PERBANDINGAN PENGATURAN PENERAPAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DENGAN NEGARA LAIN SEBAGAI EXTRAORDINARY CRIME

Ravindo Agung Darmawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ravindoagung35@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewasugama@ymail.com

DOI: KW.2022.v11.i06.p10

ABSTRAK

Tujuan daripada dibuatnya penelitian ini adalah supaya dapat mengetahui penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi di negara lain dan melakukan pengkajian terhadap undang-undang yang ada di Indonesia apabila pidana mati dilaksanakan terhadap pelaku korupsi, menuaikan pertentangan atau tidak. Pidana mati ini digolongkan sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa. Penelitian ini menggunakan penelitian dengan metode hukum normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif. Teknis analisis yang digunakan adalah teknik deskripsi dan pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang-undangan (statue approach) untuk melakukan pengkajian pada peraturan yang ada. Pembuatan jurnal ini melakukan pendekatan perbandingan (comparatif approach). Pendekatan ini dilakukan sebagai pembanding suatu pengaturan yang ada di Indonesia dengan pengaturan yang ada di negara lain. Hasil daripada penulisan jurnal ini yaitu terdapat perbedaan peraturan penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi di Vietnam dan Thailand yang terdapat jumlah yang ditentukan dalam korupsi sehingga ancaman yang diberikan adalah pidana mati. Sedangkan di Indonesia tidak terdapat jumlah yang ditentukan dari hasil korupsi agar koruptor dapat dijatuhkan hukuman mati. Hal lain yang mempengaruhi penerapan pidana mati di Indonesia adalah terdapat peraturan di Indonesia yang bertentangan dengan pidana mati.

Kata Kunci: Pidana mati, korupsi, kejahatan luar biasa

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the application of the death penalty to pepretrators of corruption in other countries and to conduct an assessment to the existing laws in Indonesia if the death penalty is carried out against perpretators of corruption, whatever or not there in conflict. The death penalty is classified as an extraordinary crime. This study use research with normative legal methods. This research is descriptive. The analysis technique used a description and the collection of legal materials used is a literature study. This study uses a statue approach to conduct an assessment of existing regulations. Making this journal uses comparative approach. This approach is carried out as comparison of an existing arrangement in Indonesia with existing arrangements I other countries. The result of writing this journal are that there are differences in the regulations for the application of the death penalty against perpretators of

corruption in Vietnam and Thailand where there are is a specified amount in corruption so that the treat given in the death penalty. While in Indonesia there is no specified amount of proceeds of corruption so that corruptors can be sentenced to death. Another thing that affects the application of the death penalty in Indonesia is that there are regulations in Indonesia that contradict the death penalty.

Keywords: Death penalty, corruption, extraordinary crime.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Perbuatan korupsi adalah sebuah kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai extraordinary crime. Pada hakikatnya korupsi membuat suatu negara mengalami kerugian dan kerugian tersebut sangat berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat daripada sebuah negara. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi tersebut, faktor yang mempengaruhi tersebut adalah faktor kekuasaan dan faktor kesempatan. Tidak hanya dua faktor tersebut aja, peraturan yang multitafsir juga mempengaruhi seseorang tidak takut melakukan korupsi. Alasan dasar dalam melakukan perbuatan korupsi adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau suatu kelompok dalam bentuk korporasi. Korupsi adalah kejahatan dimana seseorang penjahat memiliki pengetahuan akan tetapi tidak memiliki integritas. Dalam membuktikan sebuah perbuatan korupsi merupakan hal yang sulit, walaupun sudah terbukti sebagai perbuatan korupsi akan tetapi hanya pelaku yang merupakan pengikut serta saja yang dihukum, bukan pelaku utama ataupun orang yang merencanakan korupsi itu sendiri. Mengungkap orang daripada pelaku tindak pidana korupsi terkadang membutuhkan kerja keras, maka dari itu dalam mengungkap suatu orang yang merencanakan korupsi memerlukan pendekatan yuridis dan didukung dengan strategi politik.1

Dalam KUHP tidak terdapat delik yang rumusannya mengatur pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi, akan tetapi delik mengenai perbuatan korupsi terdapat pada undang-undang diluar KUHP yaitu terdapat pada undang-undang tindak pidana korupsi. Pengaturan mengenai pidana mati dalam KUHP terdapat pada pasal 10 huruf a sebagai pidana pokok. Terdapatnya pengaturan pidana mati pada KUHP tersebut maka penerapan pidana mati di Indonesia dapat dikatakan memiliki legalitas yang jelas kecuali adanya pembaharuan dalam KUHP tersebut yang menghapuskan pidana mati sebagai sebuah ancaman pidana. Pada pelaksanaannya, pengaturan pidana mati sendiri sangat susah untuk diterapkan terhadap koruptor. Hal yang mempengaruhi daripada susahnya penerapan pidana mati adalah rumusan pasal yang multitafsir dan tidak mengatur secara konkrit sehingga pelaku korupsi tidak dapat memenuhi rumusan pasal yang dapat dijatuhkannya pidana mati tersebut. Perhatian pemerintah saat ini sangat diperlukan dalam menyusun sebuah regulasi sebagai upaya untuk mencegah berkembangnya perbuatan korupsi yang merajalela.

Dengan tidak adanya peraturan yang ancaman sangat berat maka seseorang dalam melakukan perbuatan korupsi sudah mempertimbangkan akibat daripada korupsi itu sendiri. Dengan kata lain upaya hukum yang harus dilakukan untuk memperingan ancaman pidana, mempertimbangkan keuntungan daripada korupsi itu sendiri sehingga pelaku juga masih mendapatkan keuntungan walaupun membayar

pengenaan pidana tambahan yaitu pidana denda. Pidana mati sangat diperlukan sebagai langkah untuk mencegah perbuatan korupsi yang berkembang di Indonesia. Setidaknya dalam penerapan pidana mati terhadap orang yang berbuat korupsi dapat memberikan ketakutan terhadap seseorang yang akan melakukan perbuatan korupsi sehingga pelaku dapat berpikir panjang sebelum melakukan perbuatan korupsi dan akibat dari perbuatan tersebut. Negara-negara berkembang seperti Thailand dan Vietnam mendukung penuh atas pelaksanaan pidana mati kepada orang yang melakukan sebuah perbuatan korupsi.2 Perlu diterapkannya pidana mati sebagai primum remidium dan pengaturan secara eksplisit dalam sebuah peraturan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Penolakan penerapan pidana mati di Indonesia didasari oleh adanya UU yang dimana pengaturan dalam pasalnya mengatur mengenai HAM. Adapun pasal yang mendasari penolakan pidana mati jika diterapkan di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana korupsi yakni pasal 28A, 28I ayat (1) dan (4) UUD 1945 tentang HAM, pasal 9 ayat (1) UU HAM.3 Adapun instrument internasional yang juga mendasari penolakan penerapan pidana mati di Indonesia adalah ICCPR yang sebagaimana telah diratifikasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Banyaknya kasus korupsi di Indonesia yang dapat dijatuhkan pidana mati terhadap tersangka belum mendapatkan hasil yang maksimal, yang dimana hal ini dapat menuaikan sebuah pertanyaan. Jika pidana mati tersebut layak diterapkan di Indonesia mengapa masih banyak kasus korupsi yang pemberian hukumannya tidak sesuai dengan perbuatannya dan perkembangannya semakin pesat. Pada intinya penerapan pidana mati tersebut merupakan sebuah hal yang harus dilakukan karena merupakan upaya preventif yang memberikan ketakutan terhadap orang yang akan melakukan dan mencegah pengulangan dari pada pelaku dalam melaksanakan perbuatan korupsi yang merupakan kejahatan yang bersifat extraordinary crime mereka akan lebih berpikir panjang sebelum melakukan aksi kejahatan karena takut terhadap ancaman atas perbuatan yang dilakukannya. Pidana mati merupakan sebuah upaya yang dibutuhkan untuk mengurangi pelaku tindak pidana korupsi. Indonesia perlu bercermin dari pada penerapan pidana mati di negara lain yang dimana dapat mengurangi perbuatan korupsi. Cerminan tersebut dapat menjadi acuan terhadap pembentukan RUU KUHP maupun pembaharuan terhadap sebuah undang-undang dalam menerapkan pidana mati terhadap kejahatan yang luar biasa khususnya korupsi.

Penelitian ini merupakan sebuah pemikiran yang dituangkan dalam bentuk jurnal. Yang dimana belum adanya jurnal yang memiliki judul yang sama dengan jurnal ini. Adapun jurnal yang memiliki kemiripan dengan jurnal ini, akan tetapi terdapat perbedaan dalam kajian dan permasalahan dengan jurnal ini. Jurnal yang memiliki kemiripan tersebut yaitu jurnal yang ditulis oleh Awaliyah Rizqi Nurul tahun 2015 yang berjudul “Perbandingan Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Perundang-Undangan Indonesia dan China”, jurnal ini memiliki focus penelitian yaitu persamaan dan perbedaan ancaman sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi berdasarkan perraturan perundang-undangan yang terdapat di

Indonesia dan China.4 Dan jurnal oleh Elizabeth Purba tahun 2018 yang berjudul “Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Bebagai Negara Yang Menerapkan Hukuman Mati ( Indonesia, Cina, dan Thailand)”, focus penelitian daripada jurnal ini adalah pelaksanaan eksekusi mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, China, dan Thailand.5 Dari pembahasan diatas dapat mengambil inti daripada penulisan ini untuk mendapatkan perbandingan penerapan pidana mati di negara lain.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana perbandingan pengaturan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di negara lain?

  • 2.    Bagaimana pengaturan pidana mati di Indonesia kepada pelaku korupsi yang terdapat adanya pertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini memiliki tujuan sebagai penuangan pikiran dan memunculkan ide terhadap pembaharuan hukum pidana khususnya pelaksanaan penerapan pidana mati terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang bersifat extraordinary crime. Dengan dilakukannya perbandingan pengaturan penerapan pidana mati pada pelaku korupsi dengan negara lain sehingga dapat mengklasifikasikan perbuatan korupsi yang merupakan kejahatan yang harus diperhatikan dan mendapatkan penanganan secara serius untuk meminimalisir sebuah kejahatan terhadap korupsi. Dilakukannya perbandingan dengan negara lain yang menangani korupsi dengan sangat serius dengan diterapkannya pidana mati merupakan sebuah acuan terhadap penanganan korupsi di Indonesia dengan mengatur lebih eksplisit mengenai pidana mati terhadap korupsi. Penulisan ini juga meninjau peraturan-peraturan yang bertentangan dengan diterapkannya pidana mati. Dengan adanya perbandingan tersebut dapat memunculkan peraturan yang baru dan pembaharuan rumusan-rumusan pasal yang mengkategorikan pelaku korupsi untuk diterapkannya hukuman mati.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penulisan dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian normatif. Bahan metode penelitian normatif dalam penulisan jurnal ini menggunakan bahan hukum penunjang yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Yang dimana bahan hukum primer tersebut adalah berupa undang-undang yang akan dilakukan pengkajian antara permasalahan yang ditulis dalam jurnal ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah buku yang dikaitkan dengan masalah yang ditulis dalam jurnal ini. Penggunaan penelitian normatif dalam jurnal ini didasari dengan dilakukannya studi kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang ada dan jurnal-jurnal yang memiliki kaitannya dengan pidana mati. Pendekatan terhadap peraturan perundang-

undangan (statue approach) juga dilakukan dalam melakukan penulisan jurnal ini. Dan pendekatan perbandingan (comparative approach) terhadap peraturan mengenai pidana mati terhadap tindak pidana korupsi yang di terapkan di negara lain yaitu Vietnam dan Thailand yang dilakukan dalam melakukan sebuah penelitian ini. Pendekatan ini merupakan sebuah upaya untuk membandingkan antara peraturan dalam suatu negara dengan negara lain yaitu Vietnam dan Thailand. Dilakukannya perbandingan dengan negara Vietnam dan Thailand dikarenakan negara tersebut memiliki peraturan yang mengatur mengenai penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Indonesia perlu mencontoh daripada peraturan penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat pada negara Vietnam dan Thailand hal ini dikarenakan negara tersebut dalam pengaturannya terdapat akumulasi jumlah yang ditetapkan dalam perbuatan korupsi hingga dapat dijatuhkannya pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik deskripsi yakni menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi hukum atau non hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan yang dimana menkaji peraturan-peraturan yang sesuai.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Perbandingan Pengaturan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Negara Lain

Kejahatan adalah suatu masalah kemanusiaan yang dapat menjadikan timbulnya suatu permasalahan sosial, permasalahan tersebut tidak hanya timbul pada suatu kalangan tertentu dan berakibat pada ruang lingkup dari pada terjadinya suatu kejahatan. Akan tetapi suatu kejahatan terlebihnya korupsi sangat berimplikasi pada kehidupan masyarakat banyak. Perbuatan korupsi ini dapat dikatakan sebagai budaya apabila tidak mendapatkan penanggulangan yang sangat serius. Dimana korupsi dilakukan tidak hanya pada suatu golongan atas saja, korupsi juga dapat dilakukan di masyarakat golongan bawah yang langsung memiliki dampak terhadap suatu kehidupan masyarakat. Perbuatan korupsi adalah suatu perilaku yang menyimpang yang merupakan ancaman nyata yang berkenaan langsung terhadap norma sosial yang menjadi dasar kehidupan dalam masyarakat. Kejahatan khususnya korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang berupa realitas sosial yang penyebabnya tidak mudah dipahami dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja dalam kehidupan bermasyarakat.6 Kejahatan-kejahatan yang terjadi di belahan bumi sangat beragam baik itu yang sifatnya berupa kejahatan biasa dan ada pula kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime) yang dimana memiliki dampak besar pada dalam kehidupan manusia. Sedangkan korupsi dapat digolongkan sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa. Extraordinary crime merupakan sebuah istilah yang dapat diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa dapat dijelaskan sebagai kejahatan yang memiliki dampak besar dan berimplikasi dalam segala lini yaitu terhadap masyarakat, bangsa dan negara. standar kejahatan yang dapat dikatakan sebagai extraordinary crime awalnya bersumber dari pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut mencakup yakni mengancam keamanan, kedamaian, kesejahteraan dan kehidupan manusia. Kriteria kejahatan yang bersifat extraordinary

crime biasanya dilakukan dengan cara direncanakan, terorganisir, dan sistematis dengan kerugian yang besar.7 Hal ini juga dapat dilihat dalam melakukan sebuah kasus korupsi

Ada berbagai alasan kebijakan dari negara-negara di belahan dunia yang tidak menerapkan maupun melaksanakan pidana mati terhadap pelaku korupsi salah satu alasannya mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Penerapan pidana mati terhadap koruptor memiliki peranan penting sebagai upaya pencegahan daripada pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki perkembangan dengan jumlah kasus yang sedemikian banyak. Penerapan pidana mati sebagai maximum remidium atau senjata terakhir dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dan dalam pelaksanaanya menuaikan pro dan kontra. Tidak adanya pengurangan kasus dari pada tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan bahwa hukuman pidana yang diberikan selama ini belum dapat memberikan efek jera (deterrent effect) bagi koruptor itu sendiri sehingga dapat terjadinya pengulangan kembali terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Indonesia perlu melakukan perbandingan terhadap negara lain yang menerapkan pidana mati terhadap koruptor. Perbandingan merupakan sebuah upaya dalam melakukan perkembangan dalam aspek pembaharuan hukum pidana.

  • a.    Pengaturan Pidana Mati Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Vietnam

Pengaturan pidana mati di Vietnam diterapkan kepada kejahatan besar yang merugikan negara, perbuatan korupsi, dan perdagangan narkotika. KUHP Vietnam pada tahun 1985 mengatur 40 kejahatan yang ancaman pidananya menerapkan pidana mati tidak terkecuali terhadap tindak pidana korupsi. Seiring perkembangan jaman maka jenis kejahatan yang dikenakan pidana mati terhadap tersangka pelaku kejahatan semakin berkurang yaitu menjadi 32 kejahatan yang hukumannya diterapkan pidana mati saat tahun 1999.8 Adapun pasal yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di Vietnam yang hukumannya terdapat pidana mati yaitu :

Pasal 278 ayat (4) mengenai penggelapan barang menyebutkan bahwa “melakukan kejahatan di salah satu keadaaan berikut, pelaku pidana dengan pidana dua puluh tahun penjara, penjara seumur hidup atau pidana mati”: a) mengambil alih kekayaan senilai lima ratus juta dong atau lebih; b) menyebabkan konsekuensi yang sangat serius lainnya”.

Pasal 279 ayat (4) yang mengatur mengenai penerimaan suap menyebutkan bahwa “melakukan kejahatan di salah satu keadaan berikut, pelaku dipidana dengan pidana du puluh tahun penjara, penjara seumur hidup atau pidana mati”: a) mengambil alih kekayaan senilai tiga ratus juta dong atau lebih; b) menyebabkan konsekuensi yang sangat serius lainnya.

Dalam penanganan tindak pidana korupsi di Vietnam tidak ada pengaturan secara khusus apabila korupsi tersebut dilakukan oleh pejabat negara. pengaturan yang terdaat dalam pasal 278 ayat (4) huruf a dan 279 ayat (4) huruf a dalam menjatuhkan suatu hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan penuntutan pasal tersebut, terdapat 3 ancaman hukuman pidana yaitu 20 tahun penjara, penjara seumur hidup dan pidana mati. Penerapan pidana mati terhadap

pelaku tindak pidana korupsi di Vietnam mempunyai kelemahan yaitu, dimana tidak adanya klasifikasi terhadap pelaku yang akan ditetapkan pidana mati

  • b.    Pengaturan Pidana Mati Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Thailand.

Dalam upaya untuk mengurangi perbuatan korupsi yang berkembang di negara Thailand. Thailand juga menerapkan pidana mati kepada seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi sebagai upaya daripada pencegahan perbuatan korupsi melalui sebuah pembuatan regulasi. Adapun pasal yang dimana dalam pengaturannya dapat dijatuhkan pidana mati apabila melanggar pasal tersebut. Pengaturan tersebut terdapat pada pasal 149, pasal 201, pasal 202 Criminal Procedur Code Of Thailand (No.29), BE 2551 (2008). Yang dimana bunyi daripadda pasal tersebut adalah:9

Pasal 149 tentang penerimaan suap menyebutkan bahwa “Barang siapa menjadi pejabat, anggota dewan legislatif negara bagian, anggota majelis changcuat atau anggota majelis kota, secara salah menuntut, menerima atau setuju untuk menerima untuk dirinya sendiri atau orang lain suatu property atau manfaat lain apapun untuk menjalankan atau tidak menjalankan fungsi aapun, baik itu menjalankan atau tidak fungsinya secara salah atau tidak, dipidana dengan pidana penjara lima sampai dua puluh tahun dan denda mulai dari dua ribu sampai empat ribu baht, atau kematian.

Pasal 201 tentang penerimaan suap menyebutkan bahwa “setiap pejabat di ps peradilan, penuntut umum, pejabat yang melakukan perkara atau pejabat penyelidikan, secara salah menuntut, menerima atau setuju untuk menerima property itu atau manfaat lain untuk diri sendiri atau orang lain untuk bergerak atau tidak melakukan apapun akan dipenjara mulai dari lima tahun hingga dua puluh tahun atau seumur hidup penjara dan denda mulai dari dua puluh ribu baht hingga empat puluh ribu baht atau kematian”.

Pasal 202 tentang penerimaan pembayaran menyebutkan bahwa “Barang siapa sebagai pejabat di pos peradilan, penuntut umum, pejabat melakukan kasus atau pejabat penyelidikan, menjalankan atau tidak menjalankan salah satu fungsinya dengan mempertimbangkan property atau manfaat lain yang dia minta, diterima atau setuju untuk menerima sebelum diangkat untuk jabatan itu, diancam dengan pidana penjara lima sampai dua puluh tahun atau penjara seumur hidup dan denda dua puluh ribu sampai empat puluh ribu baht, atau mati”.

Dalam pasal 149 Criminal Procedur of Thailand (No.29), BE 2551 (2008) pelaku yang mendapatkan hukuman mati adalah pejabat negara, anggota dewan legislative negara bagian, anggota majelis changwat atau anggota majelis kota, dan isi dari pasal 201 dan pasal 202 yang dapat dikenakan pidana mati lainnya adalah orang yang mimiliki jabatan dan yang menjalankan peradilan.10 Pengaturan mengenai penerapan pidana mati pada pelaku yang melakukan sebuah perbuatan korupsi di Thailand menekankan terhadap seorang pejabat negara atau lembaga hukum yang dalam menjalankan tugas yang diembannya melakukan sebuah perbuatan korupsi maka hukuman yang paling berat dijatuhkan adalah pidana mati. Berdasarkan peraturan yang mengatur mengenai korupsi di Thailand terdapat jumlah denda yang digunakan sebagai pengganti kerugian daripada korupsi yang telah dilakukannya. Kekurangan daripada pengaturan mengenai tindak pidana korupsi yang hukumannya adalah pidana mati yaitu, tidak terdapat jumlah kerugian yang ditetapkan untuk dapat dijatuhkan pidana mati baik itu penerimaan suap maupun penerimaan pembayaran.

Akibat dari tidak adanya klasifikasi jumlah yang ditetapkan daripada suatu pasal dalam pengaturan mengenai pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga hal ini dapat menguntungkan koruptor sendiri karena dapat menyebabkan suatu permasalahan dalam menetapkan hukuman. Kelebihan daripada pengaturan tindak pidana korupsi di Thailand yakni negara tersebut dalam menerapkan pidana mati tidak pandang bulu. Hal ini ditegaskan dengan adanya pasal yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang hukumannya pidana mati kepada orang-orang yang menjabat dalam sebuah lembaga pemerintahan. Dan apabila ia sebelum menjabat dalam sebuah lembaga pemerintahan jika terbukti melakukan korupsi maka ancamannya adalah pidana mati.

  • c.    Pengaturan Pidana Mati Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Kemudian dijelaskan kembali mengenai keadaan tertentu pada pasal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi yaitu terdapat pada pasal demi pasal angka 1 pasal 2 ayat (2), menjelaskan bahwa “yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi”. Jika dilakukan perbandingan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan negara Thailand dan Vietnam maka terdapat perbedaan yang signifikan dalam peraturannya. Penerapan pidana mati terhadap koruptor di Indonesia belum dapat terealisasikan secara penuh karena keadaan tertentu tersebut tidak sering terjadi dalam negara Indonesia akan tetapi perbuatan korupsi terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dalam pasal 2 ayat (2) tersebut menuaikan ketidakpastian hukum karena dalam menentukan rumusan terhadap suatu pelaku tindak pidana korupsi ini menyebabkan multi tafsir dalam penjatuhan sebuah hukuman yang tepat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pengaturan pidana mati tersebut perlu diatur secara eksplisit kembali dalam sebuah pembaharuan peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan penafsiran yang tidak pasti dalam mengambil sebuah keputusan untuk menjatuhkan hukuman terhadap tersangka pelaku korupsi. Pengaturan tindak pidana korupsi di indonesi dengan negara Thailand dan Vietnam memiliki perbedaan yakni di Indonesia tidak terdapat jumlah kualifikasi yang telah ditentukan sedangkan di negara Thailand dan Vietnam terdapat jumlah kualifikasi yang telah ditentukan dalam menetapkan sebuah pidana mati.

Untuk melakukan perubahan dalam rangka pembaharuan terhadap undang-undang tindak pidana korupsi perlu dirancang jumlah nominal korupsi yang dikategorikan sehingga penerapan pidana mati tersebut dapat menimbulkan suatu keadilan dalam sistem pemidanaan. Perluya Indonesia melakukan perbandingan dengan negara lain dalam penyusunan sebuah peraturan agar dalam menghasilkan peraturan yang beru mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi ini sesuai dengan apa yang diharapkan baik itu dikalangan penegak hukum maupun

dimasyarakat. Untuk melakukan sebuah adopsi pengaturan pidana mati terhdap pelaku tindak pidana korupsi di negara lain yang kemudian dirancang menjadi sebuah formulasi dalam peraturan perlu juga dipertimbangkan aspek filosofis bangsa. Pidana mati merupakan upaya represif dalam menanggulangi perbuatan korupsi yang berkembang pada saat sekarang ini di Indonesia dengan adanya formulasi terhadap peraturan yang berlaku maka pidana mati tersebut perlu dilihat juga dari sudut pandang kebijakan hukum pidana (penal policy) sehingga pengaturan tersebut dapat menanggulangi sebuah perbuatan korupsi. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang bersifat sistematis dan sangat luas dampaknya (systematic and widespread), sehingga dalam penanganan korupsi memerlukan upaya yang luar biasa komprehensif (comprehensive extraordinary measures).11

  • 3.2    Pengaturan Penerapan Pidana Mati di Indonesia Kepada Pelaku Korupsi Yang Terdapat Adanya Pertentangan Dengan Peraturan-Peraturan Yang Ada Di Indonesia

Pidana mati di Indonesia merupakan sebuah ancaman pidana terhadap kejahatan yang bersifat extraordinary crime. Pada penerapan pengaturan pidana mati ini sering menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya yang dimana bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia. Apalagi penerapan pidana mati ini apabila ditinjau dari kasus korupsi yang dimana didalamnya ada kepentingan politik yang mendukung sebuah korupsi sehingga realisasi pidana mati tersebut belum cukup baik. Pada prinsipnya pidana mati ini sangat kontradiktif penerapannya terhadap UUD 1945, UU HAM, dan ICCPR yang sebagaimana Indonesia telah meratifikasinya dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang konvenan internasional hak sipil dan politik. Pada hakikatnya pelaksanaan pidana mati ini merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan keadilan terhadap sebuah kejahatan khususnya korupsi. Penerapan pidana mati juga bertentangan dengan dfalsafah hidup bangsa yaitu pancasila. Hal ini terdapat pada sila ke 2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradap, sila ini menjelaskan bahwa melindungi dan memuliakan harkat dan martabat setiap orang. Dengan sila ini maka sangat jelas pancasila bertentangan dengan penerapan pidana mati di Indonesia. Terdapat hal yang dapat menguatkan pidana mati dapat dilaksanakan yaitu legalitas pidana mati. legalitas penerapan pidana mati juga sudah diatur dalam KUHP yang dimana terdapat dalam pasal 10 yang merupakan pidana pokok. Diperlukannya penyesuaian pengaturan pidana mati dengan kasus korupsi yang berkembang saat sekarang ini. Perlunya perhatian pemerintah dalam menanggulangi korupsi, baik itu perhatian dari eksekutif maupun legislative dengan merancang sebuah peraturan yang menguatkan pelaksanaan pidana mati sehingga tidak menuaikan pertentangan, baik itu dengan aspek filosofis bangsa maupun peraturan perundang-undangan yang ada. Upaya ini dilakukan sebagai perhatian untuk menanggulangi maupun mencegah kejahatan khususnya korupsi yang dapat merugikan negara dan kehidupan masyarakat.

  • a.    Pasal dalam UUD 1945 yang bertentangan bengan penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi

Dalam pasal 28A UUD 1945 menerangkan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya”. Jika disandingkan pada pengaturan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi, pasal tersebut jelas menuaikan pertentangan terhadap hak untuk hidup seseorang. Pada pasal tersebut tidak terdapat pengurangan daripda hak untuk hidup seseorang. Pasal lain juga yang tidak memberikan pembatasan terhadap hak seseorang juga terdapat pada pasal 28I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, dengan adanya kata tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun merupakan sebuah prinsip bahwasannya UUD 1945 tidak memberikan batasan terhadap hak hidup seseorang. Dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut melarang perampasan hak-hak yang dimiliki seseorang dalam menetapkan suatu hukuman. Pidana mati didefinisikan sebagai perampasan terhadap hak kehidupan seseorang secara paksa karena telah melakukan suatu kejahatan tanpa mempertimbangkan dari segi aspek terpidana dalam memperbaiki atas kejahatan yang dilakukannya. Konstitusi 1945 yaitu sebagai hirarki tertinggi pada peraturan perundang-undangan sangat menimbulkan semacam pro dan kontra yang menjadi polemik legitimasi pidana mati di Indonesia. Pada dasarnya pidana mati memiliki fungsi sebagai suatu ancaman bagi seseorang yang ingin melakukan sebuah kejahatan, agar seseorang tersebut berpikir jika melakukan kejahatan yang diamana keuntungan dari sebuah kejahatan tidak setimpal dengan hukuman yang dijatuhkannya, yaitu pidana mati.12

Pidana mati ini juga bertentangan terhadap pasal 28I ayat (4) yang bunyi pasal tersebut adalah “perlindungan pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Mengenai pasal tersebut pemerintah bertanggung jawab atas apa yang seseorang miliki sebagai warga negara dengan hak-haknya. Negara khususnya pemerintah wajib memenuhi, melindungi, dan penegakan suatu hak yang dimiliki seseorang. Yang dimana hak tersebut merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Negara khususnya pemerintah juga harus melindungi hak jika seseorang dalam melakukan kejahatan sampai dijatuhkannya sebuah hukuman. Pidana mati sejatinya bersifat mutlak, yang pada dasarnya tersangka yang telah mendapatkan hukuman mati maka tidak dapat hidup kembali walaupun pada suatu saat nanti tersangka yang menerima hukuman mati tersebut dinyatakan tidak bersalah. Pasal ini menekankan kepada pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia dengan mengambil tindakan untuk lebih selektif kembali dalam menjatuhkan hukuman mati dan orang yang menjatuhkan hukuman mati dapat mempertanggungjawabkan atas keputusannya dalam menjatuhkan hukuman apabila nanti tersangka yang dijatuhkan hukuman mati dinyatakan tidak bersalah. Mengenai hukuman mati yang dianggap melanggar hak seseorang yang terdapat pada pasal 28A dan 28I, kedua pasal ini harus mematuhi pembatasan hak yang diatur dalam pasal 28J UUD 1945.13 Pasal 28J merupakan pasal yang dimana memiliki kekuatan untuk melegalkan hukuman mati terhadap seseorang apabila kejahatan korupsi yang dilakukan berdampak terhadap hak yang dimiliki oleh banyak orang. Pada penerapan

pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi perlu dipertimbangkan kembali terhadap penerapannya dilapangan dalam sebuah putusan yang ditetapkan oleh penegak hukum. hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah tersangka karena suatu putusan sangat berimplikasi terhadap berbagai stigma yang timbul dimasyarakat. Sehingga dalam penetapan tersangka dan penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat memberikan keadilan yang dimana adil terhadap penjatuhan hukuman sesuai dengan perbuatannya dan adil terhadap hak yang dimiliki seseorang walaupun orang tersebut telah melakukan kejahatan.pengertian pasal 28J UUD 1945, terhadap kejahatan korupsi yang merupakan perampasan hak asasi manusia yang timbul akibat kesempatan dan peluang dalam melakukan korupsi. Hal ini tentu saja sangat mengambil hak orang banyak dan berdampak pada kerugian masyarakat, bangsa, dan negara.

  • b.    Pasal Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Yang Bertentangan Dengan Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Pada realitas penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan suatu hal yang dapat mengambil suatu hak yang dimiliki oleh seseorang, hak itu adalah hak untuk hidup. Adapun passal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang bertentangan dengan diterapkannya pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yaitu pasal 4 dan pasal 9 ayat (1) yang dimana bunyi daripada pasal 4 tersebut adalah “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Bunyi pasal 9 ayat (1) adalah”setiap orang berhak untuk hidup,

mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Kedua pasal diatas

merupakan sebuah perlindungan terhadap hak dasar yang dipunyai terhadap semua orang yang dimiliki sejak ia lahir yang secara kodrat diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa dan hak tersebut tidak boleh dirampas oleh siapapun. Dengan pasal tersebut pemerintah berkewajiban melindungi setiap manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki hak dan tidak dapat diganggu oleh pihak manapun. Hak tersebut harus dijunjung tinggi, dihormati, dan ditegakkan oleh setiap orang manusia sebagai makhluk sosial.

Konsep perlindungan hak asasi manusia dari pemberian oleh negara didasarkan pada konsep hubungan mengikat antara negara dan rakyatnya walaupun telah melakukan kejahatan khususnya kejahatan dalam perihal korupsi. Dalam hal ini negara berhak mengatur dan memberikan pembatasan hak-hak yang dimiliki pribadi setiap orang khususnya orang yang telah mengambil hak orang lain dalam suatu kejahatan korupsi agar dapat dijatuhkan sebuah hukuman yang adil.14 Dalam menunjau Undang-undang hak asasi manusia, dapat dilihat bahwa undang-undang tersebut juga mengakui pembatasan hak individu dan mengakui hak orang lain untuk terjadinya ketertiban di masyarakat. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa pidana mati adalah sebuah perlindungan yang diberikan negara terhadap hak-hak yang dirampas secara individu maupun korporasi dalam suatu kejahatan tindak pidana korupsi itu sendiri yang mengakibatkan kerugian baik itu dari negara maupun

masyarakat. Perihal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlindungan yang diberikan terhadap hak tersangka pelaku tindak pidana korupsi yaitu tersangka dapat melakukan upaya hukum di muka peradilan yang dimana upaya hukum tersebut bertujuan untuk meringankan hukuman yang akan dijatuhkan sehingga tersangka memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwasannya tidak bersalah sehingga tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana mati. Perbuatan korupsi merupakan sebuah kejahatan yang dimana mencakup perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, karena unsur daripada korupsi pada dasarnya merupakan sebuah penyiksaan terhadap orang yang tidak mampu yaitu merampas hak seseorang secara tidak sah untuk mendapatkan keuntungan baik itu secara individu maupun korporasi melalui perbuatan korupsi.15

Adapun peraturan perundang-undangan lain yang dimana di dalam pasalnya terdapat pertentangan dengan penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut adalah undang-undang nomor 12 tahun 2005 tentang konvenan internasional hak sipil dan politik yang merupakan peratifikasian instrument internasional yaitu ICCPR yang bertentangan dengan penerapan pidana mati. Dalam dunia internasional terdapat kecenderungan untuk menghapuskan hukuman pidana mati. Namun, hukuman mati masih dapat diterapkan terhadap kejahatan yang bersifat extraordinary crime walaupun terdapat keinginan untuk menghapuskan pidana mati dalam dunia internasional. Peraturan internasional yang bertentangna dengan pidana mati tertuang pada pasal 6 ayat (1) ICCPR, yang memiliki bunyi bahwa “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Pada instrument internasional ini terdapat pasal yang dimana mempunyai legalitas yang sangat jelas terhadap penerapan pidana mati daripada negara yang belum menghapus hukuman mati sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan diterapkan terhadap kejahatan yang paling serius yang dimana hal ini terdapat pada pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan konvenan dan konvensi entang pencegahan dan hukum kejahatan genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan”. Pasal tersebut menegaskan bahwa hak unntuk hidup seseorang tersebut tidak secara mutlak dimiliki seseorang, yang dimana hak tersebut dapat saja diambil oleh negara apabila telah melakukan kejahatanluar biasa dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam konvenan tersebut.16 Di dalam ICCPR kenyataannya tidak melarang hukuman mati. Akan tetapi, dengan penjelasan yang mengarah terhadap pelanggaran hak asasi manusia maka legalitas penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang merupakan sebuah kejahatan luar biasa tidak memiliki perhatian yang khusus dalam kalangan internasional. Masyarakat internasional lebih mengarah memperhatikan hukuman mati khususnya terhadap kasus tindak pidana korupsi yang merupakan pelanggaran hak untuk hidup daripada pelaku tanpa mempertimbangkan aspek

pelanggaran hak yang hilang daripada korban.17 Pada tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi ICCPR dengan menjadikannya sebuah peraturan dalam bentuk undang-undang nomor 12 tahun 2005. Diratifikasinya konvensi tersebut adalah karena negara Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yang sebagaimana menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi ketentuan dan tujuan PBB dan deklarasi universal hak asasi manusia serta prinsip dan tujuan internasional. Instrument tersebut pada dasarnya tidak melanggar pancasila dan UUD 1945 sebagai hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan ini maka ratifikasi tersebut merupakan justifikasi sebuah instrument internasional yang tidak mengubah isi konvensi tersebut dan mengikatnya konvensi tersebut dengan Indonesia.

Pidana mati yang merupakan masalah dalam penerapannya untuk menanggulangi sebuah kejahatan karena pidana mati tersebut mengambil suatu hak hidup daripada orang yang telah melakukan kejahatan atau dengan kata lain melakukan kejahatan yang bersifat luar biasa, dengan demikian bahwasannya sangat tidak sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam sebuah peraturan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.18 Konstitusi Indonesia sebenarnya tidak melarang diterapkannya pidana mati, akan tetapi terdapat pasal yang menjadikan alibi dari orang yang kontra dengan penerapannya membuat suatu beban untuk mempertimbangkan sebuah hak yang dimiliki pelaku sebuah tindak pidana korupsi.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Untuk melaksanakan pencegahan daripada perbuatan korupsi yang berkembang pada sekarang ini maka perlu dijatuhkannya pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Terdapat beberapa negara yang menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana korupsi yaitu Thailand, dan Vietnam. korupsi merupakan sebuah kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Dampak daripada korupsi tersebut berbengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi merupakan perbuatan yang dapat merugikan negara dan masyarakat yang dimana perbuatan tersebut merupakan sebuah upaya untuk menguntungkan diri sendiri dengan merugikan atau mengambil hak daripada orang lain. Dalam penanganan terhadap tindak pidana korupsi dalam KUHP Vietnam tidak terdapat penjelasan secara eksplisit pemberatan hukuman apabila pelaku daripada tindak pidana korupsi tersebut merupakan sebuah pejabat negara. KUHP Vietnam mengatur jumlah dari korupsi yang ancamannya dijatuhkan hukuman mati yaitu pasal 278 ayat (4) huruf a mengenai penggelapan yaitu sebesar lima ratus juta dong atau lebih maka hukumannya dapat dijatuhkan pidana mati dan pasal 279 ayat (4) huruf a mengenai penerimaan suap yaitu sebesar tiga ratus juta dong atau lebih maka hukumannya dapat dijatuhkan pidana mati. Di Thailand terdapat pasal yang dimana dalam pengaturannya menerapkan pidana mati yaitu terdapat pada pasal 148,149, 201, dan 202. Pengaturan tindak pidana korupsi di negara Thailand terdapat kekurangan yaitu tidak terdapatnya akumulasi jumlah yang ditetapkan sebagai korupsi yang

ancamannya adalah pidana mati baik itu tindak pidana korupsi yang berupa suap maupun penerimaan pembayaran. Akibat tidak terdapatnya jumlah yang ditetapkan pada rumusan pasal dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi di Thailand, maka dalam penerapan hukuman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Thailand menjadi sebuah ambigu dalam mengambil suatu keputusan dalam pengadilan. Kelebihan pengaturan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Thailand adalah pidana mati dapat dijatuhkan apabila dilakukan oleh petugas peradilan. Adapun peraturan yang bertentangan dengan penerapan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, yaitu pada penerapannya di Indonesia memiliki sedikit pertentangan dengan peraturan yang ada yaitu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28A mengenai hak hidup seseorang yang dilindungi dalam pasal ini dan pasal 28I ayat (4) yang dimana negara memiliki tanggung jawab terhadap suatu hak asasi seseorang. Terdapat batasan yang diberikan terhadap hak asasi manusia seseorang yang terdapat pada pasal 28J yang dimana jika dikaitkan dengan pelaku tindak pidana korupsi maka dapat ditafsirkan bahwa korupsi merupakan perampasan hak orang lain sehingga pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pidana mati agar terciptanya keadilan. Terdapat juga peraturan lain yang bertentangan dengan penerapan pidana mati yaitu Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang terdapat pada pasal 4 dan 9 ayat (1) dimana pasal tersebut memberikan arti bahwa terdapat kesempatan hak tersangka yang diberikan oleh negara. dan bertentangan dengan konvensi internasional yaitu ICCPR yang dimana melindungi hak setiap orang akan tetapi melegalkan hukuman mati kepada negara yang belum menghapuskan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa dan memerlukan penanganan serius.Indonesia perlu membandingkan pengaturan penerapan hukuamn mati dengan Negara Vietnam dan Thailand. Sebagai upaya dalam melakukan pembaharuan terhadap sebuah peraturan yang dilakukan pemerintah untuk mencegah korupsi yang berkembang pada saat sekarang ini. Penerapan pidana mati merupakan sebuah upaya untuk menimbulkan efek yang menakutkan terhadap orang yang akan melakukan korupsi. Diperlukannya aturan yang mengatur terhadap jumlah kerugian Negara yang di korupsi sehingga dapat dijatuhkannya pidana mati. Terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memiliki sedikit bertentangan dengan penerapan pidana mati maka hal ini pemerintah perlu mempertegas legalitas penerapan pidana mati khususnya terhadap sebuah tindak pidana korupsi yang dimana sangat jelas merugikan Negara dan masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya nanti tidak menimbulkan kontra dalam penerapannya. Dengan demikian maka dalam pelaksanaan pidana mati tidak menimbulkan kontra dalam penerapannya dan selaras dengan hirarki peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Kasiyanto, H. Agus. Tindak Pidana Korupsi: Pada Proses Pengadaan Barang Dan Jasa. (Jakarta, Prenada Media, 2018).

Rahim, Abdur, Asruddin Azwar, Muhammad Hafiz, and Satrio Wirataru. Hukuman Mati Problem Legalitas & Kemanusiaan. (Malang: Intrans Institute, 2015).

Widodo, Eddyono Supriadi. Politik Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia Dari Masa Ke Masa. (Jakarta, Tim Institute Criminal Justice Reform, 2017)

JURNAL

Anjari, Warih. “Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi”. Masalah-Masalah Hukum 49, no. 4 (2020): 432-442 DOI: 10.14710/mmh.49.4.2020.432-442

Awaliyah, Rizqi Nurul.“ Perbandingan Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidan a Korupsi Berdasarkan Perundang-Undangan Indonesia Dan China”. Jurnal Hu kum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan 4, no. 1 (2015):73-84 DOI: https://doi. org/10.20961/recidive.v4i1.40551

Dewi, Ni Komang Ratih Kumala. “Keberadaan Pidana Mati Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020): 104-114 DOI: https://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23444

Hamenda, Veive Large. “Tinjauan Hak Asasi Manusia Terhadap Penerapan Hukuman Mati Di Indonesia”. Lex Crimen 2, no. 1 (2013): 113-119. DOI: https://ejournal.u nsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/1003/816

Krisnawati, N., and Suatra Putrawan. “Penerapan Hukuman Mati Secara Massal Di Mesir Ditinjau Dari Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. Jurnal Kertha Negara 3, no. 3 (2015): 1-5 DOI: https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara /article/view/15201/10062

Marbun, Roy Ganda, Ida Lamsihar Sitompul, Midarmi Halawa, Indah Prihatiani Malau Pasa, and Ganesha Putra Purba. “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime”. Jurnal Ilmiah Simantek 4, no. 3 (2020): 234-243 DOI: https://simantek.sciencemakarioz.org/index.php/JIK/article/vi ew/184/161

Pratama, Widhy Andrian. “Penegakan Hukuman Mati Terhadap Pembunuhan Berencana”. SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019): 29-41. DOI: https://doi.org/10.3 7276/sjh.v1i1.34

Purba, Elizabeth. “Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Krupsi di Berbagai Negara Yang Menerapkan Hukuman Mati (Indonesia, China, dan Thailand)”. Jurnal Mahupiki 1, no. 4 (2018): 1-28 DOI: https://garuda.kemdikbud.go.id/doc uments/detail/1433357

Sidauruk, Bornok Mariantha. “Prospek Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”. Universitas Negeri Semarang: Skripsi Program Studi Hukum (2011): 1-122. DOI: http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/14 67

Soge, Paulinus. “Tinjauan Yuridis Eksekusi Pidana Mati Di Indonesia”. Yustisia Jurnal Hukum 1, no. 3 (2012): 94-104 DOI: https://doi.org/10.20961/yustisia.v1i3.1009 2

Wardani, Koko Arianto, and Sri Endah Wahyuningsih. “Kebijakan Formulasi Hukuman Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”. Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 4 (2017): 951-958 DOI: http://jurnal.unissul a.ac.id/index.php/jhku/article/view/2571/1928

Wicaksono, Setiawan. “Hambatan Dalam Menerapkan Pasal 6 Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik Sebagai Dasar Penghapusan Pidana Mati Di Indonesia”. Pandecta Research Law Journal 11, no. 1 (2016): 65-79 DOI: https://jou rnal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta/article/view/6682/4992

Yanto, Oksidelfa. “Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak PIdana Korupsi Dalam Keadaan Tertentu (Death Penalty To Corruptors In a Certai Condition)”. Jurnal Legislasi Indonesia 14, no. 1 (2017): 49-56. DOI: http://eprints.unpam.ac.id/id/e print/6099

Peraturan Perundang-Undangan

Criminal Procedure Code of Thailand (No.29), BE 2551 (2008)

International Convenant On Civel And Political Right 1966

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1282-1296