JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 11, Nomor 2, bulan September, 2023

Pengaruh Mesh Adsorben Arang Aktif Bambu Betung Pada Proses Pemurnian Asap Cair Tempurung Kelapa

Effect of Adsorbent Mesh Activated Charcoal Bamboo Betung on Coconut Shell Liquid Smoke Purification Process

I Putu Ari Susila Aditya, I Putu Surya Wirawan*, I Gusti Ketut Arya Arthawan Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*Email: [email protected]

Abstrak

Asap cair merupakan hasil kondensasi pembakaran bahan organik melalui proses pirolisis. Asap cair grade 1 yang biasa digunakan untuk pengawet bahan makanan diproses melalui tahapan pemurnian dengan distilasi bertingkat yang memerlukan waktu cukup lama. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kualitas asap cair tempurung kelapa grade 1 berdasarkan SNI 8985:2021. Proses pemurnian asap cair menggunakan metode dehidrasi dengan adsorben arang aktif bambu betung dengan variasi ukuran 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, dan 100 mesh. Parameter yang diamati yaitu kadar air, kadar abu, SEM (Scanning Electron Microscopy), keasaman (pH), dan GC-MS (Gas Chromotography-Mass Spectroscopy). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan 40 mesh menghasilkan kadar air 4,38%; kadar abu 2,70%; pH 3,3; dan waktu pemurnian 87 menit. Perlakuan 60 mesh menghasilkan kadar air 5,78%; kadar abu 3,39%; pH 3,2; dan waktu pemurnian 90 menit. Perlakuan 80 mesh menghasilkan kadar air 5,95%; kadar abu 4,14%; pH 3,1; dan waktu pemurnian 93 menit. Perlakuan 100 mesh menghasilkan kadar air 6,75%; kadar abu 7,50%; pH 3; dan waktu pemurnian 100 menit. Asap cair grade 1 yang dihasilkan memiliki kandungan senyawa fenol sebesar 1,94% - 5,14%, senyawa creosol sebesar 5,84% - 15,56% dan senyawa asam sebesar 0,11% - 3,47%. Adsorben yang menggunakan ukuran 100 mesh direkomendasikan sebagai bahan pengawet makanan dengan karakteristik warna jenih, tidak berbau, nilai pH 3,0, senyawa fenol 5,14%, senyawa asam 3,27% dan creosol 15,56%.

Kata kunci: Asap cair, arang aktif, adsorben, dehidrasi, pemurnian

Abstract

Liquid smoke is the product of the condensation of burning organic matter by the pyrolysis process. Grade 1 liquid smoke for preservatives is processed through a purification stage with multilevel distillation which takes a long time. This study aims to obtain the quality of coconut shell liquid smoke grade 1 based on SNI 8985:2021. The liquid smoke purification process uses the dehydration method with bamboo betung activated charcoal as an adsorbent with variations in sizes of 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, and 100 mesh. The parameters observed were water content, ash content, SEM (Scanning Electron Microscopy), acidity (pH), and GC-MS (Gas Chromotography-Mass Spectroscopy). The results showed that the 40 mesh treatment resulted in a moisture content of 4.38%, 2.70% ash content, pH 3.3, and a purification time of 87 minutes. The 60 mesh treatment resulted in a moisture content of 5.78%, ash content of 3.39%, pH of 3.2, and a purification time of 90 minutes. Treatment of 80 mesh resulted in 5.95% moisture content, ash content of 4.14%, pH of 3.1, and a purification time of 93 minutes. The 100 mesh treatment resulted in a moisture content of 6.75%, ash content of 7.50%, pH 3, and a purification time of 100 minutes. The resulting grade 1 liquid smoke contains phenol compounds of 1.94% - 5.14%, creosol compounds of 5.84% - 15.56%, and acid compounds of 0.11% - 3.47%. The 100 mesh adsorbent is recommended as a food preservative with the characteristics of a clear color, odorless, pH value of 3.0, phenolic compounds of 5.14%, acidic compounds of 3.27%, and creosol 15.56%.

Keywords: activated charcoal, adsorbent, dehydration, liquid smoke, purification

PENDAHULUAN

Penggunaan pengawet dalam produk makanan merupakan metode yang dapat dilakukan untuk memperpanjang umur simpan makanan. Pemanfaatan

zat berbahaya seperti boraks dan formalin sebagai pengawet pada bahan pangan sudah dilarang di Indonesia, hal ini dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 28 Tahun 2004. Formalin merupakan senyawa kimia yang

dimanfaatkan sebagai desinfektan dan juga bahan yang dijadikan sebagai perekat pada kayu lapis serta dimanfaatkan juga sebagai pengawet makanan seperti pada mie basah dan tahu. Penggunaan formalin dapat mengakibatkan kanker dan kematian apabila dijadikan sebagai pengawet (Jamilatun et al., 2016). Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan pengawet berbahaya adalah dengan menggunakan teknologi asap cair (Thuroihan, 2020).

Asap cair adalah suatu hasil penguapan dari proses pembakaran yang didapat dari proses pirolisis bahan yang mengandung senyawa asam, senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin (Saputra et al., 2020). Asap cair terdiri dari tiga komponen utama yaitu senyawa karbonil, senyawa fenol dan senyawa asam (Jamilatun et al., 2015). Senyawa-senyawa tersebut berfungsi untuk memberi flavor (aroma), pemberi warna, dan sebagai antioksidan dan antibakteri. Sifat antioksidan dan antibakteri yang dimiliki oleh asap cair berfungsi untuk mengawetkan makanan. Asap cair yang dipergunakan sebagai pengawet makanan tidak boleh terdapat senyawa PAH (Shinta et al., 2018). Senyawa PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon) merupakan senyawa berbahaya yang bisa menyebabkan kanker sehingga asap cair hasil dari proses pirolisis harus dimurnikan kembali agar terpisah dari senyawa-senyawa berbahaya yang tidak baik bagi tubuh.

Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas asap cair dilakukan dengan proses pemurnian dengan teknik dehidrasi yang dilakukan dengan beberapa cara seperti distilasi bertingkat dan adsorpsi. Distilasi merupakan suatu proses pemisahan komponen-komponen zat didasarkan oleh perbedaan titik didih, pemekatan suatu larutan dan juga pemurnian komponen cair. Distilasi bertingkat merupakan proses yang berlangsung berulang dan terjadi di kolom fraksional. Pada kolom fraksional terdapat beberapa plat yang dimana pada setiap plat terjadi proses pengembunan (Walangare et al., 2013; Alimuddin et al., 2015).

Pemurnian menggunakan teknik dehidrasi metode adsorpsi adalah suatu teknik pemurnian yang sederhana dan mudah dilakukan. Untuk memurnikan asap cair menggunakan teknik dehidrasi dengan cara adsorpsi dibutuhkan adsorben sebagai media filternya. Jenis adsorben yang banyak dimanfaatkan untuk pemurnian asap cair adalah jenis karbon aktif (arang aktif). Karbon aktif (arang aktif) merupakan padatan berpori dengan luas permukaan yang besar yang melalui proses pemanasan menggunakan suhu tinggi. Semakin luas permukaan dari arang aktif maka

daya adsorpsinya yang dihasilkan juga semakin tinggi (Sanjaya et al, 2015). Jenis bahan yang dapat dimanfaatkan untuk membuat karbon aktif adalah bambu betung. Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan tumbuhan bambu yang dapat diperoleh di wilayah dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dari permukaan laut (Fardiansyah, 2017). Bambu merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di Desa Kayubihi, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali sebanyak 2.813,62 ribu rumpun bambu. Desa Kayubihi memiliki lima jenis tanaman bambu. Salah satunya yaitu bambu betung, dengan Luas lahan bambu betung 8,77 ha dengan total rumpun bambu sebanyak 1.129 rumpun. Luasan total tanaman bambu betung sebesar 45.836 batang bambu. Waktu panen yang dilakukan di desa ini setiap setahun dua kali atau setiap tiga sampai lima bulan (Ayu et al., 2018). Pada penelitian yang dilakukan oleh Fardiansyah (2017) menyatakan bahwa bambu betung memiliki kandungan karbon yang tinggi yaitu sebesar 47,6% dan kandungan selulosa sebesar 83,9% yang dimana dari nilai tersebut arang aktif bambu betung menghasilkan papan partikel dengan kualitas baik yang dapat digunakan sebagai adsorben. Proses dehidrasi untuk memurnikan asap cair dengan menggunakan adsorben yang berfungsi menghilangkan senyawa pengotor penyebab warna gelap seperti senyawa PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon) dan tar (Nurrahmad et al., 2022).

Proses dehidrasi dilakukan dengan cara uap yang berada pada labu umpan dilewatkan dari kolom adsorben menuju kolom kondensasi lalu jatuh ke dalam Erlenmeyer untuk penampungan hasil asap cair agar terhindar dari zat berbahaya. Ukuran partikel adsorben mempengaruhi daya serap berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh diameter pori dari setiap ukuran partikel. Semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaannya akan mejadi semakin besar dan daya serapnya semakin tinggi (Diharyo et al., 2020). Oleh karena itu perlu dilakukan variasi ukuran mesh untuk melihat kualitas asap cair yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh ukuran mesh arang aktif yang berbeda terhadap kualitas asap cair grade 1 tempurung kelapa dan waktu pemurnian.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam Gedung Agrokomplek, Laboratorium Puslabfor POLRI dan Laboratorium Forensik Polda Bali. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2022 – Juni 2022.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bambu betung, aquades dan asap cair grade 3 tempurung kelapa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari furnace (Merk Barnstead/Thermolyne type 47900), wadah plastik, oven (Labo DO 255), magnetic stirrer, timbangan analitik (Model Shimadzu, Jepang), stopwatch, desikator, cawan porselen, cawan aluminium, wadah plastik, gelas kimia, gelas ukur, thermometer, kertas saring, dehydrator, ayakan dengan ukuran 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, 100 mesh, pH meter, alat tumbuk kayu, alat tulis, buku catatan, SEM, GC-MS dan laptop acer.

Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Bahan

Persiapan diawali dengan pengambilan bambu betung di Desa Nyanglan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali. Bambu betung yang diambil sudah dipotong dengan panjang 1 meter dan sudah dibelah. Selanjutnya bambu dikeringkan dan dijemur dengan sinar matahari selama 1 minggu hingga kering. Bambu yang sudah kering dipotong kecil-kecil seperti kubus berukuran sisi menjadi 1cm.

Tahap Karbonisasi

Penelitian ini diawali dengan tahap karbonisasi menggunakan furnace (merek Barnstead/Thermolyne type 47900), menurut Wirawan et al. (2018) tahap karbonisasi dengan suhu 300°C selama 2 jam menghasilkan kualitas arang yang baik. Produk Arang bambu betung yang dihasilkan digerus dan dihaluskan sampai menjadi serbuk. Kemudian diayak menggunakan ayakan bertingkat 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh dan 100 mesh. Arang yang sudah di ayak selanjutnya di cuci dengan aquades untuk memisahkan antara karbon yang terbentuk dengan abu sisa oksidasi yang terjadi saat proses karbonisasi. Setelah arang dicuci selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 110°C selama 1 jam yang bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat di dalam arang aktif bambu betung. Setelah itu dilanjutkan dengan uji kadar air, uji kadar abu dan uji SEM (Scanning Electron Microscopy).

Tahap Pemurnian Asap Cair

Pemurnian ini menggunakan proses dehidrasi dengan adsorben arang aktif bambu betung. Menurut Wirawan et al. (2018) sebelum melakukan pemurnian perlunya dilakukan kalibrasi magnetic stirrer untuk menentukan suhu optimum penguapan asap cair dengan kisaran suhu 150°C sampai 200°C. Proses pemurnian dilakukan sampai adsorben jenuh atau tidak dapat lagi menyerap air pada proses penguapan asap cair tempurung kelapa. Hasil dehidrasi ditampung pada erlenmenyer selanjutnya hasil

pemurnian dari keempat perbedaan mesh diuji keasaman (pH) dan uji GC-MS. Proses pemurnian yang dilakukan dengan skema alat pemurnian asap cair dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Alat Pemurnian Asap Cair (Wirawan et al., 2018)

Pengamatan Parameter

Kadar Air

Pengukuran kadar air berdasarkan Pasae et al. (2020) tentang arang aktif, dilakukan dengan perhitungan kadar air dijelaskan pada Persamaan 1.

KadarAir (%) = b-b1 % 100 %              [1]

B1

Keterangan:

B = Berat sampel (g)

B1= Berat sampel sesudah pemanasan (g)

Kadar Abu

Pengukuran kadar abu berdasarkan Pasae et al. (2020) tentang arang aktif, dilakukan dengan perhitungan kadar abu dijelaskan pada Persamaan 2.

Kadar Abu (%) = — % 100 %              [2]

B

Keterangan:

B = Berat sampel awal (g)

B1= Berat sampel sesudah pemanasan (g)

Analisis arang aktif dengan SEM (Scanning Electron Microscopy)

Sempel arang aktif hasil karbonisasi selanjutnya dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui permukaan yang ada didalam sempel arang aktif. Analisis SEM menghasilkan tiga informasi, yaitu topografi, morfologi, dan komposisi. Topografi merupakan sebuah pemindaian SEM dapat berupa bentuk permukaan dan teksturnya. Morfologi meliputi bentuk dan ukuran pori. Serta komposisi atau keseluruhan sampel yang dipandai, merupakan data jumlah unsur dan senyawa yang terdapat pada objek.

Pengukuran derajat keasaman (pH) asap cair

Sampel asap cair dari hasil pemurnian dengan adsorben arang aktif dengan perlakuan mesh,

selanjutnya derajat keasamannya diukur dengan pH meter digital yang sudah dikalibrasi.

Analisis asap cair dengan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry)

Asap cair hasil pemurnian dengan adsorben arang aktif perlakuan mesh yang berbeda, kemudian dilanjutkan dengan menganalisisnya menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) yang bertujuan untuk mengetahui senyawa yang terdapat didalam asap cair. Analisa GC-MS kemudian menghasilkan dua jenis informasi. Pertama, dari hasil pengamatan kromatografi gas, disajikan dengan bentuk kromatogram. Kedua yaitu hasil pengamatan spektrometri massa, disajikan dengan spektrum

massa. Kromatogram dapat menjelaskan mengenai jumlah senyawa kimia yang terkandung pada campuran hasil pengamatan yang ditampilkan dalam bentuk puncak yang terbentuk pada kromatogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Kadar Air Arang Aktif

Kadar air adalah salah satu sifat yang penting pada arang aktif, karena dapat mempengaruhi kemampuan menyerap arang aktif terhadap gas dan cairan (Lestari et al., 2019). Rata-rata nilai kadar air arang aktif bambu betung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai kadar air (%) arang aktif bambu betung

Perlakuan mesh

Kadar Air (%)

40

4,38

60

5,78

80

5,95

100

6,75

Standar SNI 06-3730-1995

Maks.15

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai kadar air terbesar diperoleh dari perlakuan mesh 100 dengan persentase sebesar 6,75% diikuti oleh perlakuan mesh 80 dengan persentase sebesar 5,95% dan perlakuan mesh 60 dengan persentase sebesar 5,78% dan persentase terkecil diperoleh dari perlakuan mesh 40 dengan persentase 4,38%. Diperoleh hubungan bahwa semakin kecil ukuran pertikel maka semakin tinggi kadar airnya. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pasae et al. (2020) diperoleh bahwa semakin kecil ukuran pertikel semakin tinggi kadar airnya, hal ini disebabkan karena setelah melalui proses aktivasi pori-pori arang bambu semakin besar sehingga arang banyak menyerap uap air. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kadar air yang

diperoleh sudah sesuai dengan standar SNI 06-37301995 Kadar air maks 15%, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai adsorben.

Uji Kadar Abu Arang Aktif

Kadar abu adalah komponen anorganik sisa dari pembakaran bahan organik pada suhu 750°C. kadar abu menunjukan terdapat sisa sejumlah oksida logam pada saat proses pemanasan dengan suhu tinggi. Abu yang terbentuk pada saat proses pemanasan dengan suhu tinggi terbentuk dari kandungan mineral yang berikatan dengan arang, seperti magnesium, kalium dan kalsium (Lestari et al., 2019). Rata-rata nilai kadar abu arang aktif bambu betung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai kadar abu (%) arang aktif bambu betung

Perlakuan Mesh

Kadar Abu (%)

40

2,70

60

3,39

80

4,14

100

7,50

Standar SNI 06-3730-1995

Maks.10

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai kadar abu yang dihasilkan dari tiap-tiap perlakuan mesh yaitu mesh 40 sebesar 2,70%, mesh 60 sebesar 3,39%, mesh 80 sebesar 4,14%, dan mesh 100 sebesar 7,50%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar abu yang dihasilkan sudah memenuhi standar SNI 06-37301995 yaitu maks 10 %, sehingga dapat digunakan sebagai adsorben.

Analisis Arang Aktif dengan Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk mengukur struktur dan luas diameter pori adsorben. Pengujian sampel arang aktif bambu betung dalam bentuk bubuk. Dimana kontras gambar yang dihasilkan tergantung pada topografi dengan memvariasikan orientasi spesimen ke detektor sinyal

sehingga efek cahaya gelap dapat dihasilkan untuk membentuk gambar tiga dimensi (Wirawan et al., 2018). Perbedaan hasil perlakuan mesh dengan uji SEM dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3.

Gambar 3. Hasil Uji SEM

Hasil identifikasi SEM pada Tabel 3 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa sampel arang aktif dari setiap perlakuan mesh mengandung unsur karbon dan

menghasilkan diameter pori. Unsur karbon yang terkandung di dalam arang aktif yaitu unsur C, O, Mg, Si, dan P. Kandungan tersebut memiliki masing-masing persentase berat unsur yang berbeda. Adsorben arang aktif dengan perlakuan 40 mesh memiliki unsur C dengan persentase sebesar 72,44%, 60 mesh sebesar 75,90%, 80 mesh sebesar 77,00%, dan 100 mesh sebesar 77,38%. Kandung unsur O dari perlakuan 40 mesh memiliki persentase sebesar 24,62%, 60 mesh sebesar 23,82%, 80 mesh 20,71% dan 100 mesh sebesar 21,68%. Kandungan unsur Mg dari perlakuan 40 mesh, 60 mesh tidak memiliki kandung unsur Mg, sedangkan pada perlakuan 80 mesh memiliki persentase sebesar 0,21% dan 100 mesh sebesar 0,16%. Kandungan unsur Si dari perlakuan 40 mesh memiliki persentase sebesar 0,05%, 60 mesh sebesar 0,22%, 80 mesh sebesar 0,94% dan 100 mesh sebesar 0,36%. Sedangkan kandungan unsur P dari perlakuan 40 mesh tidak memiliki kandungan unsur P, sedangkan pada perlakuan mesh 60 memiliki persentase sebesar 0,30%, 80 mesh sebesar 0,12% dan 100 mesh sebesar 0,06%.

Ukuran (Mesh)

Massa unsur karbon aktif (%)

Diamater pori (μm)

C

O

Mg

Si

P

40

72,44

24,64

-

0,05

-

2-15

60

75,90

23,82

-

0,22

0,30

1-6,8

80

77,00

20,71

0,21

0,94

0,12

1-5,0

100

77,38

21,68

0,16

0,36

0,06

1-2,1

Tabel 3. Massa unsur karbon aktif (%)

Menurut Wirawan et al. (2018), tingginya hasil unsur karbon dipengaruhi pada saat aktivasi zat pengotor lebih banyak menguap sehingga unsur karbon lebih banyak terbentuk dan hilangnya pengotor yang menyumbat pada pori-pori karbon saat pencucian. Unsur C terendah dihasilkan oleh perlakuan 40 mesh dengan persentase sebesar 72,44% dan unsur C tertinggi dihasilkan oleh perlakuan 100 mesh dengan persentase sebesar 77,38%. Pada penelitian ini kandungan unsur C cukup tinggi dibandingkan dengan bahan karbon aktif dari ampas teh hasil penelitian Setyarini et al. (2021) dimana unsur karbon aktif pada ampas teh diperoleh sebesar 50.30 dan 62.94. Diameter pori yang dihasilkan dari perlakuan 40 mesh memiliki ukuran pori 2-15 μm, 60 mesh memiliki ukuran pori 1-6,8 μm, 80 mesh memiliki ukuran pori 1-5,0 μm dan 100 mesh memiliki ukuran pori 1-2,1 μm. Diameter pori tertinggi dihasilkan pada perlakuan mesh 40 dengan ukuran pori 2-15 μm dan terrendah dihasilkan pada perlakuan 100 mesh dengan ukuran pori 1-2,1 μm. Menurut Lestari et al.

(2019) ukuran pori merupakan salah struktur makropori, karena memiliki diameter pori lebih dari 0,025 µm. Jumlah dan ukuran diameter pori karbon mempengaruhi daya serap karbon yang dimana semakin kecil diameter pori karbon dan semakin banyak jumlah pori karbon maka akan semakin besar luas permukaan dan daya serap karbon (Diharyo et al., 2020). Hal ini terjadi dipengaruhi oleh proses karbonisasi yang mampu menghasilkan struktur pori dengan ukuran yang sangat kecil terutama pada daerah micropore dan mesopore. Kemampuan daya serap karbon semakin baik, disebabkan oleh banyaknya pori pada area micropore dan mesopore (Wirawan et al., 2018).

Pengaruh Perbedaan Mesh Arang Aktif Terhadap Waktu Pemurnian

Dari hasil dehidrasi asap cair yang dilakukan dengan adsorben arang aktif perlakuan mesh yang berbeda mendapatkan waktu pemurnian yang berbeda dari setiap perlakuan mesh. Perbedaan waktu dari setiap

perlakuan mesh arang aktif yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbedaan Waktu Pemurnian

Jenis Sampel

Suhu Pemurnian

Perlakuan Mesh

Waktu pemurnian (menit)

Asap Cair Tempurung

200°C

40

87

Kelapa

60

90

80

93

100

100

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa perbedaan ukuran mesh mempengaruhi waktu pemurnian. Waktu yang dibutuhkan untuk memurnikan asap cair hingga jenuh menggunakan adsorben arang aktif dengan perlakuan mesh menghasilkan waktu yang berbeda. Perlukan mesh 40 menghasilkan waktu pemurnian sebesar 87 menit, mesh 60 menghasilkan waktu 90 menit, mesh 80 menghasilkan waktu 93 menit dan mesh 100 menghasilkan waktu 100 menit. Waktu pemurnian tercepat diperoleh dengan perlakuan mesh 40 yaitu 87 menit dan waktu terlama diperoleh dari perlakuaan mesh 100 yaitu 100 menit. Perbedaan waktu dehidrasi dipengaruhi oleh pori pada area micropore dan mesopore dari keempat adsorben. Hal ini disebabkan

semakin banyak kandungan tar dan PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) yang berikatan dengan pori arang aktif, maka senyawa fenol dan senyawa asam lainnya yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Apabila adsorben telah mencapai titik jenuh, maka waktu interaksi tidak lagi berpengaruh (Saputra et al., 2020; Nafi’ah, 2016).

Derajat Keasaman (pH)

Dari hasil pengukuran derajat keasaman asap cair, mendapatkan hasil yang berbeda dari setiap perlakuan mesh adsorben arang aktif. Rata-rata nilai pH asap cair dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. Rata-rata nilai keasaman (pH)

Perlakuan Mesh

Derajat Keasaman (pH)

40

3,3

60

3,2

80

3,1

100

3,0

Standar SNI 8985:2021

1,5-3,0

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa setiap perlakuan mesh mempengaruhi pH asap cair. pH asap cair dengan adsorben arang aktif mesh 40 bernilai sebesar 3,3, mesh 60 bernilai sebesar 3,2, mesh 80 bernilai sebesar 3,1 dan untuk mesh 100 bernilai sebesar 3,0. Nilai pH asap cair yang paling tinggi diperoleh dari perlakuan mesh 40 sebesar 3,3 dan pH terendah diperoleh dari perlakuan mesh 100 sebesar 3,0. Nilai pH yang terkandung di dalam asap cair dipengaruhi adanya kandungan senyawa fenol dan asam (Putri et al., 2017). Rendahnya nilai pH yang dihasilkan dipengaruhi oleh tingginya nilai fenol yang terkandung di dalam asap cair sehingga asap cair yang dihasilkan menjadi lebih asam (Nur et al, 2020). Dari hasil yang diperoleh perlakuan mesh 100 dengan pH 3,0 merupakan perlakuan yang sudah memenuhi standar SNI 8985:2021 yaitu sebesar 1,5-3,0. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri et al. (2017), menyatakan bahwa semakin rendah nilai pH yang terkandung pada asap cair, maka kualitas asap

cair yang dihasilkan akan semakin baik karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba.

Analisis  Asap Cair dengan GC-MS  (Gas

Chromotography-Mass Spectrometry)

Analisis GC-MS merupakan pengujian hasil pemurnian asap cair grade 3 menjadi grade 1 untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung didalam asap cair. Komponen senyawa yang terkandung didalam asap cair yang dihasilkan dari berbagai perlakuan mesh dapat dilihat pada Tabel 6. Total kandungan senyawa fenol yang terdapat pada perlakuan 40 mesh sebesar 7,78%, 60 mesh sebesar 17,08%, 80 mesh sebesar 21,98% dan 100 mesh sebesar 20,7%. Sedangkan untuk total kandungan senyawa asam tidak terdapat kandungan asam pada perlakuan 40 mesh, sedangkan pada perlakuan 60 mesh sebesar 3,47%, 80 mesh sebesar 0,11% dan 100 mesh sebesar 3,27%.

Tabel 6. Hasil uji GC-MS asap cair dengan perlakuan 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, dan 100 mesh

Senyawa

Kelompok Senyawa                      Area%

40 mesh     60 mesh     80 mesh     100 mesh

Senyawa Fenol

Creosol             5,84          13,33          14,63          15,56

Phenol, 4-ethyl-2-

methoxy-            1,94          3,75          4,74          5,14

phenol, 2,6-dimethyl         -              -             2,61             -

Senyawa Asam

acetic acid              -            3,47             -             1,25

N-methyl-methyl ester        -              -             -             2,02

dl-Alanine athyl ester         -              -             0,11             -


Hasil analisis GC-MS asap cair dengan perlakuan mesh arang aktif yang berbeda, tidak ditemukan senyawa tar dan senyawa PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon). Senyawa fenol, senyawa asam dan senyawa turunannya adalah senyawa yang berfungsi sebagai anti bakteri. Tingginya kandungan senyawa fenol dan tingkat keasaman pada asap cair, mengakibatkan semakin tinggi kemampuan asap cair untuk membasmi mikroorganisme (Ikhwanus et al., 2017). Diperoleh bahwa kandungan senyawa fenol dengan kelompok senyawa creosol tertinggi diperoleh dari asap cair dengan adsorben perlakuan 100 mesh sebesar 15,56% dan kandungan creosol terrendah diperoleh dari asap cair dengan adsorben perlakuan 40 mesh sebesar 5,84%. Hasil dari identifikasi GC-MS menunjukkan dari keempat perlakuan mesh arang aktif, dapat digunakan sebagai

pengawet karena tidak ditemukan senyawa-senyawa yang berbahaya seperti tar dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH). Asap cair tempurung kelapa yang memiliki kadar fenol dan kadar asam semakin tinggi, menyebabkan nilai ph menjadi rendah. Rendahnya nilai pH yang dihasilkan, mengakibatkan kualitas asap cair yang dihasilkan akan semakin baik. Warna dan aroma yang dihasilkan dari setiap perlakuan mesh berbeda, disebabkan oleh nilai kandungan creosol yang dihasilkan. Semakin tinggi kandungan creosol menyebabkan warna yang dihasilkan semakin jernih dan tidak berbau (Baird et al., 2019). Sehingga kualitas asap cair tempurung kelapa dari keempat perlakuan mesh adsorben arang aktif dibandingkan dengan standar SNI 8985:2021 asap cair dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan asap cair standar SNI 8985:2021 dengan asap cair yang dihasilkan dari perbedaan perlakuan mesh

SNI Asap Parameter

Cair

Asap Cair

40 Mesh      60 Mesh      80 Mesh     100 Mesh

Total Asam Tertitrasi      4,5-15,0

-              3,47            0,11            3,27

Kadar Fenol         4,6-15,0

1,94            3,75            7,35            5,14

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa hasil pemurnian asap cair dengan perlakuan 100 mesh menghasilkan asap cair kualitas terbaik yang dapat dijadikan sebagai bahan pengawet makanan dengan total senyawa fenol sebesar 5,14% dan senyawa asam sebesar 3,27% yang sudah sesuai dengan standar SNI asap cair.

KESIMPULAN

Dari hasil uji GC-MS asap cair, perlakuan 40 mesh adsorben arang aktif menghasilkan karakteristik senyawa fenol sebesar 1,94, tidak terdapat kandungan asam, nilai pH sebesar 3,3 dan nilai creosol yang dihasilkan sebesar 5,84. Perlakuan 60 mesh adsorben

arang aktif menghasilkan karakteristik senyawa fenol sebesar 3,75, terdapat kandungan asam sebesar 3,47, nilai pH sebesar 3,2 dan nilai creosol yang dihasilkan sebesar 13,33. Perlakuan 80 mesh adsorben arang aktif menghasilkan karakteristik senyawa fenol sebesar 4,74, terdapat kandungan asam sebesar 0,11, nilai pH sebesar 3,1 dan nilai creosol yang dihasilkan sebesar 14,63. Perlakuan 100 mesh adsorben arang aktif menghasilkan karakteristik senyawa fenol sebesar 5,14, senyawa asam sebesar 3,27, nilai pH sebesar 3,0 dan nilai creosol yang dihasilkan sebesar 15,56. Semakin tinggi kandungan creosol maka warna yang dihasilkan semakin jernih dan tidak berbau. Penggunaan perbedaan partikel arang aktif berukuran 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, dan 100 mesh,

mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik jenuh. Waktu yang diperlukan dari setiap adsorben arang aktif yang berbeda adalah 100 menit dengan ukuran 100 mesh, 93 menit dengan ukuran 80 mesh, 90 menit dengan ukuran 60 mesh dan 87 menit dengan ukuran 40 mesh.

DAFTAR PUSTAKA

Adhitya, R., Alimuddin, & Aman, P. S. (2015). Pemurnian Asap Cair Dari Kulit Durian Dengan Menggunakan Arang Aktif. Journal of the Japanese Society of Pediatric Surgeons, 10(2), 112–120.

https://doi.org/10.11164/jjsps.4.1_156_2

Ayu, P. R., Nyoman, U. G. I., & A.A.A, D. S. W. (2018). Analisis Potensi Ketersediaan Tanaman Bambu dan Pemasaran Kerajinan Bambu di Desa Kayubihi Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli. Agribisnis Dan Agrowisata,  7(3).

https://doi.org/10.33140/tapi1

Badan Standardisasi Nasional - BSN. (1995). Standar Nasional Indonesia untuk Arang Aktif Teknis SNI 06-3730-1995. 20.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2021). Crude Asap Cair Lignoselulosa sebagai Bahan Baku (SNI8985: 2021). 1-24.

Baird, Z. S., Uusi-Kyyny, P., Pokki, J. P., Pedegert, E., & Alopaeus, V. (2019). Vapor Pressures, Densities, and PC-SAFT Parameters for 11 Biocompounds. In International Journal of Thermophysics (Vol. 40, Issue 11). Springer US. https://doi.org/10.1007/s10765-019-2570-9

Diharyo, Salampak, Zafrullah, D., & Sulmi, G. (2020). Pengaruh lama aktifasi dengan H3PO4 dan ukuran butir arang cangkang kelapa sawit terhadap ukuran pori dan luas permukaan butir arang aktif. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah, 5(1), 48–54.

Fardiansyah, H. (2017). Pemanfaatan Media Bambu Sebagai Adsorbent Penyerap Logam Kadmium (Cd) dengan Perbandingan Tanpa Aktivasi dan Aktivasi dengan Asam Sitrat. Skripsi. Publikasi. Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan UII, Yogyakarta.

Fauzan, F., & Ikhwanus, M. (2017). Pemurnian Asap Cair Tempurung Kelapa Melalui Distilasi dan Filtrasi Menggunakan Zeolit dan Arang Aktif. Prosiding Semnastek, p - ISSN: 2407 - 1846, 12.

Herlina, P. K., Yoel, P., & Gazali-AI. (2020).

Pemanfaatan arang aktif dari bambu untuk pengolahan limbah cair. Saintis, 1(2).

Jamilatun, S., & Salamah, S. (2015). Peningkatan Kualitas Asap Cair Dengan Menggunakan Arang Aktif Sntt Fgdt 2015. Simposium

Nasional Teknologi Terapan (SNTT), 3, 1–6.

Jamilatun, S., Salamah, S., Aslihati, L., & Suminar, W. (2016). Pengaruh Perendaman Ikan Nila Dengan Asap Cair ( Liquid Smoke ) Terhadap Daya Simpan. Seminar Nasional Sains Dan Teknologi, November 2016, 1–8.

Lestari, E. S., Hadi, Y. S., & Pari, G. (2019). Pemanfaatan Campuran Arang Aktif Kayu Muntingia calabura L. dan Bakteri Escherichia coli pada Pengolahan Limbah Kromium Industri Elektroplating. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 37(2), 105–122.

Nafi’ah, R. (2016). Kinetika Adsorpsi Pb ( II ) dengan Adsorben Arang Aktif dari Sabut Siwalan. Jurnal Farmasi Sains Dan Praktis, I(2), 28–37.

Nurrahmad, F. A.,  & Khalimatus, S. (2022).

Pengaruh Jenis Dan Rasio Penambahan Adsorben Pada Pemurnian Asap Cair. Distilat: Jurnal Teknologi Separasi,  8(1),  18–27.

https://doi.org/10.33795/distilat.v8i1.293

Sanjaya, A. S., & Agustine, R. P. (2015). Studi Kinetika Adsorpsi Pb Menggunakan Arang Aktif Dari Kulit Pisang. Konversi, 4(1), 17. https://doi.org/10.20527/k.v4i1.261

Saputra, R. Y., Naswir, M., & Suryadri, H. (2020). Perbandingan Karakteristik Asap Cair Pada Berbagai Grade Dari Pirolisis Batubara. Jurnal Engineering,          2(2),          96–108.

https://doi.org/10.22437/jurnalengineering.v2i2 .11531

Septian, F. D., & Nur, M. M. N. (2020). Kajian Pengaruh Pemurnian Asap Cair dengan Metode Distilasi dan Adsorpsi Menggunakan Zeolit Alam. 1(2), 2–5.

Seri, M., & Feni, P. S. (2017). Pengaruh Suhu, Waktu, Dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Pirolisis Serbuk Pelepah Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia    USU,    6(2),    35–40.

https://doi.org/10.32734/jtk.v6i2.1581

Setyarini, H. D., Apriani, M., & Cahyono, L. (2021). Karakterisasi Adsorben dari Ampas Teh Tanpa Aktivasi dan Teraktivasi. l(2623), 156–159.

Shinta, N. Y. S., & Sinar, A. A. P. (2018). Pemurnian Asap Cair Terhadap Kinerja Reaktor Pirolisis Melalui Proses Filtrasi Zeolit Aktif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Industri, Lingkungan Dan Infrastruktur, 1(September), 1–6.

Thuroihan Aminulloh. (2020). Pembuatan Asap Cair Grade 1 Berbahan Limbah Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet. Skripsi. Publikasi. Program Studi Budi Daya Tanaman Hortikultura Politeknik Pertanian dan Peternakan Mapena, Tuban.

Walangare, K. B. A., Lumenta, A. S. M., Wuwung, J. O., & Sugiarso, B. A. (2013). Rancang Bangun Alat Konversi Air Laut Menjadi Air Minum

Dengan Proses Destilasi Sederhana Menggunakan Pemanas Elektrik. Jurnal Teknik Elektro      Dan      Komputer,      2(2).

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/elekdank om/article/view/1786

Wirawan, I. P.S., Sutrisno, S., Seminar, K. B., & Nelwan, L. O. (2018). Characteristics of Microactive Carbon from Bamboo Var. Petung as Adsorbent. IOP Conference Series: Earth and Environmental    Science,    147(1).

https://doi.org/10.1088/1755-1315/147/1/012028

Wirawan, I. Putu Surya, Mardjan, S. S., Seminar, K. B., & Nelwan, L. O. (2018). Purification of bioethanol with bamboo activated carbon as adsorben. International Journal of Scientific and Technology Research, 7(12), 166–169.

315