PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK AKIBAT DARI PERCERAIAN ORANGTUA
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK
AKIBAT DARI PERCERAIAN ORANGTUA
Nadya Elsa Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : nadyaelsap@gmail.com
Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : agungsri_indrawati@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i06.p05
ABSTRAK
Penelitian mengenai upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak anak korban dari perceraian orangtua ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan terhadap hak-hak anak setelah terjadinya perceraian baik yang dilakukan oleh orangtua maupun oleh hukum positif Indonesia yang berlaku pada saat ini. Adapun metode penelitian dari penulisan ini adalah metode normatif yang di dapat dari hasil pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak guna mengetahui secara jelas dan gamblang mengenai upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak anak pasca terjadinya perceraian. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, sekalipun telah diundangkan secara jelas tetapi implementasi perlindungan hukum terhadap anak pasca perceraian belum juga berjalan sebagaimana mestinya sehingga masih banyak sekali anak-anak yang tidak mendapat haknya secara penuh setelah terjadi perceraian antara kedua orangtua. Dan hal ini mengakibatkan timbulnya banyak permasalahan baru di kehidupan anak yang berdampak bagi tumbuh kembang mereka baik secara fisik maupun secara psikologis. Hasil yang dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan Undang-Undang terhadap hak anak pasca perceraian yaitu melalui tindakan preventif dan tindakan represif guna memberikan penegasan kepada orangtua agar tidak melalaikan tugas dan kewajibannya dalam pemenuhan hak anak. Kemudian apabila hak ini tidak terpenuhi seara baik dan sebagai mestinya, pengadilan dan lembaga hukum yang berwenang dapat memberikan sanksi dan melakukan pencabutan hak asuh oleh orangtua atas kelalaian mereka. Dalam pencabutan hak asuh, kewajiban anak terhadap orangtua masih tetap dan tidak berubah sehingga orangtua masih berkewajiban memenuhinya hingga anak beranjak dewasa.
Kata kunci : Perceraian, Perlindungan hukum, Hak anak.
ABSTRACT
This research on legal protection for the rights of children victims of parental divorce isintended to find out how the fulfillment of children's rights after the divorce is carried out by both parents and the current positive Indonesian law. The research method of this paper is a normative method obtained from the results of the approach to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, and Law 23 of 2002 concerning Child Protection in order t know clearly and clearly about efforts to protect legal rights. children after a divorce. From the results of research conducted by the author, even though it has been clearly promulgated, the implementation of legal protection for children after divorce has not yet run as it should so that there are still a lot of children who do not get their rights in full after a divorce between the two parents. And this has resulted in the emergence of many new problems in children's lives that have an impact on their growth and development both physically and psychologically. The results of this study are to find out how the form of protection provided by the law on children's rights after divorce is through preventive and repressive measures in order to provide confirmation to parents so as not to neglect their duties and obligations in fulfilling children's rights. Then if this right is not fulfilled properly and
properly, the court and the competent legal institution can impose sanctions and revoke parental rights for their negligence. In the revocation of custody, the obligations of the child to the parents remain and do not change so that the parent is still obliged to fulfill it until the child grows up.
Keywords: Divorce, Legal protection, Children's rights.
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup dengan dirinya sendiri. Manusia pada umumnya saling bersosialisasi dan berinteraksi dengan satu dan yang lain guna memenhi kebutuhan hidupnya baik secara jasmani maupun rohani. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa manusia merupakan mahkluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dalam proses hidup bersama, manusia diciptakan berpasangan-pasangan dengan adanya sebuah perkawinan atau pernikahan yang bertujuan membangun sebuah keluarga dan menghasilkan keturunan.
Pernikahan merupakan ikatan yang sakral, yang dilakukan oleh dua individu dengan maksud dan kesadaran penuh untuk bersama-sama membangun biduk rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Berdasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan dari pernikahan selain menyatukan dua individu, juga menyatukan dua keluarga besar untuk hidup bersama dan memahami kekurangan masing-masing serta membangun kekeluargaan yang erat. Pada dasarnya tiap keluarga, kerabat dan orangorang terdekat menginginkan bahwa sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan oleh lelaki dan perempuan, dapat dipertahankan oleh kedua pihak disepanjang kehidupan mereka.
Akan tetapi tidak selamanya dalam sebuah hubungan perkawinan, dua individu yang telah bersatu dapat dengan baik menjalankan peran mereka masing-masing dalam keluarga. Adakalanya masalah-masalah datang dan menimbulkan ketidak damaian didalam rumah tangga hingga berakhir dengan adanya kesepakatan untuk meneruskan kehidupan masing-masing atau biasa dikenal dengan perceraian.1 Sebagai suatu peristiwa hukum, sebuah perceraian memiliki kaitan yang erat antara sikap dan tindak dalam hukum yang berupa tanggungjawab terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perceraian. Perceraian bukanlah hal yang dibenarkan apalagi diijinkan oleh semua agama.2 Dari perceraian yang terjadi, akan banyak sekali muncul masalah baru yang akan mengikuti seperti mengenai pembagian harta bersama, perebutan hak asuh anak, hingga bagaimana pemenuhan hak-hak anak yang seharusnya dilakukan oleh ayah dan ibu dan tidak hanya salah satunya saja.3 Kemudian ketika salah satu pihak telah mendapat hak asuh anak sesuai putusan
Pengadilan, pihak ini tidak dapat melakukan pemenuhan terhadap hak-hak anak sehingga hak anak pun jadi terabaikan dan tidak terpenuhi dengan baik. Dalam perceraian dan hak asuh anak, seharusnya tidak ada seorang pun pihak dari orangtua yang bisa merasa lebih berhak daripada orangtua yang lainnya. Dalam suatu perceraian banyak terjadi suatu penelantaran terhadap anak yang di mana mengakibatkan terganggunya kesehatan baik mental serta fisik, perilaku serta kondisi social serta ekonomi dari anak tersebut.4 Mengenai hak pengasuhan terhadap anak pasca terjadinya perceraian sebenarnya dapat diberikan kepada pihak ayah maupun pihak ibu. Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan “Anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Sehingga dapat diartikan apabila pengadilan memberikan hak asuh pada ibu, maka ibu memiliki tanggungjawab untuk mengasuh. Bila sebaliknya, yaitu ayah yang mendapat hak asuh tersebut maka berarti ayahnya yang diberi kuasa untuk mengasuh anak tersebut. Kemudian, apabila anak tersebut sudah berusia 18 tahun, maka ia diperbolehkan untuk memilih hidup bersama dengan ayah atau ibunya, karena ia dianggap sudah dewasa.
Adapun Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, sudah memastikan perlindungan hukum bagi hak anak secara umum, terlebih bagi anak yang menjadi korban perceraian orangtua. Perlindungan bagi anak adalah salah satu upaya untuk menjamin dan memenuhi hak-hak anak guna kepentingan anak tersebut.5 Seorang anak memiliki hak untuk mendapat kepastian bagi kehidupannya di masa mendatang, yaitu seperti biaya bagi kebutuhan hidup, kebutuhan pendidikannya, juga kebutuhan jaminan kesehatan yang diperoleh dari orangtua. Anak yang keduanya orang tuanya bercerai, pasti memiliki penderitaan yang akan mereka kenang hingga dewasa, karena akibat perceraian yang dilakukan oleh kedua orangtuanya ia akan mengalami baik secara jasmani, rohani dan mentalnya, sehingga anak dinilai perlu menjadi perhatian, baik oleh keluarga terdekat maupun lembaga peradilan yang dapat menjamin hak-hak anak secara jelas, kemudian apabila hak anak tidak terpenuhi secara baik maka dapat ditempuh secara hukum yaitu permohonan eksekusi putusan pengadilan mengenai permasalahan yaitu tidak terpenuhinya hak aak secara baik.6 Di Indonesia sendiri sudah ada lembaga yang mengawasi pemenuhan terhadap hak-hak anak yaitu Komisi Perlindungan Anak. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ada lembaga yang secara resmi berfokus terhadap penanganan anak yang menjadi korban perceraian orangtua sehingga sampai saat ini masih banyak sekali putusan pengadilan maupun undang-undang yang belum diiplementasikan dengan baik dalam usaha meelindungi anak-anak dan pemenuhan atas haknya baik berupa nafkah fisik dan afeksi yang seharusnya didapatkan dan menjadi hak anak-anak ini karena pada dasarnya orangtua adalah pihak yang selalu bersama dan terlibat dalam kehidupan anaknya setiap hari, yang
mendidik dan memantau pertumbuhan anaknya baik secara jasmani maupun secara rohani.7
Sebelumnya, pernah dilakukan penelitian sejenis tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perceraian orangtua yaitu dengan penelitian yang berjudul “ Tanggungjawab Hukum Orangtua Terhadap Anak Setelah Perceraian ( Studi Kasus Tentang Tanggungjawab Orangtua Terhadap Anak Setelah Perceraian di Sidoarjo)” yang di tulis oleh Luky Firmansyah Aditama, yang dimuat dalam jurnal Novum: Jurnal Hukum Universitas Negeri Surabaya. Adapun muatan dalam tulisan tersebut dilakukan berdasarkan sudut pandang peneliti di daerah Sidoarjo dan merupakan penelitian empiris dimana data didapatkan berdasarkan sample data yang telah dikumpulkan oleh penulis dari penelitian yang dilakukan di lapangan. Dengan adanya penelitian sejenis yang pernah dilakukan, maka dalam menulis artikel jurnal ini penulis membahas bagaimana perlindungan terhadap hak anak pasca perceraian dari sudut pandang norma dan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada studi kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dari itu penulis tertarik untuk membuat tulisan dengan judul “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Korban Perceraian Orangtua”.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap hak anak akibat perceraian orangtua?
-
2. Bagaimana akibat hukum jika hak anak tidak terpenuhi akibat adanya perceraian orangtua?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengkaji bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap hak anak akibat perceraian orangtuanya, serta untuk mengetahui bagaimana akibat hukum jika hak anak tidak terpenuhi akibat adanya perceraian orangtua.
-
II. Metode Penelitian
Penggunaan daripada jenis penulisan yang sebagaimana sudah diimplementasikan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian yang termasuk dalam penulisan hukum normatif. Penulisan jurnal yang menggunakan metode hukum normatif ini dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum mulai dari bahan primer seperti peraturan atau norma-norma perundang-undangan yang masih berlaku sampai saat ini. Mengenai pembahasan rumusan masalah dalam penulisan jurnal ini juga digunakan bahan hukum sekunder serta tersier. Dalam jurnal ini menjelaskan mengenai bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap hak anak pasca terjadinya perceraian dan juga bagaimana pemenuhan yang harus dilakukan oleh orangtua tanpa terkecuali kepada anak sebagai korban dari perceraian tersebut sehingga dapat dikaji secara justifikasi serta mengetahui bagaimana implementasinya dalam masyarakat.
Cara yang digunakan dalam mengulas serta melakukan analisis dalam jurnal ini digunakanlah teknik deskriptif, komparatif, argumentatif dan evaluatif yang dikombinasikan agar mendapat simpulan yang bersifat runtut dan aktual.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Hak Anak Pasca Perceraian Orangtua.
Jika berbicara mengenai perkawinan, menurut Prof. Subekti, itu adalah ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro perkawinan adalah yaitu seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama, dan sudah memenuhi syarat-syarat hukum perkawinan. Jika berdasar kepada pengaturan dalam perundang-undangan, maka menurut pengertian tentang perawinan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Pasal 28b ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa, ”Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Perkawinan merupakan awal mulanya sebuah keluarga dibentuk. Perkawinan berarti dua insan manusia berjanji untuk saling mengasihi dan melengkapi serta berkomitmen dengan janji-janji mereka di sepanjang kehidupan pasangan suami dan istri. Hal yang diharapkan dengan adanya sebuah perkawinan adalah kehidupan bersama yang rukun, harmonis dan damai. Dalam sebuah perkawinan akan menimbulkan akibat hukum yang mengikat antara suami dan istri, yang kemudian pasti berpengaruh pula pada hubungan keluarga yang bersangkutan. Setelah terjadinya perkawinan hubungan kekeluargaan antara dua pihak menjadi sangat penting, karena pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana hubungan antara anak dan orangtua, tentang hak mewaris, hak perwalian dan hak mengampu.
Namun dalam praktiknya, hubungan suami istri tidak selalu berjalan mulus dan tanpa hambatan. Terkadang banyak pula ketidakcocokan yang terjadi sehingga menimbulkan pertengkaran-pertengkaran kecil dan tak jarang pula hal ini terus berlanjut dan berakhir di meja persidangan untuk memilih melakukan perceraian.8 Pasal 38 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu sebab berakhirnya sebuah hubungan perkawinan adalah terjadinya perceraian. Perceraian adalah berakhirnya hubungan antara pihak lelaki dan pihak perempuan yang sudah menikah, yang kemudian menyebabkan putusnya hubungan keluarga dari kedua belah pihak.9 Dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan secara jelas yaitu perceraian secara sah hanya dapat dilakukan berdasarkan pada putusan pengadilan, setelah adanya upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa. Berbicara mengenai perceraian, banyak sekali faktor yang menjadi alasan mengapa pasangan suami-istri memilih untuk melakukan perceraian dan sepakat melanjutkan kehidupan masing-masing. Ada yang memilih bercerai karena hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga, ada yang memilih bercerai karena kondisi ekonomi yang tidak stabil, ada yang memilih bercerai karena mendapat siksaan secara jasmani maupun psikis
dan banyak lagi alasan yang dijadikan sebagai topik untuk mengajukan gugatan cerai kepada pasangan mereka. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjadi syarat sahnya sebuah perceraian ialah:
-
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
-
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
-
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima (5) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
-
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
-
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
-
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam perceraian yang telah dilakukan oleh sepasang suami istri, yang menjadi korbannya adalah anak. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, “anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”. Anak adalah cerminan citra diri dari kedua orangtua dan juga sebagai generasi penerus bangsa yang murni yang kelak menentukan bagaimana cerminan sikap hidup bangsa dan juga membawa kemajuan bagi nusa dan bangsa. Dapat dikatakan bahwa anak merupakan mutiara berharga yang harus dilindungi dan dicintai dengan sepenuh hati oleh orangtuanya.
Terjadinya perceraian, entah apa yang menjadi masalahnya merupakan sebuah hal tidak pernah diinginkan oleh suami istri, apalagi anak yang menjadi korban utama, dalam hal ini anak tidak mendapat kasih sayang orangtua secara utuh sebab harus berpisah dengan salah satu dari mereka dan berakibat pada terlantarnya anak karena tidak ada kesepakatan mengenai pengasuhan.10Anak-anak harusnya dapat menjalani tumbuh kembang mereka menuju manusia dewasa dengan dampingan kedua orangtua, karena di masa ini anak mulai mengenali diri mereka, melihat dan mencontoh bagaimana tingkah laku manusia-manusia dewasa disekitar mereka dan kemudian dari sini ia mulai menirukan dan menanamkan dalam diri mereka sehingga dari sinilah karakter dan kepribadian anak mulai terbentuk. Namun, hal seperti ini tak jarang tidak berlaku bagi anak yang kedua orangtuanya memilih untuk bercerai. Mereka diharuskan untuk belajar menerima bahwa mereka tidak bisa lagi untuk tinggal bersama dengan kedua orangtua mereka disatu atap yang sama. Setelah dijatuhkannya putusan hakim terhadap gugatan cerai yang diajukan pasangan suami istri, maka akan dilanjutkan dengan putusan terhadap siapa hak asuh anak akan diberikan. Ketika anak yang dimiliki sudah berumur 18 tahun ke atas, anak tersebut boleh memilih dengan siapa ia akan melanjutkan hidupnya, entah dengan Ayah atau Ibunya. Tetapi jika anak yang dimiliki masih berusia dibawah 18 tahun, pengadilan akan memberikan putusan mengenai hak pengasuhan anak diberikan kepada ayah atau ibu. Dalam pemberian hak asuh terhadap ayah atau ibu, ada alasan yang menajdi
pertimbangan Hakim mengenai kemampuan ayah atau ibu dalam memenuhi kebutuhan anak baik secara jasmani maupun rohani karena pada dasarnya anak yang masih berusaha dibawah 18 tahun khususnya sangat membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya secara penuh .Ketika putusan hak asuh anak sudah dijatuhkan oleh pengadilan kepada salah satu orangtua, hak anak dan tanggungjawab orangtua terhadap anak harus tetap dipenuhi tanpa terkecuali. Anak memiliki hak-hak yang wajib untuk dipenuhi oleh orangtua seperti pendidikan, pemenuhan nafkah anak, kasih sayang, serta kebebasannya untuk tumbuh dan mengembangkan diri berdasarkan pada minat bakat anak dan juga perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Hak atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anak bukanlah hak absolut yang secara mutlak diberikan dan melekat pada salah satu orangtua, akan tetapi secara formal, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa, “baik Bapak maupun Ibu memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak”.11
Selanjutnya apabila kita membahas mengenai hak anak yang harus dipenuhi oleh orangtua yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu meliputi:
-
a. Pasal 4 yaitu ”hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”;
-
b. Pasal 5 yaitu “hak anak atas identitas diri”;
-
c. Pasal 6 yaitu “hak anak untuk beribadah dan berekspresi”;
-
d. Pasal 7 yaitu “hak anak untuk diasuh dan dibesarkan oleh orangtuanya sendiri”;
-
e. Pasal 9 yaitu “hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran”;
-
f. Pasal 10 yaitu “hak anak untuk didengar dan menyatakan pendapatnya”;
-
g. Pasal 11 yaitu “hak anak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang mereka bersama teman-temannya”;
-
h. Pasal 13 yaitu “hak anak atas perlindungan dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, penelataran, kekejaman, ketidakadilan dan perlakuan salah”;
-
i. Pasal 14 yaitu “hak anak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri kecuali ada aturan atau pemisahan demi kebaikan bersama”;
-
j. Pasal 15 yaitu “hak anak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik, konflik bersenjata, kerusuhan sosial, peperangan dan segala peristiwa yang mengandung unsur kekerasan”.
-
k. Pasal 16 yaitu “hak anak untuk mendapat perlindungan dari sasaran penganiayaaan, dan kebebasa hukum”;
Kemudian berkaitan dengan tata cara pemenuhan terhadap hak-hak anak ini, dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “baik Bapak maupun Ibu tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta Bapak berkewajiban atas semua biaya pemeliharaan terhadap kebutuhan hidup anak tetapi apabila bapak tidak sanggup, ibu dapat membantu
bapak dalam melakukan tanggungjawab tersebut”.12 Dalam kaitannya dengan pemenuhan tanggungjawab orangtua terhadap hak anak, orangtua perlu menyadari bahwa peran dan tanggungjawabnya sangat diperlukan dalam kehidupan anak. Namun tak jarang juga, orangtua yang seharusnya melakukan tugasnya dengan baik malah berbalik menolak dan meninggalkan kewajibannya. Bapak sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggungjawab untuk memberikan penghidupan yang layak bagi keluarga terkhusus anaknya, malah berbalik dan tidak memenuhi kewajibannyya. Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, misalnya karena adanya masalah dalam keluarga, ketidakpahaman terhadap tanggungjawabnya, juga bahkan faktor adanya kehidupan keluarga baru setelah terjadi perceraian dengan istri sebelumnya.13 Dalam hal pemenuhan ini, tanggungjawab yang paling dilalaikan oleh orangtua yang telah bercerai adalah pemenuhan hak nafkah terhadap anak sehingga anak hidup dalam kekurangan dan kebutuhannya tidak terpenuhi secara baik.
Bentuk perlindungan yang dilakukan oleh Undang-Undang dalam memberikan perlindungan anak ialah:
-
a. Tindakan Hukum Preventif
Yaitu suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu bentuk pelanggaran. Tindakan hukum preventif ini terkandung dalam peraturan perundang-undangan dan bertujuan untuk pengertian, batasan dan arahan dalam melakukan suatu kewajiban. Tindakan preventif ini dapat kita lihat dengana adanya itikad bak dari kedua orangtua yang bercerai untuk bersama-sama mengurus kepentingan anak tanpa melalaikan hak-hak mereka.
-
b. Tindakan Hukum Represif
Yaitu suatu bentuk tindakan hukum akhir yang oleh badan yang berwenang akibat terjadi suatu pelanggaran, yang berupa hukuman sanksi, denda hingga penjara serta hukuman tambahan berdasarkan pada undang-undang yang berlaku. Seperti disebutkan diatas dalam Undang-Undang Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang membahas mengenai hak hak anak, kemudian pada Pasal 41 Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu yang berisi kewajiban orangtua terhadap pemenuhan hak anak. Apabila hak-hak anak ini tidak dipenuhi secara baik, maka dapat dikatakan bahwa orangtua melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian kepada anak. Konsekuensi dari adanya kelalaian dari orangtua terhadap pengasuhan anak dapat berujung pada dapat dilakukannya atau dapat diupayakannya pengajuan Permohonan Penetapan Hak Asuh anak kepada pengadilan. Dengan adanya pengajuan ini, maka keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sampai muncul putusan baru. Apabila eksekusi telah disetujui hakim, maka yang paling mumgkin terjadi adalah dicabutnya hak orangtua
terhadap anaknya sehingga anak harus berada dibawah hak asuh atau perwalian orang lain.
-
3.2. Akibat Hukum Apabila Hak Anak Tidak Dipenuhi Oleh Orangtua Pasca Perceraian.
Dalam Pasal 28b ayat (1) UUD NRI 1945, disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan”. Dari adanya pernikahan ini, maka akan ada anak-anak yang dilahirkan yang nantinya berperan sebagai generasi penerus bagi keluarga tersebut. Ketika suatu keluarga memiliki keturunan, Pasal 28b ayat (2) menyatakan bahwa, “anak-anak tersebut berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta perlindungan dari keluarga dimana tentu saja ini dapat diwujudkan oleh Bapak dan Ibu dengan perwujudan nyata keduanya dalam keluarga”. Namun ketika terjadi perceraian, hak anak untuk terus hidup bersama dengan kedua orangtuanya tentu saja tidak dapat dipenuhi karena keduanya tidak lagi hidup dalam atap yang sama. Meskipun tidak lagi hidup bersama, tanggungjawab bapak dan ibu terhadap anaknya tidak pernah berakhir. Dalam hal penempatan anak dibawah pengasuhan salah satu orangtuanya, terdapat pula konsekuensi hukum yang memiliki kaitan dengan hak anak secara perdata seperti hak untuk biaya hdup, biaya kesehatan dan biaya pendidikannya.14 Hak dan kewajiban orangtua tercantum dalam Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa “Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial”. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan anak yaitu memiliki makna bahwa orangtua berkewajiban merawat dan memberikan pendidikan kepada anak baik secara formal maupun informal sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Hak dan kewajiban orangtua kepada anak pasca terjadinya perceraian pada intinya harus berfokus pada kepentingan anak dan hak anak yang berhubungan dengan pendidikan, biaya hidup anak dan curahan kasi sayang dari orangtua.15 Pengasuhan dan pemeliharan terhadap anak berarti orangtua memiliki tanggungjawab untuk memberikan kehidupan yang layak, mengawasi tumbuh kembang anak, dan memberikan perlindungan kepada anak hingga ia dewasa.
Setelah dijatuhkannya putusan perceraian, akibat hukum putusan tersebut juga berlaku terhadap anak. Dalam Pasal 41Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan akibat hukum setelah terjadinya perceraian adalah:
-
a. “Bapak dan Ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya”;
-
b. “Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, namun apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka Ibu dapat ikut membantu biaya tersebut”;
-
c. “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.
Kemudian jika berdasar pada pasal-pasal tersebut, dapat dilihat yaitu bahwa orangtua tetap memiliki kewajiban dan bertanggungjawab dalam memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya dan ketika terjadi sengketa mengenai hak pengasuhan maka pengadilan yang akan bertindak memberi batasan yang jelas melalui keputusan yang dibuat oleh hakim. Biaya hidup anak dan pemeliharaan hidup anak pada dasarnya merupakan tanggungjawab bapak, akan tetapi apabila bapak tidak dapat menjalankan kewajibannya secara penuh maka ibu dapat ikut membantu untuk memberikan biaya pemeliharaan bagi anak, pengadilan dapat memberikan hak pengasuhan kepada salah satu orangtua dan apabila terjadi perselisihan maka pengadilan yang akan memberikan putusannya.16
Dalam kewajibannya memenuhi hak anak, terkadang orangtua malah memilih untuk melalaikan tugasnya sehingga anak menjadi terlantar dan tidak mendapat perawatan dengan baik. Kelalaian ini dapat dikarekan berbagai faktor seperti orangtua yang menikah lagi, terbatasnya ekonomi ayah dan ibu serta alasan-alasan lainnya. Akibat hukum dari adanya kelalaian yang mengakibatkan terlantarnya anak yang diatur oleh Undang-Undang adalah pencabutan kuasa asuh orangtua terhadap anak mereka. Berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan yang menyatakan bahwa “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain karen ia melalaikan kewajibannya dan bertingkah buruk sekali”. Dalam hal telah dicautnya kekuasaan orangtua terhadap anaknya mereka masih memiliki kewajiban untuk melakukan kewajiban pemeliharaan terhadap anaknya, hal ini beradar pada Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan “Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberikan pemeliharaan kepada anak tersebut”. Jadi, meskipun pernikahan kedua insan manusia telah putus dengan adanya perceraian namun kewajiban dan tanggungjawab mereka untuk menafkahi dan memberikan perlindungan serta penghidupan yang layak kepada anak tidak akan pernah berakhir.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Perceraian bukanlah akhir dari sebuah perkawinan, akan tetapi ketika telah terjadi perceraian akan muncul beberapa masalah seperti pembagian harta, sengketa hak serta hak asuh anak yang diperebutkan oleh pihak ayah maupun ibu. Dengan terjadinya sebuah percerian, maka anak adalah pihak yang paling dirrugikan. Anak memiliki pada dasarnya memiliki hak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya, yang secara nyata diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana hak-hak anak ini harus dipenuhi oleh orangtuanya sebagai pihak yang bertanggungjawab secara sah dalam kehidupan anak. Orangtua yang bertanggungjawab dalam tumbuh kembang anak bukan hanya ayah atau ibu, melainkan keduanya tanpa terkecualiUndang-undang memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yaitu dengan diberlakukannya
upaya preventif guna melakukan pencegahan terhadap pelaksanaan kewajiban orangtua dalam pemenuhan kewajiban anak serta tindakan represif guna memberikan sanksi atas kelalaian tersebut, yang kemudian apabila hal tersebut terus berlanjut maka akan menimbulkan akibat hukum bagi orangtua yaitu dicabutnya hak asuh orangtua dan menetapkan perwalian kepada anak. Akan tetapi dengan pencabutan ini tidak berarti kewajiban orangtua juga berakhir, kewjiban orangtua masih berlanjut akan tetapi tidak dengan kuasa untuk mengasuh anak. Dengan semakin berkembangannya produk hukum di Indonesia, diharapkan pula dapat berkembang produk hukum yang sepenuhnya melindungi anak korban perceraian dari kelalaian orangtua dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya terhadap anak sehingga tidak ada lagi anak yang ditelantarkan. Juga dalam praktiknya, anak tidak hanya diberikan bantuan secara materi tetapi juga harus didampingi secara psikologis. Anak dengan riwayat keluarga tidak bahagia biasanya cenderung memilih untuk menutup dirinya dan merasa tidak dicintai oleh orang sekitarnya, maka dengan ini diharapkan bahwa anak anak korban perceraian orangtua lebih mendapat perhatian dan dukungan moral baik dari orangtua, lingkungan sekitar serta dari negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ahmad, Rofiq. "Hukum Perdata islam di indonesia." Jakarta: Raja Grafindo Persada (2013).
Fuady, Munir. "Konsep Hukum Perdata." Jakarta: Raja Grafindo Persada (2014).
Syaifuddin, Muhammad Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan. “Hukum Perceraian” Jakarta: Sinar Grafika (2013).
Jurnal :
Afriadi, A. I., and Sarmadan Juhaepa. "Catatan Keluarga Broken Home dan Dampaknya terhadap Mental Anak di Kabupaten Kolaka Timor." Journal of Social Welfare 1, no. 1 (2020)
Amrunsyah, Amrunsyah. "TINDAK PIDANA PERLINDUNGAN ANAK." Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan 4, no. 1 (2017):
Burhanudin, Achmad Asfi. "Kewajiban Orang Tua Atas Hak-hak Anak Pasca Perceraian." Dalam Jurnal, E Journal Kopertais IV (2015).
Hasyimzum, Yusnani. "Hak-hak Konstitusional Anak terkait Penelantaran Akibat Perceraian." Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Asasi Manusia 1, no. 1 (2021).
Hidayana, Muhammad Irvan, Iman Jauhari, and Azhari Yahya. "Analisis Yuridis Terhadap Aspek Perlindungan Anak Pasca Perceraian Orangtua." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 8, no. 2 (2020)
Kurniati, Esti. "Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian Orang Tua." Authentica 1, no. 1 (2018).
Kurniawati, Mufidatul Ilmi. "UPAYA HUKUM PEMENUHAN HAK ANAK PASCA PUTUSAN PERCERAIAN." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 25, no. 8 (2019).
Kusumo, Bambang Ali, and Nur Cholifah. "Hak Nafkah Anak Akibat Perceraian." Jurnal Wacana Hukum 10, no. 2: 23494.
Latupono, Barzah. "Pertanggungjawaban Hukum Ayah Terhadap Anak Setelah Terjadinya Perceraian." Sasi 26, no. 2 (2020).
Sidi, Debora. "PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT (STUDI KASUS BERDASARKAN HUKUM ADAT BATAK)." LEX PRIVATUM 9, no. 2 (2021).
Tektona, Rahmadi Indra. "Kepastian hukum terhadap perlindungan hak anak korban perceraian." MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender 4, no. 1 (2013).
Tusan, Arimbawa, and Putu Sauca. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian Orang Tua." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 6, no. 2 (2017).
Internet :
Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-undang Perlindungan Anak, http://www.pn-
palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungan-anak-pasca-perubahanundang-undang-perlindungan-anak, diakses selasa, 6 Agustus 2019.
Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.
Undang-UndangNomor 4 Tahun 1979 tentang KesejahteraanAnak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1227-1238
Discussion and feedback