PEMBERIAN RESTITUSI KEPADA ANAK YANG

MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

Cokorda Gede Agung Tri Palguna Pemayun, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: cokpalgunapemayun13@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewasugama@gmail.com

DOI : KW.2022.v11.i06.p16

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini yaitu memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme pelaksanaan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2017. Selain itu, melalui penelitian juga bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana sebaiknya akibat hukum apabila pelaku kejahatan tidak melaksanakan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memberi restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017. Atas dasar problematika dimaksud, maka metode penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Restitusi yang diberikan oleh pelaku kepada anak yang mengalami kejahatan diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017. Pemohon yang mengajukan restitusi yaitu orang tua atau wali dari anak yang mengalami kejahatan. Pemohon mengajukan restitusi kepada pengadilan dalam bentuk tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian dibubuhi dengan meterai. Permohonan restitusi diajukan pada tahap penyidikan atau penuntutan. Kekosongan pengaturan tentang akibat hukum apabila anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya tidak memperoleh restitusi dari pelaku, maka dapat diatasi melalui dua alternatif penyelesaian yang bersifat subsidiaritas. Jika anak yang mengalami kejahatan tidak memperoleh restitusi dari pelaku, maka penuntut umum selaku eksekutor putusan pengadilan inkrah diberikan kewenangan untuk merampas aset milik pelaku yang dipidana dan terhadap aset dimaksud dilelang guna melaksanakan restitusi. Jika hasil pelelangan dimaksud belum mampu menutupi pembayaran restitusi secara penuh, maka opsi terakhir yang dapat digunakan adalah pembayaran kompensasi oleh negara kepada anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya.

Kata Kunci: Restitusi, Anak, Korban Tindak Pidana

ABSTRACT

The purpose of this paper is to gain knowledge and understanding of the mechanism for implementing restitution for children who are victims of criminal acts based on Government Regulation Number 43 of 2017. In addition, through research also aims to find out and understand how the legal consequences should be if the perpetrators of criminal acts do not carry out or are unable to do so. providing restitution to children who are victims of criminal acts is regulated in PP Number 43 of 2017. Starting from the description of the background of the problem above, the research method relevant to this research is normative legal research. Restitution given by perpetrators to children who are victims of criminal acts is regulated in PP Number 43 of 2017. Applicants who apply for restitution are parents or guardians of children who are victims of criminal acts. This request for restitution is submitted in writing in the Indonesian language on stamped paper to the court. This application is submitted before the court's decision, namely at the stage of investigation or prosecution. The vacancy in the regulation regarding the legal consequences of not paying restitution by the perpetrator of a crime to a child victim of a crime or his family can be overcome through two alternative solutions that are subsidiarity in nature. If the perpetrator of the crime does not pay restitution to the child victim of a crime, the public prosecutor as the executor of the court decision that has obtained legal force is still given the authority to seize the assets belonging to

the convict and the property is auctioned to fulfill the payment of restitution. If the results of the auction have not been able to cover the full restitution payment, then the last option that can be used is the payment of compensation by the state to the child victim of a crime or his family.

Key Words: Restitution, Child, Crime Victim

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Sebagai generasi penerus, anak mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa dan negara di masa mendatang. Maka dari itu, negara harus turut andil dalam memberikan perlindungan yang optimal terhadap anak agar pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, mental, dan sosial dari anak dapat berlangsung tanpa adanya gangguan atau ancaman yang secara aktual maupun potensial dapat membahayakan kehidupan anak.1 Perlindungan dimaksud dapat direalisasikan melalui perlindungan terhadap kebebasan atau hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children). Arah yang hendak dicapai dengan melindungi kepentingan anak tidak hanya terbatas pada upaya untuk menjamin kelangsungan hidup anak, tetapi juga menyangkut upaya untuk mencapai kehidupan anak yang sejahtera.

Pemenuhan dan perlindungan terhadap kepentingan dan kebutuhan anak tidak dapat dilepaskan dari realita yang menunjukkan bahwa anak merupakan subjek yang belum memiliki kematangan fisik dan mental yang menyebabkan anak berada pada posisi yang rentan sebagai korban tindak pidana dalam kehidupannya.2 Contoh-contoh tindak pidana yang rentan dialami oleh anak yaitu child trafficking, cyber bullying, pelecehan seksual, penculikan hingga pembunuhan. Apabila anak menjadi korban kejahatan, maka dampak yang ditimbulkan berlangsung dalam waktu yang lama dan titik terparahnya dapat bersifat permanen. Oleh karena itu, ketika mengetahui bahwa anak menjadi korban tindak pidana, maka orientasi penegakan hukum seyogianya tidak hanya terpusat pada upaya penjeraan terhadap pelaku saja, melainkan pemulihan terhadap kerugian yang diderita oleh anak.3

Penegakan terhadap hukum pidana pada praktiknya lebih menitikberatkan pada upaya untuk memberikan efek jera kepada pelaku, sedangkan upaya untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban tindak pidana kerap kali diabaikan. Bahkan, pada titik terparahnya korban tindak pidana hanya dipandang sebagai saksi yang memberikan keterangan pada tahap penyidikan dan proses pembuktian di persidangan. Kehadiran Penuntut Umum dalam persidangan telah dinilai cukup untuk mewakili

kepentingan korban. Kenyataan yang demikian mengakibatkan perjuangan korban untuk memperoleh haknya kembali menjadi sulit untuk direalisasikan.4

Guna menjawab persoalan mengenai bagaimana cara mengganti kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana, maka dalam sistem peradilan pidana telah dihadirkan mekanisme ganti kerugian yang dikenal dengan istilah restitusi. Restitusi merupakan ganti kerugian secara materi dan non-materi yang wajib diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli waris korban berdasarkan putusan pengadilan yang telah inkrah. Restitusi sejalan dengan prinsip “mengembalikan pada keadaan semula”. Artinya, keadaan yang dialami oleh korban kejahatan harus dikembalikan pada keadaan semula kendatipun pada kenyataannya pemulihan keadaan korban seperti keadaan semula secara utuh sulit diwujudkan.5 Prinsip tersebut menekankan betapa pentingnya hak-hak korban yang telah dilanggar oleh pelaku itu dipulihkan secara komprehensif dan harus dapat dipastikan bahwa setiap aspek yang terkena kerugian telah diganti oleh pelaku kejahatan. Dengan demikian, restitusi diharapkan mampu menjadi instrumen bagi korban untuk memperoleh kembali apa yang menjadi hak atau kepentingannya.6

Melalui kebijakan legislasi, pemerintah membentuk undang-undang dan peraturan pelaksana sebagai pedoman yuridis bagi aparat penegak hukum dan stake holders dalam melaksanakan pemulihan terhadap hak-hak korban tindak pidana. Salah satu produk hukum yang mengatur tentang hak korban untuk memperoleh restitusi dan tata cara pengajuannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP Nomor 43 Tahun 2017) sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Kehadiran beleid ini dimaksudkan sebagai langkah untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi anak yang mengalami kerugian secara materiil maupun non-materiil sebagai akibat dari suatu tindak pidana. Walaupun telah tersedia instrumen hukum pelaksanaan restitusi yang diberikan oleh pelaku kepada anak yang mengalami kejahatan, dalam praktiknya justru menemui hambatan yang disebabkan oleh permasalahan normatif. Permasalahan yang dimaksud yaitu tidak adanya ketentuan yang jelas jika pelaku tidak memiliki kemampuan memberikan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan. Dengan demikian, anak yang mengalami kejahatan ataupun keluarganya berada dalam posisi ketidakpastian akan haknya untuk memperoleh pemulihan

Sebelumnya, telah terdapat penelitian-penelitian yang secara khusus membahas tentang hak korban kejahatan untuk memperoleh restitusi dari pelaku kejahatan. Kendatipun demikian, penelitian ini pada dasarnya bukan merupakan duplikasi terhadap penelitian terdahulu. Berikut akan dijelaskan perbandingan antara topik penelitian ini dengan topik penelitian yang sudah ada sebelumnya. Pertama, penelitian dengan judul "Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017" yang ditulis oleh Miszuarty Putri. Penelitian tersebut membahas tentang pokok-pokok pengaturan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Josefhin Mareta dengan judul “Penerapan Restorative

Justice Melalui Pemenuhan Restitusi Pada Korban Tindak Pidana Anak” mengkaji tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana anak dan penerapan restorative justice melalui pemenuhan restitusi pada korban tindak pidana anak. Kedua penelitian tersebut tidak menyinggung mengenai model pengaturan langkah-langkah yang dapat dilaksanakan apabila pelaku tindak pidana tidak mampu melaksanakan restitusi yang dibebankan kepadanya berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana mekanisme pelaksanaan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2017?

  • 2.    Bagaimana sebaiknya pengaturan tentang akibat hukum apabila pelaku tidak melaksanakan restitusi atau tidak mampu melaksanakan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme pelaksanaan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2017. Selain itu, melalui penelitian juga bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana sebaiknya akibat hukum jika pelaku kejahatan tidak melaksanakan atau tidak memiliki kemampuan untuk memberi restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017.

  • 2.    Metode Penelitian

Atas dasar penjelasan problematika sebagaimana dikemukakan di atas, maka metode penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan kajian yang dilakukan terhadap kaidah-kaidah yang termaktub dalam hukum tertulis seperti peraturan perundangundangan, peraturan kebijakan, dan produk-produk hukum lainnya. Melalui kajian itu, akan diperoleh kesimpulan mengenai adanya permasalahan yuridis berupa norma yang kurang jelas maknanya, norma yang saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain, atau ada peristiwa tertentu yang terjadi di lingkungan masyarakat yang belum diatur oleh hukum. Jika dikaitkan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini, maka problematika normatif yang terdapat di dalam PP Nomor 43 Tahun 2017 ialah kekosongan norma. Beleid tersebut tidak mengatur tentang sanksi pengganti apabila pelaku kejahatan tidak dapat memberikan restitusi kepada anak yang menjadi korban tindak pidana. Metode penelitian ini akan mendayagunakan bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan topik penelitian antara lain berupa perundang-undangan, buku, penelitian ilmiah, dan kamus. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan berdasarkan perundang-undangan dan konseptual.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Mekanisme Pemberian Restitusi Kepada Anak yang Mengalami Kejahatan

Dalam rangka melindungi korban, maka terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, negara wajib mencegah agar setiap orang tidak menderita kerugian akibat adanya kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Kedua, apabila terjadi suatu tindak pidana maka korban wajib memperoleh ganti kerugian yang layak. 7 Sehubungan dengan hal tersebut, maka lahirlah asas-asas hukum yang wajib dilaksanakan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap korban, yaitu:

  • a.    Asas manfaat. Asas ini memberikan penekanan bahwa orientasi perlindungan tidak hanya diberikan kepada korban dengan cara memberi manfaat secara materi maupun non-materi, tetapi juga meliputi upaya memberikan manfaat kepada masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan dan kehidupan masyarakat akan tertib kembali.

  • b.    Asas keadilan. Asas ini mengingatkan bahwa perlindungan hukum diberikan dengan cara memberikan rasa keadilan bagi korban kejahatan dan pelaku kejahatan.

  • c.    Asas keseimbangan. Melalui asas keseimbangan, kehadiran hukum tidak hanya dipahami sebagai upaya mewujudkan kepastian dan melindungi kepentingan manusia, melainkan juga sebagai upaya memperbaiki keadaan yang terjadi di masyarakat yang sempat mengalami gangguan akibat adanya suatu kejahatan.

Di samping itu, asas ini juga tetap berupaya untuk memulihkan hak-hak korban. d. Asas kepastian hukum. Asas ini memberikan legitimasi yang kuat kepada aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya untuk menindak pelaku kejahatan sekaligus melindungi korban kejahatan.

Jika ditilik dari aspek teori, negara dapat melindungi korban kejahatan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan yang mengedepankan hak-hak prosedural (the procedural rights model) dan pendekatan yang mengedepankan pemberian suatu layanan (the services model).8 Pada pendekatan yang disebutkan pertama, hukum memberikan hak kepada korban untuk menuntut atau tidak menuntut pidana pelaku kejahatan. Selain itu, korban dapat terlibat sebagai pihak yang memberikan keterangan mengenai setiap peristiwa yang telah dilihat, didengar, atau dialami sendiri pada setiap proses peradilan.9 Model hak-hak prosedural ini merupakan representasi dari perlindungan korban yang bersifat abstrak (tidak langsung) karena bentuk perlindungannya hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Model berikutnya adalah model pelayanan yang beorientasi penuh pada komitmen untuk memberi ganti rugi yang layak kepada korban kejahatan. Model ini merupakan representasi dari perlindungan korban secara konkret (langsung) karena korban benarbenar merasakan manfaatnya secara riil dalam bentuk penerimaan ganti rugi materiil dan/atau immateriil. Korban dapat memperoleh ganti rugi secara material dalam bentuk kompensasi atau restitusi. Kompensasi adalah kewajiban negara untuk

memberikan ganti rugi dalam bentuk uang tunai atau dengan cara lain seperti merawat kesehatan korban secara jasmani dan rohani, memberikan pekerjaan, memberikan rumah, memberikan akses pendidikan dan lain-lain. Kemudian, yang dimaksud dengan restitusi adalah kewajiban yang dilimpahkan kepada pelaku kejahatan untuk mengganti segala kerugian yang dialami oleh korban. Restitusi mengandung dua aspek hukum sekaligus, yaitu hukum pidana dan hukum perdata. Contoh pelindungan korban yang sifatnya bukan material adalah terbebas dari ancaman atau berita-berita yang merusak harkat dan martabat.10

Keberadaan pranata restitusi di Indonesia dalam kaitannya dengan hubungan antara pelaku dan korban pada dasarnya merupakan konkretisasi pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan yang telah dilakukannya.11 Melalui restitusi, negara bermaksud untuk menanam kesadaran kepada pelaku bahwa perbuatan yang telah dilakukannya mengakibatkan kerugian bagi korban sekaligus membangun rasa tanggung jawab pelaku untuk memulihkan hak-hak korban yang telah dilanggar. Selain itu, restitusi sebagai bentuk ganti rugi yang dikenal dalam sistem peradilan pidana secara implisit memberikan pemahaman terhadap pelaku kejahatan bahwa terdapat beban ganda yang harus ditanggung oleh pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Di samping harus menjalani pidana pokok dan/atau pidana tambahan, pelaku juga dibebani kewajiban untuk menanggung kerugian materiil dan immateriil yang diderita oleh korban.12

Merujuk pada Pasal 3 PP Nomor 43 Tahun 2017, restitusi bagi anak yang mengalami kejahatan berupa “ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis”. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (1) menentukan bahwa “permohonan restitusi diajukan oleh pihak korban”. Pihak korban yang dimaksud berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b adalah “orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana dan ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana”. Ketiga pihak tersebut dapat memberikan kuasa kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Bantuan Hukum, dan lembaga yang menangani perlindungan anak melalui surat kuasa khusus.

Pemohon mengajukan restitusi kepada pengadilan dalam bentuk tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian dibubuhi dengan meterai. Permohonan restitusi diajukan pada tahap penyidikan atau penuntutan. Selain itu, korban juga dapat mengajukan permohonan restitusi melalui LPSK. Permohonan restitusi dapat digabung menjadi satu permohonan apabila anak yang mengalami kejahatan berjumlah dua orang atau lebih.

Pihak korban wajib diberitahukan oleh penyidik bahwa anak yang mengalami kejahatan berhak mendapatkan restitusi. Selain itu, pihak korban juga harus diberitahukan oleh penyidik mengenai mekanisme pengajuan restitusi. Pihak korban diberikan maksimum 3 hari setelah pemberitahuan untuk menyampaikan permohonan

restitusi. Permohonan restitusi oleh korban diperiksa kelengkapannya oleh penyidik maksimum tujuh hari terhitung dari tanggal penerimaan permohonan restitusi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa terdapat kekurangan, maka atas kekurangan tersebut pemohon wajib melengkapinya setelah diberitahukan oleh penyidik. Apabila pengajuan restitusi dipandang belum memenuhi syarat kelengkapan, maka penyidik wajib ditindaklanjuti oleh pemohon maksimum tiga hari yang dihitung mulai dari saat penyidik menerima pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut. Permohonan restitusi dinilai belum diajukan apabila dalam tenggang waktu tersebut pemohon belum melengkapi permohonannya.

Berdasarkan Pasal 12 PP Nomor 43 Tahun 2017, “penyidik dapat meminta penilaian besaran permohonan restitusi yang diajukan oleh pemohon kepada LPSK setelah permohonan restitusi yang diajukan oleh pemohon dinyatakan lengkap. LPSK menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penyidik maksimum tujuh hari setelah permohonan penilaian restitusi diterima. Permohonan restitusi yang telah dinyatakan lengkap, penyidik mengirimkan permohonan restitusi yang terlampir dalam berkas perkara kepada penuntut umum”.

Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 43 Tahun 2017 mengatur “pada tahap penuntutan, penuntut umum memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan”. Selanjutnya pada ayat (2) ditentukan bahwa “dalam hal pelaku merupakan anak, penuntut umum memberitahukan hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi pada saat proses diversi”. Ketentuan mengenai jangka waktu pengajuan restitusi, pemenuhan kekuranglengkapan permohonan restitusi, dan penilaian besaran restitusi pada tahap penuntutan sama dengan ketentuan jangka waktu pengajuan restitusi, pemenuhan kekuranglengkapan permohonan restitusi, dan penilaian besaran restitusi pada tahap penyidikan. Kemudian, Pasal 18 menentukan “apabila permohonan dianggap sudah lengkap, maka penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti”. Tata cara pemberian restitusi yang diatur dalam beleid tersebut masih menyisakan sejumlah permasalahan. Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur akibat hukum jika pelaku tidak mempunyai kemampuan memberikan restitusi kepada anak. Dengan demikian, anak yang menjadi korban atau keluarganya tidak mendapatkan kepastian dalam memperoleh keadilan.

  • 3.2.    Model Pengaturan Akibat Hukum Apabila Pelaku Tidak Melaksanakan atau Tidak Mampu Memberikan Restitusi Kepada Anak yang Mengalami Kejahatan

Akibat hukum dapat diartikan sebagai seluruh akibat yang timbul karena adanya subjek hukum yang melaksanakan perbuatan hukum atau perbuatan lain yang dampaknya telah diatur sebelumnya oleh hukum. Secara singkat, yang dimaksud dengan akibat hukum adalah akibat yang terjadi karena adanya peristiwa hukum. Akibat hukum ini mempunyai tiga wujud. Pertama, akibat hukum yang melahirkan, mengubah, atau melenyapkan keadaan hukum. Kedua, akibat hukum yang melahirkan, mengubah, atau melenyapkan hak dan kewajiban yang terjalin antar subjek hukum. Ketiga, akibat hukum dalam wujud jika terdapat pelanggaran terhadap hukum yang

berlaku. 13 Sanksi hukum sebagai akibat perbuatan yang melanggar hukum adalah sanksi yang diatur oleh hukum, baik berkaitan dengan ruang lingkup, cara pelaksanaan, takaran berat ringannya hukuman maupun upaya yang tersedia bagi si pelaku pelanggaran hukum itu untuk membuktikan bahwa perbuatannya itu tidak melanggar hukum.14

Berdasarkan PP Nomor 43 Tahun 2017, model ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada anak yang mengalami kejahatan hanya terbatas pada restitusi. Regulasi tersebut tidak mengatur lebih lanjut ihwal akibat hukum yang terjadi apabila pelaku tindak pidana tidak melaksanakan restitusi atau dalam hal pelaku tidak mampu memberikan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan. Maka dari itu, diperlukan konstruksi norma yang jelas tentang akibat hukum tidak dilaksanakannya atau ketidakmampuan pelaku dalam memberikan restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan.

Payung hukum pelaksanaan restitusi di Indonesia tidak hanya tercantum dalam PP Nomor 43 Tahun 2017. Pelaksanaan restitusi masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah. Insturmen hukum yang mengatur tentang restitusi antara lain “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban”.

Kekosongan pengaturan tentang akibat hukum apabila anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya tidak memperoleh restitusi dari pelaku, maka dapat diatasi melalui dua alternatif penyelesaian yang bersifat subsidiaritas. Konstruksi norma ini sangat diperlukan agar anak yang mengalami kejahatan memperoleh kepastian hukum.15 Apabila pelaku tindak pidana tidak membayar restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan, maka penuntut umum selaku eksekutor putusan pengadilan inkrah diberikan kewenangan untuk merampas aset milik pelaku yang dipidana dan terhadap aset dimaksud dilelang untuk melaksanakan restitusi. Apabila pelaku tindak pidananya adalah seorang anak, maka harta kekayaan yang dirampas dan dilelang oleh penuntut umum adalah harta kekayaan milik orang tua dari anak yang bersangkutan.

Alternatif penyelesaian ini sesungguhnya sudah diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku dalam

hal tindak pidana yang dialami oleh korban adalah tindak pidana perdagangan orang. Dengan kata lain, beleid tersebut tidak berlaku jika anak mengalami korban tindak pidana yang bukan masuk kualifikasi perdagangan orang. Masih dalam undangundang yang sama, apabila hasil pelelangan harta kekayaan pelaku belum mencukupi pelunasan restitusi, maka kekurangan tersebut akan diganti dengan penjatuhan pidana kurungan kepada pelaku tindak pidana. Menurut hemat penulis, penggantian restitusi dengan pidana kurungan sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang justru tidak mampu menyelesaikan penderitaan atau kerugian yang diderita oleh anak yang mengalami kejahatan. Pidana kurungan pada hakikatnya merupakan bentuk penderitaan secara fisik (pembatasan kemerdekaan bergerak) terhadap pelaku tindak pidana semata sehingga amat jauh relevansinya dengan tujuan dibentuknya pranata hukum restitusi yang menitikberatkan pada upaya pemulihan kerugian atau penderitaan secara materi dan non-materi yang dialami oleh korban tindak pidana. Jika hasil pelelangan dimaksud belum mampu menutupi pembayaran restitusi secara penuh, maka opsi terakhir yang dapat digunakan adalah pembayaran kompensasi oleh negara kepada anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya. Peran negara untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban juga telah termuat dalam PP Nomor 7 Tahun 2018 juncto PP Nomor 35 Tahun 2020. Namun demikian, kompensasi yang diberikan oleh negara kepada korban hanya terbatas pada perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Maka dari itu, negara sudah sepatutnya hadir untuk menggantikan peran pelaku yang tidak mampu membayar restitusi sehingga korban dan/atau keluarga korban memperoleh haknya kembali secara utuh.

  • IV. Kesimpulan Sebagai Penutup

    4.    Kesimpulan

Restitusi yang diberikan oleh pelaku kepada anak yang mengalami kejahatan diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017. Pemohon yang mengajukan restitusi yaitu orang tua atau wali dari anak yang mengalami kejahatan. Pemohon mengajukan restitusi kepada pengadilan dalam bentuk tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian dibubuhi dengan meterai. Permohonan restitusi diajukan pada tahap penyidikan atau penuntutan. Selain itu, korban dapat mengajukan permohonan restitusi melalui LPSK. Permohonan restitusi dapat digabung menjadi satu permohonan apabila anak yang mengalami kejahatan berjumlah dua orang atau lebih. Kekosongan pengaturan tentang akibat hukum apabila anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya tidak memperoleh restitusi dari pelaku, maka dapat diatasi melalui dua alternatif penyelesaian yang bersifat subsidiaritas. Apabila pelaku tindak pidana tidak membayar restitusi kepada anak yang mengalami kejahatan, maka penuntut umum selaku eksekutor putusan pengadilan inkrah diberikan kewenangan untuk merampas aset milik pelaku yang dipidana dan terhadap aset dimaksud dilelang guna melaksanakan restitusi. Jika hasil pelelangan dimaksud belum mampu menutupi pembayaran restitusi secara penuh, maka opsi terakhir yang dapat digunakan adalah pembayaran kompensasi oleh negara kepada anak yang mengalami kejahatan atau keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Harefa, Beniharmoni. 2019. Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak. Deepublish. Sleman.

Novita, Ratri. 2020. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Universitas Muhammadiyah. Malang.

Suhasril. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Raja Grafindo Persada. Depok.

Jurnal:

Ali, Mahrus, and Ari Wibowo. "Kompensasi dan Restitusi yang Berorientasi Pada Korban Tindak Pidana." Yuridika 33, no. 2 (2018): 260-289.

Ardin, Andi Jefri, and Beniharmoni Harefa. "Pemenuhan Hak Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Suara Hukum 3, no. 1 (2021).

Hasibuan, Lidya Rahmadani. "Hak Restitusi Terhadap Korban Anak Berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndangnnomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Di Belawan." Jurnal Hukum Responsif 7, no. 2 (2019): 30-39.

Lisnawati, Dewi. "Implementasi Restitusi Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Di Provinsi Riau." Jurnal Panji Keadilan: Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum 3, no. 1 (2020).

Mareta, Josefhin. "Penerapan Restorative Justice Melalui Pemenuhan Restitusi Pada Korban Tindak Pidana Anak." Jurnal Lex et Societatis 3, no. 1 (2019).

Pertiwi, Ratna. "Hak Restitusi Anak Korban Kejahatan Seksual." Pancasila and Law Review 1, no. 1 (2020).

Putri, Miszuarty. "Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017." Soumatera Law Review 2, no. 1 (2019).

Rahmi, Atikah. "Pemenuhan Restitusi Dan Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi Korban Kejahatan Seksual Dalam Sistem Hukum Di Indonesia." DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2019): 140-159.

Saputri, Agil, Lintje Anna Marpaung, and Melisa Safitri. "Analisis Terhadap Jaminan Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Pemenuhan Hak Restitusi Korban Tindak Pidana Kesusilaan Melalui Media Elektronik." Jurnal Indonesia Sosial Sains 2, no. 2 (2021).

Siregar, Erry Fendy. "Aspek kepastian hukum terkait restitusi dalam perkara perlindungan anak." Jurnal Perspektif Hukum 2, no. 2 (2021): 217-229.

Suhariyanto, Budi. "Quo Vadis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Melalui Restitusi (Perspektif Filsafat, Teori, Norma dan Praktek Penerapannya)." Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 1 (2013).

Wahyuningsih, Sri Endah. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai korban Tindak Pidana kesusilaan dalam Hukum Pidana Positif Saat Ini." Jurnal Pembaharuan Hukum 3, no. 2 (2016).

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1356-1365