BENCANA ALAM SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP
on
BENCANA ALAM SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM HUKUM LINGKUNGAN HIDUP
Devi Indrayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]
I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]
DOI: KW.2022.v11.i08.p4
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan memahami pertanggungjawaban perdata yang dapat dimintakan kepada pelaku yang melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menganalisis batas atau ruang lingkup force majeure dalam perkara lingkungan hidup berdasarkan hukum positif di Indonesia. Metode penelitian yang relevan dengan topik penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Setiap orang yang kegiatannya mengakibatkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, dapat dimintai pertanggungjawaban perdata. Pertanggungjawaban perdata di bidang lingkungan hidup setidaknya diatur melalui Pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum danPasal 88 UUPPLH. Namun demikian, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menentukan bahwa tergugat sebagai pihak yang dimintakan pertanggungjawaban dapat mengajukan alasan bahwa rusak atau tercemarnya lingkungan hidup yang terjadi bukan disebabkan oleh perbuatannya, melainkan karena adanya keadaan-keadaan di luar kendalinya, seperti adanya perbuatan dari pihak ketiga, bencana alam, atau keadaan memaksa lainnya di luar kemampuan manusia. Akan tetapi, hingga saat ini ketentuan yangtermaktub dalam peraturan tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah setiap bencana alam secara serta merta dapat dijadikan alasan untuk tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
Kata Kunci: Bencana Alam, Pertanggungjawaban Perdata, Hukum Lingkungan Hidup
ABSTRACT
This study aims to identify and understand the civil liability that can be asked for perpetrators who violate the provisions of the law in the field of environmental protection and management. In addition, this study also aims to analyze the limits or scope of force majeure in environmental cases based on positive law in Indonesia. This research is classified as doctrinal legal research or normative legal research. The results of the study show that any person whose activities result in damage and/or pollution of the environment can be held civilly responsible. Civil liability in the environmental field is at least regulated through Article 1365 of the Civil Code concerning unlawful acts and Article 88 of the UUPPLH. However, Government Regulation Number 22 of 2021 concerning the Implementation of Environmental Protection and Management has determined that the defendant as the requested party can submit an excuse that the environmental damage and/or pollution that occurred was not caused by his actions, but due to circumstances outside control, such as acts of third parties, natural disasters, or other compelling circumstances beyond human capabilities. However, until now the provisions contained in the regulation do not provide further explanation whether every natural disaster can immediately be used as an excuse not to be responsible for environmental damage and/or pollution.
Key Words: Natural Disasters, Civil Liability, Environmental Law
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Persolan mengenai lingkungan hidup pada dasarnya merupakan peristiwa alamiah. Kejadian yang bersifat alami ini berakibat besar terhadap tata lingkungan dan seiring waktu pulih kembali secara alami pula (homeostasi). Kendatipun demikian, fakta-fakta yang terungkap sampai saat ini juga menunjukkan bahwa manusia turut andil terhadap peristiwa-peristiwa lingkungan yang terjadi. Setiap permasalahan lingkungan yang terjadi dan berkembang akibat ulah manusia ternyata lebih kompleks jika dibandingkan dengan masalah lingkungan yang disebabkan oleh faktor alam. Manusia beserta dengan aspek-aspek yang menyertainya seperti kebudayaan, karakter, paradigma, dan mobilitasnya membawa pengaruh yang signifikan terhadapkondisi lingkungan di sekitarnya.
Bencana alam yang terjadi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari faktor pengelolaan lingkungan hidup yang bermasalah. Rusak dan tercemarnya lingkungan hidup bermula dari orientasi pembangunan yang hanya mempertimbangkan aspek ekonomi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan.1 Menyadari bahwa manusia dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, maka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara adil dan bertanggung jawab perlu digencarkan demi keselamatan makhluk hidup secara konsisten. Lingkungan hidup akan terjaga kelestariannya apabila manusia mempunyai kesadaran lingkungan (environmental awareness). Maksudnya, manusia menyadari dan mengetahui sepenuhnya bahwa persoalan tentang lingkungan hidup merupakan tanggung jawab bersama, sehingga diperlukan upaya yang terpadu dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah tersebut, baik yang bersifat aktual maupun potensial.2 Pembangunan nasional saat ini dan pada masa yang akan datang haruslah berorientasi pada pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Setiap pelaksanaan pembangunan jangan sampai melanggar ketentuan perundang-undangan dan selalu memperhatikan secara saksama mengenai perkembangan lingkungan dalam skala nasional maupun global.
Pemerintah dan masyarakat hendaknya saling bersinergi satu sama lain dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidupguna mencapai keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan.Ditinjau dari sisi histori, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan bermula dari penyelenggaraan United Nations Conference on the Human Environment yang diselenggarakan di Stockholm tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi tingkat internasional tersebut menyepakati bahwa setiap negara di seluruh dunia memikul kewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup.3 Kemudian, Indonesia menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan membentuk undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Jika ditilik lebih lanjut, dapat diketahui bahwa instrumen hukum lingkungan hidup di Indonesia mendayagunakan 3 (tiga) bidang hukum sekaligus sebagai saranapenegakan hukum. Ketiga bidang dimaksud terdiri dari hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana. Penyelesaian perkara melalui jalur hukum perdata dapat ditempuh dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan atau para pihak yangberperkara dapat menempuh penyelesaian masalah di luar pengadilan. Penyelesaian perkara melalui hukum administrasi dapat ditempuh dengan cara mengajukan gugatan tata usaha negara atau penjatuhan sanksi oleh pemerintah. Apabila kedua penyelesaian tersebut belum memadai, maka hukum pidana hadir sebagai upaya terakhir dalam menegakkan hukum lingkungan.
Setiap orang yang tindakannya mengakibatkan rusaknya atau tercemarnya lingkungan hidup dapat dimintai pertanggungjawaban perdata. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPer dan UUPPLH sebagaimana diubah melalui UU Cipta Kerja. Namun demikian, “Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” (PP 22/2021) telah menentukan bahwa tergugat sebagai pihak yang dimintakan pertanggungjawaban dapat mengajukan alasan bahwa rusaknya atau tercemarnya lingkungan hidup yang terjadi bukan disebabkan oleh perbuatannya, melainkan karena adanya keadaan-keadaan di luar kendalinya, seperti adanya perbuatan dari pihak ketiga, bencana alam, atau keadaan memaksa lainnya di luar kemampuan manusia. Akan tetapi, hingga saat ini ketentuan yang termaktub dalam peraturan tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah setiap bencana alam secara serta merta dapat dijadikan alasan untuk tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup. Sebab, pada kenyataannya tidak jarang dijumpai peristiwa bencana alam yang terjadi merupakan akibat dari tindakan manusia yang tidak mengelola dan melestarikan lingkungan hidup secara baik dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu, terdapat kekosongan norma mengenai syarat- syarat suatu bencana alam dapat dijadikan alasan yang menghapus pertanggungjawaban tergugat.
Sebelumnya, terdapat dua penelitian terdahulu yang membahas tentang act of god sebagai alasan yang menghapus pertanggungjawaban perdata di bidang lingkungan hidup. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Casey Nico dan Mella Ismelina dengan judul "Analisis Terhadap Batasan Pemberlakuan Tindakan Perbuatan Melawan Hukum Dan Force majeure Dari Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran
3Jazuli, Ahmad. "Dinamika hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 4,no. 2 (2015)”: 181-197.
Hutan” dan penelitian yang dilakukan oleh Haryadi Prim dengan judul "Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata di Indonesia”. Penelitian pertama fokus menganalisis batas-batas force majeure dalam perkara lingkungan hidup berdasarkan praktiknya di pengadilan. Sementara pada penelitian yang kedua fokus membahas tentang pengembangan pembuktian dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, penelitian ini menitikberatkan pada batas-batas atau syarat-syarat agar suatu bencanaalam dapat dijadikan dasar pembebasan tanggung jawab perdata di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban perdata dalam perkara lingkunganhidup?
-
2. Apakah setiap peristiwa bencana alam dapat dijadikan alasan yang menghapuspertanggungjawaban perdata di bidang lingkungan hidup?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan memahami pertanggungjawaban perdata yang dapat dimintakan kepada pelaku yang melanggar ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menganalisis syarat-syarat agar suatu bencana alam dapat dijadikan sebagai alasan yang menghapus pertanggungjawaban terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
-
II. Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka metode penelitian hukum normatif relevan dengan topik penelitian ini. Metode penelitian hukum normatif menelaah norma-norma yang tercantum dalam undang-undang maupun instrumen hukum lainnya yang masih berlaku. Penelitian hukum ini mengkaji probelmatika hukum dengan cara mengidentifikasi bahan hukum yang telah dihimpun yang berhubungan dengan pertanggungjawaban perdata yang dapat dibebankan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan perundang- undangan di bidang lingkungan hidup dan keadaan-keadaan yang dapat disebut sebagai force majeure dalamperkara lingkungan hidup. Untuk menguraikan pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka digunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Pendekatan yang disebutkan pertama dapat membantu mengulastentang peraturan-peraturan yang bersinggungan langsung dengan peratnggungjawaban perdata dalam perkara lingkungan hidup. Selain itu, melalui pendekatan undang-undang akan diketahui bahwa hukum positif Indonesia belum
mengatur secara khusus tentang syarat-syarat suatu keadaan dapat disebut sebagai force majeure dalam perkara lingkungan hidup. Sementara itu, pendekatan yang disebutkan terakhir dapat menelaah dan memahami konsep-konsep mendasar pertanggungjawaban perdata dalam perkara lingkungan hidup.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pertanggungjawaban Perdata dalam Perkara Lingkungan Hidup
-
Hukum lingkungan merupakan bidang hukum dengan karakteristiknya yang khas karena di dalamnya menyinggung 3 (tiga) unsur hukum sekaligus, yaitu hukum perdata, hukum, administrasi, dan hukum pidana. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa berbicara mengenai penegakan hukum lingkungan, maka sama artinya dengan upaya-upaya untuk mewujudkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan di bidang lingkungan hidup melalui hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana. Apabila seorang pejabat atau badan pemerintah mengeluarkan keputusan atau tindakan yang secara formil dan materiil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka terhadap pejabat atau badan pemerintah dapat digugat ke pengadilan tata usahanegara.4 Selain itu, pemerintah juga dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap siapapun yang melanggar ketentuan hukum lingkungan. Hukum perdata dapat digunakan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan negeri baik oleh perseorangan maupun intansi atau organisasi. Ketentuan pidana dicantumkan dalam instrumen hukum lingkungan hidup sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum. Namun, jika dibandingkan di antara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan termasuk ke dalam wilayah hukum administrasi negara.5
Apabila pihak yang mengalami kerugian lingkungan hidup ingin menyelesaikanperkara melalui jalur hukum perdata secara litigasi, maka terdapat dua upaya yang dapat ditempuh. Pertama, penggugat dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang HukumPerdata (KUHPer). Kedua, penggugat dapat mengajukan gugatan strict liability (tanggung jawab mutlak) yang diatur dalam Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 88 UUPPLH.6
KUHPer tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum. KUHPer hanya mengatur tentang syarat-syarat suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat diketahui melalui ketentuan Pasal 1365 KUHPer yang menentukan bahwa “Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Berdasarkan konstruksi norma tersebut, maka terdapat 5 (lima) unsur yang wajib dipenuhi agar suatu perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawanhukum.
Unsur pertama yang wajib dibuktikan ialah adanya suatu perbuatan. Istilah perbuatan yang termaktub dalam Pasal 1365 KUHPer mengandung dua makna, yaitu perbuatan aktif dan pasif. Perbuatan aktif artinya pelaku memang melakukan suatu perbuatan yang nyata-nyata mendatangkan kerugian bagi orang lain, sedangkan perbuatan pasif maksudnya pelaku tidak melakukan suatu perbuatan namun dapat merugikan orang lain. Maka dari itu, yang dimaksud dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer tidak hanya tertuju pada tindakan aktif yang dilakukan oleh seseorang, melainkan tindakan diam pun juga dapat disebut sebagai perbuatan melawan hukum lantaran tidak mengindahkan apa yang menjadi kewajibannya.7
Unsur kedua yang selanjutnya dibuktikan ialah perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Sebelum tahun 1919, frasa “melawan hukum” diartikan secara sempitoleh Hoge Raad, yakni setiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau tidak sesuai dengan kewajiban hukum pelaku yang secara tegas tertuang dalam undang- undang. Artinya, perbuatan melawan hukum hanya dipahami sebatas perbuatan yang melanggar undang-undang. Pemahaman ini tidak terlepas dari adanya pengaruh ajaranlegisme. Kemudian, penafsiran terhadap makna melawan hukum tersebut mulai ditinggalkan pasca lahirnya putusan Hoge Raad pada tahun 1919. Dalam putusannya, Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan melanggar hukum wujudnya tidak hanya berupa pelanggaran terhadap kaidah hukum tertulis, melainkan juga setiap tindakan yang memenuhi salah satu dari unsur di bawah ini:
-
1. Perbuatan yang melanggar hak orang lain;
-
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
-
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
-
4. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalambermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.8
Unsur ketiga yang harus dipenuhi ialah adanya adanya unsur kesalahan. Dengan demikian, dalam sidang pengadilan pihak penggugat wajib membuktikan bahwa tergugat melakukan perbuatan melawan hukum atas dasar kesengajaan atau setidak-tidaknya karena kealpaan.
Unsur keempat yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian. Pelaku wajib memberikan ganti rugi kepada orang lain atas perbuatannya yang melawan hukum.
Perlu diketahui bahwa ganti rugi dalam konteks perbuatan melanggar hukum memilikiperbedaan dengan ganti rugi dalam konteks wanprestasi. Ganti rugi yang disebabkan oleh wanprestasi diatur secara jelas dalam Pasal 1243 KUHPer, sedangkan ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tidak diatur secara jelas dalam KUHPer. Kerugian yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer berupa kerugian yang dapat dinilai dengan uang (kerugian materi) dan kerugian yang tidak bersifat materi.
Unsur terakhir yang wajib terpenuhi adalah adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan dengan kerugian yang dialami orang lain. Mengenai hal ini, Hoge Raad dalam putusannya pada tanggal 3 Februari 1927 memberikan pengertian terhadap hubungan sebab-akibat. Menurut Hoge Raad, hubungan kausalitas yang dimaksud yaitu kerugian yang dialami merupakan konsekuensi langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku (redelijkerwijze te verwachten).9
Pertanggungjawaban di bidang lingkungan hidup sebagaimana termaktub
dalam Pasal 1365 KUHP memiliki perbedaan dengan pertanggungjawaban di bidang lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH. Jika pada KUHPer unsur kesalahan merupakan unsur mutlak yang wajib dibuktikan, maka pada UUPPLH unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak yang merasa dirugikan yang kemudian dikenal dengan istilah pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Pada pokoknya, model pertanggungjawaban ini memberikan penekanan bahwa pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan tanpa memandang unsur kesalahan.10 Subjek hukum yang dibebani strict liability merupakan subjek hukum yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terbilang berbahaya yang kemudian atas dasar sifat berbahaya itulah subjek hukum tersebut wajib menanggung seluruh akibat yang timbul dari perbuatannya meskipun yang bersangkutan telah menempuh berbagai langkah untuk mengantisipasi kerugian tersebut, sekalipun perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi dilakukan tanpa didasari oleh kesengajaan.11 Mengacu pada putusan-putusan pengadilan yang dirangkum oleh para ahli hukum, terdapat sejumlah prinsip yang terkandung dalam penerapan strict liability, yaitu:
-
1. “Mengandung atau menimbulkan tingkat resiko bahaya yang tinggi
terhadap manusia, tanah dan harta benda bergerak (existance of a high degree of some harm to the person, land or chattel of others).
-
2. Kemungkinan terjadinya bahaya sangat besar (likehood that harm results from it will be great).
-
3. Ketidakmampuan untuk meniadakan resiko dengan melakukan tindakan atau sikap hati-hati yang layak (inability to eliminate risk by theexercise of reasonable care).
-
4. Kegiatan yang bersangkutan bukan merupakan hal atau kegiatan yang lazim (extent to which the activity is not a matter of common usage).
-
5. Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bersangkutan dengan lingkungan atau tempat dimana kegiatan itu diselenggarakan (inappropriatenees of tke activity to the place where it is carried on).
-
6. Manfaat dari kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-bahaya dari kegiatan itu (extent to which its value to the community is outwheighed by its dangerous attributes)”.12
Hakim bertugas untuk memberikan keputusan mengenai dapat atau tidaknya strict liability diterapkan dalam menyelesaikan suatu perkara. Syarat-syarat yang telahdisinggung di muka tidak wajib dibuktikan seluruhnya. Artinya, dengan dipenuhinya salah satu syarat saja sudah dapat diterapkan ajaran strict liability. Pengejawantahan prinsip strict liability dalam UUPPLH hanya berlaku dalam batas tertentu sebagaimanatermaktub dalam Pasal 88 UUPPLH sebagai berikut: “Setiap orang yang tindakannya dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Berdasarkan penjelasan ketentuan a quo, penggugat tidak lagi dibebani kewajiban untuk membuktikan adanya unsur kesalahan pada tergugat sebagai dasar dalam rangka memperoleh ganti kerugian. Kendatipun demikian, perlu ditegaskan bahwa penggugat tetap dibebani beban pembuktian. Masihterdapat dua unsur yang wajib dibuktikan oleh penggugat di sidang pengadilan yaitu pembuktian mengenai adanya perbuatan yang dilakukan oleh tergugat dan perbuatan tersebut secara langsung mengakibatkan kerugian (hubungan sebab-akibat).13
3.2. Bencana Alam sebagai Alasan Penghapus Pertanggungjawaban Perdata terhadap Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup
Force majeure merupakan terminologi yang acapkali digunakan sebagai dalih untuk membebaskan diri atau setidak-tidaknya mengurangi tanggung jawab dalam menunaikan apa yang menjadi kewajibannya karena faktor-faktor yang berada di luar kendalinya.14 Pada awalnya, penerapan force majeure berlaku dalam lapangan hukum
kontrak yang diatur dalam KUHPer.15 Seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, konsep force majeure pada akhirnya juga turut diadopsi dalam hukum lingkungan. Berdasarkan PP 22/2021, khususnya pada Pasal 501 ayat (4) huruf b, Tergugat diberikan hak untuk membuktikan bahwa rusaknya atau tercemarnya lingkungan hidup bukan disebabkan oleh usaha atau kegiatannya, melainkan disebabkan oleh pihak lain atau keadaan kahar (force majeure). Selanjutnya, Pasal 501 ayat (5) menentukan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan yang menyebabkan tergugat terbebas dari pertanggungjawaban yaitu adanya bencana alam atau peperangan; adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau akibat perbuatan pihak lain yang mengakibatkan lingkungan hidup mengalami kerusakan dan/atau pencemaran.
Peristiwa bencana alam sebagaimana diatur dalam Pasal 501 ayat (5) secara teoretis disebut sebagai kuasa Tuhan (act of god). Ketentuan tersebut belum memadai lantaran ketiadaan penjelasan lebih lanjut apakah setiap peristiwa bencana alam secara serta merta dapat membebaskan tergugat dari tanggung jawab untuk memulihkan lingkungan hidup yang mengalami kerusakan dan/atau pencemaran. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kiranya diketahui asal mula act of god digunakan sebagai alasan yang dapat membebaskan tergugat dari pertanggungjawaban perdata. Berdasarkan literatur yang ada, diketahui bahwa penerapan Act of god dalam perkara lingkungan hidup pertama kali diterapkan oleh Amerika Serikat. Seiring dengan perkembangan zaman, prinsip ini dianut oleh negara-negara dengan tradisi hukum anglo saxon dan pada akhirnya juga digunakan oleh negara dengan sistem hukum civil law. Lembaga legislatif di Amerika Serikat mendefinisikan act of god sebagai peristiwa yang terjadi karena adanya bencana alam. Kendatipun demikian, setiap bencana alam tidak dapat secara serta merta dapat disebut sebagai act of god. Bencana alam yang bersifat extra ordinary saja yang bisa dikualifikasikan sebagai act of god. Selain itu, manusia tidak dapat memperkirakan atau bahkan mencegah terjadinya bencana alam tersebut. Secara a contrario, act of god bukan merupakan bencana alam yang seringkali menimpa suatu wilayah tertentu karena tidak memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang telah dikemukakan. Selain definisi yang dirumuskan oleh badan legislatif Amerika Serikat, tidak sedikit yang mengemukakan bahwa act of god merupakan peristiwa alamyang murni terjadi tanpa adanya campur tangan manusia. Jika dalam sidang di pengadilan terdapat fakta hukum bahwa bencana alam yang terjadi disebabkan adanyacampur tangan manusia, maka act of god yang dijadikan dalih oleh tergugat untuk membebaskan diri dari tanggung jawab tidak akan dikabulkan oleh hakim. Selain ketiadaan campur tangan manusia, suatu peristiwa baru dapat dikatakan sebagai act ofgod apabila bencana alam yang terjadi secara cepat, tidak dapat dikendalikan, dan tidakdapat diperkirakan sebelumnya.
Pihak yang berpotensi bertanggung jawab pada umumnya menjadikan act of god sebagai dalih untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban. Pihak tersebut sepatutnya tidak hanya mengemukakan alasan tersebut dan kemudian tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, ia juga wajib menunjukkan bukti yang mencukupi dan mendukung bahwa peristiwa itu mustahil untuk diperkirakan atau dielakkan dan act ofgod lah satu-satunya faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Artinya, dapatlah disimpulkan bahwa terdapat 4 unsur fundamental yang wajib dibuktikan olehpihak-pihak yang menyatakan bahwa kerusakan alam yang terjadi merupakan faktor act of god, yaitu (1) ketidakmungkinan untuk mengantisipasi act of god; (2) act of god yang dimaksud adalah bencana alam atau peristiwa lain yang serius (grave), bersifat extra ordinary, tidak dapat dihindari, dan tidak dapat ditahan; (3) act of god yang terjadi adalah faktor tunggal terjadinya kerusakan lingkungan; (4) pihak tersebut telah berupaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, akan tetapi act of god yang menyebabkan kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Pertanggungjawaban perdata di bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UUPPLH tidak mewajibkan penggugat untuk membuktikan adanya unsur kesalahan pada diri pelaku. Dengan demikian, penggugat hanya dibebani pembuktian mengenai adanya perbuatan dan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi. Force majeure merupakan terminologi yang acapkali digunakan sebagai dalih untuk membebaskan diri atau setidak-tidaknya mengurangi tanggung jawab dalam menunaikan apa yang menjadi kewajibannya karena faktor-faktor yang berada di luar kendalinya. Sehubungan dengan hal tersebut, PP Nomor 22 Tahun 2021 mengatur bahwa tergugat dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwakerugian lingkungan hidup yang dialami oleh penggugat disebabkan oleh bencana alam yang pada hakikatnya merupakan tindakan tuhan (act of god). Namun demikian, ketentuan a quo tidak mengatur lebih lanjut apakah setiap bencana alam secara serta merta dapat dijadikan dalih oleh tergugat untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban perdata. Maka dari itu, perlu ada penjabaran lebih lanjut mengenai konsep act of god dalam perundang-undangan di Indonesia dengan mengacu pada konsep act of god yang berlaku di negara-negara common law sebagai peloporkonsep tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Pangestu, Muhammad Teguh. “Pokok-pokok hukum kontrak. CV. Social Politic Genius (SIGn), 2019”.
Setiawan, I. Ketut Oka. Hukum perikatan. Bumi Aksara, 2021.
Wahid, AM Yunus, and M. Si SH. Pengantar Hukum Lingkungan Ed. 2. Kencana, 2018.
Jurnal:
Casey, Nico, and Mella Ismelina FR. "Analisis Terhadap Batasan Pemberlakuan Tindakan Perbuatan Melawan Hukum Dan Force majeure Dari Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan." Jurnal Hukum Adigama 3, no. 2 (2021): 1540-1564.
Hardjaloka, Loura. "Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagaiIus Cogen dalam Kasus Gunung Mandalawangi." Jurnal Yudisial 5, no. 2 (2012):134-153.
Haryadi, Prim. "Pengembangan hukum lingkungan hidup melalui penegakan hukum perdata di Indonesia." Jurnal Konstitusi 14, no. 1 (2017): 124-149.
Herlina, Nina. "Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 3, no. 2 (2017): 162-176.
Jazuli, Ahmad. "Dinamika hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 4, no. 2 (2015)”: 181-197.
Kurniawan, Ridho. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan Hidup)." Jurnal Yuridis 1, no. 2 (2017): 153-168.
Mahardika, Ahmad Gelora. "Implikasi Penghapusan Strict Liability Dalam Undang- Undang Cipta Kerja Terhadap Lingkungan Hidup Di Era Sustainable Development Goals." Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan 2, no. 1 (2022): 58-85.
Praja, Chrisna Bagus Edhita, Dasep Nurjaman, Dian Arifa Fatimah, and Nilma Himawati. "Strict liability Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan." Varia Justicia 12, no. 1 (2016): 42-62.
Rianda, Hendi Gusta. "Problematika Konsepsi Strict Liability dalam Perlindungan Lingkungan Hidup Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja." Muhammadiyah Law Review 5, no. 2 (2021): 100-109.
Shidarta, Shidarta. "Perbuatan Melawan Hukum Lingkungan Penafsiran Ekstensif Dan Doktrin Injuria Sine Damno." Jurnal Yudisial 3, no. 1 (2017): 60-77.
Sinaga, Niru Anita. "Perspektif Force Majeure Dan Rebus Sic Stantibus Dalam Sistem Hukum Indonesia." Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no. 1 (2021).
Wibisana, Andri G. "Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT." Bumi Mekar Hijau (BMH). Bina Hukum Lingkungan 1,no. 1 (2016): 36-58.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor6634)
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 7 Tahun 2022, hlm. 1527-1538
Discussion and feedback