisi dari Kekerasan seksual adalah “suatu perbuatan yang merendahkan, menghina, menyinggung dan/atau perilaku lain yang ditujukan pada tubuh, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang secara paksa di luar keinginan seseorang, yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat memberikan persetujuan dalam keadaan apapun”.
Mengenai pendapat dari para sarjana kekerasan seksual memiliki pandangan sebagai berikut :
-
1. Poerwandari menjelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan perilaku yang mengarah kepada ajakan seksual, seperti menyentuh, mencium, memaksa korban untuk menonton produk pornografi, lelucon seksual, komentar yang merendahkan, pemaksaan aktivitas seksual tanpa persetujuan korban, pemaksaan aktivitas seksual yang tidak disukai.
-
2. Sisca & Moningka menyatakan kekerasan seksual saat kanak-kanak menjadi poin penting karena berdampak negatif pada kehidupan korban saat dewasa. Di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin bertambah setiap tahunnya.
-
3. Suhandjati menjelaskan seseorang bisa dibilang menjadi korban kekerasan jika menderita kerugian pada fisiknya, terluka atau terserang psikologisnya (trauma).4
Belakangan ini pria kerap juga menjadi objek terkait kekerasan seksual, Dhio Ashar menjelaskan bahwa telah terjadi kekerasan seksual dari 2.210 responden sebanyak 71,8 menjadi korban dan dari persentase tersebut 33,3 persen diantaranya terjadi pada laki – laki. Kekerasan seksual yang terjadi terhadap laki – laki tersebut tidak diketahui publik. Peraturan kekerasan seksualpun yang sekarang terdapat pada hukum di Indonesia jika kita lihat pada KUHP hanya tertulis melindungi perempuan dan anak di bawah umur. Dalam pengaturan terhadap kekerasan seksual yang ada di KUHP, mengatur kejahatan seksual Dalam bab tentang kejahatan terhadap moralitas, posisi ini menyebabkan kebingungan dan mengaburkan masalah mendasar yang terkait dengan kejahatan seksual, yaitu pelanggaran keberadaan manusia, yang pada umumnya kesusilaan terkait dengan perilaku yang bertentangan dengan nilai moral
dan norma yang berlaku. Kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya selalu mengarah kepada pihak perempuan maupun anak, tak terhindar laki – laki juga mendapat kekerasan seksual yang dilakukan bisa saja dari lawan jenis nya ataupun dari sesama jenis. Pengaturan terhadap kekerasan seksual terhadap laki – laki sendiri sangatlah urgen untuk dibenntuk agar kekerasan gender menjadi sejajar dalam perlindungannya. Jika kita telaah undang – undang lain masih belum ditemukan peraturan yang secara jelas merinci mengenai kekerasan seksual terhadap laki – laki. Untuk itu penulis merasa perlu adanya suatu undang – undang atau pasal tertentu yang juga melindungi laki – laki sebagai korban kekerasan seksual. Dalam penulisan ini belum ada jurnal yang menulis terkait kekerasan seksual terjadi pada laki – laki._ Penelitian sebelum nya yang digunakan salah satunya berjudul “PERBUATAN KEKERASAN/PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN oleh Marcheyla Sumera” dari jurnal hukum Universitas Sam Ratulangi. Pembanding antara jurnal Urgensi Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Laki – Laki dan Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan yaitu jurnal ini mengarah kepada perbedaan gender yang tidak setara dan perempuan memiliki beberapa pengaturan khusus terhadap kasus kekerasan dan untuk laki – laki tidak memiliki peraturan khususnya.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana pengaturan kekerasan seksual yang berlaku di Indonesia ?
-
2. Bagaimana urgensi mengenai perlindungan hukum kekerasan seksual terhadap laki – laki?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana bentuk kekerasan seksual yang berlaku di Indonesia dan bagaimana pengaturan hukum terhadap kekerasan seksual terkhusus jika subjek dari kekerasal sesksual tersebut laki – laki. State of art pada penelitian jurnal ini disesuaikan dengan beberapa penelitian yang sudah ada. Penelitian yang sudah ada tersebut digunakan sebagai pembanding untuk penelitian ini. Contoh penelitian yang digunakan salah satunya berjudul “PERBUATAN KEKERASAN/PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN oleh Marcheyla Sumera” dari jurnal hukum Universitas Sam Ratulangi. Pada jurnal tersebut penulis lebih menitik beratkan terhadap kejahatan pada “Kitab Undang – Undang Hukum Pidana” dan yang dimana sebagai korban yaitu perempuan. Selain itu pada jurnal lainnya yang berjudul “REFORMASI PENEGAKAN HUKUM KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN ANAK BERKELANJUTAN oleh Laurensius Arliman S” dari jurnal hukum Universitas Syiah Kuala. Pada jurnal ini penulis menekankan terhadap dinamika kekerasan seksual dan penagakan hukum kekerasan seksual terhadap anak. Dari kedua jurnal tersebut masih belum menjelaskan mengenai bagaimana bentuk perlindungan terhadap laki – laki secara hukum. Mendasari hal tersebut penulis tertarik untuk menulis jurnal lain yang berjudul “Urgensi Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Laki – Laki”. “Bambang Sunggono sebagaimana mengutip pendapat oleh Soerjono Soekanto, metode penelitian normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap taraf synkronisasi hukum, serta perbandingan hukum”. Penelitian hukum ini menggunakan konsep library research (dilihat dari penggunaan dokumen –
dokumen sebagai bahan penelitian). Penelitian ini menggunakan bahan hukum seperti “Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan 28 D dan 28 G, Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana pada Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289 dan Pasal 292”. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data menggunakan metode analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian deskriptif. Dalam hal ini, data yang dikumpulkan merupakan data alamiah yang terdiri dari kata atau narasi. Metode penelitian ini sendiri meliputi jenis penelitian, metode penelitian, data dan sumber data hukum, Teknik pengumpulan data hukum, teknik pengumpulan data, serta metode analisis dan analisis data hukum.
-
II. Metode Penelitian
Metode normatif digunakan dalam menyusun penelitian dalam jurnal ini. Pengertian dari metode penelitian yaitu cara atau upaya untuk berpikir dan berbuat, yang direncanakan sedemikian rupa secara baik dan sistematis dalam melakukan suatu penelitian untuk mencapai tujuan tertentu.5 Permasalah dalam penulisan ini adalah laki – laki tidak memiliki peraturan khusus terkait pengaturan kekerasan seksualnya dan sedangkan untuk perempuan memiliki peraturan khusus yang mengatur, menyebabkan ketidaksetaraan dalam pengaturan antara laki – laki dan perempuan tersebut. Norma yang saya gunakan dalam penelitian ini yaitu norma kosong, yang dimana tidak adanya pengaturan khusus terkait kekerasan seksual terhadap laki – laki. Metode dalam penulisan jurnal “Urgensi Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Laki – Laki”. Metode penelitian ini sendiri meliputi jenis penelitian, sumber data hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan analisis bahan hukum. Terkait sumber yang digunakan menggunakan beberapa peraturan yang ada yaitu “Undang – Undang Dasar 1945 pasal 28A dan 28B, Undang -, Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana pada Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289 dan Pasal 292”.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Kekerasan Seksual yang Berlaku di Indonesia
Mengingat pentingnya pengetahuan seks, maka perlu ditumbuhkan kesadaran tentang pendidikan seks pada anak usia dini. Pentingnya fungsi orangtua sebagai pengawas pada remaja khususnya anak di bawah umur merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam mencegah terjadinya kekerasan dan penganiayaan terhadap anak di bawah umur. Dalam “Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” menekankan hak asasi yang dinikmati oleh setiap orang. “Pasal 28D ayat (1)” menjelaskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, perlindungan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dan perlakuan yang sama di depan hukum” , dan pada pasal 28G ayat (1) disini menjelaskan bahwa setiap orang dalam hal ini masyarakat Indonesia memiliki hak untuk perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, perlindungan terhadap kerhormatan, martabat serta harta kekuasaannya selain itu memiliki ha katas rasa aman dan perlindungan atas ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Penjelasan dari beberapa pengaturan tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap orang haknya sama dalam hidup tanpa adanya pembatas gender.
Pada era teknologi saat ini membuat mudahnya kalangan remaja untuk mengakses situs – situs pornografi, yang berdampak langsung kepada generasi muda. Selain faktor itu, beberapa faktor lainnya seperti faktor lingkungan, perekonomian keluarga juga penting.6 Pengaturan kekerasan seksual yang terdapat pada saat ini yang mengatur terhadap korban perempuan terdapat pada Perpres Nomor 65 Tahun 2005 pada Pasal 2 yang menjelaskan tujuan dari terbentuknya peraturan ini yang dimana untuk menghapuskan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan terhadap hak – hak yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan disini berhak atas semua kebebasan, sehingga beberapa hal yang perlu urgensi bukanlah instrumen baru melainkan hak tanpa diskriminasi yang dalam hal ini situasi perempuan dan anak sangat berbeda.7
Dalam kasus-kasus kekerasan, seperti penganiayaan fisik atau pemerkosaan dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, ketika seorang perempuan menjadi korban, sejak awal sudah diduga bahwa perempuan sedikit banyak turut andil dalam apa yang terjadi. Hal tersebut juga tidak terjadi pada perempuan, terjadinya kekerasan seksual terhadap laki – laki terjadi juga karena beberapa hal yang bisa saja dilakukan oleh sesama jenis atau bisa saja wanita. Adapun hal tersebut karena feodalisme dan patriarki, Feodalisme diartikan sebagai sebentuk kekuasan dalam tatanan masyarakat yang dijalankan oleh kelas – kelas bangsawan atau pemilik tanah yang memegang monopoli atas faktor – faktor produksi dan di Patriarki yang merupakan sistem sosial dan laki – laki sebagai pendominasi.8
Pada umumnya saat ini masih kurangnya perhatian masyarakat terhadap kekerasan seksual kepada laki – laki. Biasanya kekerasan seksual identik dengan perempuan dan anak, sehingga laki – laki dipandang sebelah mata dikarenakan jarang sekali terkena kasus kekerasan seksual. Namun pada dasarnya kekerasan seksual terhadap laki – laki mungkin terjadi. “Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”, menjelaskan adanya pengakuan persamaan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Prinsip persamaan ini seharusnya dapat menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap orang mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.9
Kekerasan seksual termasuk dalam kejahatan kesusilaan yang pada “Kitab Undang – Undang Hukum Pidana diatur pada bab XIV”. Beberapa jenis – jenis kejahatan terhadap kesusilaan pada bab tersebut seperti kejahatan kesusilaan umum, kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan dalam pornografi dan beberapa hal lainnya. Ketika mengkategorikan kekerasan seksual, dapat dibagi menjadi beberapa jenis perilaku, antara lain:
-
1. Sadistic Rape yaitu, hasrat seksual maupun agresi digabungkan dalam bentuk destruktif. Tersangka kekerasan seksual tampaknya tidak menikmati pornografi melalui seks. Tetapi melalui serangan yang mengerikan pada alat kelamin atau tubuh korban.
-
2. Angea Rape adalah suatu bentuk pelecehan seksual yang ditandai dengan perilaku seksual yang merupakan sarana untuk mengungkapkan dan melampiaskan amarah serta menekan amarah. Dalam hal ini, tubuh korban seolah-olah menjadi objek frustrasi—perasaan frustrasi, lemah, sulit, dan kecewa dengan kehidupan pelaku.
-
3. Contribution Rape adalah perbuatan cabul yang terjadi ketika pelaku berusaha mempertahankan hak dan superioritas korban.
-
4. Seductive Rape adalah perilaku cabul yang terjadi dalam kondisi yang merangsang, yang diproduksi bersama oleh kedua belah pihak. Awalnya, korban memutuskan bahwa keintiman pribadi tidak boleh terbatas pada tingkat hubungan seksual. Pelaku biasanya berpikir bahwa paksaan diperlukan.
-
5. Victim Precipated Rape oleh korban adalah perbuatan cabul yang menjadikan korban sebagai pelaku.
-
6. Exploitation Rape adalah perbuatan cabul yang memanfaatkan ketergantungan ekonomi dan sosial korban kepada pelaku.10
Pada “Pasal 289” yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Jika dilihat pada “Pasal 289” menitik beratkan kekerasan seksual terhadap korban pelecehan seksual yang bersifat melindungi seseorang yang tidak jelas bentuk perlindungannya apakah menyangkut segala gender. Pada “Pasal 285 KUHP” menjelaskan lebih menjurus kepada kekerasan seksual terhadap perempuan yang dimana menyebutkan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Di dalam “Pasal 286” menyebutkan “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”, dan pada “Pasal 287 ayat (1)” menjelaskan “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”, dan di “Pasal 287 ayat (2)” menjelaskan lebih terinci jika umur wanita kurang dari 12 tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan “Pasal 291” dan “Pasal 294”.
Pasal ini menjelaskan bahwa Wanita lebih mendapatkan sorotan karena memiliki pengaturan dan perlindungan tersendiri pada kekerasan seksual. Dilihat dalam Pasal 292 yang dimana melindungi perbuatan cabul kepada anak yang berisikan “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
“Dalam Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014” menjelaskan pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dan di dalam Pasal 1 ayat (2) tersebut menjelaskan terkait perlindungan anak yang berisi “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Jadi terkait hal perlindungan anak sangat jelas penerapannya atau pemberlakuannya di Indonesia.
-
3.2 Urgensi Mengenai Urgensi Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Laki – Laki
Sekalipun teridentifikasi setidaknya 15 bentuk kekerasan seksual, namun tidak setiap bentuk kekerasan seksual itu dapat diproses melalui sistem peradilan pidana11. Hal ini dikarenakan belum maksimalnya peraturan perundang-undangan yang tersedia untuk memberikan perlindungan bagi korban yang mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut. Di saat yang sama, peraturan perundang-undangan yang tersedia juga tidak mengatur secara komprehensif mekanisme pencegahan terjadinya kekerasan seksual, termasuk mekanisme yang memastikan penghapusan impunitas pelaku kekerasan seksual.12 Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, ini merupakan salah satu contoh rapuhnya status perempuan, terutama untuk kepentingan seksual laki-laki.13 Perempuan adalah orang yang menikmati hak yang sama dengan laki-laki. Misalnya, hak atas pendidikan, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbudakan, dan hak asasi manusia lainnya. Diskusi yang dulunya hanya kelompok kecil mulai berkembang dan membuat diskusi yang lebih serius dan umum.14 Kejahatan kesusilaan jika dalam hukum pidana dapat dilihat pada “Buku II Bab XIV KUHP”. Pengaturan mengenai pelanggaran kesusilaan ini dibuat untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang dianggap perlu mendapat perlindungan terhadap Tindakan asusila dan terhadap perilaku yang dalam hal ini dapat berbentuk kata maupun perbuatan yang menyinggung rasa Susila. Dengan demikian, berdasarkan pertentangan dengan pandangan orang terhadap kehidupan di bidang kehidupan seksual, dilihat dari perspektif masyarakat setempat maupun dari kebiasaan masyarakat itu sendiri. 15
Telah dijelaskan diatas bagaimana peraturan yang ada melindungi korban kekerasan seksual yang dimana titik berat permasalahan ada pada perempuan dan
anak. Sebagai bentuk urgensi yang dimana pada kenyataan dimasyarakat masih sering terjadi kekerasan seksual terhadap laki – laki yang belum mendapat perlindungan hukum penuh. Untuk itu agar tidak menjadi diskriminasi gender perlu adanya suatu bentuk perlindungan khusus yang melindungi laki – laki sebagai korban kekerasan seksual. Jika kita mengacu pada apa yang terjadi disekitar masyarakat terkhususnya Indonesia pada saat ini, pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap laki – laki sangatlah sempit. Hal ini juga kurang mendapat sorotan karena kekerasan seksual terhadap perempuan yang lebih mendapat simpati dari masyarakat. Namun, apabila terjadi kekerasan seksual terhadap laki – laki, respon dari masyarakat justru sebaliknya. Kurangnya respon baik dan beberapa anggapan negatif dari masyarakat membuat korban kekerasan seksual enggan untuk bersuara. Meskipun disini statusnya merupakan korban, pandangan masyarakat seringkali memberikan komentar serta tuduhan yang justru menyakiti korban seperti bagaimana seharusnya korban membela diri dan mengomentari penampilan korban tersebut. Jika subjeknya ialah laki – laki, masyarakat cenderung mempertanyakan maskulinitas korban, bahkan jika korban dan pelaku kekerasan seksual adalah lelaki, seringkali korban justru merasa ketakutan dan selalu dipertanyakan mengenai orientasi seksual korban. Identitas korban pun menjadi terganggu karena pendapat masyarakat yang dimana apabila pelaku juga laki – laki, ekspetasi masyarakat langsung menganggap korban adalah seorang yang menyukai sesame jenis. Pemikiran inilah yang terus ada pada korban bahkan juga ada pada masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga pada kenyataannya, sangat sedikit organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang secara terkhusus dapat menangani kasus kekerasan seksual yang dalam hal ini objeknya adalah laki-laki. Laki-laki disini mengalami pengaruh emosi dan psikis yang sama dengan perempuan dalam hal korban. Efek yang parah dapat dirasakan, seperti depresi, ide dan upaya bunuh diri, kurangnya rasa percaya terhadap orang lain, perasaan malu dan bersalah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia adalah korban perempuan dan pelaku laki – laki. Stereotip ini telah ada di benak orang selama bertahun-tahun. Namun, fakta bahwa ada juga laki – laki yang juga menjadi korban tidak bisa diabaikan. Untuk itu didasari dari penelitian diatas perlu adanya urgensi khusus terhadap pembentukan suatu perundang – undangan terhadap kekerasan terhadap laki – laki.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Kasus kekerasan seksual sekarang sering kali terjadi dan pemerintah telah membentuk peraturan yang melindungi dari kasus kekerasan seksual tersebut. Pembentukan peraturan perlindungan kekerasan seksual terhadap laki – laki harus segera dibentuk, karena di dalam peraturan yang ada sekarang belum jelasnya perlindungan terhadap kaum laki – laki. Peraturan yang terdapat kini hanya mengatur tentang perempuan. Adanya pembaharuan dalam peraturan yang dimana pada saat peraturan tersebut keluar nanti akan membuat kesetaraan gender dalam perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi terhadap kaum lelaki.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Manullang, E. Fernando M. “Legisme Legalitas dan Kepastian Hukum”. Prenada Media, 2017.
Ishaq, S. H., dan M. Hum. “Dasar – Dasar Ilmu Hukum”. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Jurnal
Fu'ady, Muh Anwar. "Dinamika psikologis kekerasan seksual: Sebuah studi fenomenologi." Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam 8, no. 2 (2011).
Nugraha, Nyoman Gede Edi, and I. Ketut Sudiarta. "Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 11.
Justicia, Risty. "Program underwear rulesuntuk mencegah kekerasan seksual pada anak usia dini." Jurnal Pendidikan Usia Dini 9, no. 2 (2015).
Arliman, Laurensius. "Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Berkelanjutan." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19, no. 2 (2017).
Purwanti, Ani, and Marzellina Hardiyanti. "Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual." Masalah-Masalah Hukum 47, no. 2 (2018)
Leda, Helenerius Ajo. "Seksisme dan Kekerasan Seksual di Flores." (2020).
Kania, Dede. "Hak asasi perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia: The rights of women in Indonesian laws and regulations." Jurnal Konstitusi 12, no. 4 (2015).
Putra, Redian Syah, and Yoskar Kadarisman. "Kriminalitas Di Kalangan Remaja (Studi Terhadap Remaja Pelaku Pencabulan Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas Ii B Pekanbaru)." PhD diss., Riau University, (2016).
Mukarramah, Ema, and Kode Naskah. "Menggagas Payung Hukum Perlindungan Korban Kekerasan Seksual." Jurnal Perempuan 21, no. 2 (2016).
Sari, Aldila Arumita, and R. B. Sularto. "Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender Di Indonesia." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019).
Subarkah, Alfianita Atiq Junaelis, and Faiq Tobroni. "Urgensi Pengesahan RUU PKS Terhadap Instrumen Penegakan Hak Asasi Perempuan." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, no. 2 (2021).
Arliman, Laurensius. "Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Berkelanjutan." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19, no. 2 (2017).
Lathif, Nazaruddin. "Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat." Pakuan Law Review 3, no. 1 (2017).
Putri, Miszuarty. "Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017." Soumatera Law Review 2, no. 1 (2019)
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1309-1318
Discussion and feedback