PERAN PEMERINTAH UNTUK MELINDUNGI PENGUNGSI LUAR NEGERI DI INDONESIA PADA

MASA COVID-19

Lutfiana Umar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: lutfianaumar@gmail.com

Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: diah_widyantari@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i06.p14

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi luar negeri, walaupun Indonesia tidak menandatangani Konvensi pengungsi 1951 dan Protokolnya serta untuk mengetahui apakah yang pemerintah Indonesia sudah cukup membantu para pengungsi luar negeri untuk bertahan hidup semasa pandemic Covid-19. Tulisan ini menggunakan metode penelitian Normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi walaupun Indonesia belum menandatangani Konvensi mengenai Status Pengungsi dan Protokolnya. Namun, Indonesia gagal menjamin hak-hak yang menjadi hak para pengungsi, terutama di tengah merebaknya wabah Covid-19, seperti misalnya di tempat penampungan pengungsi di Makassar telah ada yang dinyatakan Covid-19. Dengan kurangnya Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan fasilitas Kesehatan dan standar perumahan yang memadai untuk para pengungsi, maka bisa ditemukan pengungsi yang dinyatakan positif Covid-19.

Kata Kunci: Pengungsi, Covid-19, Perlindungan Pengungsi, Konvensi Pengungsi Luar Negeri, Hak Asasi Manusia.

ABSTRACT

This paper aims to find out whether Indonesia has responsibilities to look after refugees, despite the fact Indonesia did not sign the 1951 Refugee Convention and its Protocol and to find out whether the Indonesian government has been sufficient to help refugees to survive during the Covid-19 pandemic. This paper is using the normative research methods. Indonesia still responsible to look after refugees despite the fact that Indonesia hasn’t signed the Protocol and Convention of Refuges. Howbeit, Indonesia failed to guarantee the rights of refugees, especially in Covid-19 pandemic. At the refugee shelter in Makassar, someone has been declared Covid-19. With the lack of efforts by the Indonesian government in providing health facilities and adequate housing standards for the refugees, it is of course not surprising that someone has tested positive for Covid-19.

Key Words: Refugees, Covid-19, Refugees Protection, Convention of Refugees, Human Rights.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar belakang Masalah

Pemerintah Negara memiliki tanggung jawab atas hak warga negara mereka, dan ketika pemerintah tidak mampu atau tidak mau melakukannya, warga negara tersebut dapat menghadapi ancaman sehingga mereka terpaksa meninggalkan negara mereka dan mencari keamanan dan keselamatan di tempat lain. Jika hal ini terjadi, negara lain harus turun tangan untuk memastikan bahwa hak-hak dasar para pengungsi luar negeri

dihormati. Kondisi ini dikenal sebagai ‘perlindungan internasional’.1 Orang yang melarikan diri dari perang, konflik, kekerasan, atau penuntutan dan telah melintasi perbatasan internasional untuk mencari keselamatan di negara lain dikenal sebagai Pengungsi luar negeri.2 Mereka terpaksa mengungsi dari negaranya sendiri dengan harapan aka nada pemulihan supremasi hukum di negaranya sendiri sehingga suatu saat mereka dapat Kembali pulang. Dalam pasal 2 (1) Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri mengengemukakan bahwa, penanganan pengungsi di Indonesia dilakukan melalui koordinasi antara pemerintah Indonesia dengan United Nations High Commissioner for Refugees [“UNHCR”] dan/atau organisasi yang terkait dengan pengungsi luar negeri.3 Pada tahun 1979, Indonesia bekerja sama dengan UNHCR4 untuk memberikan tempat tinggal sementara bagi para pengungsi sambal mencoba untuk memindahkan mereka ke nagara ketiga, dengan kata lain, memoposisikan diri sebagai negara transit.5

Indonesia selaku anggota masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk memperlakukan hak asasi manusia secara global secara adil dan setara,6 hal ini juga termasuk untuk para pengungsi. Deklarasi Universal HAM Pasal 14 ayat (1) mengemukakan, “Setiap orang berhak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari penganiayaan”. Melalui tolak ukur yang jelas bagi standar universal hak asasi manusia ini, pemerintah harus melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pengungsi. Meskipun tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokolnya, Indonesia termasuk negara transit,7 belum lagi Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian inti hak asasi manusia di mana pemerintah harus memenuhi kewajiban internasionalnya.8 Selain itu, Indonesia tidak boleh bertentangan dengan prinsip indivisibility.

Hak atas kesehatan sangat diperlukan dan pemerintah perlu menghormati hak atas kesehatan dengan tidak menolak dan tidak membatasi akses perawatan Kesehatan untuk semua orang, termasuk pengungsi.9 Dalam Universal Deklarasi HAM Pasal 25

mengemukakan, “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak untuk Kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk pelayanan kesehatan”. Hak ini menjelaskan bahwa hak Kesehatan dapat dicapai dengan, kesetaraan akses terhadap perawatan kesehatan dan layanan kesehatan yang harus ditekankan.

Meski demikian, Indonesia gagal menjamin hak-hak yang menjadi hak para pengungsi, terutama saat wabah Covid-19. Pada pertengahan Mei 2020, Organisasi Migrasi Internasional [“IOM”] mengkonfirmasi bahwa seorang pengungsi yang tinggal di tempat penampungan yang berbasis di Makassar telah dinyatakan positif Covid-19 dan empat pengungsi disarankan untuk melakukan karantina sendiri. Hal ini dapat disebakan oleh fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan kepadatan pengungsi di tempat penampungan telah menyebabkan ketakutan di antara mereka.10 Selain itu, telah dikonfirmasi bahwa 150 pengungsi tinggal di gedung sempit yang sama tanpa mempertimbangkan jarak fisik karena tidak ada ruang yang tersisa. Shelter tersebut tidak hanya kekurangan ruang tetapi juga layanan tes Covid-19 dan alat pelindung diri (yaitu hand sanitizer dan masker), juga mereka sering ditolak oleh rumah sakit Indonesia untuk perawatan kesehatan, mendesak mereka untuk melarikan diri.11 Selain di Makasar, pada bulan Juli 2020 beberapa pengungsi luar negeri di Kodim Kalideres, Jawa Barat juga positif Covid-19. Seperti pada penampungan yang di makasar, penampungan yang ada di kalideres juga mengalami kepadatan dikarenakan pengungsi yang begitu berlebihan dan juga tepaksa untuk hidup dalam situasi yang sempit yang dapat menyebabkan kluster baru virus corona yang dapat menyebar ke masyarakat sekitar.12 Selain itu pengungsi di Kalideres juga mengalami air bersih yang terbatas, yang hanya dapat mengalir 10 jam sehari.13 Berangkat dari kondisi kesehatan yang sudah parah sebelum pandemi dengan gizi buruk dan akses kesehatan yang terbatas, muncul pertanyaan bagaimana mereka akan mengatasi ketika mereka jatuh sakit.

Agar dapat terjamin originalitas penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki penelitian yang sejenis yaitu: “Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia” yang ditulis oleh Rahayu, Kholis Roisah, dan Peni Susetyorini. Penelitian ini membahas mengenai perlindungan hak asasi manusia pengungsi dan pencari suaka yang ada di Indonesia dengan menggunakan pendekatan sociolegal.14 Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai “Peran Pemerintah untuk Melindungi Pengungsi Luar Negeri di Indonesia Pada Masa Covid-19”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Atas dasar uraian di atas, Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu:

  • 1.    Apakah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi berdasarkan hukum?

  • 2.    Apakah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah cukup untuk melindungi para Pengungsi luar negri saat pandemic Covid-19?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui apakah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi pengungsi luar negeri, walaupun Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokolnya.

  • 2.    Mengetahui apakah yang Pemerintah Indonesia telah lakukan dalam memberikan asistensi pengungsi asing selama pandemic Covid-19 telah memadai.

  • II.    Metode Penelitian

Pengkajian ini menerapkan metode penelitian normatif. Kajian yang meneliti data-data sekunder yakni, asas-asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum, dan teori hukum15 Penulisan ini menerapkan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang menelaah undang-undang, regulasi dan juga konvensi internasional.16 Sedangkan pendekatan kasus digunakan untuk menelaah kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi.17 Sumber bahan hukum yang digunakan untuk bahan hukum primer adalah perjanjian internasional. Selain itu, prinsip-prinsip hukum sebagai bahan sekunder.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kewajiban Negara Indonesia untuk Melindungi Pegungsi Luar Negeri

Dikarenakan Indonesia belum menandatangani Konvensi 1951 tentang Pengungsi Luar Negeri beserta protokolnya. Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum yang terikat kepada kedua perjanjian internasional mengenai Pengungsi Luar Negeri tersebut. Meskipun Indonesia belum menandatangani perjanjian tersebut, Indonesia sebagai masyarakat internasional tetap harus menghormati Customary of International Law dan International Law Principles yang mengatur perlindungan pengungsi asing.18

Prinsip non-refoulement Merupakan salah satu hukum kebiasaan internasional. Prinsip ini menggaris bawahi larangan untuk suatu negara memulangkan atau mengirim pengungsi ke daerah di mana mereka bakal mengalami penuntutan ataupun penindasan yang dapat mencengkamkan nyawanya dikarenakan alasanalasan yang berkaitan dengan keangotaan kelompok sosial, agama, ras dan kebangsaan. Dikarenakan Prinsip ini Indonesia tidak biasa memulangkan pengungsi

ke tempat asalnya.19 Hal ini dikarenakan prinsip non-refoulement telah menjadi norma internasional yang mengharuskan untuk semua negara untuk tunduk kepada norma tersebut, walaupun belum menandatangani Konvensi pengungsi 1951 dan protokolnya sebagai ius cogens.20 UNHCR juga menyatakan bahwa praktek-praktek negara telah banyak menunjukan bahwa mereka menerima prinsip non-refoulement sebagai prinsip yang mengikat.21 Salah satu pandangan yang menyetujui gagasan bahwa Indonesia terikat pada hukum kebiasaan internasional khususnya adalah prinsip non-refoulment, yaitu doktrin monism yang menggangap hukum internasional lebih tinggi.22 Ada juga ketentuan dalam pasal 3 Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Penanganan Pengungsi harus memperhatikan norma-norma yang diterima secara internasional dan hukum pengungsi Indonesia”. Ketentuan dapat diartikan bahwa Indonesia memperhatikan norma-norma yang diterima secara internasional, termasuk non-refoulment, sebagai dasar hukum yang sah dan dapat ditegakan bersama-sama dengan hukum nsional sebagaimana ditegaskan dengan pandangan monist yang dinyatakan sebelumnya.

Selain prinsip Non-refoulement yang melarang Indonesia mengembalikan pengungsi ke tempat asalnya atau daerah yang mengancam nyawanya, Indonesia juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak perlindungan pengungsi. Hal ini dikarenakan pada Pasal 14 (1) UDHR mengemukakan, “Setiap orang berhak untuk mencari suaka dari negara lain untuk melindungi dirinya dari penganiayaan”. Prinsip ini berdasarkan pada keadilan yang tidak pandang bulu.23 Bantuan kemanusiaan kepada pengungsi tidak dapat diabaikan karena alasan politik atau militer.24 Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 71, Pemerintah harus menghormati, melindungi, menegakkan, mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan dalam peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional, terkait dengan hak-hak tersebut.” Dari pasal ini dapat dimengerti bahwa Indonesia memegang kewajiban untuk menjaga menghargai, mempromosikan dan mendirikan hak asasi manusia baik nasional maupun internasional.

Dari Analisa diatas dapat dimengerti bahwa Indonesia memegang tanggung jawab untuk melindungi para pengungsi. Meskipun, Indonesia belum mengesahkan Konvensi mengenai Status Pengungsi dan Protokolnya. Hal ini dikarenakan Indonesia harus menunduk kepada Prinsip Non-refoulfement dan juga pasal 71 UU No.39 Tahun 1999, dimana Indonesia harus menghormati, melindungi, menegakkan, mempromosikan hak asasi manusia termasuk hak untuk melindungi para pengungsi. Selain itu, perlindungan terhadap pengungsi juga merupakan praktik umum yang sejalan dengan deklarasi hak asasi manusia. Oleh karena itu, melindungi

pengungsi adalah keawajiban erga omnes, yang bersifat universal yang mengikat setiap negara, dan harus memberikan perlindungan hukum kepada mereka.25

  • 3.2    Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan perlindungan Pengungsi Luar negeri semasa Covid-19

    • 3.2.1    Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan Standar Perumahan yang Memadai bagi pengungsi

Berdasarkan UU No.11 Tahun 2005 & UU No. 39 Tahun 1999, “Setiap manusia berhak atas hak-hak perumahan dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak terlebih kepada para pengungsi”. Standar hak tersebut harus tunduk pada "Health Principles of Housing"26 yang memenuhi langkah-langkah tempat tinggal yang memadai, ruang yang memadai dan infrastruktur dasar yang memadai.27 Nyatanya, kamp-kamp yang penuh sesak tanpa sanitasi dapat menyebabkan penyakit,28 terutama selama Covid-19 virus ini mampu penularan dari manusia ke manusia dan disarankan oleh WHO untuk mempraktikkan physical distancing untuk memerangi paparan Covid-19.29 Yang disebutkan di atas telah terbukti menjadi salah satu cara untuk membatasi penyebaran virus.

Saat ini, di tempat penampungan pengungsi di Makassar, masih belum menerima hak mereka atas standar perumahan yang memadai. Meskipun ada wabah Covid-19, ada 1.774 pengungsi di tempat penampungan yang sama, terutama 150 pengungsi di gedung sempit yang sama tanpa ruang yang cukup untuk mempraktikkan physical distancing. Selain itu, ada satu kasus yang dikonfirmasi dan empat disarankan untuk melakukan karantina mandiri. Tidak diragukan lagi, kondisi di Makassar-base-shelter dapat dianggap tidak sesuai dengan langkah-langkah tempat tinggal yang memadai. Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah gagal mematuhi kewajibannya untuk memberikan standar perumahan yang memadai kepada para pengungsi.

  • 3.2.2    Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan fasilitas Kesehatan

Di Indonesia, hak pengungsi atas hak Kesehatan dilundungi di bawah perlindungan internasional dan domestic. Mengenai perlindungan internasional, ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan hak atas Kesehatan pengungsi merupakan suatu kewajiban internasional yang mengikat secara hukum. Ketentuan pasal 12 (1) dari Internastional Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) menyatakan “hak atas Kesehatan yang melindungi Kesehatan setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai.” Komite Hak Ekononomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-bangsa menenkankan bahwa pasal ini mencakup perlindungan hak pengungsi atas

Kesehatan dengan memastikan bahwa mereka dapat memiliki peluang yang sama terhadap perawatan dan layanan Kesehatan.30 Indoensia terikat pada perjanjian ini sejak sudah meratifikasi ICESCR. Oleh karena itu, perwujudan hak tersebut harus diambil oleh Indonesia sebagai salah satu negara pihak untuk pencegahan, pengobatan, dan pengendalian penyakit menular seperti pandemic Covid-19.31

Selain itu, hak pengungsi atas Kesehatan juga dapat dilindungi di bawah undnag-undang domestik. Contohnya, pada pasal 28H dan 34 UUD mengemukakan bahwa setiap orang di wilayah hukum Indonesia berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan dan Indonesia bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan tersebut. Selain itu, diatur dalam UU No. 11 Tahun 2005 Pasal 12, “Setiap manusia berhak atas kenikmatan standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai yang kondusif untuk menjalani kehidupan yang bermartabat”. Dalam Pasal 26 Ayat (2) Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dar Luar Negeri dan Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemerintah atau rumah sakit swasta, harus memfasilitasi layanan medis untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Pemerintah juga memiliki kewajiban terhadap mereka yang tidak dapat mendapatkan fasilitas perawatan yang diperlukan seperti perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan,32 termasuk bagi para pengungsi.33 Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa virus itu mampu melakukan penularan dari manusia ke manusia. Namun, pengungsi tidak diberikan alat pelindung diri selama pandemi yaitu tes Covid-19, masker, dan pembersih tangan, dan mereka sering ditolak oleh rumah sakit Indonesia. Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah gagal menyediakan fasilitas medis yang dijamin bagi para pengungsi.

Meskipun memiliki perlindungan terhadap hak atas Kesehatan pengungsi dalam kerangka hukum Indonesia, Indonesia gagal untuk sepenuhnya mewujudkan perlindungan tersebut. Para pengungsi ini menderita karena kurangnya fasilitas Kesehatan yang memadai di Indonesia karena mereka tidak punya akses ke layanan Kesehatan, dan tidak dapat pergi ke rumah sakit karena ketidakmampuan untuk membeli obat.34 Meski Sebagian pengungsi terdaftar di bawah perlindungan UNHCR dan IOM, namun mereka hanya mendapatkan fasilitas Kesehatan minimal sebatas kondisi darurat.35 Pemerintah Indonesia juga dapat meminta pertanggungjawaban UNHCR dan IOM karena mereka diberi mandat oleh PBB untuk menyediakan para pengungsi di Indonesia.36

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pertama, Indonesia belum mengesahkan Konvensi dan Protokol Pengungsi 1951. Tetapi selaku bagian dari masyarakat internasional, Indonesia harus tetap memuliakan dan mematuhi International Customary of Law dan International principles yang membahas tentang pencari suaka dan pengungsi asing. Berarti Indonesia wajib mematuhi prinsip Non-Refoulfement dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Kedua, Upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi para pengungsi luar negeri dengan cara menyediakan tempat tinggal yang baik dan memberikan fasilitas Kesehatan masih kurang dan tidak selaras dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Dimana Pemerintah harus melindungi, menghargai, mempromosikan dan mendirikan hak asasi manusia seperti apa yang disusun di undang-undang ini dan di kebijakan lainnya, baik nasional maupun internasional, terkait dengan hak-hak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adrianus Ramon, Dyan Sitangang, and Tristam Moeliono, Penanganan Pengungsi.

(Yogyakarta, Penerbit Maharsa, 2020).

Hatheway, James C. The Rights of Refugees Under International Law. (Michigan, Cambridge

University Press, 2005).

Kusumaatmadja, Mochtar dan Agoes, Etty. Pengantar Hukum Internasional. (Bandung, Alumni, 2015).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta, Prenadamedia Group, 2005).

Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung, Mandar Maju, 2008).

N., Frances, dan Judith, K. A guide to International Refugee Protection and Building State Asylum Systems (Inter-Parliamentary Union and United Nation High Commissioner for Refugees, 2017).

Wagiman. Hukum Pengungsi Internasional. (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2012).

WHO Geneva. Health Principles of Housing. (World Health Organization, 1989).

JURNAL/ARTIKEL

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1384-kerentanan-pengungsi-pada-masa-pandemi-covid-19-di-indonesia.

Allain, Jean. “The Jus Cogens Nature of Non-Refoulement.” International Journal of Refugee Law 13, No.4 (2001).

Kusumo, Ayub. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi Internasional.” Yustisia Jurnal Hukum 1, No. 2 (2012).

Mardian, Siciliya. “Kajian Yuridis Perlindungan Pengungsi di Indonesia Setelah Berlakunya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri” Jurnal Diversi Volume 2, No.2 (2016).

Rahayu, et al. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 49, No. 2 (2020).

Roisah, Kholis. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia.” Masalah-Masalah,,Hukum Jilid 49, No.2 (2020).

Sonata, Depri Liber. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justisia: Jurnal Hukum 8 (2014).

Shakharina, Lin K. “Perlindungan Negara Bagi Pengungsi Pada Masa Pandemi Global COVID-19: Kajian Hukum Internasional.” AL-Azhar Islamic Law Review Volume 2, No.2 (2020).

Syahrin, M. Alvi. “Implementasi Penegakan Hukum Pencari Suaka Dan Pengungsi Di Indonesia Setelah Diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.” Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian 2, No. 2 (2019).

Siahaya, et al. “Urgensi Diratifikasinya Konvensi 1951 Tentang Pengungsi Perspektif Hukum Keimigrasian.” TATOHI: Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 11 (2022).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

INTERNET

Dana, Erfan. “A Call for Help: Refugees Risk Catching Covid-19 in Overcrowded Shelters.” diakses 15 Januari 2021. https://jakartaglobe.id/opinion/a-call-for-help-refugees-risk-catching-covid19-in-overcrowded-shelters

Emily. “Indonesia: Lack of Access to Healthcare for Refugees and Barriers to Providing Legal Aid.” Diakses pada 15 Januari 2021. https://aprrn.org/indonesia-lack-of-access-to-healthcare-for-refugees-and-barriers-to-providing-legal-aid/.

Joniad, J.N. “Comment: Impossible to self-issolate, Refugees in Indonesia fear coronavirus outbreak.”            Diakses            12            Febuari            2021.

https://www.sbs.com.au/news/dateline/article/comment-impossible-to-self-isolate-refugees-in-indonesia-fear-coronavirus-outbreak/hm658xpeh

Ladjar, Bonfilo Mahendra. “Dua Orang Pencari Suaka di Kalideres Positif COVID-19.” Diakses             pada             17             Januari             2021.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/27/21202931/dua-orang-pencari-suaka-di-kalideres-positif-covid-19?page=all

Pudjiastuti, Tri Nuke. “Kerentanan Pengungsi Pada Masa Pandemi COVID-19 Di Indonesia.” Diakses 16 Januari 2021. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1384-kerentanan-pengungsi-pada-masa-pandemi-covid-19-di-indonesia

Suaka Indonesia. “Protection for Refugees in Indonesia: A State Responsibility.” Diakses pada 15 Januari 2021. https://suaka.or.id/2019/11/14/protection-for-refugees-in-indonesia-a-state-responsibility/

UNHCR. “Advisory Opinion on the Exterritorial Application of Non-Refoulment Obligations under 1951 Convention relating to the Status of Refugees and its 1967 protocol.” Diakses 17 Januari 2021. https://www.unhcr.org/4d9486929.pdf

World Health Organization: WHO. “Transmission of SARS-CoV-2: Implications for Infection Prevention Precautions.” Diakses 16 Januari 2021. https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/transmission-of-sars-cov-2-implications-for-infection-prevention-precautions.

DOKUMEN LAIN

Case Concerning the Barcelona Traction, Light, and Power Company, Limited (Belgium v. Spain), ICJ Rep. 1962.

CESCR ‘General Comment 4’ in ‘Note by the Committee on Economic, Social and Cultural Rights, The Right to Adequate Housing (Art. 11 (1) of the Covenant)’ (1991) UN Doc E/1992/23.

______. ‘General Comment 19’ in ‘Note by the Committee on Economic, Social and Cultural Rights, The right to social security (Art. 9 of the Covenant)’ (2008) UN Doc E/C.12/GC/19.

UNCESCR ‘General Comment 14’ (200) UN Doc. E/C.12/2000/4, para 34. See also UNCESCR ‘Duties of States towards refugees and migrants under the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights’ (13 March 2017) UN Doc. E/C.12/2017/1, para 12.

Vienna Declaration and Programme of Action on Reports of the World Conference on Human Rights (25 June 1993) UN Doc A/CONF.157/23.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1331-1342