PENEGAKAN HAK ASASI PEREMPUAN PADA ERA GLOBALISASI DI INDONESIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (KONVENSI CEDAW)

I Made Suwandana Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:

[email protected]

ABSTRAK

Penulis melakukan studi ini bertujuan untuk membahas serta mengetahui secara mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap kekerasan kekerasan seksual dalam rangka menegakkan hak asasi perempuan di masa globalisasi ini. Kemudian, penulisan hukum tersebut memakai metode penelitian normatif beserta prosedur pendekatan Undang-Undang (Regulation Approach) serta Pendekatan Analitis (Systematic Approach). Temuan studi menunjukkan bahwa peran CEDAW dan Optional Protocol CEDAW serta seluruh instrumen perlindungan perempuan sejatinya dapat menegakkan hak asasi perempuan dalam memperoleh rasa nyaman dan aman setiap harinya. Namun oleh karena kurangnya implementasi dalam lini kehidupan nyata membuat kekerasan seksual meningkat kian harinya secara universal terlebih di Indonesia. Bagaimana pun harus terdapat kesadaran nurani dalam batiniah diri seseorang terlebih pelaku terhadap korban.

Kata Kunci: CEDAW, PBB, Kekerasan seksual.

ABSTRACT

The author conducted this study aimed at discussing and knowing in depth about legal protection against sexual violence to uphold women’s human rights in this era of globalization. Then, the writing of the law uses a normative research method along with the procedures for the Legal Approach (Regulation Approach) and the Analytical Approach (Systematic Approach). The study findings show that the role of CEDAW and Optional Protocol CEDAW belong with all instruments of women’s protection can uphold women's human rights in obtaining a sense of comfort and security every day. However, due to the lack of implementation in real life, sexual violence is increasing day by day universally, especially in Indonesia. However, a person’s inner self must be aware of conscience, especially the perpetrator against the victim.

Key Words: CEDAW, United Nations, Sexual prosecution

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Perempuan kerap menjadi pihak nan paling rentan dalam diskriminasi dan kekerasan gender akibat adanya disparitas antara laki-laki dengan perempuan di kehidupan sehari-hari. Mengenai perihal pembedaan perlakuan secara tidak adil yang acap kali didapati perempuan dimulai dari status sosial, memandang dan memberikan stigma buruk bahwa perempuan berarti manusia yang lunglai sehingga pantas untuk menjadi korban. Atas kesadaran dan tuntutan arah hukum yang dinamis pada delapan belas Desember Tahun 1979, General Assembly dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyepakati suatu agenda pembentukan dasar dari pemufakatan CEDAW yang dikenal dengan Convention on the Elimination of all Forms of Declaration Against Women atau Konvensi perihal eliminasi seluruh wujud pelepasan hak pada perempuan.1

Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa di ranah perempuan diciptakan demi menjamin pembelaan terhadap ekualitas jenis kelamin pada aspek pemerintahan, institusi, lembaga, konfigurasi atau wadah komunitas hingga kehidupan masyarakat dalam mewujudkan interpretasi regulasi ataupun peraturan pada hukum regional supaya menjadi senada terhadap CEDAW serta mampu mengoptimalkan pembaruan regulasi hukum yang dapat menegakkan ekualitas perbedaan jenis kelamin, Misalnya di kawasan Asia Tenggara yakni, Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.2 Ditinjau dari konvensi HAM, keberadaan CEDAW bisa memfasilitasi penanganan yang berlandaskan hak guna menuntut kedaulatan yang dimiliki, baik itu hak publik atau sipil, ketatanegaraan atau politik, perniagaan atau ekonomi, serta kultur atau sosial budaya, sebagaimana yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia (HAM).3

Indonesia menjadi satu diantara banyaknya negara yang sudah meratifikasi CEDAW pada 24 Juli 19844, dengan ini Indonesia dapat dikatakan legally binding terhadap CEDAW. Adapun ratifikasinya dengan menggunakan peraturan UU RI No. 7 Th.1984 mengenai justifikasi Konvensi berkenaan perihal eliminasi seluruh wujud penghilangan hak pada perempuan.5

Berdasarkan hal-hal yang melatarbelakangi studi ini apabila dilakukan analogi terhadap penelitian terdahulu terdapat equality pada perspektif pokok pembahasan, yakni bersamaan membahas tentang perlindungan pada perempuan ditinjau dari hukum internasional, hanya saja melalui train of thoughts6 yang berlainan. Mela Fitriyatul Hilmi7 meninjau dalam studi penelitiannya pada tahun 2019 tentang “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional”. Mengenai scope serta point of view penelitian tersebut merujuk pada kedudukan suatu organisasi internasional sebagai source of international law yang memiliki legal personality dan juga legal capacity. Terdapat permasalahan utama (main topic) yang dituangkan dalam penelitian tersebut yakni diantaranya mengenai pengaturan hukum internasional terkait kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi dalam pembahasannya instrumen hukum internasional8 yang digunakan dapat dikatakan terbatas karena hanya memuat tiga instrumen yakni Rome Statute, CEDAW, serta Report based on UNCHR (United Nations High Commisioner for Refugees). Ditinjau halnya dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilaksanakan oleh saudari Mela Fitriyatul Hilmi meninjau dalam studi penelitiannya pada tahun 2019 tentang “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional”, membuat adanya urgensi terkait perlunya adanya pendalaman pemahaman secara komperhensif mengenai perlindungan hak asasi perempuan, tak hanya melalui kelembagaan organisasi hukum internasional melainkan juga melalui instrumen hukum internasional yang bergerak melapisi setiap unsur legal dispute settlement pada segala bentuk kekerasan seksual pada perempuan. Dengan adanya perluasan instrumen internasional dari penelitian terdahulu secara eksplisit membuka cakrawala berpikir (critical thinking) untuk dapat berfokus pada apa yang sebenarnya perempuan perlukan demi menjamin kelayakan HAM yang sesugguhnya tanpa memandang ras, suku, agama dan lainnya.

Dengan demikian penulis memiliki gagasan serta perspektif yang lebih kompleks terlebih pada muatan instrumen hukum internasional yang digunakan seperti ILO yang dikenal dengan International Labour Organization atau Organisasi Perkumpulan Buruh Internasional, Maklumat atas Petahanan hak perempuan dan Anak dalam waktu genting serta dalam keadaan konfrontasi berlengkapkan senjata, Konvensi atas Kebebasan Hak Politik Kaum perempuan, Konvensi Tambahan mengenai penghapusan terhadap segala tindakan perbudakan, serta terdapat pula Konvensi Persoalan Pengesahan untuk melangsungkan perkawinan, Umur minimal untuk melaksanakan perkawinan dan bagaimana registrasi perkawinan, sehingga dapat memberikan urgensi untuk dapat melangsungkan penelitian ini terlebih terdapat sudut pandang baru guna mengetahui lebih lanjut instrumen apa saja yang dapat menunjang perlindungan terhadap perempuan secara optimal, tepat sasaran, serta sustainable.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berawal atas penjelasan latar belakang serta perspektif diatas dapat diperoleh dua gagasan persoalan seperti:

  • 1.  Bagaimanakah perlindungan hukum sebagaimana dalam CEDAW dapat

memberikan kepastian hukum terhadap korban kekerasan seksual?

  • 2.  Bagaimanakah penegakan hak asasi perempuan   ditinjau dari instrumen

perlindungan perempuan internasional selain daripada CEDAW?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Jurnal ini disusun dengan tujuan memberikan pemahaman secara komprehensif terkait bagaimana seharusnya kita sebagai civitas akademika dapat memberdayakan perempuan demi menjamin hak asasi perempuan melalui perspektif hukum internasional dengan CEDAW.

  • II.    Metode Penelitian

Jurnal tersebut ditulis dengan menerapkan satu metode penelitian yuridis yakni ppenelitian yuridis normatif9 yang memiliki cakupan luas terkait bagaimana tinjauan bentuk aspek yuridis itu sendiri. Kemudian jurnal ini mengusung konsep yang berbasis pada suatu rancangan pendekatan Regulasi Perundang-undangan (Regulation Approach) serta dengan adanya ancangan Pendekatan Analitis (Systematic Approach). Sekumpulan regulasi ketentuan hukum yang membentuk fokus studi atau studi pokok penelitian ini adalah CEDAW beserta instrumen perlindungan perempuan internasional lainnya seperti ILO (Organisasi Perkumpulan Buruh Internasional)10, Maklumat atas Petahanan hak perempuan dan Anak dalam waktu genting serta dalam keadaan konfrontasi berlengkapkan senjata11, Konvensi atas Kebebasan Hak Politik Kaum perempuan , Konvensi Tambahan mengenai penghapusan terhadap segala tindakan perbudakan, serta terdapat pula Konvensi Persoalan Pengesahan untuk melangsungkan perkawinan, Umur minimal untuk melaksanakan perkawinan dan bagaimana registrasi perkawinan. Norma-norma hukum yang timbul dari aturan hukum tersebut saling berkaitan satu sama lainnya yang saling berkaitan erat secara logika, kemudian bahwa beberapa aturan regulasi hukum ini diyakini dapat memfasilitasi segala bentuk permasalahan hukum yang ada yakni kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, lalu bahwa aturan hukum tersebut tersusun secara hirarkis, sehingga telah memuat sifat-sifat dari pendekatan

terhadap perundang-undangan (Regulatory Approach)12, yakni comprehensive, all-inclusive, dan systematic. Sedangkan melalui pendekatan Analitis (Systematic Approach)13 penulis melakukan pemeriksaan secara konseptual atas peristilahan yang ada dalam instrumen perempuan internasional yakni dengan tujuan memperoleh makna baru yang terdapat pada instrumen tersebut serta menguji peristilahan tersebut dalam implementasi di Indonesia.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

Globalisasi merupakan suatu konsep yang menggunakan frasa dasar yakni “the globe” dalam tatanan bahasa Inggris atau “lamonde” dalam tatanan bahasa Perancis14, yang memiliki pengertian bumi, pada bhuana raya ini. Oleh karenanya “globalisasi” dalam tatanan bahasa Indonesia atau “globalization” dalam tatanan bahasa Inggris atau “mondialisation” dalam tatanan bahasa Perancis secara netral bahasawi bisa kita artikan menjadi cara untuk mengaktualkan seluruhnya satu bhuana raya ini, satu bumi.15 Sedangkan dalam interpretasi pada aspek ideologi, globalisasi bisa dimaknai sebagai suatu bentuk penempatan perluasan pemahaman terhadap liberal pada lini kehidupan kegiatan ekonomi seperti investasi, penganutan sistematika politik yang bercorak demokrasi dan yang tak kalah pentingnya yakni hak otonomi daerah. Selanjutnya, di tengah derasnya globalisasi yang kian dinamis menimbulkan hubungan terhadap kekerasan seksual yakni dampak yang luar biasa khususnya dampak negatif bagi perempuan dan anak. Dengan adanya globalisasi yang dinamis menimbulkan peluang terjadinya kekerasan seksual semakin leluasa dan lenggang. Misalnya saja, sebagaimana dilansir melalui United Nations Women16 diprediksi setidaknya ditemukan tiga puluh lima persen perempuan di muka bumi ini sudah menghadapi kekerasan verbal, psikis maupun kekerasan seksual secara langsung semasa hidupnya.17 kekerasan seksual pun tak hanya dialami perempuan namun juga dialami anak di bawah umur misalnya saja pada laporan dengan headlineStopping Childhood Violence: by Global Report 2017”, perlakuan tekanan atas anak yang berlangsung secara general dalam kurun waktu satu tahun sebanyak 1,7 miliar anak secara global mengalami kekerasan seksual. Sejalan dengan hal tersebut CEDAW senantiasa berusaha hadir dalam menyikapi seluruh wujud dari pembedaan

perlakuan dan kekerasan pada perempuan pada seluruh wujud serta bentuk manifestasi atau dapat dikatakan CEDAW merupakan titik acuan sebagai regulasi pengaturan secara internasional demi menjamin hak-hak yang sudah semestinya didapat perempuan sejak ia lahir. CEDAW juga memegang teguh 3 (tiga) asas yang dijadikan hakikatnya yakni, ekualitas yang bersifat atau berdasarkan aspek prosedural, aspek menghargai persamaan atau kesetaraan anatara laki-laki dan perempuan; serta komitmen negara dalam bertanggung jawab. Ketiga asas tersebut menekankan bahwa kesetaraan harus dapat diimplementasikan secara nyata, bukan hanya diatas kertas, dengan kata lain bahwa tidak cukup jika perempuan tidak merasakan kesetaraan tersebut. Dalam situasi CEDAW yang bersifat de facto, negara dituntut untuk mengundangkan undang-undang demi memastikan implementasi berdaya guna berlandaskan pada prinsip kesetaraan gender. Oleh karenanya maka dapat dikatakan pemahaman akan keadaan de facto dari seorang perempuan dan kesetaraan gender (Gender Equality) memegang peranan konsekuensial khususnya pada tinjauan hukum yang berlandaskan CEDAW.

Latar belakang munculnya istilah kekerasan seksual yang mulai dikenal masyarakat internasional adalah pada masa pasca perang dunia II di tahun 1945. keadaan yang demikian juga terjadi ketika persidangan Batavia diakana pada saat peristiwa penghukuman terhadap kumpulan tentara Jepang atas tindakannya dengan perempuan asal belanda menjadi pelayan pemuas seksual dikala kisaran tahun 1948.18

Dengan kian mencuatnya kekerasan seksual, maka dibentuk pengaturan terkait kekerasan seksual yang berfokus terhadap bentuk ketimpangan gender seperti halnya kekerasan seksual yang begitu saja berlangsung ketika konflik bersenjata yakni Pengadilan Kriminal Yugoslavia yang pada umumnya dikenal “ICTY”19 dalam kisaran tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga mengenai persoalan pelecehan, pencabulan, dan perbudakan yang diprakarsai oleh “combatant” atau sekumpulan pihak bersenjata yang diperbolehkan untuk terlibat dalam peperangan yang mana saat itu menimbulkan ajaran peradilan hukum yang pertama dalam cakupan hukum internasional.20

Ditinjau berdasarkan Pasal 7 (1) (g) Statuta Roma oleh Pengadilan Kriminal Internasional Yugoslavia yang mengatakan, “Le viol, l’esclavage sexual, la prostitution force, la sterilization force out tout autre type d’abus sexuel d’intensite similaire sont tous des examples de crimes contre l’humanite commis dans le cadre d’une attaque generalissee ou systematique menee contre toute population civile ayant connaissance de ;’attaque…”,21 dengan terjemahan sebagai berikut, “Pencabulan, perdagangan seksual, pelacuran secara terpaksa, sterilisasi secara terpaksa, atau jenis pelecehan seksual lainnya

dengan intensitas serupa adalah semua contoh tindakana melaggar hukum dalam konteks kebengisan mengenai kemanusiaan yang mengganggu batiniah ketengan hati nurani seseorang yang dilangsungkan menjadi serangkaian dari serangan yang kompleks atau runtut yang dilakukan kepada seluruh warga sipil yang mengetahui serangan tersebut…”. Ditinjau dari article ini memiliki konotasi serangan seksual, dimana pengertian serangan seksual ialah kumpulan suatu perbuatan mencabuli, penyerahan diri dengan terpaksa sebagai budak seksual, pemaksaan untuk melakukan tindakan pelacuran, penghamilan dengan secara terpaksa dan tertekan, pemaksaan sterilisasi yang biadab serta bentuk kekerasan seksual parah serta hal lainnya22 yang dapat kita golongkan ke dalam tindakan aniaya kejahatan pada manusia dengan terpenuhinya unsur dari pasal demi pasal tersebut.

Kemudian pada tahun 1994 mencuatnya Pengadilan Kriminal Internasional Rwanda yang dikenal lebih umum dengan sebutan ICTR yang dikenal dengan International Criminal Tribunal for Rwanda atau Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda23 dimana memiliki kekuasaan dalam menangani kasus pemerkosaan pada dekade tersebut. Namun dalam hal mengadili perkara tersebut hakim dikala tersebut memberikan pengertian yang lain daripada pengertian pencabulan yang mana telah termaktub sebelumnya pada ICTY yang dikenal dengan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia atau Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia. Berlandaskan dari Pasal 3 Statuta ICTR24 pencabulan dapat diartikan bentuk kejahatan terhadap manusia, namun terjadi perkembangan secara signifikan dan meluas, mencakup:

  • a.    Pengertian pencabulan sebagai bentuk penindasan serta vonis kesatu untuk jenis kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap manusia dan dapat digolongkan kejahatan genosida.

  • b.    Pengertian pencabulan sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap keberadaan hukum dalam kebiasaan pertempuran atau perang.

  • c.    Menegaskan bahwasannya tanggung jawab seorang komando peperangan dapat bisa dijadikan basis suatu pendakwaan peristiwa pencabulan.

  • d.    Pendakwaan terhadap eksploitasi seksualitas pada inti pokok permasalahan.

  • e.    Terdapat perluasan pengertian dari kata pencabulan, yang mana dalam perkembangan pesat pada kasus Jean Paul Akayesu yang merupakan politisi Gerakan Democratic the Republic of Rwanda sejak tahun 1993-1994.

Ditemukan pada trial-chamber ICTR, The Prossecutor v. Jean Paul Akayesu, terbukti mengetahui serta menelantarkan pembunuhan, sexual violence, selama terjadinya kejahatan genosida Akayesu dan saat ini dijadikan terminologi pelaku kejahatan genosida dalam international humanitarian law, yang mana perluasan pengertian pencabulan tersebut adalah perlakuan kekerasan seksual yang dapat digolongkan penetrasi seksual dengan paksaan kedalam rongga vagina, anus ataupun rongga mulut menggunakan penis dan/atau vagina atau anus beserta benda lain.

  • f.    “pencabulan” serta tindakan kejahatan kekerasan seksual lain-lain... mengakibatkan kekerasan psikis serta psikologis yang fatal”.

Perluasan pengertian ini adalah ditinjau dari yurisprudensi ICTR yang tetap mengindikasikan interpretasi pada penindakan substantif pengadilan pidana internasional terlebih berdasarkan aspek kejahatan terhadap perempuan. Dimana pencabulan adalah bentuk tekanan kejahatan seksual yang tetap menjelma sebagai bagian dari banyak tuntutan namun tidak sebagai fokus prioritas.25 Dengan seiring terjadinya globalisasi dalam lingkup warga internasional, majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengetahui akan kompleksnya kasus kekerasan seksual yang ada menjadi hambatan besar dalam kedamaian dunia. Hingga pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga pada Pasal 1 Maklumat Eliminasi Pada kekejaman seksualitas terhadap perempuan, General Assembly Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan pengertian kekerasan pada perempuan merupakan tindakan kekerasan berlandaskan ketimpangan gender yang mengahsilkan atau dapat memjungkinkan terjadinya cedera psikis atau psikologis, seksual atau kesengsaraan pada perempuan , atau segala bentuk paksaan guna melangsungkan tindakan-tindakan seperti penghilangan kebebasan tanpa pertanggungjawaban ala abstrak, yang mana hal tersebut dapat berlangsung secara privat maupun publik.26

  • 3.1    CEDAW Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap perempuan

CEDAW menjadi instrument internasional yang memegang peranan penting khususnya dalam ranah perlindungan hukum bagi perempuan. Sejatinya CEDAW dapat menjadi penunjang dari aturan-aturan nasional di Indonesia. Secara harafiah peran atau kedudukan fungsi efektif CEDAW dapat dilihat melalui historical approach. Diantaranya pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga, Sidang Umum yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mengangkat semacam bentuk pernyataan atau declaration yang diharapkan mampu untuk memfasilitasi segala bentuk kekerasan pada perempuan yang mana telah dicetuskan pada tahun seribu sembilan ratus dua puluh dua oleh Komite Penanganan Status perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam kaitannya dengan sejarah salah satunya pada Article 1 DEVAW yang biasa dikenal dengan Declaration on the Elimination of Violence Against Women atau dalam Bahasa Indoensia disebut sebagai Deklarasi Eliminasi terhadap Kekerasan yang ditujukan pada perempuantahun 1993 termaktub bahwasannya kekerasan pada seorang perempuan itu termasuk bagian dari tindakan

kekerasan atas dasar pemikiran ketimpangan gender, yang dalam kurun waktu tertentu dapat menimbulkan kekacauan atau kesengsaraan pada perempuan baik secara psikis maupun psikologis, termasuk halnya gertakan, tekanan atau sebagai bentuk perebutan hak atau kebebasan secara semena-mena, maupun dalam konteks kehidupan yang bersifat publik maupun privat (pribadi).

Kemudian pada Pasal 2 deklarasi sebagaimana diatas menjelaskan bahwa definisi tersebut sebaiknya secara menyeluruh dapat dimengerti demi mencakup tindakan yang tak terbatas pada kekerasan psikis, psikologis, maupun seksual yang masih menjadi isu krusial in global round, hal ini juga menyangkut penganiayaan, perlakuan seksual secara tak bertanggung jawab pada perempuan dan juga anak, kekerasan yang berkorelasi terhadap mas kawin pernikahan, pencabulan pada rumah tangga, bahkan hingga perlakuan kejahatan penyunatan secara paksa pada perempuan yang mengancam kesehatan jiwa dan juga praktik konvensional yang dapat merugikan perempuan dalams segala aspek lini kehidupan, kekerasan ekstern rumah tangga, kekerasan eksploitatif, pelecehan perempuan secara seksual, dan intimidasi atau teror pada lapangan pekerjaan, baik dalam suatu institusi edukasi, pemerintah dan yang lainnya, perdagangan seorang perempuan secara paksa, pemaksaan untuk melaksanakan tindakan asusila yakni melacur serta kekerasan yang diprakarsai oleh seorang yang memiliki jabatan tinggi atau penguasa, yang mana penjelasan komprehensif tersebut secara tegas menuju pada akar permasalahan yang menimbulkan kekerasan hubungan antar gender (roots depending on gender).

  • 3.2    Penegakkan Hak Asasi perempuan melalui Instrumen HAM perempuan Internasional selain daripada CEDAW

Sebelum menyinggung substansi terkait CEDAW sebagai penegakkan hak asasi perempuan, dalam kaitannya juga terdaoat beberapa instrumen HAM perempuan internasional penunjang lainnya, Adapun mengenai hal tersebut, yakni:

  • 1.     UDHR yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Rights atau dalam

Bahasa Indonesia acapkali disebut dengan DUHAM atau Deklarasi secara Universal terhadap HAM)27 dipelopori dan disebarluaskan oleh General Assembly Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu pada tanggal sepuluh Desember seribu sembilan ratus empat puluh delapan. Asas Hak Asasi Manusia dimuat pada preambule UDHR28, yakni:

  • a.    Penetapan secara konkrit bahwa derajat beserta dengan hak yang adil dan absolut, manusia merupakan awal mula yang utama dari setiap kemerdekaan yang bebas, diikuti dengan rasa ketentraman dan perdamaian abadi.

  • b.    Maka suatu suara dari rakyat biasa adalah bentuk aspirasi utama yang kenikmatan kemerdekaan yang dijamin dalam mengutarakan aspirasi beserta keyakinan serta terbebas dari rasa terbelungu dan serba kekurangan,

  • c.    Menitikberatkan keyakinan atas aspek hak absolut serta menjamin adanya

bentuk penghormatan pada HAM yang telah menyatu pada masing-masing individu tanpa terkecuali dan kebebasan yang hakiki.

UDHR/ DUHAM merupakan salah satu acuan utama dalam menjamin keberlangsungan hak asasi manusia seseorang dalam menciptakan terbentuknya respectful within Human Rights dan kebebasan manusia yang dibawanya sejak dalam kandungan, sebagai wujud dari suatu landasan berlandaskan kedamaian, keadilan, kebebasan dan kedamaian yang kekal. UDHR/ DUHAM mempunyai latar belakang sejarah yakni, (a) Kovenan Internasional tentang kedaulatan individu maupun publik dan ketatanegaraan bersinggungan terhadap Protokol Opsional (Optional Protocol) pada convention regarding civil and political rights by General Assembly Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Desember tanggal enam belas tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh enam; (b) Pengakuan Kovenan Internasional yang meliputi hak-hak perniagaan atau ekonomi, kultur atau sosial serta budaya sebagai instrumen internasional paling awal yang menyinggung HAM dan umumnya disebut dengan Human Rights Bill (Jaminan Internasional mengenai HAM setiap orang) yang dalam hal ini merupakan perwujudan dari instrumen inti mengenai HAM. Pemerintah RI telah meratifikasi dua Kovenan internasional diatas yakni pada Oktober tahun dua ribu lima, yakni pada;

  • 1.    UU Republik Indonesia No. 11 Thn.2005 perihal Kovenan Internasional

(International Convention) akan Hak-hak Perniagaan atau Ekonomi, Kultur atau Sosial dan Budaya) juga UU Republik Indonesia No.12 Th.2005 berkaitan dengan pemberlakuan International Covenant on Economic and Political Rights.

  • 2.    Organisasi Perkumpulan Buruh Internasional atau dikenal dengan ILO (International Labour Organization) menyadari akan selalu terjadi kemungkinan tindakan diskriminasi terhadap pekerja berjenis kelamin perempuan , oleh sebabnya dikeluarkanlah ILO Convention mengenai Pengupahan yang Sama bagi seluruh gender guna mencegah ketimpangan gender, yakni pada tahun seribu semblan ratus lima puluh satu, yang mendemonstrasikan standar upah atau gaji yang adil bagi buruh laki-laki maupun perempuan demi pekerjaan atau karir yang senilai derajatnya. Negara kita, Indonesia telah meratifikasi konvensi ini atau dengan kata lain telah legally binding yang ditujukannya pada UU RI No. 80 tahun 1957 yang membahas “Pengesahan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 100 atas penentuan atau memperoleh hak berupa upah yang berkeadilan terhadap buruh laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan hak pekerjaan atau karir yang sederajat”.

  • 3.    Maklumat atas Pertahanan perempuan serta anak pada waktu mendesak dan konfrontasi berperlengkapan senjata di tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh empat yang dibentuk oleh karena Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai mengetahui akan banyaknya berlangsung sensibilitas perempuan pada suatu keadaan konflik tertentu yakni konflik bersenjata serta menerbitkan larangan tindakan oleh siapa pun yang tergolong atau memiliki konotasi atau mengarah pada tindakan yang tidak manusiawi dalam situasi tertentu.

  • 4.    Konvensi berkenaan terhadap Hak Politik pada perempuan pada tahun seribu sembilan ratus lima puluh dua, yang didalamnya mampu menjamin dan memberikan perlindungan khususnya tentang hak akan berpartisipasi dalam ranah politik bagi perempuan. Indonesia sendiri sudah melakukan ratifikasi akan

konvensi tersebut dengan ditujukannya pada UU Republik Indonesia No. 68 Th.1958, terkait Pengakuan Konvensi Hak Politik atas perempuan29.

  • 5.    Konvensi Tambahan mengenai penghapusan perbudakan tahun seribu sembilan ratus lima puluh enam. konvensi ini memuat tujuan guna menghilangkan praktik konvensional dan kecakapan yang mengarah dan mengubah perempuan menjadi alat tunai suatu transaksi, meneruskan perempuan terhadap orang lain apabila pasangannya telah tiada dan bentuk serupa lainnya. Konvensi tersebut mulai memasuki aspek privat (private domain) dalam masyarakat internasional dimana kerap kali perbudakan pada umumnya dilakukan secara seman mena terhadap perempuan.

  • 6.    Konvensi terhadap Persetujuan Perkawinan, Usia minimum untuk melangsungkan perkawinan dan pendaftarannya pada tahun seribu sembilan ratus enam puluh empat. konvensi ini adalah manifestasi terhadap rasa kepedulian dalam perlindungan usia perempuan untuk dapat melangsungkan pernikahannya, dan konvensi ini tak hanya berguna untuk mengakui akan kesetaraan hak yang dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki untuk memilih pasangannya, kendati demikian hal ini juga dapat menjamin hak untuk dapat menikah dengan kesepakatan yang lega dan seutuh-utuhnya.

Lantaran suatu deklarasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dilakukanlah tindakan untuk menetapkan garis besar sebuah bentuk konvensi internasional yang mempunyai kekuatan hukum secara universal bagi negara manapun yang telah meratifikasinya serta mampu mengikat secara tegas, dan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seluruh upaya atau ikhtiar telah disuarakan, diusahakan, diperkuat oleh hampir seluruh komunita perempuan di belahan dunia ini dan khususnya di Indonesia dengan tetap menggunakan pedoman norma sebagai acuan HAM dalam penjaminannya diiringi pula dengan instrumen hak perempuan yang ekstensif yaitu The Convention on the Eliminate all forms of Discrimination against Women (Konvensi Eliminasi Seluruh Wujud Penghapusan Hak pada Perempuan), 1979.

Kemudian dalam halnya mengenai penegakan hak asasi perempuan demi memberikan perlindungan secara penuh, belum sesuai terhadap pengimplemantasiannya. Terlebih dengan adanya rangkaian regulasi diatas, negara sejatinya memang dapat dikatakan memiliki good faith dalam memberikan perlindungan bagi warganya khususnya perempuan. Kendati demikian, dalam implementasinya terdapat beragam permasalahan yang berkembang seperti negara kita yang belum meratifikasi Optional Protocol CEDAW30, negara kita yang juga tak

kunjung mengupayakan dukungannya untuk terbentuknya Peradilan Pidana Internasional yang mana hal ini terlihat sejak tahun 2002 dimana Indonesia bukan negara yang ratified Rome Statute atau Statuta Roma31. Hal demikianlah yang sangat disayangkan karena sejatinya dapat menjadi terobosan sebagai alternatif untuk khususnya perempuan memperoleh rasa aman. Statuta Roma atau Rome Statute mengatur sedemikian rupa bahwa tindakan diskriminasi terhadap perempuan seperti pemerkosaan menjadi golongan pelanggaran berat HAM, begitupula dengan Optional Protocol CEDAW yang menawarkan sasaran tepat pilihan regulasi, dimana juga dapat memperkuat penegakan hak asasi perempuan. Procedural Investigation pada Optional Protocol CEDAW ditawarkan sebagai pilihan terkahir dengan tujuan bilamana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap perempuan yang diberikan pemerintah atau negara belum maksimal atau tidak dapat dilaksanakan dalam decision making dan domestic regulation, maka akan berlaku Optional Protocol CEDAW. Dengan kata lain tahapan atau Prosedural untuk mengimplementasikan Konvensi CEDAW adalah based on reporting procedure/inter-state procedure dan procedural lainnya yakni Optional Protocol CEDAW.

Hal yang sangat urgent dalam implementasi konvensi CEDAW yakni budaya patriarki acap kali menjadi sorotan publik, dimana budaya ini turun temurun berlangsung tercerminkan melalui tindakan pemerintah yang membiarkan peraturan diskriminatif dan sikap pemerintah yang melegalisasi poligami secara terbuka oleh pejabat atau pimpinan negara via UU No. 1 Th. 1974 perihal Perkawinan atau dengan makna lain hal ini menunjukkan posisi perempuan yang cenderung subordinate dikhalayak publik. Awareness yang dimiliki oleh pemerintah saat ini terkesan kurang memadai mengenai penegakan hak asasi perempuan. Terlihat secara sadar bahwa setelah sekian tahun Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW serta konvensi lainnya diatas belum terlihat pelaksanaan atau implementasi yang serius atau mendalam. Dewasa ini beberapa usaha yang diakomodir pemangku kebijakan belum sejalan dengan kenyataan dikehidupan sehari-hari. Diskriminasi terhadap perempuan dapat membahayakan posisi perempuan dalam menggapai haknya. Negara dalam hal meratifikasi juga harus membuat perempuan dapat mengakses haknya melalui konvensi yang telah diratifikasi diatas.

  • IV. Kesimpulan

Pada hakikatnya kekerasan seksual kerap terjadi pada perempuan dan berlaku secara universal atau global terlebih pada masa globalisasi yang kian berkembang dari waktu ke waktu. Instrumen Hukum Internasional yang telah ada baik berupa konvensi maupun aturan lainnya dapat mengikat negara yang tergabung khususnya di Indonesia yang telah meratifikasi CEDAW dapat dikatakan memiliki perlindungan yang cukup bagi perempuan. Secara yuridis memang terlihat negara telah meratifikasi Konvensi CEDAW, namun tidak dengan Optional Protocol CEDWA yang mana dalam bentuk efektifitas pengimplementasiannya pasca belasan tahun diratifikasi tidak memperlihatkan posisi negara Indonesia yang memang telah meratifikasi

konvensi tersebut. Keterbatasan pemerintah dalam menyesuaikan dengan globalisasi jauh dari harapan masyarakat terkhusus kaum perempuan. Segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi dapat terakomodir dengan baik melalui instrumen tersebut apabila terimplementasikan dengan tegas dan optimal, sedangkan diluar daripada hal tersebut pada umumnya merupakan kesengajaan yang dilakukan pelaku terhadap korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dewy Puspita, Arahman Maman, dan Rosidin. Modul Pelatihan Promosi CEDAW untuk Perempuan Komunitas Mempromosikan Nilai-Nilai Budaya setara dan Adil Gender. (Sekretariat Nasional Solidaritas perempuan, 2016)

Jonaedi Efendi, S. H. I., S. H. Johnny Ibrahim, and M. M. Se. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. (Prenada Media, 2018)

Luhulima, Achie Sudiarti. CEDAW: menegakkan hak asasi perempuan. (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014)

Nordbring, Lisa. Transitional Justice-Setting Aside Rule of Law in Order to Reach the Rule of Law. (2019).

Nuraini, Atika. Hukum Pidana Internasional dan Perempuan: sebuah Resource Book untuk Praktisi, (Jakarta, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan, 2013)

Shaw, Malcolm N. International law. (Cambridge university press, 2017)

Jurnal Ilmiah

Adrian, Defira Martina, Fence M. Wantu, and Abdul Hamid Tome. "Diskriminasi Rasial Dan Etnis Dalam Perspektif Hukum Internasional." Jurnal Legalitas 14, no. 01 (2021): 1-17.

Amalia, Mia. "Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan) Terhadap Anak Dampak Dan Penanganannya Di Wilayah Hukum Kabupaten Cianjur." Jurnal Hukum Mimbar Justitia 2, no. 1 (2019): 648-667.

Asri Agustiwi, S. H. "Hukum sebagai instrumen politik dalam era globalisasi." Rechtstaat Nieuw 1, no. 01 (2016): 46.

Banjarani, Desia Rakhma, Abdul Muthalib Tahar, and Desy Churul Aini. "Studi Perbandingan Kelembagaan dan Yurisdiksi International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan the International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dengan International Criminal Court (ICC)." Cepalo 1, no. 1 (2017): 41-56.

Bertha, Nadya. "Tindak Pidana Terorisme Dilihat Dari Manfaat Dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003." Lex Crimen 9, no. 4 (2021): 30.

Situngkir, Danel Aditia. "Urgensi Ratifikasi Statuta Roma bagi Indonesia." UIR Law Review 2: 378.

Hilmi, Mella Fitriyatul. "Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional." JuristDiction 2, no. 6 (2019): 2199-2218.

Japian, Cheryl Michelia Valerie. "Eksistensi Organisasi Buruh Internasional (Ilo– International Labour Organization) Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Pekerja Berdasarkan Konvensi Ilo Nomor 111 Tahun 1958 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan Dan Jabatan Dan Implementasinya Di Indonesia." Lex Privatum 9, no. 2 (2021): 28-29.

Liyu, Sesylia Levintha. "Hybrid Court Sebagai Alternatif Penanganan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan." Lex Administratum 9, no. 4 (2021): 49-50.

Martowirono, Suwardi. "Azas Pelengkap Statuta Roma 1998 Tentang Pengadilan Pidana Lnternasional." Jurnal Hukum & Pembangunan 31, no. 4 (2017): 339-356.

Nisa, Candra Ulfatun, Asiyah Jamilah, and Kartika Sasi Wahyuningrum. "Penanganan Kasus Kemanusiaan Melalui Lembaga Peradilan International Criminal Court: Perbudakan Seksual Terhadap Perempuan Etnis Yazidi Oleh ISIS." Journal of Judicial Review 22, no. 2 (2020): 271-290.

Putrijanti, Aju, and Kadek Cahya Susila Wibawa. "Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 9, no. 1 (2021): 21.

Rafee, Mohd, dan Saba Fatima. "Protection of women in armed conflict and International humanitarian law." International Journal in Management & Social Science 5, no. 11 (2017): 196.

Sanger, Beverly Gabrille. "Perlindungan Hak Politik Perempuan Sebagai Hak Asasi Manusia dan Pengaturannya dalam Konvensi Internasional." Lex Et Societatis 7, no. 3 (2019): 168

Shabrina, Adinda Ayu, Reni Windiani, and Andi Akhmad Basith Dir. "Peran United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah Korban Sexual and Gender-based Violence (SGBV) di Lebanon." Journal of International Relations 1, no. 1 (2018): 81-89.

Sinombor, Sonya Hellen. "Kedudukan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) Dalam Sistem Hukum Di Indonesia." AL WASATH Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2022): 1-12.

Tantimin. "International Criminal Law Enforcement Against Conflict In Yemen." Legal Spirit 6, no. 1 (2022): 21.

Widyastuti, A. Reni. "Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 21, no. 2 (2009): 3.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

perempuan.

Article 7 (1) (g) Rome Statute of The International Criminal Court.

Thesis

Julia, Gracia Nilam. “Perlindungan Perempuan Dari Kejahatan Perdagangan Perempuan (Women Trafficking) Menurut Convention on the Elimination of All Forms of Descrimination Against Women (CEDAW) dan Implementasinya di Indonesia”. Skripsi, (Universitas Hasanuddin Makassar, 2020), 2.

Kusumaningrum, Clara Ayuk. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Wanita Di Kabupaten Wonosobo Dari Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan." PhD diss., Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2020.

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 4 Tahun 2022 hlm 423-437

437