PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT KECELAKAAN PESAWAT TERBANG

I Made Adelphi Aridito, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: adelphi534@gmail.com

I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dharma_laksana@unud.ac.id

DOI: KW.2022.v11.i06.p04

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban dari perusahaan maskapai penerbangan terhadap konsumen yang dirugikan karena terjadinya kecelakaan pesawat. Adapun kajian studi ini termasuk ke dalam penelitian kajian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yaitu statute approach. Hasil kajian penelitian ini menunjukan adanya keterkaitan antara hukum dan juga pertanggungjawaban dari perusahaan maskapai penerbangan terhadap konsumen sebagai pihak yang dirugikan akibat kecelakaan pesawat terbang yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permenhub 77/2011).

Kata Kunci: Pertanggungjawaban, Perusahaan Maskapai, Kecelakaan Pesawat

ABSTRACT

This study aims to determine the liability of airline companies to the customers who are harmed due to plane crashes. This study is comprised as a normative legal research implementing the statute approach method. Results of this study shows the legal relationship between and also the airline company’s responsibility to the customers as the party who was harmed due to the plane crash in accordance with the Regulation of the Minister of Transportation No. 77 of 2011 concerning Responsibilities of Air Transport Carriers (Permenhub 77/2011).

Key Words: Liability, Airline Company, Plane Crash

  • I.    Pendahuluan

    I.1.    Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk dengan kemampuan untuk menciptakan dan menemukan suatu hal yang berguna baik untuk hal disekitarnya maupun untuk dirinya sendiri. Manusia melakukan inovasi karena mengikuti perkembangan jaman dari waktu ke waktu, manusia menciptakan banyak penemuan teknologi untuk mempermudah kebutuhan pekerjaannya setiap hari. Dalam membantu kegiatannya setiap hari, manusia menciptakan teknologi yaitu pengangkutan atau yang sering disebut dengan transportasi. Disebut sebagai pengangkutan karena mengutamakan pada aspek yuridisnya sedang disebut sebagai transportasi dikarenakan lebih mengutamakan pada

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.06 Tahun 2022, hlm. 1214-1226

kegiatan perkonomian, namun kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yaitu kegiatan memindahkan dengan pemanfaatan alat angkut.1

Awal mulanya, perkembangan teknologi masih sangat lambat karena keterbatasan manusia zaman dahulu. Seiring dengan berkembang pesatnya peradaban dan kebudayaan umat manusia, teknologi juga ikut berkembang dengan sangat pesat. Semakin berkembangnya kebudayaan manusia, semakin berkembang pula teknologinya. Hal ini dikarenakan teknologi menjadi bukti nyata peradaban yang maju.2 Seiring perkembangan teknologi, transportasi merupakan salah satu ciptaan manusia yang sangat bermanfaat. Alat transportasi merupakan sarana yang dapat berfungsi untuk membantu memindahkan seseorang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Alat transportasi dapat menunjukan kemajuan dari teknologi yang dikembangkan oleh manusia.

Globalisasi merupakan bukti dari cepatnya perkembangan di bidang komunikasi dan juga transportasi. Hal ini menimbulkan adanya ketergantungan antar bangsa dan negara yang kemudian mengakibatkan persaingan yang semakin ketat.3 Hal ini dapat ditunjukkan dari kemampuan alat transportasi untuk melintasi darat, air, maupun udara. Salah satu bentuk kemajuan teknologi transportasi adalah pesawat terbang. Pesawat terbang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal pada masa dewasa ini, seperti contohnya untuk transportasi komersial. Pesawat terbang dapat dijadikan transportasi komersial karena dapat mengangkut orang dan barang dalam skala yang banyak untuk menempuh jarak yang jauh, tidak hanya antar kota namun juga antar pulau, negara, ataupun benua. Tentunya untuk jarak yang lebih jauh akan memerlukan spesifikasi pesawat yang berbeda. Pesawat terbang komersial sudah memiliki standar sesuai dengan tingkat kemampuan dan keamanan.

Secara realistis, pesawat terbang dengan teknologi yang ada sekarang ditambah dengan bandar udara yang sudah berteknologi maju dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Pesawat terbang tidak terlepas dari kemungkinan adanya kecelakaan. Dalam dunia aviasi ada dua pengertian yaitu kecelakaan (accident) dan kejadian (incident).4 Namun, disisi lain banyak hal yang tak bisa dihindari seperti mesin yang malfungsi, perubahan cuaca ekstrim secara drastis dan juga hal-hal yang diluar kendali manusia. Dalam penyelenggaraan pengangkutan udara tentunya akan memiliki resiko yang akan berdampak secara hukum. Aturan hukum berperan

sangat penting bagi individu dan badan hukum saat mengalami suatu permasalahan.5

Di setiap pengadaan pengangkutan udara yang dilakukan oleh perusahaan maskapai pasti mempunyai resiko kerugian yang sangat besar karena diakibatkan oleh kecelakaan, yang dimana kecelakaan tersebut akan berakibat pada konsekuensi hukum. Risiko ini erat hubungannya dengan penggantian kerugian kepada para korban jasa pengangkutan oleh perusahaan maskapai penerbangan yang mengalami kerugian sebagai pertanggungjawaban hukum (legal liability) ke pengguna jasa penerbangan dari perusahaan maskapai penerbangan.6 Indonesia sebagai negara hukum tentunya sudah menetapkan regulasi terkait penerbangan. Tidak hanya dari hukum Indonesia, otoritas internasionalpun ikut merumuskan pentingnya pengaturan regulasi terhadap penerbangan. Walaupun berbagai pengaturan sudah diterapkan masih dapat dilihat dalam table 1 berikut yang menunjukan data kecelakaan pesawat terbang selama 5 tahun terakhir sebagai berikut:

No.

Tanggal

Maskapai Penerbangan

1

3 Desember 2016

Pesawat Skytruck milik Polri saat melintasi Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau sekitaran pukul 11.10 WIB terjadi hilang kontak. Korban jiwa kecelakaan pesawat terbang ini adalah 13 orang.

2

18 Desember 2016

Pesawat Hercules tipe C-130 HS dengan kode penerbangan A-1334 milik TNI AU jatuh saat misi penerbangan latihan Timika-Wamena di Wamena Papua. Diduga jatuhnya pesawat Hercules ini diakibatkan oleh cuaca buruk. Akibatnya 12 crew maskapai penerbangan dan 1 orang penumpang menjadi korban.

3

26 Febuari 2017

Pesawat dengan kode penerbangan IW 1286 milik Wings Air mendapati pecah ban ketika mendarat di Tanjung Karang Bandar Lampung. Tidak ada korban dalam kecelakaan tersebut.

4

13 Maret 2018

Pesawat Airbus 320 milik Batik Air dengan kode penerbangan ID 6155 tergelincir di Bandar Udara Rendani Manokwari Papua Barat. Hal ini diduga karena human error. Tidak ada korban ada kecelakaan tersebut.

5

12 Agustus 2018

Pesawat Dimonim Air jenis PAC 750XL milik PT Martha Buana Abadi telah ditemukan hancur pada Minggu 12 Agusutus 2018. Dari kecelakaan tersebut menelan 7 korban meninggal dan 1 orang penumpang selamat.

5 Dermawan, Ari. "Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan." Doktrina: Journal Of Law 3, no. 1 (2020): 77-86, Hal. 81.

6 Dwipayana, I. Komang Gede Indra, Luh Putu Sudini, and Desak Gede Dwi Arini. "Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Eksistensi Penumpang." Jurnal Analogi Hukum 2, no. 1 (2020): 68-72, Hal. 70

6

21 Oktober 2018

Pesawat jenis ATR 72-500 milik Wings Air dengan kode PK-WFT menabrak towing tractor dilandasan Halim Perdana Kusuma Jakarta. Tidak ada korban dari kecelakaan tersebut.

7

9 Januari 2021

Pesawat SJ 182 milik Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak mengalami hilang kontak dan terjatuh di perairan Kepulauan Seribu. Kejadian tersebut menelan 62 korban jiwa.7

Sumber: liputan6.com, kompas.com

Berdasarkan table 1 tersebut dapat disimpulkan 5 tahun terakhir bahwa walaupun dengan kemajuan teknologi yang sudah berkembang saat ini kecelakaan pesawat terbang tidak bisa dihindari. Dari kasus-kasus tersebut karakteristik kecelakaannya tidak jauh dari cuaca, malfungsi mesin, ataupun human error. Fenomena yang terjadipun tidak luput dari pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan, perusahaan yang memproduksi pesawat terbang, pilot, dan kru pesawat tersebut karena sekitar 66% didominasi oleh faktor manusia. Penyebab yang paling dominan adalah pengurangan kondisi fisik dan juga mental dari tidak kesiapan fisik dan emosional yang mempengaruhi kemampuan seperti kekuatan, reaksi, kecepetan, koordinasi, keseimbangan, dan pengambilan keputusan yang dimana kondisi ini disebut dengan fatigue.8

Keempat faktor penyebab utama kecelakaan pesawat terbang secara hierarki dipengaruhi sebagai berikut :

  • a.    Kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia dapat dilihat sebagai akibat kelelahan (fatique) terhadap pilot termasuk juga pada petugas yang terlibat langsung dalam suatu pelayanan penerbangan seperti teknisi pesawat terbang, awak pesawat terbang, personil yang bertugas di ruang penerangan (briefing officer), personil operasi baik pengatur lalu lintas udara (ATC) maupun personil operasi penerbangan (flight assistance service) dan penumpang itu sendiri.

  • b.    Faktor Material adalah faktor yang tidak bisa diabaikan dalam menunjang keselamatan penerbangan yaitu faktor material yang terdiri dari ketersediaannya suku cadang (spare part) dan fasilitas perawatan secara cepat, tepat, dan biaya yang wajar.

  • c.    Faktor Mesin (machine) Faktor ini  terkait dengan  teknik yang

mempunyai peranan yang sangat  penting dalam  keselamatan

penerbangan dan faktor ini dilihat dari tipe pesawat meliputi pesawat tua dan pesawat baru, pesawat jet dan non jet, asal pembuatan pesawat (manufacture) dari negara Eropa dan USA dan system pesawat (aircraft system) yang terdiri dari sistem baling-baling (propeler) dan sistem brake failure.

  • d.    Faktor Metode (method) antara lain tentang Faktor kecelakaan tidak terlepas dari faktor manajemen penerapan metode yang dapat dilihat

dari aspek pengoperasian pesawat terbang yang mengacu pada prosedur standar operasi (standard operating prosedure) penerbangan, sistem training dengan memperhatikan materi pelatihan (syllabus training), dan aspek organisasi perusahaan dengan memperhatikan unitunit keselamatan penerbangan (safety units).

  • e.    Faktor Lingkungan (environment) Faktor ini tidak begitu besar pengaruhnya terhadap kecelakaan pesawat terbang yang terjadi, akan tetapi perlu dilakukan antisipasi seperti cuaca, wind shear, hujan, dan lokasi kejadian (working area) serta pelayanan informasi penerbangan (ATC).9

Perlindungan akan keselamatan pengguna jasa angkutan pesawat terbang dijalankan dengan aturan keselamatan penerbangan yang berlaku. Hal tersebut akan sangat erat kaitannya dengan aturan perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa/penumpang transportasi udara komersil, yaitu semua perusahaan yang bergerak dibidang penerbangan diharuskan untuk melakukan antisipasi atas semua kemungkinan yang dapat mencelakai pengguna jasanya. Didasari hal itu, setiap perusahaan yang bergerak dibidang penerbangan komersial diharuskan untuk bisa memfasilitasi pengguna layanan dengan armada pesawat yang mumpuni dan harus dalam keadaan layak terbang setiap saat. Kelancaran kegiatan penerbangan sangat erat kaitannya dengan kondisi pesawat terbang dan juga aspek pemeliharaannya sehingga memenuhi persyaratan kelayakan penerbangan. Tidak hanya itu, aspek pemberdayaan sumber daya manusia dalam kegiatan penerbangan juga berhubungan erat dengan aspek keselamatan penerbangan karena sumber daya manusia yang melakukan pemeliharaan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelayakan fisik pesawat untuk melakukan kegiatan penerbangan.

Keselamatan kegiatan penerbangan adalah hasil gabungan seluruh faktor-faktor antara lain: personil sumber daya manusia, faktor kelayakan pesawat terbang, kegiatan penerbangan, badan-badan yang mengatur penerbangan, serta sarana penerbangan. Tiap penyelenggaraan operasional kendaraan pengangkut udara pastinya berisiko menimbulkan kerugian secara material ataupun tidak bersifat material. Akibatnya, kecelakaan pesawat terbang tersebut memiliki dampak hukum. Hal tersebut utamanya memiliki kaitan dengan permasalahan seperti penyelesaian penggantian rugi kepada korban atau pengguna jasa dari perusahaan pengangkutan udara yang merugi sebagai pertanggungjawaban hukum (legal liability) dari perusahaan penerbangan komersil tersebut.

Sebagai badan perusahaan yang bergerak dalam bidang penyedia jasa, perusahaan maskapai tentunya memiliki kewajiban sebagai pelaku usaha yang harus dipenuhi yaitu:

  • a.     Mempunyai niat yang baik ketika menjalankan kegiatan usahanya

  • b.     Menjelaskan informasi terkait barang atau jasa dengan jelas, benar, dan

jujur. Penjelasan ini terkait dengan perbaikan, pemeliharaan dan penggunaan.

  • c.     Menyediakan pelayanan kepada konsumen/pengguna jasa dengan baik

dan jujur, serta tanpa mendiskriminasi pengguna jasa.

  • d.     Memberikan jaminan atas kualitas barang dan jasa hasil produksi

dan/atau diperjualbelikan sudah sesuai aturan standarisasi mutu dan kualitas barang dan jasa yang diberlakukan.

  • e.     Mengizinkan dan mewadahi konsumen pengguna jasa untuk

melakukan uji coba dan/atau mencoba hasil produksi, melakukan uji coba atau percobaan barang dan jasa, serta menjamin dan memberikan jaminan pada hasil produksi yang diperjualbelikan.

  • f.     Memberikan kompensasi, jaminan penggantian rugi atas pemakaian

dan penggunaan barang dan jasa yang diperjualbelikan.

  • g.     Menyediakan kompensasi, penggantian rugi dan/atau jaminan asuransi

penggunaan jikalau barang dan/atau penggunaan jika barang dan/atau jasa yang diterima atau digunakan tidak sesuai dengan apa yang tercantum pada perjanjian.10

Hukum merupakan pengendali sosial dan merupakan sebagai aspek normative dan tingkah laku kehidupan sosial yang mengatur memberikan definisi terhadap penyimpangan tingkah laku serta akibat-akibat yang ditimbulkan seperti tuntutan, pemidanaan, ataupun pemberian ganti rugi.11 Dalam penerapannya tentu ada juga peraturan yang bersifat mencegah (Preventive). Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 8 Tahun 2010 tentang Program Keselamatan Penerbangan Nasional yang yang bertujuan untuk menetapkan standard serta prinsip dasar keselamatan penerbangan. Secara yuridis, jika terjadi kecelakaan pesawat udara, maka semua pihak sebagai pengguna jasa layanan serta pihak ketiga adalah pihak yang berhak untuk mendapatkan penggantian rugi dan yang harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi adalah pihak pengangkut udara.

Kelayakan udara merupakan unsur yang sangat penting karena dapat mengetahui tentang syarat minimal terhadap kondisi kelayakan fisik pesawat udara dan komponen-komponen yang menjamin tingkat keselamatan penerbangan.12

Berdasarkan hukum yang diberlakukan di Indonesia, tujuan utama dari kajian normatif ini adalah untuk memaparkan bagaimana bentuk pertanggung jawaban dari pihak perusahaan maskapai penerbangan pesawat bagi korban yang mengalami kerugian. Berdasarkan alasan tersebut, maka setiap perusahaan maskapai penerbangan diwajibkan untuk bisa menyediakan armada pesawat dan sarana penerbangan yang terawat dan selalu dalam keadaan layak terbang.13

  • I.2.    Rumusan Masalah

Didasari oleh latar belakang yang dipaparkan di atas, penulis telah merumuskan dua permasalahan utama yang penting untuk dibahas yaitu:

  • 1.    Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan

terhadap korban kecelakaan pesawat?

  • 2.    Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh keluarga korban untuk mendapat pertanggungjawaban atas kecelakaan pesawat terbang?

  • I.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui pertanggungjawaban dari maskapai penerbangan terhadap korban kecelakaan pesawat secara hukum.

  • 2.    Untuk mengetahui upaya hukum yang ditempuh keluarga korban untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari perusahaan maskapai penerbangan secara hukum.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam peneitian ini yaitu pendekatan hukum normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif, yaitu dengan dilakukan pengkajian terhadap peraturan yang diterapkan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban perusahaan maskapai terhadap korban kecelakaan pesawat terbang. Sumber yang dipakai dalam penelitian ini ialah sumber hukum dalam kategori primer dan juga sekunder. Pengumpulan bahan menggunakan metode studi kepustakaan yang dimana pengumpulan bahan bersumber dari sumber-sumber hukum yang berbentuk undang-undang, studi dari buku-buku dan jurnal-jurnal dengan topik pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap kecelakaan pesawat yang mengakibatkan kerugian terhadap pengguna jasa layanan. Proses pengolahan data dilakukan dengan pengolahan data kualitatif dengan menggunakan pendekatan    terhadap    peraturan    perundang-undangan    dengan

membandingkan pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pertanggungjawaban Dari Pihak Perusahaan Maskapai Penerbangan Terhadap Para Korban

Pada bagian ini akan membahas tentang pertanggungjawaban oleh perusahaan maskapai penerbangan karena terdapat hubungan antara para penumpang angkutan dengan perusahaan penerbangan selaku pelaku usaha angkutan udara yang diakibatkan oleh perjanjian yang mengatur tentang pelaku usaha angkutan udara untuk mengikatkan diri dengan penumpang yang dimana pelaku usaha angkutan udara menyelenggarakan kegiatan penerbangan seperti pengangkutan muatan barang dan orang dari suatu lokasi ke lokasi lainnya.

Terkait dengan wajib asuransi tanggung jawab dari pengangkut, pihak asuransi dapat membantu pihak perusahaan penerbangan untuk ganti rugi terhadap korban yang mengalami kecelakaan14. Pertanggung jawaban yang harus diberikan pada korban diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permenhub

77/2011). Dalam pasal 3 huruf a Permenhub 77/2011 menjelaskan bahwa “Penumpang yang meninggal di dalam pesawat akibat fenomena kecelakaan pesawat terbang maka akan diberikan ganti rugi. Ganti rugi yang diberikan sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per korban kecelakaan tersebut.” Dalam Permenhub 77/2011 Pasal 1 angka 15 menetapkan kategori cacat tetap total sebagai “Kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal.” Cacat mental termasuk juga dalam cacat tetap. Sedangkan bagi penumpang yang telah dinyatakan cacat tetap total terhitung selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kecelakaan akan dikompensasikan ganti rugi sebesar nominal Rp. 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per korbannya. Hal ini diatur dalam Pasal 3 huruf c. Dalam pasal 1 Permenhub 77/2011 angka 16 telah menjelaskan cacat tetap sebagian sebagai kehilangan sebagian dari salah satu anggota badan dan tidak mengurangi fungsi untuk beraktivitas. Dalam Permenhub 77/2011 tercantum lampiran yang mengatur besaran ganti rugi yang disesuaikan dengan organ atau anggota badan yang hilang dengan rentang besaran ganti rugi Rp 11.500.000 sampai dengan maksimal Rp 150.000.000 sesuai dengan anggota tubuh terdampak.

Dari fenomena kecelakaan pesawat terbang tentunya ada pihak yang dirugikan terutama para pihak keluarga dari korban kecelakaan pesawat terbang tersebut. Perusahaan maskapai sebagai penyedia jasa pengangkutan tentunya wajib memberikan pertanggungjawaban atas kerugian akibat kecelakaan pesawat terbang. Hal ini diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Dalam pasal 141 ayat (1) UU Penerbangan, menerangkan bahwa pengangkut memiliki tanggung jawab atas segala kerugian penumpang. Kerugian tersebut mencakup cacat tetap, meninggal atau luka-luka yang diakibatkan fenomena kecelakaan penerbangan baik di dalam pesawat atau proses distribusi penumpang di pesawat udara.

Maskapai harus bertanggung jawab karena penumpang telah mempercayai maskapai tersebut sebagai alat transportasi yang dipilih dalam bepergian dari satu tempat ke tempat lain dan juga menjadi pilihan pengirim barang karena pesawat terbang adalah salah satu sarana transportasi yang digunakan untuk mengangkut barang secara cepat dan massif dengan jarak tempuh yang jauh.

Didalam dunia perusahaan maskapai penerbangan terdapat beberapa konsep tanggung jawab secara hukum yang didasari oleh kesalahan-kesalahan (Based on fault liability), pertanggungjawaban yang didasari praduga kesalahan (Presumption of liability), dan pertanggungjawaban tanpa bersalah (Liability without fault) atau yang disebut pertanggungjawaban mutlak (strict liability atau absolute liability).15

Konsep tanggung jawab di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Tanggung jawab secara hukum yang didasari oleh kesalahan

Tanggung jawab ini dapat dilihat penjelasannya dalam Pasal 1365 pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang membahas mengenai tindakan atau perbuatan yang melawan hukum (Onrechtsmatig-daad) yang dimana pasal tersebut berlaku secara umum. Isi dari pasal tersebut menjelaskan tentang setiap tindakan melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian terhadap orang lain mengharuskan yang karena tindakan tersebut untuk

mengganti rugi karena berdasarkan pasal tersebut setiap orang harus bertanggung jawab (liable) secara hukum terhadap perbuatan yang dilakukannya apabila itu merugikan orang lain. Orang yang akibat perbuatannya merugikan orang lain maka harus bertanggung jawab dengan cara mengganti rugi kerugian orang lain yang diakibatkan oleh perbuatannya merasa dirugikan. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1367 juga menerangkan bahwa tanggung jawab tidak hanya terbatas terhadap perbuatannya sendiri, namun juga terhadap perbuatan dari pegawai, karyawan, ataupun perwakilannya yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain semasih dalam menjalankan kewajiban dan tugasnya. Tanggung jawab yang didasari oleh kesalahan (based on fault liability) tentunya harus memenuhi beberapa unsur, seperti adanya kesalahan yang diperbuat, adanya kerugian yang berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat. Dalam hal ini korban sebagai pihak yang dirugikan harus dapat membuktikan kesalahan yang diperbuat oleh pihak penyedia jasa pengangkutan udara yang bila mana terbukti melakukan perbuatan yang terdapat unsur kesalahan maka korban dapat menggugat perusahaan maskapai penerbangan tersebut.

Pengertian dari “perbuatan melawan hukum,” yaitu perbuatan yang aktif dan perbuatan yang pasif. Hal tersebut antaralain tidak melakukan sesuatu yang menurut keharusan hukum ialah pihak yang harus berbuat. Ketetapan pada aturan pada pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang memberikan wewenang kepada pihak penggugat atau disebut pihak yang mengalami kerugian untuk dapat memberikan bukti bahwa kerugian yang diakibatkan oleh tergugat yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Aturan-aturan yang bersifat khusus meliputi pertanggungjawaban pengangkut yang diatur oleh prinsip kesalahan umumnya ditentukan berdasarkan undang-undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan.16

Adanya unsur kesalahan dan kerugian merupakan hal yang sangat krusial dalam tanggung jawab yang didasari oleh kesalahan. Karena kerugian harus ada hubungannya dengan kesalahan yang diperbuat. Bila salah satu unsur ada namun tidak berkaitan maka perusahaan maskapai penerbangan tidak memiliki tanggung jawab, demikian juga jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka perusahaan maskapai penerbangan tersebut tidak memiliki tanggung jawab.

Apabila pengguna jasa/penumpang yang dirugikan dapat membuktikan adanya kerugian yang diakibatkan kesalahan dari perusahaan pengangkutan udara, maskapai penerbangan tersebut harus mengganti rugi kerugian yang dialami oleh pihak korban. Perusahaan maskapai penerbangan harus bertanggung jawab secara tidak terbatas sesuai dengan total kerugian yang diderita korban kecuali sudah didasari oleh kesepakatan pihak yang berkaitan.

  • 2.    Tanggung Jawab Didasari Praduga Bersalah

Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, tanggung jawab yang dimiliki perusahaan maskapai penerbangan dapat dianggap (Presumed) melakukan kesalahan sehingga harus mengganti rugi kerugian penumpang ataupun pengirim barang demi hukum tanpa perlu ada buktinya..

Penumpang ataupun pengirim barang hanya perlu melaporkan kerugian yang dialaminya tidak perlu melakukan pembuktian atas kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan maskapai penerbangan, yang sebagai gantinya perusahaan maskapai penerbangan dapat melakukan batas maksimum ganti rugi (limited liability).

  • 3.    Tanggung Jawab Tanpa Bersalah Atau Yang Disebut Tanggung Jawab Mutlak

Menurut teori tanggung jawab ini, pihak yang mengakibatkan kerugian dalam hal ini disebut tergugat, selalu bertanggung jawab tanpa harus meninjau ada atau tidaknya kesalahan. Dalam kata lain, pertanggungjawaban atas kerugian kecelakaan pesawat terbang adalah mutlak. Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini memiliki prinsip tanggung jawab yang mirip dengan prinsip pertanggungjawaban absolut (absolute liability). Beberapa ahli mengemukakan bahwa ada perbedaan dari dua pertanggungjawaban tersebut. Perbedaannya adalah pada strict liability, kesalahan tidak hanya menjadi aspek yang mempengaruhi bentuk pertanggungjawaban. Namun, ada sebuah alasan yang memungkinkan untuk dapat terbebas dari tanggung jawabnya, seperti keadaan darurat (force majeure). Sedangkan, pada absolute liability, tanggung jawab menjadi mutlak/absolut tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya17.

Dalam proses sistem pertanggungjawaban hukum berikutnya, ada pertanggungjawaban mutlak yang pada mulanya adalah konsekuensi dari teori a man acts at his peril atau he who breaks must pay. Yang berarti barang siapa yang melakukan perbuatan dan merugikan orang lain, maka harus memberikan pertanggungjawaban.18

Perusahaan pengangkutan tidak akan luput dari tuntutan pertanggungjawaban atas penggantian kerugian penumpang dan pengirim barang tanpa pengecualian. Secara sederhana, teori ini menegaskan bahwa tergugat memiliki pertanggungjawaban untuk menanggung setiap kerugian yang diakibatkan oleh segala peristiwa yang terjadi dalam proses pelaksanaan pengangkutan. Dalam peraturan undang-undangan yang mengatur tentang pengangkutan, tidak ada peraturan yang mengatur prinsip pertanggungjawaban mutlak. Hal ini tidak diatur dikarenakan pengangkut di bidang jasa pengangkutan tidak diberatkan dengan risiko. Namun hal ini tidak memiliki arti prinsip ini tidak dapat digunakan oleh masing-masing pihak pada dokumen perjanjian pengangkutan, hal tersebut didasarkan atas asas perjanjian yang memiliki sifat yaitu kebebasan berkontrak.19

  • 3.2.    Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Ahli Waris Ataupun Anggota Keluarga

Menurut John Fitzgerald Kennedy tentang consumer’s bills of right 1962 yang disampaikan dalam pidato di depan hadapan kongres, terdapat 4 jenis hak konsumen yang diterima oleh negara-negara di skala internasional. Hak-hak tersebut antara lain hak untuk didengar, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk dapat memilih, dan hak untuk mendapatkan keamanan. Seiring perkembangan jaman, hak-hak ini ditambahkan lagi beberapa ketentuan oleh international organization of consumers’ union (IOCU) seperti hak mendapatkan pendidikan ilmu konsumen, hak untuk memiliki lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

Sebagai penumpang, tentunya hak ganti rugi merupakan hak yang penting. Hal ini dikarenakan terdapat banyak hal yang dapat terjadi kepada penumpang dalam menggunakan jasa perusahaan maskapai penerbangan, seperti kerusakan barang yang terjadi di dalam bagasi pesawat terbang, kehilangan barang bawaan di dalam bagasi pesawat terbang, dan bahkan kehilangan nyawa karena kelalaian yang diakibatkan oleh petugas perusahaan maskapai penerbangan. Dengan alasan tersebut, perlindungan bagi konsumen dibutuhkan bagi penumpang. Yaitu dengan adanya mekanisme penanganan permasalahan dan/atau klaim yang efisien, efektif dan memuaskan. Hak untuk mendapatkan ganti rugi diatur dalam UUPK (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) pada Pasal 4 angka 8. Hak ganti rugi tersebut dapat diklaim jika konsumen (dalam hal ini merupakan penumpang perusahaan maskapai penerbangan) mengalami kerugian. Hak-hak ini merupakan kegunaan dari pada hukum perlindungan konsumen yang dimana pada kasus ini penumpang penerbangan yang menderita kerugian akibat kesalahan atau kecelakaan perusahaan maskapai penerbangan, ia memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi.

Penyelesaian sengketa sebenarnya ada beberapa cara seperti penyelesaian sengketa melalui peradilan (litigasi), penyelesaian sengketa secara arbitrase (non litigasi), mediasi, negosiasi, pencarian fakta, dan early neutral evaluation (ENE). Bentuk penyelesaian sengketa tersebut dapat menjadi pilihan yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Namun, penyelesaian sengketa yang paling tepat adalah melalui peradilan dengan tuntutan karena untuk mencegah terjadinya wanprestasi dan agar mendapatkan kepastian hukum.

Tuntutan penggantian rugi yang diajukan oleh pengguna jasa layanan pengangkutan udara harus berdasarkan beberapa bukti sesuai pasal 21 Permenhub No. 77 Tahun 2011 seperti:

  • a.    tiket, sebagai bukti tercatatnya bagasi (claim tag) atau dokumen muatan transportasi udara (airway bill), dokumen resmi yang membuktikan sebagai pihak keluarga ataupun sebagai ahli waris yang disesuaikan dengan peraturan undang-undang yang sedang berlaku ataupun pembuktian lainnya yang dapat mendukung serta dapat menjadi pertanggungjawaban;

  • b.    dokumen keterangan resmi dari pihak yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan bukti adanya kerugian nyawa dan kepemilikan harta benda pada pihak yang mengalami rugi yang diakibatkan oleh kecelakaan pesawat udara.

Pengguna jasa/penumpang pesawat udara yang mengalami kerugian bisa melakukan pengajuan gugatan, complain, dan klaim terhadap perusahaan maskapai penerbangan. Penyelesaian pengajuan gugatan atau klaim tersebut dapat dilalui dengan dua cara yaitu antaralain jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan20. Penyelesaian gugatan secara peradilan (litigasi) dapat diajukan oleh pengguna jasa layanan dengan menuntut perusahaan pengangkutan ke Pengadilan Negeri atau secara penyelesaian lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Penumpang transportasi udara ataupun pengguna jasa dari perusahaan angkutan udara yang menderita kerugian dapat melakukan pengajuan gugatan, komplain, dan klaim terhadap perusahaan maskapai penerbangan, karena pertanggungjawaban dari perusahaan maskapai terhadap korban kecelakaan pesawat sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan juga dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011. Sebagai penumpang, tentunya hak ganti rugi merupakan hak yang penting. Hal ini dikarenakan terdapat banyak hal yang dapat terjadi kepada pengguna jasa layanan perusahaan maskapai penerbangan selama kegiatan penerbangan. Penyelesaian sengketa sebenarnya ada beberapa cara seperti penyelesaian sengketa melalui peradilan (litigasi), penyelesaian sengketa secara arbitrase (non litigasi), mediasi, negosiasi, pencarian fakta, dan early neutral evaluation (ENE). Bentuk penyelesaian sengketa tersebut dapat menjadi pilihan yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak, namun, penyelesaian sengketa yang paling tepat adalah melalui peradilan dengan tuntutan karena untuk mencegah terjadinya wanprestasi dan agar mendapatkan kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, 2007, Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia dalam Perspektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi, Yogjakarta: Genta Press

Nugroho, Sigit Sapto dan Haq, Hilman Syahrial, 2019, Hukum Pengangkutan Indonesia, Surakarta: Navida

Rudy, Dewa Gde dan Sarjana, I Made, 2016, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana

Jurnal

Ahmad Sudiro, 2012, Konsep Keadilan dan Sistem Tanggung Jawab Keperdataan dalam Hukum Udara, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 19(3): 448

Adyt Dimas Prasaja Utama dan I gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, 2015, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang, Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2): 4

Ali Mansyur dan Irsan Rahman, 2015, Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Produksi Nasional, Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(1): 3

Arief Yulianto, 2010, Meningkatkah Kualitas Pelayanan Jasa Penerbangan Indonesia Paska Insiden Kecelakaan Pesawat Terbang?, Jurnal Dinamika Manajemen, 1(1): 4

Hammar, Roberth Kurniawan Ruslak dan Kalembang, Elsiana Ribka, 2010, Pertanggungjawaban Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Linta.., Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni, 3(1): 1

I Komang Gede Indra Dwipayana, 2020, Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Eksistensi Penumpangz Jurnal Analogi Hukum, 2(1): 70

Lukmanul Hakim dan Sri Walny Rahayu, 2017, Perlindungan Dan Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Domestik Pt Lai Kepada Konsumen Selaku Penumpangnya, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19(3): 460

Mohammad Sufi Syalabi dkk, 2017, Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Udara dan Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Yang Dirugikan Akibat Kecelakaan Pesawat, Diponegoro Law Journal, 6(1): 2

Muhamad Ngafifi, 2014, Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial Budaya, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 2(1): 3

Ratna Artha Windari, 2015, Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Dalam

Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Komunikasi Hukum, 1(1): 108

Suyanto dkk, 2018, Pertanggungjawaban Hukum Dalam Kecelakaan Pesawat Terbang, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni, 11(2): 5

Welly Pakan, 2008, Faktor Penyebab Kecelakan Penerbangan di Indonesia Tahun 20002006, Jurnal Penelitian Perhubungan Udara, 34(1): 16-17

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (lembaran negara republik Indonesia tahun 2009 nomor 1, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956)

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 8 Tahun 2010 tentang Program Keselamatan Penerbangan Nasional

Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permenhub 77/2011)

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.06 Tahun 2022, hlm. 1214-1226