EFEKTIVITAS PENERAPAN HUKUMAN KEBIRI KIMIAWI TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK
on
EFEKTIVITAS PENERAPAN HUKUMAN KEBIRI KIMIAWI TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN
SEKSUAL PADA ANAK
Mayada Christ Adi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]
A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i08.p2
ABSTRAK
Tujuan dari riset ini adalah untuk meninjau mengenai penerapan sanksi kebiri kimiawi kepada para pelaku penganiayaan seksual pada anak serta tindakan kebiri kimiawi tersebut sudah secara efektif atau belum dalam mencegah terjadinya penganiayaan seksual pada anak. Riset ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji bahan-bahan primer meliputi buku- buku hukum, jurnal-jurnal hukum serta kajian maupun pandangan dari ahli hukum yang termuat didalamnya, sehingga hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa tindakan kebiri kimia bisa dikatakan efektif dikarenakan pidana penjara belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku pedofelia. Pada penerapannya masih adanya konflik antara UU. No. 17 tahun 2016 dengan Kode Etik Kedokteran dan juga peraturan ini masih susah dalam penerapannya
Kata Kunci: Hukuman Kebiri Kimiawi, Kekerasan Seksual, Undang-Undang
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the application of chemical castration to perpetrators of sexual violence against children and whether or not chemical castration has been effective in preventing sexual violence against children. This study uses a normative legal research method by examining secondary materials including legal books, legal journals as well as studies and views from legal experts contained in it, so that the results of this study show that chemical castration can be said to be effective due to imprisonment. cannot act as a deterrent effect to pedophile perpetrators. In its application there is still a conflict between Statute no. 17 of 2016 Perspective Code of Medical Ethics as well as this regulation can still be said to be weak in its implementation.
Key Words : Chemical Castration, Sexual Violence,Code
-
I. PENDAHULUAN
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Kata pedofelia bersalah dari Yunani : paidophilia yaitu paiis (anak-anak) serta philia (cinta yang berkarib atau sahabat) pedofilia merupakan kendala kebatinan yang dirasakan pada orang dewasa ataupun remaja. Seorang pedofelia memiliki prilaku seks menyimpang yang dimana seorang pedofelia lebih tertarik secara aktifitas seksual kepada anak-anak prapubertas atau anak-anak dibawah 14 tahun.1
Anak merupakan salah satu bagian kelangsungan hidup umat manusia dan kelangsungan bangsa.2 Ketentuan di Indonesia, anak mempunyai suatu tugas esensial serta utama, dimana secara jelas bahwa negara hendak menanggung hak dari tiap anak atas kesinambungan hidup berkembang, serta kemajuan anak begitu pula proteksi terdapatnya pemisahan serta penganiayaan yang dimana tercatat di dalam Asas Negera Republik Indonesia Pasal 28B ayat (2).
Kasus pelecehan seksual kepada anak masih banyak dan mendominasi pada satu dekade kebelakang, tetapi saat pandemic covid-19 menurut data dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI), terdapat 419 perkara penganiayaan seksual pada anak pada tahun 2020.3 Penganiayaan seksual pada anak berbeda dengan kasus penganiayaan lainnya, penganiayaan seksual yang terjadi dibawah umur mempunyai efek yang serius terhadap anak baik secara langsung ataupun jangka panjang, dan juga meninggalkan luka secara fisik maupun psikologi pada anak. Tindakan seksual menyimpang tersebut, sudah mengusik kedisiplinan umum pada penduduk, paling utama para orang tua.4
Demi melindungi dan memerangi kasus penganiayaan seksual pada anak di bawah umur, pemerintah menetapkan Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua pada UU. No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kemudian, Perpu No. 1 ini disahkan menjadi UU. No. 17 tahun 2016. Pada perpu tersebut tercantum mengatur mengenai pemberatan pada tersangka kriminal seksual pada anak di bawah umur, yang dimana dalam perpu tersebut menerangkan tersangka yang melaksanakan aksi kriminilitas tersebut bisa diberikan ganjaran berbentuk kebiri kimiawi.5
Tindakan kebiri kimiawi berdasarkan “Pasal 1 angka 2 Peraturan PemerintahNo. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi Dan Pengumuman Identitas Pelaku KekerasanSeksual Terhadap Anak” menyatakan bahwa : “Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah di pidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi”.
Hukuman kebiri kimiawi termasuk ganjaran yang baru ada di Indonesia, sering terjadi pro dan kontra menyangkut hukuman ini, disatu sisi hukuman kebiri kimiawi bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) serta kode etik kedokteran namun disisi lain kebiri kimiawi diharapkan dapat menuntaskan dan
membuat pengaruh jera sekaligus menangkal insiden kembali kasus penganiayaan seksual pada dibawah umur.6
Provinsi Bali merupakan salah satu Provinsi layak anak yang mengedepankan hak-hak dan perlindungan anakNamun tidak dapat dipungkiri masih terdapat kasus-kasus pelecehan serta perampasan hak-hak terhadap anak dibawah umur yang sejatinya telah dilindungi oleh konstitusi negara. .7 Dalam penerapan hukuman bagi seorang pedofelia masih mengacu pada ketetapan kriminalitas Pasal 82 ayat (1) UU. No. Tahun 2014 mengenai Perubahan atas UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ultimatum maksimal 15 tahun penjara.
Penulis telah mengumpulkan dua penulisan jurnal yang serupa untuk digunakan sebagai pembeda terhadap jurnal yang dibuat oleh penulis yaitu Pertama, jurnal yang di publish oleh I Nyoman Adhi Sadu Gunawan & Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, dengan judul “Hukuman Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan Sexual berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia Internasional” dengan fokus pembahasannya mengenai hukuman kebiri kimia melalui sudut pandang Deklarasi Universal Hak asasi manusia dan perbandingan penerapannya di negara luar yang telah merapkan kebiri kimia. Kedua, jurnal yang di publish oleh Hario Danang Pambudhi & Hanifah Alya Chaerunnisaa, yang berjudul “Meninjau Ulang Sanksi Kebiri Kimia Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Pancasila” dengan focus pembahasannya mengenai aspek-aspek untuk pemenuhan bagi pelaku tindakan kebiri kimia sesuai dengan Pancasila dan pemenuhan bagi pihak yang ditindak kebiri kimia untuk kelangsungan hidupnya.
Adapun jurnal yang dibuat oleh penulis membahas tindakan kebiri kimia melalui aspek UU No.17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak dan keterkaitannya dengan UU HAM dan Kode Etika Profesi Kedokteran sebagai fokus pembahasan. Dari pengumpulan dua jurnal serupa tersebut penulis memiliki minat untuk membuat
karya tulis ilmiah yang berjudul “Efektivitas Penerapan Hukuman Kebiri Kimiawi Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pada Anak”
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana sanksi tindakan kebiri kepada para tersangka aksi kriminalitas penganiayaan seksual kepada anak di bawah umur dari kacamata hukum positif Indonesia saat ini?
-
2. Bagaimana Legalitas Dokter Sebagai Pihak Eksekutor Dalam Menjalan Tindakan Kebiri Kimia?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini mempunyai maksud guna mengetahui efektivitas penerapan sanksi kebiri kimiawi pada tersangka penganiayaan seksual pada anak dibawah umur serta, tindakan kebiri kimiawi tersebut sudah secara efektif atau belum dalam mecegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia
-
II. METODE PENELITIAN
Metode riset yang diterapkan ialah jenis riset hukum normatif, riset ini digunakan untuk mengkaji hal-hal terkait pengaturan hukum serta mengkaji dan meneliti melalui peraturan perundang-undangan tertulis dengan melihat bentuk peraturan perundang-undangan dan menelah materi muatannya.8 Adapun problematika norma yang timbul terhadap tindakan kebiri kimia yaitu timbulnya konflik norma antara UU Perlindugan Anak dengan UU HAM serta Etika Profesi Dokter.
-
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
-
3.1. Sanksi Tindakan Kebiri Kepada Para Tersangka Aksi Kriminalitas Penganiayaan Seksual Kepada Anak Di Bawah Umur Dari Kacamata Hukum Positif Indonesia Saat Ini.
-
Dalam UU. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka menerangkan : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Anak memiliki peranan yang penting dan salah satu penentu arah dan masa depan bangsa dan negara, negara secara gamblang menyatakan akan menanggung hak dari tiap anak atas kontinuitas hidup, pertumbuhan anak dan pengawasan kepada timbulnya diskriminasi serta penganiayaan yang dimana telah tertulis di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945
Jika ditelaah dari sudut pandang UU. No.39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Pasal 58 ayat (1) menjelaskan : “Anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.”
Tak dapat pungkiri masih banyak terjadi kejadian-kejadian terkait penganiayaan fisik, batin, serta pelecehan seksual pada anak yang disebabkan para pelaku pedofelia yang tidak mempunyai moral. Apabila melihat dari sudut pandang Undang-Undang HAM seharusnya anak mempunyai hak memiliki pengawasan hukum dari segala aspek.9 Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh seorang pedofelia menurut hukum positif Indonesia pelaku pedofelia ini harus dapat bertanggung jawab secara hukum ataupun criminal responsibilty.10
Penataan hukum atau instrumen hukum bagi pelaku pedofelia telah tertuang di dalam Pasal 290 angka 2 dan angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
berdasarkan Pasal 290 ayat (2) KUHP menyatakan tindakan cabul adalah suatu perbuatan yang melanggar norma kesusilaan bisa dilakukan kepada pria maupun wanita11, pada Pasal 290 angka 3 dijelaskan juga tidak hanya dengan tindakan keji pula mampu terjadi sebab hubungan seksual. Namun pada Pasal 290 ancaman pidana terlalu ringan bagi pelaku pedofilia pada sanksi kurungan maksimum (7) Tujuh tahun.
Dalam Pasal 290 angka 2 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan aturan umum tentang pedofelia, mengingat adanya lex specialis derogate legi generali yang dimana aturan yang bersifat eksklusif mengenyampingkan aturan
yang bersifat lazim. Hal ini dikarenakan adanya aturan atau instrumen hukum yang lebih khusus yang secara implisit terdapat pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentangPerubahan Kedua pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak.
Asas lex specialis dalam UU No. 17 Tahun 2016 berkenaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 mengenai Perubahan kedua pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak menjadi undang-undang (Berikutnya akan disebut sebagai Perpu No. 1 Tahun 2016). Berdasarkan Pasal 81 Perpu No. 1 Tahun 2016 menjabarkan mengenai tersangka yang melaksanakan aksi hubungan seksual terhadap anak di bawah umur (pedofilia), sebaliknya didalam Pasal 82 Perpu No. 1 Tahun 2016 menerangkan mengenai aksi yang melaksanakan kelakuan keji kepada anak di bawah umur (pedofilia). Sebagaimana di dalam Perpu No. 1 Tahun 2016 ”bahwa pidana penjara yang telah diatur dalam peraturan ini adalah minimal sampai dengan 5 tahun dan pidana kurungan maksimal adalah 15 tahun dandenda dengan nominal Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliyar Rupiah). Berdasarkan pasal-pasal tersebut tercantum pidana kurungan dapat ditambah sepertiga jika kejahatan pedofelia dilaksanakan pada orang tua, wali, tenaga kependidikan, pengurus anak, pembimbing, serta seorang residivis”.12
Tidak hanya sanksi kurungan saja namun didalam Perpu No.1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan sebagai UU. No.17 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU. No. 17 Tahun 2016) juga mengatur bentuk kualifisier mengenai hukuman bagi para pelakupedofelia yaitu :
“Hukuman mati, penjara seumur hidup, pidana penjara paling rendah 10 tahun dan maksimal 20 tahun”
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016” terdapat sanksi kontroversial dilingkungan masyarakat dan organisasi terkait penerapan kebiri kimiawi. Didalam Pasal 81 ayat (7) UU. No.17 Tahun 2016 menjelaskan kebiri kimiawi dalam penerapannya kebiri kimiawi bisa dilaksanakan selambat-lambatnya 2 tahun setelah terpidana pedofelia menjalani tuntas kriminalitas pokoknya ataupun selama terpidana menjalani pemulihan dan serta penambahan chip sebagai sarana untuk melacak keberadaan terpidana pedofelia ketika kembali ketengah-tengah lingkungan masyarakat.13 Aksi kebiri serta pemasangan alat pendeteksi elektronik, sertapemberitahuan identitas residivis sebagai bentuk sanksi sosial. Ini dilakukan jika terpidana pedofilia terbukti melakukan pelanggaran Pasal 81 ayat (4) atau ayat (5) UU. No. 17 Tahun 2016 khususnya residivisme yang memunculkan korban lebih dari 1 (satu) orang yang menyebabkan cedera hebat, penyakit menular, gangguan batin, terganggunya Fungsii, reproduksi dan/atau tidak bernyawa.
-
3.2. Legalitas Dokter Sebagai Eksekutor Dalam Menerapkan Kebiri Kimia.
Sejak disahkannya UU. No. 17 tahun 2016 menuai banyak kontroversi di dalam penerapannya dikalangan masyarakat dan pihak terkait. Khususnya untuk orang yang
melakukan injeksi kimia dan juga proses kebiri kimia harus dilakukan oleh tenaga medis. Namun sebaliknya Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan tidak dapat jadi penyelenggara dalam injeksi kebiri kimia terhadap pelaku pedofelia sekalipun merupakan instruksi dari undang-undang dengan berbagai pertimbangan mengenai etika profesi.
Pendapat Pimpinan Ikatan Dokter Indonesia periode 2015-2018 Prof. Ilham Oetama Marsis mengatakan bahwasannya penyuntikan cairan kebiri kimiawi tersebut dapat melukai organ manusia yang dimana itu bertentangan dengan sumpah yang telah diambil oleh dokter, dan penyuntikan kebiri kimia merupakan sebuah pelanggaran kode etik di dalam bidang kedokteran.14 Beberapa kasus pedofelia yang terjadi di Indonesia masih mendapatkan vonis yang cukup ringan dimana pelaku pedofelia ialah orang yang menderita gangguan kejiwaan yang proses rehabilitasinya amat susah untuk dilaksanakan.
Menurut kajian Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tahun 2012 didalam pasal 5 menyatakan bahwa “setiap perbuatan/nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.” secara tegas pasal tersebut menerangkan bahwasannya melemahkan psikis maupun fisik pasien bertentangan dengan fitrah ilmu kedokteran pengecualian apabila menemui kondisi pembenar atas perlakuan tersebut, seperti operasional penghilangan fungsi saraf yang dilakukan untuk pembiusan prabedah dan pemberian obat anti nyeri pada pasien dengan tujuan menahan rasa sakit yang dialami.
Atauran yang termuat pada KODEKI secara tersyirat memberikan arahan mengenai praktek kedokteran dilakukan hanya semata-mata untuk pemenuhan kesehatan dan keperluan pasien saja. Dokter dalam menjalankan tugasnya merupakan suatu pengemban profesi dalam melaksanakan misi praktek kedokteran yang tertuang dalam KODEKI tersebut, keberhasilan suatu profesi memiliki patokan yang terukur dalam pelaksanaan standat pelayanan dan standat operasional yang ada dan sesuai amanah KODEKI. Tindakan kebiri kimia tidak diatur jelas dalam standart profesi tersebut. Sehingga apabila tindakan kebiri kimia tersebut dipaksakan, maka tindakan tersebut dinamakan sebagai malpraktek. Malpraktek merupakan tindakan praktek yang tidak berkesesuaian dengan atura-aturan terkait kode etik yang berlaku.15
Hakekatnya UU Perlindungan anak menerapkan tindak hukuman kebiri kimia secara permanen yaitu dengan maksud mengurangi hormone testoteron yang berarti keinginan untuk berhubungan seks akan hilang dan digunakan sebagai tindak antisipasif untuk mengurangi tingkat kriminalitas terhadap kekerasan seksual. Namun dalam penerapannya masih terdapat konflik antara UU. No. 17 tahun 2016 dengan Kode Etik Kedokteran sehingga pelaksanaannya tersendat. Dampak tersebut menjadikan pihak penyelenggara atau eksekutor untuk melakukan tindakan kebiri kimia masih menjadi perdebatan dimana Ikatan Dokter secara tegas menolak untuk turut andil dalam tindakan operasi kebiri kimia tersebut.
-
IV. KESIMPULAN SEBAGAI PENUTUP
4. Kesimpulan
Dalam pengaturan sanksi tindakan kebiri bagi tersangka tindak pidana kekerasan seksual anak (pedofelia) ditinjau dari peraturan positif terdapat 5 (lima) instrument hukum yaitu “UUD 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, UU. No. 17 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Dokter dalam menjalankan tugasnya merupakan suatu pengemban profesi dalam melaksanakan misi praktek kedokteran yang tertuang dalam KODEKI tersebut, keberhasilan suatu profesi memiliki suatu patokan yang terukur dalam pelaksanaan standart pelayanan dan standart operasional yang ada dan sesuai amanah KODEKI. Terdapat konflik antara UU. No. 17 tahun 2016 dengan Kode Etik Kedokteran sehingga pelaksanaannya tersendat. Dampak tersebut menjadikan pihak penyelenggara atau eksekutor untuk melakukan tindakan kebiri kimia masih menjadi perdebatan dimana Ikatan Dokter secara tegas menolak untuk turut andil dalam tindakan operasi kebiri kimia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. Sistem Peradilan Pidana Anak. (Media Pressindo,2008)
Kartini, Kartono. Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja. (Jakarta: Rajawali Press,1992).
Sunggono, Bambang. Metodologi penelitian hukum. (Jakarta: Grafindo Persada, 2006)
Jurnal :
Dermawan, Ade Putra. "Tinjauan Yuridis Tindakan Kebiri Kimiawi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Upaya Perlindungan Anak Di Indonesia” (2017)
Dharmawan, Supasti. " Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal).” 7, No. 3 (2018)
Hidayati, Nur."Perlindungan Anak Terhadap Kejahatan Kekerasan Seksual (Pedofilia)." Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora 14, No. 1 (2014):
Ilyas, Sufyan."Sanksi Kebiri Kimiawi Bagi Pelaku Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia." Al-Mursalah 1, No. 2 (2018).
Mardiya, Nuzul Qur’aini."Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual." Jurnal Konstitusi 14, No. 1 (2017):
Soetedjo, Julitasari Sundoro dan Ali Sulaiman."Tinjauan Etika Dokter sebagai Eksekutor Hukuman Kebiri." Jurnal Etika Kedokteran Indonesia 2, no. 2 (2018)
Sumanto, Atet. "Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Dengan Menggunakan Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia." Perspektif 22 (2017)
Suryani, Eli. "Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak (Pedofelia)(Tinjauan Perspektif Hukum Positif Indonesia, Hukum Islam, Dan HAM Internasional)." Al Hurriyah: Jurnal Hukum Islam 1, No. 2 (2016)
Harahap, Abdul Aziz, and Athoillah Islamy. "Penolakan Peran Dokter Sebagai Eksekutor Sanksi Hukum Kebiri di Indonesia: Perspektif Filsafat Hukum Islam." Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian (2021):
Hasanah, Nur Hafizal, dan Eko Soponyono. "Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia Dalam Perspektif HAM.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal)(2018).
Internet :
Jayani, Dwi Hadya. (2021 Mei 27). Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Mendominasi saat Pandemi Covid-19. databoks.katadata.co.id. Retrieved from
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020 November 18). Indonesia-Iran, Saling Berbagi Praktik Baik Penerapan Kabupaten/Kota Layak Anak. Retrieved from https://www.kemenpppa.go.id/indonesia-iran-saling-berbagi-praktik-baik-penerapan-kabupaten-kota-layak-anak.
Peraturan Perundang-undang :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimta, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak”.
Undang- Undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang- Undang.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 8 Tahun 2022, hlm. 1509-1516
Discussion and feedback