PENGATURAN HUKUM TERKAIT PERSELISIHAN JUAL BELI PULAU LANTIGIANG

Kadek Warakania Ardhanareswari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: kadekwarakania@gmail.com

I Ketut Sudiarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: sudiartafl@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i06.p07

ABSTRAK

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan pertama, mengetahui pengaturan hukum nasional khususnya pada hal ini adalah hukum agraria yang berkaitan dengan kegiatan jual beli pulau-pulau kecil yang dilakukan beberapa masyarakat di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui keabsahan terhadap kegiatan jual-beli Pulau Lantigiang yang terjadi di awal tahun 2021. Tulisan ini mempergunakan metode penelitian normatif yang dimana metode ini adalah metode yang bertujuan untuk menemukan adanya prinsip, aturan, dan doktrin hukum dalam membahas permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Hasil dari penelitian ini menunjukan kegiatan jual beli pulau kecil di wilayah Indonesia dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat yang salah satunya bukti kepemilikan dari pulau jelas serta kegiatan jual belinya dapat dikatakan sah. Pada kasus jual-beli Pulau Lantigiang yang dilakukan oleh Asdianti (AS) dengan Syamsul Alam (SA) dikatakan tidak memenuhi asas terang dan tunai sehingga dapat dikatakan kegiatan jual beli ini tidak sah. Selain itu bukti surat kepemilikan yang dimiliki oleh “SA” bukanlah sertifikat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang melainkan berupa selembar kertas dengan materai 6000 yang ditandatangani oleh kepala desa setempat terdahulu. Kegiatan jual-beli pulau yang dilakukan secara tidak sah akan menimbulkan kerugian bagi negara.

Kata Kunci: Jual-Beli Pulau, Hak Tanah, Lantigiang

ABSTRACT

This study was conducted with the point of: first, knowing the national legal arrangements, especially in this case the Agrarian Law related to the buying and selling activities of small islands carried out by several people in Indonesia. Second, to find out the validity of the buying and selling activities on Lantigiang Island that occurred in early 2021. This study uses a normative juridical research method where this kind of research method is a research that aims to discover the existence of legal rules, principles, and doctrines in discussing legal issues being faced. The out come of this research exhibit that the buying and selling activities of small islands in Indonesia can be carried out by fulfilling several conditions, one of which is proof of ownership of the island and the sale and purchase activities can be legal. In the case of buying and selling on Lantigiang Island, which was carried out by the Asdianti (AS) with Syamsul Alam (SA), it was said that it did not meet the principle of light and cash, so it could be said that this buying and selling activity was not valid. In addition, the proof of ownership letter owned by SA is not a land ownership certificate issued by the competent authority but in the format of paper with 6000 stamp duty signed by the previous local village head. Island buying and selling activities that are carried out illegally will cause losses to the state.

Keywords: Trading Island, Land Rights, Lantigiang

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia, salah satu negara yang mempunyai banyak pulau dan luas wilayah yang cukup besar. Tercatat Indonesia mempunyai pulau sampai saat ini sebanyak 17.504 pulau serta garis pantai dengan panjang lebih dari 95.161 km.1 Banyaknya jumlah pulau kecil yang terpencar di semua bagian wilayah Indonesia menyebabkan masih banyaknya pulau kecil yang belum diberikan nama. Disamping itu baru sebanyak 4.981 pulau yang didaftarkan kepada organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).2 Keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah negara kepulauan sangat tergantung pada kemampuan menjaga batas-batas wilayah kedaulatan, baik itu di darat ataupun di wilayah laut, serta maupun di udara. Indonesia memiliki batas-batas laut yang mencakup Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Zona Perikanan khusus atau yang dalam Bahasa inggris disebut dengan Spesial Fisheries Zone, dan Batas Zona Tambahan (BZT).3

Pulau-pulau kecil dengan keindahan alam yang ada di wilayah Indonesia biasanya tidak terdapat penduduk dan terletak jauh dari pusat kota ataupun wilayah administratif yang menyebabkan pulau-pulau tersebut jauh dari pantauan dan jangkauan pemerintah. Namun biasanya kebanyakan dari keberadaan pulau-pulau kecil tersebut terletak pada wilayah geografis yang sangat strategis, dimana pulau-pulau ini adalah batas wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga. Mempunyai panorama yang indah serta memiliki potensi pariwisata yang besar, tentu keberadaan dari banyaknya pulau kecil ini sepatutnya diberikan pengawasan serta perhatian yang lebih supaya tidak menyebabkan timbulnya permasalahan yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia. Mempunyai jumlah pulau kecil yang sangat banyak menjadikan hal ini sebagai salah satu bentuk aset yang penting dan patut dijaga dalam upaya keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri. Terlepas dari letaknya yang strategis, banyak dari pulau-pulau kecil ini yang memiliki aset alam yang melimpah serta potensi kekayaan alam yang dapat digunakan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat.

Banyaknya jumlah pulau yang tersebar di Indonesia dengan daya tarik pemandangan yang indah dan juga potensi pariwisata yang besar membuat pulau-pulau kecil tersebut rentan menjadi sasaran di dalam kegiatan jual beli. Kegiatan jual beli pulau ini biasanya dilakukan sepihak oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab, kepada investor. Kegiatan jual beli pulau-pulau kecil kemungkinan besar dapat menimbulkan potensi yang dapat merugikan negara. Biasanya pulau-pulau kecil yang dijual kepada tangan investor akan dijadikan obyek pariwisata seperti pembangunan hotel. Salah satu dampak dari kegiatan jual beli pulau kecil tersebut adalah dibatasinya kegiatan dan akses masyarakat setempat untuk menjangkau pulau-pulau kecil tersebut. Selain itu dari kegiatan-kegiatan pariwisata yang ditimbulkan, beberapa pulau-pulau kecil saat ini sering mengalami kerusakan.

Kerusakan yang timbul pada pulau-pulau ini diakibatkan tidak hanya oleh bencana alam namun juga diakibatkan oleh tindakan manusia seperti perusakan ekosistem yang dikarenakan adanya pencemaran maupun kegiatan-kegiatan lain seperti overfishing.4 Kerusakan pulau secara fisik yang ditimbulkan dari tindakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab (kesengajaan manusia) secara tidak langsung dapat membahayakan keutuhan wilayah negara.5 Merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2020 jo. UU No. 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mendefinisikan pulau kecil sebagai sebuah pulau yang memiliki luas wilayah lebih sedikit ataupun setara dengan 2.000 km2. Permasalahan dan perdebatan mengenai praktik jual beli pulau ini sebenarnya telah hidup sejak lama yang dimana salah satu kasus yang membuat publik ramai adalah seperti kasus jual-beli pulau melalui situs website yang dimana di dalamnya memperdagangkan pulau-pulau kecil yang tersebar di Indonesia. Belum lama ini muncul kembali kasus jual-beli pulau yang membuat ramai Indonesia yakni kasus yang baru-baru ini terjadi yakni di bulan Maret tahun 2021 yang menyasar Pulau Lantigiang sebagai objek jual-beli. Pulau Lantigiang merupakan satu dari banyaknya pulau yang tidak berpenduduk yang terletak di dalam wilayah Taman Nasional Taka Bonerate. Pada awal tahun 2021 dikabarkan Pulau Lantigiang telah terjual dengan harga 900 juta rupiah.6 Penjualan Pulau Lantigiang ini menimbulkan keributan di masyarakat. Salah satu alasan yang menyebabkan perdebatan boleh atau tidaknya Pulau Lantigiang diperjual-belikan adalah karena letak pulau tersebut yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate.

Taman Nasional Taka Bonarate merupakan kawasan taman laut nasional yang memiliki gugusan terumbu karang berbentuk cincin dan memiliki pulau atau serangkaian pulau (atol) dengan wilayah yang sangat luas. Di dalam kasus jual-beli Pulau Lantigiang ini bukti kepemilikan Pulau Lantigiang hanya berdasarkan surat bermaterai 6000 yang hanya ditandatangani oleh kepala dusun serta kepala desa yang lama dengan 2 orang saksi. Seperti yang diketahui bidang-bidang tanah yang berada pada suatu daerah termasuk pulau-pulau kecil yang berada di wilayah Indonesia tidak semata-mata langsung menjadi milik rakyat asli dari daerah atau wilayah tersebut. Melihat kasus yang baru saja terjadi ini yang melibatkan Pulau Lantigiang sebagai objeknya serta banyaknya kasus-kasus penjualan pulau-pulau kecil yang terjadi diperlukan langkah yang tegas bagi pemerintah untuk melakukan pengelolaan pulau-pulau tersebut.

Melihat keadaan tersebut menyebabkan tulisan ini menganalisis lebih dalam mengenai pengaturan yuridis terkait kegiatan jual beli pulau kecil di wilayah Indonesia serta keabsahan dari kegiatan jual beli Pulau Lantigiang yang baru saja terjadi di awal tahun 2021. Sebelumnya sudah terdapat penelitian yang serupa dengan penelitian ini dengan judul “Perjanjian Jual-Beli Pulau-Pulau Kecil Kepada Warga Negara Asing Dalam Perspektif Hukum Agraria di Indonesia” yang ditulis oleh

Adelyia Hiqmatul Maula, Dinamika 27, No. 7 (2021). Namun terdapat beberapa perbedaan dalam hal substansi tulisan ini dengan tulisan yang sebelumnya. Dalam tulisan sebelumnya lebih memfokuskan berbicara tentang akibat hukum dari perjanjian kegiatan menjual beli pulau kecil di Indonesia serta peran dari pemerintah daerah dalam hal upaya menjaga keberadaan pulau kecil tersebut. Sementara dalam tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada keabsahan fenomena jual beli pulau kecil khususnya Pulau Lantigiang, dimana dasar kepemilikan pulaunya hanya berdasarkan pada surat bermaterai 6000 serta keberadaan pulau yang ada pada sebuah wilayah taman nasional.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang yang ada, permasalahan yang dapat dirangkum adalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum nasional terkait kegiatan jual-beli pulau kecil di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah keabsahan kegiatan jual-beli Pulau Lantigiang Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Taka Bonaparte?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

  • I .Untuk mengetahui pengaturan hukum nasional terkait kegiatan jual-beli pulau kecil di wilayah Indonesia.

  • II .Untuk mengetahui keabsahan kegiatan jual-beli Pulau Lantigiang Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan yang berada dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonaparte.

  • II.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan jenis metode pendekatan hukum yuridis normatif yang dimana dikarenakan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang merupakan kaidah atau norma dasar serta peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal keabsahan kepemilikan pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia dan juga bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan salah satu jenis bahan hukum dimana mempunyai sifat autoratif yang memiliki arti memiliki otoritas. Sementara bahan hukum sekunder yang dipergunakan pada penulisan ini adalah buku teks dan juga jurnal-jurnal memuat tentang prinsip dasar dari ilmu hukum serta pandangan-pandangan klasik dari para sarjana.7 Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif bertujuan untuk menggali adanya aturan, prinsip, dan doktrin hukum dalam membahas permasalahan hukum yang dihadapi. Pendekatan normatif memandang hukum sebagai suatu susunan peraturan yang abstrak serta sebagai subyek yang berdiri sendiri lepas dari hubungannya dengan hal diluar peraturan tersebut.8 Metode penelitian yuridis normative ini berpatokan kepada studi-studi kepustakaan berupa bahan-bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Peraturan Hukum Nasional Terkait Kegiatan Jual Beli Pulau Kecil di Indonesia

Pada dasarnya kepemilikan pulau kecil di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (berikutnya akan disebut UUD NRI 1945) dikuasai oleh negara serta dipergunakan untuk kepentingan serta kemakmuran rakyat. Selain itu dalam hal pelaksanaan pembangunannya, pulau-pulau kecil menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten.9 Urusan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan menganut asas otonomi dan tugas pembantuan. 10 Pada dasarnya terdapat 4 (empat) pokok pikiran dalam penjelasan umum UUD NRI 1945 yang menjadi dasar legitimasi terhadap wewenang negara untuk dapat menguasai hak atas tanah yang nantinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Empat pokok pikiran tersebut antara lain adalah:11

  • a)    Ketuhanan Yang Maha Esa yang berdasar kemanusiaan yang adil beradab dalam kerangka NKRI;

  • b)    Atas dasar permusyawaratan rakyat, negara berdaulat;

  • c)    Terlaksananya keadilan sosial untuk rakyat Indonesia;

  • d)    Berdasarkan persatuan, melindungi bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia.

Berlandaskan UUD NRI 1945, kepemilikan dari semua pulau kecil di Indonesia adalah suatu hal yang dikuasai oleh negara sebagai organisasi penguasa. Hal ini dapat dilihat serta dibuktikan pada bunyi Pasal 33 ayat (3) dari UUD NRI 1945, dimana disitu diatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya yang untuk selanjutnya akan disingkat sebagai BARAKA, dikuasai oleh negara serta digunakan dan dimanfaatkan untuk seluruhnya kepentingan masyarakyat Indonesia. Dari substansi Pasal 33 ayat (3) inilah dapat disimpulkan bahwa semua pulau kecil yang ada di segenap wilayah Indonesia pada dasarnya berada dibawah kuasa negara. Namun hal ini tidak berarti menutup peluang adanya kepemilikan perorangan dari pulau-pulau kecil ini sebab sebuah pulau yang ingin dikuasai oleh pihak lain, baik itu oleh perorangan maupun oleh pihak swasta terlebih dahulu wajib mendapatkan izin dari pemerintah sendiri sehingga kepemilikan sebuah pulau tidak semata-mata dapat menjadi milik dari seseorang tanpa adanya izin dari pemerintah. Undang-Undang Pokok Agraria yang berikutnya disebut UUPA merupakan suatu bentuk bagian daripada implementasi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Pada penjelasan umum di dalam UUPA dikatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara merupakan sebuah organisasi kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk dapat mengurus dan menjalankan pemakaian, persediaan dan perawatannya; mengatur serta memutuskan hak-hak apa saja yang bisa seseorang miliki atas BARAKA; menetapkan relasi hukum antar orang serta berbagai tindakan hukum berkaitan serta berhubungan dengan BARAKA. Namun perlu diketahui terkait negara “menguasai” disini tidak sama artinya dengan negara “memiliki”. Negara menguasai ini memiliki pengertian bahwa disini negara diberikan wewenang sebagai sebuah organisasi kekuasaan untuk mengurus hak-hak apa saja

yang dapat dipunyai terkait dari BARAKA untuk kesejahteraan rakyat.12 Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep penguasaan oleh negara disini bukanlah penguasaan tanpa batas.13

Selain itu dalam hukum Agraria terdapat jenjang atau hierarki penguasaan hak atas tanah yang dimana diatur dalam UUPA. Hierarki penguasaan hak atas tanah ini memiliki 4 tingkatan yang dimana tersurat dalam Pasal 1, 2, 3, dan 4 UUPA. Empat tingkatan hak atas tanah tersebut antara lain hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak ulayat, dan yang terakhir adalah hak perorangan atau individu.14 Ditingkat pertama atau yang paling tinggi terdapat Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (2)) yang dimana Hak Bangsa di dalam UUPA ini memiliki sifat abadi. Sifat abadi disini memiliki arti bahwa sepanjang bangsa Indonesia masih ada, maka ikatan antara Indonesia dengan BARAKA termasuk kekayaan yang ada di dalamnya akan tetap ada. Hak bangsa ini merupakan hak yang didapatkan langsung dari karunia Tuhan Yang Maha Esa dan bukan diberikan oleh suatu organisasi. Di dalam hak bangsa terdapat unsur yang terbagi menjadi dua yakni unsur kepunyaan serta tugas dan kewenangan. Disamping adanya hak Bangsa juga terdapat hak negara yang berada di tingkatan kedua dalam hierarki penguasaan hak atas tanah menurut UUPA. Berbeda dengan hak bangsa, hak menguasai dari negara didapatkan dari kewenangan negara dalam menguasai agraria yang merupakan pelimpahan unsur tugas dan kewenangan dari hak bangsa.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 17 Tahun 2016 yang selanjutnya disingkat Permen No. 17/2016 mengenai Penataan Pertahanan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan penguasaan tanah atas pulau-pulau kecil adalah dengan memberikan hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Permen No. 17/2016 hak atas tanah ini pun tetap harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah:

  • a)    Dalam hal terkait otorisasi terhadap sebuah pulau kecil, maksimal sebanyak tujuh puluh persen bagian wilayah pulau atau selaras dengan perencanaan tata ruang bersama provinsi atau kabupaten atau kota serta rencana zonasi pulau kecil yang terkait.

  • b)    sisa wilayah dari penguasaan pulau kecil yakni minimal 30% (tiga puluh persen) akan dipegang oleh negara dan dimanfaatkan serta dipergunakan untuk menjamin ketersediaan wilayah lindung, wilayah publik ataupun untuk kepentingan masyarakat; dan

  • c)    30% (tiga puluh persen) dari luas pulau yang bersangkutan harus dialokasikan untuk kawasan lindung.

Penguasaan atas tanah secara empiris dapat dibagi menjadi dua yakni pertama, dimiliki masyarakat lokal dan yang kedua dikuasai oleh swasta.15 Dalam hal penguasaan tanah yang ada pada pulau kecil juga tidak diperbolehkan menghalangi akses masuk publik, dimana hal ini diatur juga di dalam Permen No. 17/2016.

Kepemilikan pulau kecil di Indonesia tentu berkaitan erat dengan keberadaan dari hak-hak atas tanah. Dalam hukum agraria terdapat 5 hak menguasai atas tanah.

Hak menguasai tanah yang dimaksud ialah hak individu, hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak masyarakat adat.16 Hak individu dapat dibagi lagi menjadi 2 yakni hak milik warga Indonesia dan hak atas tanah warga negara asing untuk tinggal atau yang sering disebut dengan hak pakai. Terkhusus untuk hak milik hanya bisa dipunyai oleh orang yang berstatus warga negara Indonesia, dan tidak boleh seorang warga negara asing (WNA). Perolehan hak atas tanah diiringi juga dengan proses pendaftaran tanah. Hak-hak menguasai tanah ini muncul dari hak menguasai oleh negara.

  • 3.2 Keabsahan Kegiatan Jual-Beli Pulau Lantigiang Kabupaten Selayar, Sulawesi

Selatan yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Taka Bonaparte

Pulau Lantigiang merupakan pulau tidak berpenghuni yang terletak di Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Pulau ini termasuk dalam Kawasan Taman Nasional Bonaparte. Pada kasus ini dikatakan bahwa Asdanti (AS) selaku pembeli dari Pulau Lantigiang membeli pulau ini senilai Rp 900 juta dengan uang muka yang sudah diserahkan sebesar Rp 10 juta.17 Sebelumnya kepemilikan Pulau Lantigiang yang di klaim oleh Syamsul Alam (SA) sebagai penjual pulau hanya dibuktikan dengan selembar kertas bermaterai 6000 yang ditandatangani oleh kepala desa yang terdahulu.

Suatu kegiatan dapat dilihat sebagai sebuah perjanjian yang absah jika memenuhi empat komponen yakni terdapat kesepakatan diantara orang-orang yang mengikatkan dirinya, pihak yang bersangkutan haruslah cakap hukum, harus terdapat suatu persoalan utama, serta perjanjian itu tidak boleh menimbulkan suatu causa yang terlarang (causa halal). Dalam hal peralihan hak kepemilikan tanah harus menghiraukan asas terang dan tunai sebagai syaratnya.18 Kata terang dalam asas terang dan tunai memiliki arti bahwa kegiatan jual-beli tersebut terjadi dihadapan kepala desa (tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi) yang dimana berperan sebagai saksi sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan jual beli tersebut dimana kegiatan ini tidak melanggar hukum yang ada. Kegiatan jual-beli pulau-pulau kecil di Indonesia tentu juga harus memenuhi asas terang sehingga pembeli mendapatkan pengakuan sebagai tuan tanah yang baru dan sah serta memperoleh proteksi hukum apabila nantinya muncul gugatan.19 Sementara itu kata tunai disini memiliki arti bahwa harga tanah yang dibayarkan haruslah dibayar keseluruhan. Sehingga dapat dikatakan kegiatan jual-beli tanah yang dalam hal ini pulau-pulau kecil penyerahan hak serta pembayarannya dilakukan disaat yang bersamaan. Disamping asas terang dan tunai tersebut, kegiatan jual-beli pulau tentu harus memiliki sertifikat hak atas tanah yang jelas kebenarannya. Untuk memperoleh sertifikat kepemilikan tanah tentu wajib lebih dahulu dilakukan pendaftaran tanah. Sertifikat disini merupakan surat sebagai tanda bukti hak untuk hak atas tanah maupun jenis hak-hak yang lainnya seperti hak pengelolaan, maupun hak

tanggungan. Pemberian sertifikat ini diberikan oleh kantor pertanahan, kantor wilayah badan pertanahan nasional, serta kepala badan pertanahan nasional.

Dalam kasus Pulau Lantigiang ini, pulau berada pada kawasan Taman Nasional Bonaparte. Taman nasional Bonaparte merupakan salah satu taman wisata alam yang termasuk ke dalam wilayah konservasi. Terhadap tanah negara yang kasusnya memiliki status berada pada wilayah hutan konservasi sepatutnya tidak dapat dikeluarkan sertifikat hak atas tanah.20 Kegiatan jual-beli atas tanah yang memiliki sertifikat hak milik yang dimana sebenarnya tanah tersebut tidak berhak disertifikatkan maka seharusnya kegiatan jual-beli tersebut tidak mengikat secara hukum.21 Sebuah objek yang berada di wilayah konservasi hanya dapat dibebaskan jika dimanfaatkan untuk kepentingan umum, sebagai contoh bidang-bidang tanah yang letaknya di dalam wilayah konservasi dapat dibebaskan untuk pembangunan jalan tol (kepentingan umum). Disamping itu pada kasus ini kegiatan jual-beli yang dilakukan oleh AS dan SA tidak memenuhi kriteria dari asas terang dan tunai dikarenakan dalam hal pengalihak hak serta pembayarannya tidak dilakukan secara bersamaan yang dapat dilihat dari pembayaran dari kegiatan jual-beli tersebut tidak dilakukan secara keseluruhan yang dalam hal ini AS selaku pembeli baru membayar sebesar Rp 10 juta sebagai uang muka pembelian Pulau Lantigiang. Sertifikat kepemilikan Pulau Lantigiang yang dimiliki SA selaku penjual pulau juga tidak memiliki kekuatan hukum dimana sertifikat kepemilikan yakni hak atas tanah haruslah diberikan oleh Kantor Pertanahan ataupaun Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Sehingga kegiatan jual-beli Pulau Lantigiang ini dapat dikatakan tidak sah.

  • IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Penguasaan atas pulau-pulau kecil di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan. Namun perlu diketahui bahwa negara “menguasai” bukan berarti negara “memiliki” melainkan disini negara diberikan wewenang sebagai sebuah organisasi kekuasaan untuk mengatur hak-hak yang bisa dimiliki atas bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa untuk kemakmuran rakyat. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep penguasaan oleh negara disini bukanlah penguasaan tanpa batas. Dalam hukum agraria terdapat 5 hak menguasai atas tanah. Hak tersebut ialah hak individu, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, serta hak masyarakat adat. Hak-hak ini muncul bersumber dari hak menguasai oleh negara. Walaupaun kegiatan jual beli pulau diperbolehkan namun keabsahan kegiatan jual beli Pulau Lantigiang dianggap tidak sah karena Pulau Lantigiang berada di dalam kawasan konservasi yang dimana terhadap tanah negara yang kasusnya memiliki status berada pada wilayah konservasi seharusnya tidak bisa melakukan penerbitan sertifikat hak atas tanah. Selain itu kegiatan jual-beli yang dilakukan oleh AS dan SA tidak memenuhi kriteria dari asas terang dan tunai dikarenakan dalam hal pengalihak hak serta pembayarannya tidak dilakukan secara bersamaan yang dapat dilihat dari pembayaran dari kegiatan jual-beli tersebut tidak dilakukan secara keseluruhan yang dalam hal ini AS selaku pembeli baru membayar sebesar Rp 10 juta sebagai uang muka pembelian Pulau Lantigiang. Bukti kepemilikan pulau yang dimiliki oleh SA juga hanya berupa kertas bermaterai

600 yang ditandatangani kepala desa terdahulu dan bukan merupakan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh salah satu pihak yang diantara kantor pertanahan ataupaun kantor wilayah badan pertanahan nasional. Sehingga dapat disimulkan bahwa kegiatan jual-beli Pulau Lantigiang tersebut tidaklah sah dan tidak mengikat secara hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Prenamedia Group, 2019).

Amal, Bakhrul. Pengantar Hukum Tanah Nasional. (Yogyakarta: Thafa Media, 2017).

Yusa, I Gede, dkk. Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI 1945. (Malang: Setara Press, 2016).

Jurnal

Taufiqurrahman Syahuri dan Euodia Octavia Sitompul, Analisis Yuridis Pengelolaan Batas Wilayah Laut dan Pesisir berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Esensi Hukum 2. No. 2 (2020).

Maula, Adelya Hiqmatul; Isnaeni, Diyan; Ayu, Isdiana Kusuma. Perjanjian Jual-Beli Pulau-Pulau Kecil Kepada Warga Negara Asing Dalam Perspektif Hukum Agraria di Indonesia. Dinamika 27. No. 7 (2021).

Hasibuhan, Risma Laili. Tinjauan Hukum tentang Penjarahan Pulau Terluar Indonesia. Jurnal Warta, No. 56 (2018).

Kusumo, Ayub Torry Satriyo. Optimalisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-Pulau Terluar dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia. Dinamika Hukum 10. No. 3 (2010).

Theodora, Grace. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Lex Administratum I, No. 2 (2013).

Sudirman Mechsan, Status Kepemilikan Tanah Pada Kawasan Pantai di Pesisir Kota Bandar Lampung, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2012).

Andari, Dwi Wulan Titik, dkk. Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Pulau-Pulau Kecil di Propinsi Sulawesi Selatan. STPN (2013).

Basri, H dan Z., Yahya A. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam Perspektif Hukum Agraria dan Pulau-Pulau Kecil. Pandecta 7, No. 2 (2012).

Sutaryono. Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pulau-Pulau Kecil. Seminar Nasional Peran Geospasial dalam Membingkai NKRI (2016).

Ishimora, Irena Lucy; Sujadi, Suparjo; Koeswarni, Enny. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah Pada Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 147/PDT.G/2017/PN.JAP). Notary Indonesian 2, No. 3 (2020).

Gustina, Amelya. Kepemilikan Pulau-Pulau Kecil oleh Orang Asing dan Kedaulatan Maritim di Indonesia: Antara Regulasi dan Implikasi. Jurnal Pembangunan Daerah 5, No. 1 (2014).

Tambunan, Ezra, dkk. Implikasi Penafsiran Hak Menguasai Negara oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Politik Hukum Agraria pada Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Law Review XIX. No. 2 (2019).

Internet

Fauzan. 2021. Kronologi Penjualan Pulau Lantigiang yang Diklaim Warisan Nenek Moyang                Si                Penjual,                URL:

https://www.liputan6.com/regional/read/4472541/kronologi-penjualan-pulau-lantigiang-yang-diklaim-warisan-nenek-moyang-si-penjual, diakses pada 9 Oktober 2021.

Darmoko, Eko. Kronologi Jual-Beli Pulau Lantigiang, Asdianti Membelinya Rp 900 Juta, Uang Muka Cuma Rp 10       Juta.       URL:

https://suryamalang.tribunnews.com/2021/02/02/kronologi-jual-beli-pulau-lantigiang-asdianti-membelinya-rp-900-juta-uang-muka-cuma-rp-10-juta, diakses pada 27 Oktober 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Permen Agraria No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertahanan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1251-1260