EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA PERJANJIAN KREDIT DI MASA PANDEMI COVID-19
on
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA PERJANJIAN KREDIT DI MASA PANDEMI COVID-19
I Dewa Agung Rama Budi Premana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i08.p3
ABSTRAK
Tujuan penyusunan jurnal ini ialah untuk menganalisis terkait pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pada perjanjian kredit di masa pandemic covid-19, serta upaya lebih lanjut yang bisa dilaksanakan oleh para pihak demi melindungi hak-hak mereka. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil dari tulisan ini menunjukkan bahwa pandemi covid-19 dikualifikasikan sebagai keadaan yang tidak dikehendaki yang bersifat relative sehingga eksekusi terhadap jaminan fidusia tidak dapat dilakukan karena debitur dibebaskan dari pertanggungjawaban dan upaya yang bisa dilaksanakan oleh para pihak untuk melindungi hak-haknya adalah melakukan negosiasi kembali terhadap isi perjanjian.
Kata Kunci: eksekusi, perjanjian, jaminan fidusia, covid-19, force majeure
ABSTRACT
The purpose of compiling this journal is to analyze the implementation of the execution of fiduciary guarantees on credit agreements during the covid-19 pandemic, as well as further efforts that can be carried out by the parties to protect their rights. This paper uses a normative legal research method usinga statutory and conceptual approach. The results of this paper indicate that the covid-19 pandemic is classified as an undesirable condition that is relative so that the execution of fiduciary guarantees cannot be carried out because the debtor is freed from liability and the effort that can be carried out by the parties to protect their rights is to renegotiate against the contents of the agreement.
Keywords: execution, agreement, fiduciary guarantee, covid-19, force majeure
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Aspek perbankan memegang fungsi vital dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Upaya tersebut dapat direalisasikan dengan cara menghimpun dana berbentuk simpanan, yang mana simpanan akan didistribusikan balik ke publik dengan wujud kredit. Dalam pemberian kredit, pihak dari sektor perbankan akan meminta suatu jaminan kepada peminjam kredit dalam hal memberikan perlindungan kepada kreditor, agar nantinya dapat mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor apabila debitor melakukan suatu wanprestasi. Nilai dari suatu jaminan pada prinsipnya harus melebihi dari nilai pinjaman yang diberikan. Selain itu, jaminan juga harus dipastikan keabsahannya dengan maksud apabila terdapat sengketa maka jaminan yang jaminan akan diserahkan.
Jaminan bisa dikelompokkan jadi 2, yakni jaminan berdasarkan kebendaan dan jaminan berdasarkan perorangan. Jaminan berdasarkan kebendaan ialah objek bergerak maupun tidak yang diperuntukkan untuk
menjamin apabila keesokan harinya peminjam kredit tidak mampu membayar kreditnya. Lalu, jaminan perorangan ialah jaminan yang berwujud deklarasi kemampuan yang disampaikan kepada pihak ketiga dalam hal menanggung pembayaran prestasi dari peminjam kredit apabila peminjam kredit tak mampu untuk memenuhi prestasinya. Dalam perjanjian kredit, jaminan yang dapat diberlakukan yakni jaminan fidusia. Jaminan fidusia ialah hak jaminan atas objek baik yang bergerak maupun tidak, terkhusus pada bangunan yang tak dapat dibebankan suatu hak tanggungan.1 Mengenai jaminan fidusia, di Indonesia diatur pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (yang selanjutnya disebut UU 42/1999).
Hadirnya virus baru yang dinamakan SARS-CoV-2 oleh WHO dan penyakitnya yang diberi nama COVID-19 yang telah mengejutkan dunia termasuk Indonesia pada akhir tahun 2019.2 Tertanggal 2/03/2020, ditemukan kasus pertama orang pertama yang terkontaminasi virus covid-19 di Indonesia. Penjalaran virus ini menjalar begitu kencang dan massif, dikarenakan penularannya dikarenakan bersentuhan secara langsung antar manusia.
Tahun 2020 merupakan masa yang kritis bagi dunia, salah satunya Indonesia. Pada tahun tersebut dunia dilanda pandemic. Pandemic di Indonesia dikukuhkan sebagai peristiwa nasional yang tidak alamiah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 (selanjutnya disebut Keppres 12/2020). Pandemi ini berdampak terhadap berbagai sektor, salah satunya pada sektor perekonomian. Pada sektor perekonomian mengakibatkan banyak perusahaan atau usaha masyarakat yang mengalami penurunan pendapat. Tidak hanya terdapat perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan, terdapat beberapa perusahan maupun usaha masyarakat yang mengalami kebangkrutan. Selain itu, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja yang dialami pekerja akibat dampak pandemi bagi sektor perekonomian. Menurunnya pendapatan seseorang maupun perusahaan menyebabkan banyaknya pinjaman kredit yang tidak mampu dibayar ataupun banyak pihak yang baru meminjam kredit demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tidak banyak dari debitor yang mampu memenuhi presentasinya.
Sebelum masa pandemi, kreditur akan melakukan eksekusi terhadap jaminan debitur apabila debitur tidak sanggup untuk memenuhi prestasinya. Namun menjadi suatu problematika apabila tetap dilakukannya eksekusi terhadap jaminan kreditur oleh debitur, yang mana debitur tidak sanggup untuk memenuhi prestasinya diakibatkan dari menurunnya perekonomian yang disebabkan oleh pandemic covid-19. Namun di masa pandemi ini, melakukan eksekusi terhadap jaminan debitur masih menjadi pro dan kontra. Bagi pihak kreditur bahwa eksekusi terhadap jaminan fidusia adalah sah dikarenakan debitur tidak mampu untuk memenuhi prestasinya. Namun disisi lain, debitur berpendapat bahwa eksekusi terhadap jaminan fidusia di
masa pandemi ini tidak beralasan dikarenakan pandemic ini merupakan suatu force majure.
Pemenuhan prestasi terhadap suatu perjanjian merupakan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Namun terdapat pengecualian terhadap pemenuhan prestasi yang disebabkan kondisi yang menyebabkan debitur untuk tidak memenuhinya. Pihak yang tidak memenuhi prestasinya dapat mengajukan pembelaan dengan mengajukan pembelaan dengan berbagai alasan, salah satunya karena adanya force majeure. Dalam perjanjian kredit, debitur yang tidak dapat memenuhi prestasinya dan agar kreditur tidak melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia milik debitur, dapat membuktikan terkait adanya keadaan dimana debitur dihadapkan pada kondisi force majeure yang muncul bukan atas kehendaknya sendiri, dengan maksud agar debitur dibebaskan dari pertanggungjawaban.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat problematika mengenai dapatkah kreditur melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia di masa pandemic corona yang dikukuhkan oleh penguasa sebagai peristiwa nasional tidak alamiah. Selain itu, diperlukan upaya lebih lanjut kepada para pihak untuk melindungi hak-haknya sehingga kreditur tidak melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia milik debitur.
-
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada jurnal ini yaitu:
-
1. Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia pada suatu perjanjian kredit di masa pandemic Covid-19?
-
2. Bagaimana upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan apabila jaminan fidusia tersebut tidak dapat di eksekusi?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia pada suatu perjanjian kredit di masa pandemic Covid-19 serta untuk mengetahui upaya lebih lanjut apabila jaminan fidusia tersebut tidak dapat di eksekusi.
-
II. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Normatif, dengan pendekatan Legal research ialah suatu cara untuk menemukan aturan-aturan atau doktrin-doktrin hukum, atau juga untuk mengkaji suatu isu hukum.3 Dalam hal untuk mengkaji isu hukum mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia pada suatu pinjaman kredit di masa pandemi covid-19 menggunakan penelitian yuridis normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian yang didasari pada logika keilmuan hukum dari perspektif peraturan perundang-undangan untuk menemukan suatu kebenaran.4 Dalam tulisan ini menggunakan sumber hukum sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Dalam membahas mengenai problematika dalam tulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Pada Suatu Perjanjian Kredit Di Masa Pandemic Covid-19
-
Pasal 1 ayat 1 UU 42/1999 mengemukakan bahwa fidusia ialah perpindahan hak atas penguasaan suatu objek yang didasari pada keyakinan dengan aturan bahwa objek yang dipindahkan kepenguasaan tetapi tetap berada pada penguasaan pemilik benda. Hamzah dan Senjun M sebagaimana yang telah disitasi oleh Salim HS, berpandangan bahwa fidusia ialah mekanisme perpindahan hak milik dari pemiliknya yang didasari pada suatu perjanjian kepada kreditur, tetapi dalam hal ini hanya haknya saja yang beralih dan hanya dimiliki kreditur atas dasar keyakinan saja, sedangkan barang dalam bentuk fisiknya tetap dalam penguasaan debitur.5
Eksekusi ialah upaya untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya yang didasari kekuatan hukum yang dilaksanakan oleh pihak satu terhadap pihak lainnya yang kalah dengan maksud guna menjalankan isi putusan. Dalam arti lain, eksekusi adalah upaya yang dilaksanakan secara hukum oleh pengadilan kepada suatu pihak dalam suatu sengketa.6 Regulasi yang berkenaan dengan eksekusi terhadap jaminan fidusia diatur pada Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UU 42/1999. Eksekusi atas jaminan fidusia pada pasal a quo dapat dilakukan dengan penjualan atas objek jaminan atau debitor menyerahkan objek jaminan kepada kreditor. Pada Pasal 29 UU 42/1999 eksekusi atas jaminan fidusia dilakukan jika debitor berbuat wanprestasi. Selain itu, pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia dapat dilaksanakan dengan mekanisme debitor menyerahkan objek jaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 UU 42/1999. Dalam perkara pinjaman kredit, eksekusi terhadap jaminan fidusia dilakukan karena eksekusi ialah langkah akhir yang diambil ketika kreditur meyakini bahwa debitur tidak lagi memiliki itikad baik ataupun kemampuan untuk memenuhi prestasinya dalam hal melunasi pinjaman kreditnya.
Masa pandemi covid-19 ini menyebabkan debitur tidak mampu melunasi pinjaman kreditnya sehingga kreditur beranggapan bahwa eksekusi terhadap jaminan fidusia dapat dilakukan. Debitur yang berpendapat bahwa ia tidak memenuhi prestasinya bukan karena tidak adanya itikad baik melainkan terdapat keadaan memaksa yang menyebabkan diri debitur tidak dapat memenuhi prestasinya. Suatu pihak yang tak dapat memenuhi prestasinya disebut telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi atau cidera janji ialah keadaan yang terjadi akibat dari satu pihak tidak melaksanakan prestasinya atau mengabaikan suatu situasi yang terjadi seperti itu sehingga pihak lain dibuat menderita dengan tidak fair sebab tidak mampu mendapatkan haknya atas dasar perjanjian yang sudah ditentukan.7 Pada suatu perjanjian terdapat
klausula yang mengatur terkait keadaan yang tidak dikehendaki atau yang sering dikenal dengan force majeure.
Force majeure ialah salah satu persepsi dalam private law yang membenarkan sebagai doktrin dalam hukum. M. Kusumaatmadja berpandangan bahwa overmacth dapat dibenarkan sebagai suatu alasan agar tidak memenuhi pemenuhan prestasi akibat hilangnya objek atau maksud yang menjadi isi kontrak. Kondisi ini dimaksudkan kepada pemenuhan secara fisik dan hukum, bukan karena hanya kesusahan dalam memenuhi prestasi. M. K. Kantaatmadja menyampaikan pandangan yang sama yakni:8
-
1. Pergantian terhadap situasi tidak dilaksanakan ketika pembuatan kontrak.
-
2. Pergantian itu ialah hal suatu situasi yang esensial bagi kontrak.
-
3. Pergantian itu tidak mampu disangkakan lebih dahulu.
-
4. Dampak pergantian itu mesti ekstrem, agar mengganti cakupan prestasi yang mesti dilakukan berdasarkan kontrak itu.
Keadaan yang dikatakan sebagai Force majeure dibutuhkan suatu pembuktian, agar suatu keadaan tidak serta merta dikatakan sebagai force majeure. Werner Meli sebagaimana dikutip oleh A. Chairunisa pada tulisannya berpandangan bahwa unsur dari overmatch yakni kondisi yang berlangsung yang diakibatkan oleh gejala alam, gejala yang terjadi tidak mampu diperkirakan, peristiwa menyebabkan seseorang tidak mampu untukmemenuhi prestasinya terhadap suatu kontrak baik seluruh atau sebagian.9
Keadaan yang tidak dikehendaki dapat ditemukan pada Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Regulasi tersebut menyerahkan dispensasi kepada pembayar agar tidak membayar penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada penerima pembayaran, atas desar situasi yang tidak diperkiraannya.10 Merujuk pada ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, Force Majeure mesti melengkapi 4 unsur yang mesti diuji, yakni:
-
1. Keadaan yang tak diduga terjadi mengakibatkan pihak tidak mampu untuk memenuhi prestasinya.
-
2. Pihak itu tak dapat disalahkan akibat keadaan itu.
-
3. Tak terdapat unsur dolus.
-
4. Terdapat itikad baik dari pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya.
Pandemi corona dikukuhkan oleh penguasa sebagai peristiwa nasional tidak alamiah atas dasar Keppres 12/2020. Bencana nasional yang ditetapkan oleh pemerintah ini pada faktanya secara massif menyerang Kesehatan masyarakat, menyerang sektor perekonomian, dan juga berdampak pada tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak. Untuk dapat menyatakan
penetapan pandemic covid-19 sebagai keadaan memaksa, terdapat unsur-unsur esensial yaitu:11
-
1. Ada atau tidak klausula overmatch pada kontrak;
-
2. Penjelasan serta batasan dari overmatch yang telah disepakati oleh para pihak pada kontrak;
-
3. Adanya hubungan sebab akibat antara pengukuhan pandemic corona sebagai peristiwa nasional dengan pelaksanaan isi kontrak;
-
4. Adanya itikad baik dari pihak yang akan mengemukakan mengenai keadaan yang tidak dapat diperkirakan.
Pertama, perlu sekiranya untuk mencermati apakah klausula keadaan memaksa disepakati pada suatu kontrak. Dalam konteks yuridis, regulasi mengenai keadaan memaksa dapat ditemukan pada Buku III KUHPerdatadengan sistem yang dianut adalah sistem terbuka. Dalam membentuk suatu perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, yang berarti pihak-pihak yang ada pada kontrak tersebut secara bebas menentukan sendiri isi dari perjanjiannya termasuk pada bentuk baik dalam bentuk tertulis atau lisan sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan, norma-norma, ketertiban umum dan sebagainya. Suatu kontrak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sahnya kontrak, berdasarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata mengemukakan bahwa pemberlakuan atau kekuatan mengikat dari suatu kontrak layaknya seperti undang-undang pihak-pihak yang membentuk perjanjian (asas pacta sunt servanda). Subekti berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang bermakna bahwa ketentuan tersebut dapat dikesampingkan jika diamini oleh para pihak. Apabila dalam kondisi pihak-pihak pada perjanjian tidak menentukannya, maka hukum perjanjian akan menjadi pelengkap pada perjanjian yang dibentuk dengan tidak menyeluruh.12 Sehingga, adanya ketentuan mengenai force majeure pada suatu kontrak bukan sebagai ketentuan yang mesti ada, tetapi tidak sedikit kontrak yang mengaturnya. Perjanjian yang mengatur mengenai overmatch akan menetapkan definisi dari overmatch itu. Definisi dalam perjanjian itu sejatinya bermaksud untuk mencegah adanya multitafsir dan memudahkan dalam hal untuk membuktikan unsur suatu situasi yang tidak dikehendaki terjadi yang mengakibatkan pihak-pihak tidak mampu untuk memenuhi prestasinya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (selanjutnya disebut UU 24/2007) pada Pasal 1 angka 1 mendefinisikan bencana sebagai kondisi atau runtutan kondisi yang meneror serta mengacaukan hidup dan pencaharian publik yang dikarenakan, baik oleh factor alam dan/atau non alam ataupun factor individu yang menyebabkan munculnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Lalu, Pasal 1 angka 3 UU 24/2007 mendefinisikan bencana non alam sebagai bencana yang disebabkan oleh kondisi atau runtutan kondisi non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidmi, dan wabah penyakit.
Pandemi corona yang dikukuhkan oleh penguasa sebagai peristiwa nasional tidak alamiah atas dasar Keppres 12/2020 bisa dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini dikarenakan pandemic ini merupakan peristiwa berupa wabah penyakit yang dapat menelan korban jiwa, berdampak pada perekonomian nasional, serta berpengaruh kepada pemenuhan prestasi oleh para pihak. Selain itu, hadirnya pandemic ini tidak diduga oleh para pihak. Para pihak juga tidak terdapat unsur kesengajaan untuk tidak memenuhi prestasinya dan terdapat itikad baik oleh debitur. Sehingga dengan hadirnya pandemi ini memiliki hubungan kausalitas terhadap tidak adanya kemampuan dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
Berdasarkan uraian tersebut, pandemi ini dapat dibuktikan sebagai keadaan yang tidak mampu diperkirakan. Sehingga berdasarkan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata memiliki akibat hukum bahwa debitur tidak dapat dipersalahkan atas tidak terpenuhinya suatu prestasi dan eksekusi terhadap jaminan fidusia tidak dapat dilaksanakan.
-
3.2. Upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan apabila jaminan fidusia tersebut tidak dapat di eksekusi
Menurut sifatnya Force Majeure dibedakan menjadi 2, yaitu bersifat absolut dan relatif, yang mana kedua sifat itu terdapat akibat yang tidak sama. Keadaan yang tidak mampu diperkirakan bersifat absolut merupakan peristiwa yang tidak dikehendaki secara mutlak dengan dampak pada tidak terpenuhinya suatu prestasi. Debitur tidak bisa menjalankan prestasinya akibat keadaan yang tidak dimungkinkannya, seperti fenomena alam atau kecelakaan yang secara langsung berakibat terhadap benda dari perjanjian. Sesuai dengan maksud pada Pasal 1244 KUHPerdata, debitur yang tidak bisa menjalankan prestasinya sebagaimana mestinya maka ia dilepaskan dari pertanggungjawaban, apabila ia dapat membuktikan bahwa hadirnya suatu keadaan yang tidak dikehendakinya menghalangi dirinya untuk memenuhi prestasinya dengan baik.13
Keadaan yang tidak dikehendaki bersifat relatif dimaknai sebagai keadaan yang tidak terdapat akibat mutlak untuk tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam kontrak. Dalam arti lain, keadaan tidak dikehendaki itu ada, yang mana keadaan itu menyebabkan debitur tidak mampu memenuhi prestasinya untuk waktu tertentu, dan setelah hilangnya keadaan yang tidak dikehendaki itu, debitur mampu untuk melaksanakan prestasinya kembali. Penghapusan beban terhadap biaya, rugi, dan bunga juga bisa didapat bagi pihak yang mengalami suatu keadaan yang tidak dikehendaki yang bersifat relative, namun tidak sampai pada batalnya perjanjian. Pada intinya keadaan yang tidak dikehendaki yang bersifat relative ini adalah hilangnya kemampuan dalam memenuhi prestasinya untuk sementara waktu.14
Pandemi corona yang dikukuhkan oleh penguasa sebagai peristiwa nasional tidak alamiah atas dasar Keppres 12/2020 apabila dikaitkan dengan force majeure berdasarkan sifatnya, dapat klasifikasikan pada force majeure yang bersifat relative. Hal ini disebabkan meskipun debitur tidak dapat memenuhi
prestasinya dalam perjanjian, namun mana kala pandemi ini berakhir, maka kiranya debitur masih dapat melanjutkannya sehingga debitur dapat memenuhi prestasinya dikemudian hari.
Upaya yang bisa dilaksanakan oleh pihak yang terdampak Pandemi covid-19 demi melindungi hak-hak para pihak dapat dilakukan dengan negosiasi ulang. Perjanjian yang dibentuk dan telah terdapat kesepakatan oleh para pihak terdapat pasal yang berjudul aturan tambahan atau ketentuan peralihan. Dalam pasal ini mengatur mengenai pembaharuan terhadap isi perjanjian apabila dalam perjanjian terdapat hal yang belum diatur, kekeliruan mengenai isi perjanjian Ketika perjanjian itu dibuat, maupun membuat kesepakatan baru agar dapat melaksanakan isi perjanjian yang mana dalam pembaharuannya dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Dengan adanya klausula ini dapat sebagai pemecah masalah bagi sengketa dalam perjanjian para pihak. Adapun upaya yang dapat dilakukan ketika melakukan negosiasi ulang:15
-
a. Rescheduling, upaya hukum ini dilakukan dengan merubah beberapa ketentuan perjanjian dalam hal jadwal pembayaran.
-
b. Reconditioning, upaya hukum ini dilakukan dengan merubah sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian.
-
c. Restructuring, upaya hukum ini ialah melakukan perubahan syarat perjanjian yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan prestasinya, yakni dengan cara salah satunya yang paling efektif yakni dengan melakukan perpanjangan jangka waktu pembayaran.
Pemerintah juga memberikan upaya terkait permasalahan ini. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 dan Peraturan OJK No.14/POJK.05/2020 tentang kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. Pada ketentuan tersebut menyerahkan kekuasaan kepada instansi finansial perbankan atau pembiayaan guna menyerahkan “relaksasi kredit”, dimana “relaksasi kredit” itu ialah dispensasi berkaitan dengan pemenuhan atas suatu kredit.16
Restrukturisasi kredit merupakan upaya yang dapat dilakukan. Restrukturisasi dapat dilakukan apabila debitur memiliki itikad baik. Debitur yang memiliki itikad baik dalam melunasi prestasinya dapat dilihat dari keinginan serta kemampuannya dalam memenuhi prestasinya. Itikad baik debitur dapat dilihat melalui:17
-
1. Debitur harus sanggup untuk diajak bernegosiasi dalam hal untuk menuntaskan prestasinya.
-
2. Debitur bersedia dalam memberikan informasi terkait kondisi keuangannya dengan benar.
-
3. Debitur harus memberi izin kepada kreditur dalam melakukan pengecekan terhadap kondisi keuangannya.
-
4. Debitur turut dalam program penanganan kredit serta melakukan Cara yang ditentukan oleh kreditur.
Kesepakatan para pihak untuk negosiasi kembali pada kondisi pemilik jaminan fidusia tidak dapat untuk melaksanakan prestasinya di masa pandemi, sehingga perlu untuk ditelaah lagi isi dari perjanjian apakah sudah dinyatakan dengan tegas mengenai pandemi corona ini sebagai keadaan yang tidak dikehendaki. Dalam kondisi suatu kontrak tidak mengatur atau mengatur mengenai kejadian-kejadian lain diluar kesanggupan pemilik jaminan fidusia atau semacamnya, maka sebaiknya disampaikan dengan tegas atau tidak pada suatu kontrak, maka yang mesti dicermati ialah prestasinya bukan semata-mata peristiwanya. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah apabila prestasinya dilakukan oleh debitur maka dapat mengancam kelangsungan hidup dan Kesehatan dari debitur. Maka alas an force majeure dapat diajukan sebagai alas an untuk tidak memenuhi prestasinya.
Dengan demikian perlu sekiranya dilakukan suatu negosiasi Kembali mengenai perjanjian kredit antara debitur dan kreditur. Diperhatikan Kembali dalam perjanjian sudah mengatur atau belum mengatur mengenai keadaan memaksa ini. Sehingga diperlukan penegasan Kembali dalam perubahan syarat-syarat perjanjian salah satunya dengan mengatur mengenai adanya perpanjangan waktu perjanjian atau penjadwalan Kembali dan memasukan klausula pandemi covid-19 ini ke dalam perjanjian serta hak dan kewajiban ketika dan setelah adanya pandemic covid-19 ini.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Pandemi corona yang dikukuhkan oleh penguasa sebagai peristiwa nasional tidak alamiah atas dasar Keppres 12/2020 dapat dikategorikan sebagai keadaan yang tidak dikehendaki yang dapat dibuktikan keberadaannya. Sehingga debitur dapat dilepaskan dari pertanggung jawabannya akibat tidak dapat memenuhi prestasinya, dan eksekusi terhadap jaminan fidusia yang akan dilakukan oleh kreditur tidak dapat dilaksanakan. Pandemi corona dapat disamakan sebagai keadaan yang tidak dikehendaki yang bersifat relative yang mana debitur dibebaskan untuk melaksanakan prestasinya untuk sementara waktu. Serta upaya yang dapat dilakukan oleh debitur dan kreditur dalam hal melindungi hak-hak mereka adalah negosiasi kembali terhadap perjanjian kredit.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Predana Media Group, Jakarta, 2010.
Salim, H.S. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
2019.
JURNAL
Agtha,E., dan Novera,A. “Keadaan Kahar Akibat Covid-19 dan Penerapannya Dalam Perjanjian Kredit.” AVoER II (2020).
Aminah. “Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian.” Diponegoro Law Review 7, No.1 (2020).
Aris Kaya, Putu Bagus Tutuan. “Kajian Force Majeure Terkait Pemenuhan Prestasi Perjanjian Komersial Pasca Penetapan Covid-19 Sebagai Bancana Nasional.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, No.6 (2020).
Erniwati. “Konsepsi Force Majuere Dalam Kontrak/Perjanjian Di Masa Pandemi.” Sol Justicia 3, No.2 (2020).
Heriawanto, Benny Krestian. “Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Title Eksekutorial.” Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 27, No.1 (2019).
Isradjuningtias, A.C. “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak Indonesia.” Veritas et Justittia 1, No.1. (2015).
Pradipta Lana, I Wayan dan Ari Atu Dewi, A.A. Istri. “Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada PT BRI Di Kota Denpasar.” Kertha Desa 8, No.1 (2021).
Permatasari, Winna Wahyu, dan Nabila, Fathiya. “Restrukturisasi Perjanjian Saat Covid-19 Sebagai Upaya Pencegahan Perbuatan Wanprestasi.” Legislatif 4, No.2 (2021).
Purwanto, Harry. “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional.” Jurnal Mimbar Hukum (2011).
Theresa Putri Nusantara, Ni Putu, dan Ngurah Wirasila, Anak Agung. “Eksekusi dan Pendaftaran Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, No.02 (2014).
Sukerta, I Made Rai, Budiartha, I Nyoman Putu, dan Dwi Arini, Desa Gde. “Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Akibat Wanprestasi Karena Dampak Pandemi Covid-19.” Jurnal Preferensi Hukum 2, No.2 (2021).
Wibawa, P.P.A., dan Artadi, I.K. “Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya Force Majeure (keadaan memaksa).” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 2, No.6 (2014).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Peraturan OJK No.14/POJK.05/2020 tentang kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 8 Tahun 2022, hlm. 1517-1526
Discussion and feedback