PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS KEADILAN
on
PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS KEADILAN
Stefanus Denny Christianto Setiawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
DOI : KW.2022.v11.io4.p17
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk membahas mengenai pengaturan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi sebagai salah satu cara yang efektif untuk memberantas korupsi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta pendekatan perundang-undangan (statue approach) serta dikaji menggunakan metode analisis kualitatif. Dari hasil penelitian ini dapat diliat terdapat problematika norma yaitu adanya kekosongan norma. Korupsi saat ini merupakan kejahatan yang luar biasa karena korupsi dapat merusak dan menimbulkan dampak yang merusak pada suatu wiIayah, baik dari segi finansial maupun sosial-politik. Itu sebabnya maka negara tentu saja harus untuk mengambil sebuah hal terkait langkah yang bagus, yang tentunya dapat dilakukan melalui bangsa, khususnya dengan mengambil aset milik para koruptor dan mengembalikannya kepada negara untuk mengembalikan ekonomi negara ini memperlihatkan bahwa saat ini pemberantasan korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Pengaturan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menggunakan mekanisme pidana dan juga mekanisme dari perdata. Sementara itu saat ini masih belum diatur secara jelas mengenai pengembalian aset pelaku hasil tindak pidana korupsi maka harus terwujudnya rekonstruksi regulasi terkait dengan Undang-Undang Tipikor dengan cara memperbaharui pengaturan yang sudah ada melalui Rancangan Undang-Undang Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi.
Kata Kunci: pengembalian, aset, tindak pidana korupsi
ABSTRACT
This study aims to discuss the regulation of asset return for perpetrators of corruption as an effective way to eradicate corruption. This study uses a normative juridical method and a statutory approach and is studied using a qualitative analysis method. From the results of this study, it can be seen that there is a normative problem, namely the existence of a norm void. Corruption is currently an extraordinary crime because corruption can damage and have a detrimental impact on an area, both from a financial and socio-political perspective. That is why, of course, the state must take a good step, which of course can be done through the nation, in particular by taking assets belonging to the corrupt and returning them to the state to restore the country's economy. This shows that currently eradicating corruption is regulated in Law No. 20 of 2001. The regulation on the return of assets resulting from corruption in Law no. 20 of 2001 using a criminal mechanism as well as a civil mechanism. Meanwhile, currently it is still not clearly regulated regarding the return of assets of perpetrators of criminal acts of corruption, so there must be a reconstruction of regulations related to the Anti-Corruption Law by updating existing arrangements through the Draft Law on Returning the Assets of Actors of Corruption.
Key Words: return, asset, corruption
Saat ini, korupsi sudah menjadi suatu problematika bagi semua negara secara global dan lokal. Saat ini korupsi telah menjadi kejahatan lintas negara yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa karena pengaruh buruk kerugian ekonomi multidimensi dan kerugian negara yang sangat besar, sehingga harus diberantas1. Dimensi korupsi ini luas, kompleks dan sulit dibedakan. Menurut Robert Kligaard, "Batas-batas korupsi sulit ditentukan dan bergantung pada hukum dan kebiasaan setempat. Tugas pertama analisis kebijakan adalah memecah jenis korupsi dan perilaku ilegal dalam situasi saat ini dan melihat contoh-contoh spesifik."2 Michael Johnston dan Arnold J. Heidenherimer menyebutkan bahwa ada tiga varian definisi korupsi, yaitu market-centred, public office-centred, dan public interest-centred.3 Teori yang tentunya berpusat pada kantor publik mendeskripsikan korupsi menjadi defleksi sikap yang berasal dari kewajiban pejabat publik atau pelanggaran hukum untuk merespon kepentingan eksklusif, termasuk penyuapan-penyuapan dan nepotisme atau penipuan. Pada saat yang sama, teori pasar-sentris menggambarkan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, monopoli kekuasaan, dan perumusan kebijakan (seperti hal mengenai perpajakan ataupun hal tentang subsidi, dan tentu saja hal yang bersifat privatikasi) yang menjadi alat untuk mengoptimalkan hal yang berkaitan mengenai kebutuhan yang pribadi.
Sedangkan teori-teori yang berpusat pada kepentingan publik mendefinisikan korupsi sebagai tindakan pemegang kekuasaan untuk memberikan keistimewaan kepada siapa saja yang memberikan imbalan, sehingga merusak prinsip persamaan (equality) dalam pelayanan publik. Tidak hanya keuangan negara yang dirusak oleh korupsi tersebut, namun korupsi juga melanggar hak sosial serta hak ekonomi seluruh masyarakat. Korupsi sebagai kejahatan telah menarik perhatian dari berbagai pemimpin negara Indonesia dari era dahulu hingga era sekarang untuk diberantas. Karena korupsi termasuk dalam kejahatan kerah putih (White Collar Crime), maka modus operasinya begitu kompleks. Korupsi juga merupakan masalah di seluruh dunia. Tindak pidana korupsi yang digambarkan melawan hukum ini terlihat traumatis dengan keberadaan jaringan, negara dan negara. Korupsi secara melawan hukum tidak hanya merugikan kisaran harga dan sistem keuangan kerajaan, tetapi juga bagi orang-orang dan agen jaringan lainnya. Untuk menang atas ini, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Anda dari korupsi.
Transparency International Indonesia (TII) memahami korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan dan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Ada beberapa elemen dalam definisi ini: kepentingan usaha dan benda, dan kepentingan pribadi (tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk anggota keluarga atau kerabat). Menyalahkan kekuasaan, memberdayakan kekuasaan (sektor publik atau swasta). Ada kebutuhan nyata untuk menangani kejahatan luar biasa ini secara serius melalui kerjasama internasional untuk memberantas korupsi. Dari survei yang dilakukan oleh Transparansi International Indonesia (TII), Indonesia menempati peringkat keenam negara dengan korupsi tertinggi di dunia pada tahun 2005, sedangkan 12 bulan sebelumnya, Indonesia menempati peringkat kelima dari 146 negara di dunia. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa catatan korupsi 2005 diuji dan divonis di ruang sidang, sebanyak enam puluh sembilan kasus korupsi telah ditemukan dengan lengkap 239 terdakwa, diuji dan ditentukan melalui semua pengadilan di Indonesia dari tingkat dasar (pengadilan terdekat).
Korupsi yang memakan biaya yang begitu besar sehingga hukuman pidana sebagai hukum yang sah merupakan cara yang tepat untuk memberantas dan mencegah korupsi serta dapat meberikan efek jera terhadap individu yang melakukan korupsi. Kata “kejahatan” merujuk pada sesuatu yang dihukum, yaitu dihukum oleh suatu institusi dengan kekuasaan yang diberikan kepada individu sebagai urusan sehari-hari, tetapi tidak diberdayakan. Indonesia saat ini merupakan negara berkembang yang rentan terhadap praktik korupsi karena menurut Fred W. Riggs, salah satu ciri negara berkembang adalah maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Soal pengembalian aset (asset recovery) untuk meminimalkan kerugian negara, selain hukuman terberat bagi pelaku, ini menjadi faktor yang tak kalah pentingnya dengan pemberantasan korupsi. Upaya-upaya untuk meminimalkan kerugian nasional, selain pembekuan, penyitaan, dan lain-lain, harus dilakukan sejak awal kasus, tetapi juga melalui kerjasama dengan negara lain tempat hasil kejahatan berada.
Memikirkan bahwa korupsi tersebut dinilai sebagai tindak pidana hal ini sangat dan sangat mungkin berakhir sebagai kejahatan transnasional, maka secara keseluruhan pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara aklamasi sepakat untuk menyelenggarakan konferensi Amerika Serikat untuk membahas korupsi pada 30 September 2003 Sesuai dengan Konferensi Antikorupsi. Pengembalian Barang Hasil tindak pidana korupsi dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu: tingkat pemantauan aset, tingkat gerakan preventif untuk mencegah penggelapan harta tentang hal yang selalu melewati melalui cara pengerjaan serta pembekuan dan juga etikanya dari penyitaan setingkat, dan oleh pemberian barang-barang dari negara kepada kita yang menderita di mana harta itu diperoleh secara tidak sah. Hal ini harus menjadi prioritas utama pemerintah karena telah menjadi tindak pidana di Indonesia, pemerintah segera memberantas dan dapat mengembalikan kepercayaan publik dan internasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara korup khususnya di Indonesia.
Agar keaslian dari penulisan ini dapat terjamin, maka selanjutnya penulis menguraikan penelitian yang memiliki pembahasan yang hampir sama yaitu Ulan Mangun Sosiawan yang bejudul “Penanganan Pengembalian Aset Negara Hasil
Tindak Pidana Korupsi Dan Penerapan Konvensi Anti Korupsi Di Indonesia” 4penelitian tersebut memiliki pembahasan yakni membahasan mengenai pengembalian aset dari hasil tindak pidana korupsi dan bagaimana diterapkannya Konvensi Anti Korupsi tersebut. Selanjutnya Jamillah yang berjudul “Pertanggung Jawaban Hukum Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi Di Indonesia”5 penelitian ini membahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban hukum dari pengembalian aset dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia. Dari beberapa penelitian sebelumnya bisa kita lihat terdapat perbedaan ide dalam memecahkan masalah yang disajikan dalam penelitian ini khususnya dalam menangani bagaimana pengaturan berdasarkan hukum positif serta pengaturan pengembalian aset berbasis keadilan di masa mendatang. Lalu penulis menindak lanjuti penelitian ini dengan judul “Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berbasis Keadilan.”
Dari latar belakang diatas, terdapat beberapa problem yang bisa diidentifikasi menjadi fokus penelitian penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1) Apakah pengaturan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan hukum positif telah memadai?
-
2) Bagaimana pengaturan ideal pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berbasis keadilan di masa mendatang?
Penelitian ini mengarah untuk menganalisa bagaimana pengaturan pengaturan pengambilan aset pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan hukum yang positif dari Indonesia dan aturan pengembalian aset tindak pidana korupsi berbasis keadilan pada masa mendatang. Serta dalam penelitian ini dapat menjadi acuan penelitian dan dan pembahasan mengenai alat filosofis pemberantasan dari adanya tindak pidana korupsi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik yuridis normatif dengan membahas data yang didapatkan serta diberikan menggunakan pendekatan Undang-Undang yang sah. Problematika norma yang ada dalam penelitian ini yaitu terdaoat kekosongan norma yang menanggulangi
pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) yang artinya dengan membahas perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini serta dianalisis menggunakan kajian analisis kualitatif. Penelitian ini mengkaji mengenai pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berbasis keadilan dengan menggunakan teknik pengambilan data yang digunakan yaitu teknik studi kepustakaan (library seacrh) yang berguna untuk menjadi sumber yang memiliki hubungannya dengan problematika hukum yang dibahas dalam penelitian ini mengenai pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi. Kajian ini menggunakan sumber data yaitu sumber data primer yang berupan peraturan perundang-undagan yang memiliki kaitannya dengan bahasan yang dikaji dan bahan hukum sekunder yang berupa literatur seperti buku, dan jurnal, dan bahan hukum tersier yang berupa internet.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Apakah pengaturan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi menurut hukum positif Indonesia telah memadai
Pengembalian aset dari hasil tindak pidana korupsi saat ini telah menjadi hukum positif berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2001, namun bagian penting dari ketentuannya diperkenalkan pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 2006 dari Itu menjadi bahan penting untuk dibahas menurut ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Tipikor, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 (g) bahwa “sita” mencakup, sedapat mungkin, penyitaan, berarti pengambilan dari kekayaan secara permanen berdasar dari adanya ketentuan terhadap pengadilan atau kuasa lain.
Pasal 31 Konvensi Anti Korupsi 2003 mengatur tentang pembekuan, penyitaan yang terkandung dalam ayat-ayat yang menyatakan:
-
a. Negara pihak harus memahami ruang lingkup sistem hukum nasional mereka dan aksi tepat diperlukan untuk menyita aset tersebut:
-
• Hasil korupsi, atau aset yang nilainya sama dengan hasil kejahatan, sebagaimana ditentukan sesuai dengan Konvensi.
-
• Properti atau peralatan yang digunakan untuk kejahatan berdasarkan dari adanya penetapan terkait.6
-
b. Negara Peserta wajib mengambil langkah-langkah yang memungkinkan untuk menyidik atau mengambil tiap property obyek yang disebutkan dalam ayat (1) Pasal ini untuk disita.
-
c. Negara-negara peserta wajib mengatur pengaturan untuk aset yang dibekukan, disita atau disita sesuai dengan ayat (1) sesuai dengan hukum domestik mereka dan tindakan yang diambil oleh legislatif mereka dan tindakan lain yang mungkin perlu diambil (2).
-
d. Jika hasil kejahatan sebaliknya seluruhnya atau sebagian diubah atau diubah menjadi kekayaan, properti itu dapat dikenakan perilaku yang dijelaskan dalam pasal ini sebagai pengganti kejahatan.
-
e. Jika hasil dari tindak pidana korupsi digabungkan dengan kekayaan yang diterima dari aset yang berbeda, dengan tidak mengurangi kekuatan yang terkait dengan pembekuan atau penyitaan, produk dapat disita dengan biaya yang tidak melebihi biaya yang dibayangkan.
-
f. Penghasilan yang berbeda yang pasti didapat dari hal berkaitan sumber hasil oleh tindak pidana korupesi, dari barang-barang yang dapat diubah atau hasil perbuatan melawan hukum yang telah diubah, atau dari barang-barang yang dicampur dengan hasil tindak pidana korupsi, juga merupakan keadaan terhadap tindak pidana tersebut. pada tahap ini dengan cara yang sama dan dengan cara yang sama dengan jumlah hasil kejahatan yang akan dicurahkan.
-
g. Maksud dari Pasal 55 Konvensi ini adalah bahwa setiap Negara pihak pada Persetujuan berkewajiban untuk memberikan wewenang kepada pengadilannya atau pejabat berwenang lainnya untuk memerintahkan bank-bank, lembaga-lembaga keuangan untuk menyita atau menyediakan dokumen-dokumen perbankan, keuangan atau komersial. Sebuah perayaan negara juga tidak ketinggalan kesempatan untuk mewajibkan para pelanggar menunjukkan tempat asal yang sah dari hasil dugaan tindak pidana korupsi atau barang sitaan lainnya, sejumlah itu sesuai dengan standar peraturan daerahnya dan karakter negaranya. penyitaan. Keadilan dan cara peradilan.
-
h. Dalam ketentuan ini tidak boleh merugikan pihak ketiga atau pihak yang memiliki perlakuan yang baik.
-
i. Tidak ada sesuatu pun dalam teks ini yang mempengaruhi ajaran bahwa perbuatan yang dituduhkan itu dirumuskan dan dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di seluruh negeri.
Marwan Efendy mengemukakan bahwa ada beberapa ketentuan pidana di Indonesia yang mengatur mengenai pengembalian aset kekayaan dan alat-alat tindak pidana, namun dari ketentuan tersebut baru setelah pelaku terbukti dan diyakinkan secara sah menurut hukum apabila individu tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi.7 Pengaturan pengambilan aset hasil tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menggunakan mekanisme pidana dan juga mekanisme dari perdata. Proses pidana penyitaan aset hasil jika terdakwa terbukti telah melakukan tidak pidana penggelapan. Harta yang disita juga harus harta hasil praktik korupsi. Untuk membuktikannya, tentu saja, dibutuhkan jaksa yang memiliki pengetahuan dan kesabaran yang cukup untuk membuktikan bahwa segala aset yang diambil oleh pemerintah yakni hasil dari
praktik tindak pidana korupsi.8 Hal ini karena penyitaan harta benda dari penggelapan sangat tergantung pada bukti-bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan. Penuntut umum dapat menunjukkan pelanggaran terdakwa atau barang yang akan disita oleh pemerintah merupakan barang yang diduga menjadi hasil dari praktik korupsi. Pada saat yang sama seperti melalui arah sipil. Dapat dilihat melalui Pasal 31 PTPK yang mengatur penyidik menemukan serta meyakini bahwa keliru satu atau lebih faktor tindak pidana korupsi tak relatif membuktikan, namun sebenarnya telah menimbulkan kerugian moneter secara nasional, penyidik sekarang menyerahkan laporan kasus dengan menyelidiki tindakan perdata dengan jaksa negara atau rujukan ke lembaga korban.9
Sementara itu dalam pasal 31 Ayat (2) yang mengatur alasan untuk mengajukan gugatan perdata terhadap kasus korupsi yang dibebaskan. Terpidana orang-orang lain yang tidak dihukum dapat membawa proses perdata oleh jaksa atas nama negara.10 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, korupsi melibatkan banyak orang berpendidikan tinggi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap masyarakat, bahkan para politisi yang bekerja keras untuk menyamarkan, menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti dan hasil kejahatan korupsi, dan tidak sedikit pula ada yang melarikan diri dan berhasil menyimpan hasil kejahatannya atau hasl dari tindak pidana korupsi di luar negeri. Ada beberapa kasus di mana penjahat melarikan diri, membuat proses pemeriksaan menjadi sulit, termasuk mengumpulkan bukti, dalam upaya penegakan hukum. Saat ini upaya pengembalian aset dari hasil korupsi masih belum mumpuni dalam memberantas kegiatan korupsi itu. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu korupsi itu terjadi secara sistemik, dan terdapat penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power).
-
3.2 Pengaturan ideal pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berbasis keadilan di masa mendatang?
Pemerintah Indonesia tentunya memiliki sarana untuk memperbaiki alat kejahatan yang terkait dengan pemindahan, penghentian, dan pengembalian barang karena tindak pidana korupsi, yang telah diselesaikan melalui pengesahan UNCAC 2003 dengan peraturan nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan Konferensi Lokasi Internasional Bersatu dalam Penentangan Korupsi 2003. Dalam adanya hal ratifikasi, ide-ide yang berguna dikemukakan pada pencegahan, pemberantasan dan pengumpulan aset yang timbul dari tindak pidana korupsi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c, yang menyatakan bahwa Negara-negara peserta mempertimbangkan untuk membawa
menegasi prilaku yang telah sekiranya itu sebagai tindakan memperoleh aset dari hasil tindak pidana korupsi tanpa sanksi pidana atau perampasan aset NCB. Sampai saat ini pemerintah masih mengusahakan untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf C UNCAC 2003, dalam upaya ini pemerintah telah merancang Naskah Akademik RUU dari tahum 2012, sehingga pada saat ini telah menciptakan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi.11
M. Adi Toegarisman menyatakan, berkaitan pengembalian barang karena tindak pidana korupsi di masa depan tidak bisa lepas dari pemulihan kerugian moneter negara, yang dapat dilakukan dalam bentuk penyetaraan dari faktor keuangan negara. Kerugian dengan yang disebutkan dalam UNCAC 2003 yang tidak selalu merupakan kerugian ekonomi negara, namun perusakan harta benda kerajaan, dan ruang lingkup pemulihan aset ditingkatkan. Dari pemberantasan korupsi kala itu, yang paling sederhana mengejar kerugian dari negara, hingga pembangunan selanjutnya menuju tujuan untuk menanggulangi kerugian ekonomi rakyat.12 Dalam usaha untuk menjalankan perampasan harta kerugian Negara hal itu tidak terhitung ketika korupsi itu terjadi, namun rancangan dimasa mendatang yang berguna untuk mengetahui kerugian Negara dari sisi lainnya.
Pengembalian aset tersebut dilihat dapat menjadi upaya preventif dalam tindak pidana korupsi karena:
-
1. Aset yang diambil oleh penjahat yang merampas sumber daya untuk melakukan kejahatan lain.
-
2. Dengan melihat langsung apa motif kriminal para koruptor, maka kesempatan untuk menikmati hasil dari korupsi itu dapat diminimalisir.
-
3. Aset-aset yang dikembalikan tersebut menjadi makna yang kuat kepada selurut masyarakat agar mereka mengerti bahwa para pelaku kejahatan tidak memiliki tempat untuk menghilangkan hasil kejahatannya, sekaligus juga mengumumkan bahwa tidak ada yang dapat menikmati hasil kejahatannya. Korupsi di bawah prinsip "kejahatan tidak membayar". Hal tersebut dapat mengurangi antusias masyarakat dalam melakukan tindak pidana terhadap calon pelaku, terkhusus dalam tindak pidana korupsi.
Menurut Febby Mutiara Nelson konsep dari RUU Pengambilan Aset yang ada pada tahun 2008 dan tahun 2015, perampasan aset dilakukan melalui proses peradilan pidana berupa tuntutan penuntut umumdengan menggunakan hukum acara pidana. Adapun konsep tahun 2008 perampasan aset dilakukan melalui
gugatan perdata oleh jaksa pengacara negara melalui tuntutan pidana.13 Dari pengertian pengembalian harta kekayaan dapat dilakukan secara pidana (perorangan), yaitu penyitaan harta benda akibat korupsi dengan cara curang, dapat dilakukan melalui perdataan bahwa penuntut umum harus mampu menunjukkan apabila terdakwa tersebut terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi. Barang-barang yang disita juga harus merupakan barang-barang yang memiliki hubungan dengan praktik korupsi. Demikian pula dengan civil forfeiture (in rem/civil forfeiture), yang diatur dalam Pasal 31 peraturan PTPK, yang pada pokoknya menyatakan bahwa apabila penyidik mengungkapkan dan telah meyakini bahwa terdapat salah satu atau lebih faktor terjadinya tindak pidana korupsi, maka harus memiliki bukti yang cukup dan tampaknya telah memicu kerugian finansial bangsa, serta penyidik harus segera menyerahkan berkas perkara karena penelitian ke tempat kerja kejaksaan untuk melaporkan gugatan perdata atau kepada organisasi penggugat untuk melaporkan gugatan. Tetapi sesuai dengan Pasal 31 ayat (2), memberikan motif untuk melaporkan gugatan perdata yang bertentangan dengan tindak pidana korupsi ini dibebaskan.
Dengan menyetujui RUU Pengambilan Aset, maka RUU tersebut dapat mengisi kekosongan hukum dalam kasus-kasus yang tidak dapat diadili karena berbagai alasan, yaitu kasus-kasus di mana terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen atau kekurangan bukti, mereka tidak dapat dituntut. Maksud dari penyitaan tersebut bukan terhadap orang pribadi, tetapi terhadap harta benda itu sendiri, dan perampasan perdata itu berbeda dengan gugatan perdata dalam perkara pidana, sebagaimana yang telah diaturpada UU Kejaksaan Indonesia. Dapat bertindak atas nama pemerintah di bidang perdata dan tata negara sebagai Kejaksaan Negeri (JPN), baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran Kejaksaan Negeri dalam kasus pidana adalah memperlakukan aset sebagai objek sengketa dan menyerahkan prosesnya kepada pemilik aset atau pemilik aset, tidak seperti perampasan aset berdasarkan Undang-Undang Pelanggaran Perampasan Aset, di mana prosesnya dilakukan dengan cara diberikan kepada aset alih-alih pemilik aset. Undang-undang PTPK dan TPPPU yang mengatur tentang pengembalian aset belum sempurna, sehingga pengaturan tersebut masih belum optimal untuk pemulihan aset yang efisien dan efektif. Pemerintah Indonesia wajib mematuhi standar internasional yang tertuang dalam UNCAC 2003. Dalam UNCAC tersebut terdapat prosedur gugatan perkara pengembalian aset menurut hasil kejahatan/in rem, jika hasil kejahatan tersebut digabungkan dengan in personam maka dapat terwujudnya jalan yang besar untuk mengambil aset dari hasil korupsi, serta aset lainnya yang menjadi alat sebagai sarana untuk melakukan kegiatan korupsi yang dapat meruginakan negara.14
Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria mengemukakan bahwa makna dari rekonstruksi/memperbaharui itu dapat dipahami dengan pembaruan atau reaktualisasi.15 Aspek dan dimensi in memiliki tiga kandungan makna, yaitu:
-
a. Memperbarui dengan sesuatu hal yang sudah pernah ada.
-
b. Memperbarui sesuatu yang sudah kadaluwarsa.
c.Memperbarui dengan bentuk yang baru/ belum pernah sama sekali.
Model ideal rekonstruksi regulasi terkait keberadaan Undang-Undang Tipikor yaitu dengan memperbarui pengaturan yang sudah ada sebelumnya sehingga selaras dengan KAK 2003 /UNCAC 2003. Pengembalian aset dalam jalur perdata menurut UU PTPK rbanding terbalik dengan perampasan aset secara in rem, proses peradilan perdata dalam UU PTPK masih menganut hukum acara perdata biasa, dan dalam proses persidangan akan berlaku bentuk dan bahan yang biasa. Penuntut hukum perdata juga harus menunjukkan bukti kerugian negara. Perdata dalam undang-undang PTPK hanya dapat dilakukan setelah identitas tersangka, terdakwa, dan penjahat ditentukan, dan aset yang dihasilkan oleh tindak pidana korupsi memiliki sifat yang dapat mengalir dengan cepat diidentifikasi atau bahkan sebelum pelaku ditemukan.16 Saat ini pemberantasan tidak pidana korupsi hanya menjadi salah satu cara untuk mengejar kerugian negara, dan ke depan akan dibuat rencana kerugian ekonomi rakyat; upaya memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan nasional tidak boleh diperhitungkan ketika korupsi terjadi, dan formulasi ke depan akan mempertimbangkan kerugian keuangan nasional. dalam hal pengembangan nilai/nilai. Maroni mengatakan ini dicapai dengan mengubah undang-undang PTPK dan mengesahkan Undang-Undang Pengembalian Aset.17
Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Rancangan peraturan tentang Pengembalian Aset Untuk Tindak Pidana, perampasan barang dapat dilakukan terhadap orang yang barangnya diterima, yang diduga berasal dari perbuatan penjahat, hartanya tidak seimbang. dengan penyerahan tambahan barang-barang dan tidak dapat menampilkan sekitar yayasan akuisisi secara hukum. Harta yang tidak seimbang adalah harta yang dapat diperoleh dengan cara curang dengan menghitung seluruh harta kekayaan dikurangi dengan penghasilan yang didapat dengan sah. Selayang pandang, ketentuan dalam Undang-undang Pidana Penyitaan terhadap tagihan harta benda memberikan batasan yang sangat besar bahwa barang-barang yang berasal dari perbuatan bajingan atau yang diduga diterima dari perbuatan bajingan dapat menjadi perhatian penyitaan, namun Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Pidana Penyitaan barang-barang. RUU menawarkan batasan ketat pada
barang-barang yang dapat disita. disita adalah barang-barang karena perbuatan penjahat.
Pengembalian aset hasil perilaku dari korupisi diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yang sekarang menjadi undang-undang yang berlaku, tetapi menjadi bagian penting dari undang-undangnya ketika disahkan melalui Konferensi Indonesia Konvensi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 2003 berdasarkan sepenuhnya pada Peraturan No. 7 Tahun 2006, maka dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam konvensi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini menjadi perhatian yang krusial bagi dialog sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 2 huruf g, khususnya “Perampasan” yang sampai saat ini dapat dilakukan penyitaan, pencabutan cara, kekayaan untuk selama-lamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau kuasa lain yang berwenang. Menurut ketentuan pengambilan aset hasil tindak pidana korupsi di masa mendatang telah ditemukan melalui penerapan konsep Belanda pemulihan aset setelah gagasan pengembalian aset terhadap pendapatan atau hasil yang diperoleh dari hasil korupsi. Tindak pidana korupsi itu juga memberlakukan gagasan perampasan aset secara perdata tanpa adanya sanksi pidana sebelumnya pada orang yang melakukan tindakan terkait kejahatan dari korupsi itu sendiri sebagaimana telah dikelola dalam Pasal 1 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Karena diperbaharuinya hukum Undang-Undang No 20 Tahun 2001, oleh karena itu harus mengutip makna yang terkandung dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 ke dalam RUU Pengembalian Aset. Sangat perlu dikembangkan rancangan undang-undang khususnya yang mengatur mengenai pengembalian aset pelaku dari hasil korupsi. Pemerintah diharapkan segera mengesahkan RUU Pengembalian Aset sebagai Undang-Undang yang efektif untuk pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Effendy, Marwan. "Kapita Selekta Hukum Pidana" Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi. Referensi, Cetakan Pertama, Jakarta, (2012).
Nelson, Febby Mutiara. Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement Dalam Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, (2019).
Sianturi, Petrus Richard. "Pembalikan Beban Pembuktian Sebagai Primum Remedium Dalam Upaya Pengembalian Aset Negara Pada Kasus Tindak Pidana Korupsi." Simbur Cahaya 27, no. 1 (2020).
Jurnal
Elda, Edita. "Arah Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Kajian Pasca Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi." Lex LATA 1, no. 2 (2019).
Megawati, Megawati, Madiasa Ablisar, Marlina Marlina, and Suhaidi Suhaidi. "Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi." USU Law Journal 2, no. 3 (2014).
Djufri, Darmadi, Derry Angling Kesuma, and Kinaria Afriani. "Model
Pengembalian Aset (Aset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi." Disiplin: Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (2020).
Mahmud, Ade. "Problematika Aset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Yudisial 11, no. 3 (2018).
Sibuea, Deypend Tommy, R. B. Sularto, and Budhi Wisaksono. "Kebijakan Hukum Pidana dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia." Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016).
Situmeang, Ayu Puspita Sari. "Pengembalian Aset Negara Yang Dicuri Sebagai Hasil Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia." PhD diss., UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA, (2020).
Hiariej, Eddy OS. "Pengembalian Aset Kejahatan." Jurnal Opinio Juris 13 (2013).
Sagita, Afrianto. "Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Terkait Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara." Jurnal Hukum Respublica 17, no. 2 (2018).
Candra, Arfin Deddy. "Kendala Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Transnasional." Jurnal Bppk 11, no. 1 (2018).
Miladmahesi, Rosita. "Dinamika Baru Dalam Pemulihan Aset Akibat Korupsi di Indonesia." Journal of Judicial Review 22, no. 1 (2020).
Prakarsa, Aliyth, and Rena Yulia. "Model Pengembalian Aset (Aset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum Prioris 6, no. 1 (2017).
Sosiawan, Ulang Mangun. "Penanganan Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Dan Penerapan Konvensi Pbb Anti Korupsi Di Indonesia (Handling of Return of State Assets from Criminal Action of Corruption and Implementation of Anti-Corruption UN Convention on Indonesia)." Jurnal Penelitian Hukum De Jure20, no. 4 (2020).
Syafiq, Ahmad. "Rekonstruksi Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Islam (Perspektif Filsafat Hukum)." Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 2 (2014).
Jamillah, Jamillah. "Pertanggungjawaban Hukum dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi di Indonesia." Jurnal Mercatoria 8, no. 2 (2015).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Unites Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 4 Tahun 2022, hlm. 879 - 891
Discussion and feedback