PENYEBARAN CUPLIKAN FILM DI MEDIA SOSIAL SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA
on
PENYEBARAN CUPLIKAN FILM DI MEDIA SOSIAL SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA
Komang Melinda Sulistyawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: melindasw25@gmail.com
Bima Kumara Dwi Atmaja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: bimakumara@unud.ac.id
DOI : KW.2022.v11.io4.p16
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendalami tentang bentuk pelanggaran hak cipta dan upaya proteksi hukum atas penyebaran cuplikan film di media sosial. Metode penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif. Dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbuatan mengutip, menyalin, merekam, menggandakan dan mengiklankan sebagian atau keseluruhan ciptaan orang lain, tanpa seizin dari pencipta atau pemegang hak cipta merupakan pelanggaran hak cipta. Oleh karena itu, ini merupakan pelanggaran terhadap hak moral dan hak ekonomi Pencipta. Penyebaran cuplikan film sebagai bentuk pelanggaran hak cipta merupakan contoh dari pembajakan. Walaupun sifatnya sementara, namun hal tersebut tetap melanggar hak cipta suatu film.
Kata Kunci : Hak Cipta, Film, Pelanggaran, Penyebaran
ABSTRACT
This study aims to understand and explore the forms of copyright infringement and legal protection efforts for the spread of film footage on social media. The writing method used is a normative research method. With a legislative and conceptual approach. The results of this study show that the act of quoting, copying, duplicating and advertising part or all of someone else's creation, without the permission of the creator or copyright holder is a copyright violation. Therefore, it is a violation of the moral rights and economic rights of the Creator. The dissemination of film footage as a form of copyright infringement is an example of piracy. Although it is temporary, it still violates the copyright of a film.
Keywords: Copyright, Film, Infringement, Distribution.
UU No. 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta menguraikan bahwa ciptaan ialah semua hasil karya di sektor sastra, seni, serta ilmu pengetahuan, yang diperoleh dari keahlian, keterampilan, kecekatan, imajinasi, pemikiran, kapabilitas, serta inspirasi yang digambarkan dengan wujud riil.1 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berdampak terhadap berkembangnya permasalah HKI.2 Media sosial ialah salah satu contoh inovasi teknologi yang dikembangkan oleh manusia untuk mencapai tujuannya dengan menciptakan bentuk baru dalam berinteraksi dan
bersosialisasi.3 Film atau sinematografi tersebut termasuk dalam ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual. Sinematografi masuk kedalam ruang lingkup HKI khususnya hak cipta, dan ciptaannya harus dijamin. Karya film ialah media komunikasi visual bergerak seperti: film cerita, reportase, film iklan, film dokumenter yang dirancang berdasarkan film kartun serta skenario. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 40 huruf m di UU No. 28/2014.4 Jenis film yang diterbitkan berdasarkan ciptaan adalah suatu objek hak terkait dengan Hak Cipta, dan merupakan ciptaan yang orisinalitas dan kreatifitasnya melibatkan beberapa pihak yang telah berkontribusi dalam penciptaan karya tersebut. Ciptaan yang dilindungi hak cipta adalah hak eksklusif (Pasal 1 angka 1 UU No.28/2014) dan berhak atas mengontrol peredaran ciptaannya melalui penyiaran berlisensi, yaitu oleh Lembaga Penyiaran. Dengan kemajuan teknologi saat ini, sangat mudah mengakses segala bentuk informasi maupun berinteraski dengan seluruh individu di dunia internasional serta mudah pula untuk mengunduhnya atau menyebarluaskannya dalam segala bentuk informasi baik berupa gambar, video maupun audio. Namun hal ini terkadang membawa dampak negatif yaitu pelanggaran hak cipta. Mengenai karya-karya yang diberikan perlindungan di sektor sastra ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.5 Contohnya ialah karya sinematografi yang lalu terlahirlah Film sebagai hasil kesenian budaya yakni tradisi sosial serta sarana komunikasi resmi yang dibentuk menurut unsur-unsur sinematografi menggunakan ataupun tanpa audio serta bisa ditayangkan.6 Tiap-tiap karya mengandung hak cipta mulai ia dilahirkan. Terhitung pula karya yang berbentuk film pasti juga terpaku hak cipta serta termasuk objek yang diberi perlindungan menurut UU No.28/2014. Tetapi kehadiran UU No.28/2014 sudah melakoni berbagai perbaikan untuk penuntasasan kebijakan di dalamnya tetapi belum pula cakap dalam memberikan proteksi hukum yang baik kepada hak cipta khususnya karya sastra film. Transformasi berbasis pada UU No.28/2014 ini menggarap adaptasi berbagai macam delik perlindungan hak cipta. Perlindungan kepada hak cipta zaman ini mendatangkan delik aduan, dari yang semulanya ialah delik biasa.7
Tetapi pada beberapa konflik yang terjadi di masyarakat, diketahui bahwa pendistribusian karya film dilakukan melalui jejaring sosial tanpa izin resmi. Pada dasarnya penyebaran karya cipta film dilakukan oleh Lembaga Penyiaran memiliki hak ekonomi yang telah diatur pada Pasal 25 UU No.28/2014. Seperti contoh hal yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat adalah menyebarluaskan rekaman film yang sedang tayang di bioskop. Hal ini tentu memberikan kerugian terhadap bioskop dan juga melanggar hak cipta film tersebut. Perilaku pembajakan dari zaman ke zaman terus menghadapi pertumbuhan baik dari segi modus pembajakan maupun segi kuantitasnya. Bukan hanya penyebaran melalui situs online, penyebaran melalui sosial media seperti Instagram, Telegram, Facebook dan lain-lain. Menyebarkan keseluruhan maupun sebagain dalam bentuk cuplikan film tersebut tentu juga melanggar hak cipta. Perlindungan di media internet akan hak cipta ini mendapati kesulitan dikarenakan
belum didapatinya aturan yang betul-betul menjamin dari tindak pembajakan atau pencurian. Karya cipta hasil ciptaan individu maupun sekelompok individu yang telah menghasilkan karya ciptaannya itu patut dijamin dan mempunyai hak cipta atas karya yang dihasilkan yang kemudian mampu menghasilkan hidup yang seimbang pada si pemilik karya seni itu sendiri.8
Dalam penelitian ini ditemukan penelitian yang identik sebagai bahan orisinalitas, namun terdapat perbedaan pembahasan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ni Made Rian Ayu Sumardani pada tahun 2018 yang memiliki judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online”.9 Dan penelitian yang dilakukan oleh Sang Ayu Putu Dela Permatasari pada tahun 2022 yang meiliki judul “Pengaturan Karya Cipta Sinematografi Melalui Aplikasi Telegram Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta”.10 Sedangkan pada karya tulis ini lebih diarahkan mengenai bentuk pelanggaran dan perlindungan hukum bagi hak cipta untuk film yang telah disebarluaskan tanpa izin melalui media sosial. Berdasarkan penjabaran yang telah dibuat dalam latar belakang pada tulisan diatas, penulis melakukan penelitian dengan judul “Penyebaran Cuplikan Film Di Media Sosial Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Cipta”.
Berlandaskan permasalahan diatas, maka rumusan masalah yang berhasil disusun antara lain:
-
1. Apakah penyebaran cuplikan film melalui media sosial merupakan bentuk pelanggaran hak cipta?
-
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi hak cipta atas film yang disebarluaskan melalui sosial media tanpa izin?
Jurnal ini mempunyai tujuan dalam menambahkan pengetahuan keilmuan hukum berkenaan tentang bentuk pelanggaran hak cipta atas penyebaran cuplikan film dan upaya proteksi hukum bagi hak cipta atas film yang telah disebarluaskan di sosial media.
Tipe metode penelitian yang dipakai untuk penulisan e-journal ini ialah penelitian hukum normatif. Penelitian ini memuat beberapa unsur yaitu aturan hukum, pendekatan hukum dan norma hukum. Bahan hukum yang digunakan yaitu
bahan hukum primer berupa UU No.28/2014 serta bahan hukum sekunder berupa literatul mengenai Hak Cipta. Jurnal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yaitu tentang aspek yang bisa dikaji dari menggunakan aspek peraturan perundang-undangan dan menggunakan teknis analisis bahan hukum kualitatif yaitu analisis dari keseluruhan data yang telah dikumpulkan menggunkan data primer atau pun data sekunder.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Para pencipta yang telah melahirkan suatu hasil karya cipta wajib mengetahui bahwa hak cipta pada hakikatnya merupakan bagian atau unsur yang penting. Mempunyai bukti yang kuat atas kepemilikan karya ciptaannya harus dimiliki oleh sebuah karya cipta yang sudah diwujudkannya dengan wujud nyata. Pemilik hak cipta mendapatkan kontrol penuh atas karya ciptaannya ataupun sering dikatakan sebagai sang pencipta karya mendapatkan hak eksklusif. Hak moral maupun ekonomi tentu tergabung secara otomatis tidak wajib mendaftarkan sebelumnya, hal tersebut tercantum pada Pasal 4 UU No.28/2014.11 Robert M. Sherwood ketika meluncurkan perlindungan atas hak kekayaan intelektual menegaskan bahwa hak eksklusif yang dihadiahkan untuk pencipta ialah sebuah wujud apreasiasi akan hasil pemikiran si pencipta saat memberikan sebuah karya.
Seorang pencipta yang memiliki hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi terhadap karya yang diciptakan merupakan makna hak ekonomi sedangkan hak yang memberikan perlindungan kepentingan personal pencipta merupakan makna dari hak moral. Hak moral memiliki sifat abadi serta personal yang berarti hak itu tetap tinggal semasa pencipta hidup bahkan hingga wafat.12 Hak-hak yang adalah manfaat ekonomi yang sewajibnya diperoleh oleh pemegang hak cipta meliputi 8 hal, antara lain:
-
1) Komunikasi Ciptaan dan penyewaan Ciptaan;
-
2) Pengumuman Ciptaan;
-
3) Pertunjukan Ciptaan;
-
4) Pendistribusian atau salinannya;
-
5) Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
-
6) Penerjemahan Ciptaan;
-
7) Pengadaan ciptaan dalam segala bentuknya;
-
8) Penerbitan ciptaan.
Berlandaskan Pasal 5 UU No.28/2014 menjelaskan hak moral ialah hak dari pencipta demi menegakkan haknya dalam perkara terjadinya penyimpangan ciptaan, pemotongan ciptaan, perubahan ciptaan atau sesuatu yang memiliki sifat mencoreng nama baik atau citranya. Perilaku dari aksi tersebut cuma akan memperoleh sanksi perdata, dimana kaum yang diberatkan menuntut secara perdata bagi perilaku penyimpangan hak cipta tersebut. Alasannya karena tindakan itu tidak mencukupi kaidah pidana dari UndangUndang Hak Cipta Tahun 2014.
Pada prinsipnya macam pelanggaran akan hak cipta memegang dua tanda utama. Tanda yang pertama ialah mempunyai unsur sengaja serta tanpa izin melaksanakan penyebaran, menggandakan, maupun pemberian izin untuk hal itu. Lalu, tanda yang kedua ialah memiliki unsur kesengajaan untuk mempertunjukkan, mendistribusikan, maupun melakukan kegiatan komersian atas massa akan hasil karya yang telah diberikan hak cipta penciptanya. Tindakan mengumumkan, memperbanyak, merekam, megutip, maupun mengakui seluruh maupun sebagian karya individu lainnya tanpa meminta izin pemegang hak cipta atau pemilik sih maupun yang bertentangan dengan UU maupun melawan kebijakan merupakan contoh pelanggaran Hak Cipta.
Pembajakan atau piracy didefinisikan sebagai penyebaran atau penyalinan yang memperoleh perlindungan hukum yang dianggap tidak sah, hanya untuk mengetahui bahwa itu adalah pembajakan dengan cara membuat banyak salinan di komputer pribadi atau juga dengan mengunduh dan menginstal salinan tidak resmi adalah termasuk tindakan yang melanggar hukum. Pembajakan yang dapat disebut sebagai “download illegal” atau “counterfeiting (pemalsuan)” tergolong sebagai tindak kriminal. Ketentuan tentang Pembajakan di Indonesia dapat ditemukan pada UU No. 28/2014 pada Pasal 1 angka 23 yang pada intinya menjelaskan bahwa pengertian pembajakan ialah “penggandaan ciptaan secara illegal dan pendistribusian barang hasil dari penggandaan secara luas dan memperoleh keuntungan ekonomi. Pembajakan terhadap karya ciptaaan seseorang termasuk bentuk dari tindak pelanggaran hak cipta yang melanggar undang-undang”. Bukan hanya hal tersebut, tindakan pembajakan berdasarkan UU No. 28/2014, juga menjelaskan jika merekam keseluruhan maupun cuplikan isi film lewat media apapun itu sudah tergolong pelanggaran hak cipta. Pada zaman sekarang, banyak hal yang dilakukan untuk mengunggah data film ke internet. Di media sosial mulai muncul berbagai fitur yang telah ditawarkan karena adanya kemajuan teknologi didalamnya seperti, Instagram, Facebook, Whatsapp dan Youtube. Merekam film karya orang lain tanpa izin pencipta dan memilki tujuan agar mendapatkan sejumlah profit tanpa membayarkan pajak dan royalti terhadap negara dan si pencipta juga bisa dikatakan menjadi pelanggaran atas Hak Cipta. Perihal tersebut ialah contoh dampak negatif yang tumbuh atas kemajuan teknologi. Akan tetapi, ada batasan-batasan Hak Cipta yang dicantumkan dalam UU No. 28/2014, unsur itu lebih detail dijabarkan pada Bab VI mengenai Pembatasan Hak, Pasal 43 hingga Pasal 51 UU No. 28/2014. Pengumuman dan memperbanyak film lewat media sosial dengan mengunduhnya ataupun streaming ialah contoh pelanggaran hak cipta yang sering timbul.13
Dalam UU No.28/2014 yang berjalan di Indonesia, terdapat segenap hal-hal yang dibuat untuk dianggap tidak menentang hak cipta. Aktivitas pada sektor ilmu pengetahuan serta pendidikan, aktivitas riset serta inovasi, melalui beberapa kebijakan yang tidak memberikan kerugian atas hak dan wajar dari pemiliknya ialah pemakaian ciptaan yang dianggap tidak menentang suatu hak cipta. Kebutuhan yang didasari oleh keseimbangan dalam mendapatkan keuntungan ekonomi akan suatu ciptaannya ialah hal yang didefinisikan dari kepentingan yang wajar dari penciptanya. Jika individu hendak mempergunakan hak finansial atas hasil karya melalui metode apapun maka wajib menerima kesepakatan dari penciptanya dengan membuat
perjanjian lisensi yang kemudian harus membayar beberapa royalti selaku wujud dari kontraprestasi atas dilimpahkannya hak finansial kepada si pencipta.
Pelanggaran hak cipta akan penciptaan karya sinematografi maupun film bisa tercipta dengan wujud penayangan maupun pengadaan ciptaan terkait tanpa perizinan. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari manfaat ekonomi ciptaannya ialah kerugian yang dialami pencipta dalam perspektif ekonomi. Pada tahun 1990 bulan September di Jenewa, Intellektual Property In Business Briefing telah mendiskusikannya suatu permasalahan yang juga dikenal sebagai Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) dimana ancaman suatu pelanggarannya dapat mengarah kepada proteksi hak cipta merupakan hal yang cukup penting, secara nasional ataupun internasional. Terdapat suatu isu penting yang kemudian dimasukannya ke dalam struktur lembaga WTO (World Trade Organization) yaitu Trade Related Aspects of Intelectual Property Right (TRIPs) ialah termasuk dalam spesifik untuk mengatur aspek-aspek yang mengandung unsur Hak Kekayaan Intelektual.14 Penegak hukum seharusnya memberlakukan hukum dengan segera jika terjadi tindak pelanggaran agar terciptanya rasa aman dan adil bagi setiap warga negara. Dalam arti sempit, penegak hukum ialah yang menegakkan hukum yang meliputi hanya polisi dan jaksa lalu diperluasnya sampai pada akhirnya mencakup juga hakim, pengacara, dan lembaga permasyarakatan.15
Contoh elemen dari objek hak kekayaan intelektual (HKI) ialah hak cipta. Wujud apresiasi yang diberikan pemerintah terhadap masyarakatnya yang memiliki keahlian dengan menghasilkannya sebuah ciptaan baik dalam wujud karya hingga karya seni dan sastra pada dasarnya merupakan prinsip HKI.16 Hak kekayaan intelektual juga meliputi karya, teknologi serta ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai-nilai moral dan ekonomis dikarenakannya selaku hak milik yang dihasilkannya dengan adanya potensi intelektualitas manusia.17 Hak cipta terlahir dikarenakan hak alamiah (natural right), jadi pengakuannya serta proteksinya langsung sesudah karya cipta usai dikerjakan.18 Perlindungan hukum berupa hukum positif dapat menjaga kepastiannya, kemanfaatannya serta keadilan hukum sesuai dengan tujuan dibentuknya hukum itu sendiri. Dengan adanya perlindungan hukum yang dihadiahkan oleh pemerintah yaitu berbentuk peraturan yang nantinya dapat menghasilkan dua fungsi. Dua fungsi tersebut yaitu, bentuk usaha represif serta usaha preventif. Usaha preventif sebagaimana maksudnya yaitu memberikan perlindungan yang bertujuan agar menghambat atau menjauhkannya tindakan-tindakan rakyat supaya tidak
menjalankan tindak pelanggaran hukum seperti membajak film secara daring, terkhususnya via media sosial.
Cara pencegahan tersebut dinantikan sanggup dalam meminimalisir fenomena pembajakan yang diperbuat rakyat Indonesia. Upaya preventif yang diberikan oleh pemerintah dalam mencegah terjadinya pembajakan film juga dengan menghadirkannya UU No. 28/2014 yang akan dirampungkan pemerintah sampai yang paling akhir telah berlaku dari tahun 2014. Pada kebijakan undang-undang tersebut dengan baik tercantum ancaman hukuman yang sampai menyertakan ancaman hukuman pidana. Selain itu, pemerintah pun telah menghadirkan sebuah peraturan bersama Menteri Hukum dan HAM No. 14 Tahun 2015 dan membentuk Peraturan Menteri Kominfo No. 26 Tahun 2015 mengenai Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau hak akses pengguna yang melanggar hak cipta dan/atau hak tergabung kedalam sistem elektronik agar terciptanya perlindungan yang lebih optimal. Dalam pasal 15 secara tegas telah menyatakan akan melakukan pemberhentian konten maupun hak akses terdakwa yang sudah melaksanakan pelanggaran atas hak cipta maupun hak yang berkaitan maka akan tertera di pada halaman resmi kementerian yang memfasilitasi kepentingan pemerintahan di sektor komunikasi dan informatika. Ancaman yang diberikan dalam bentuk penutupan konten maupun hak mengakses tersebut pula bisa dijadikan menjadi usaha pencegahan dalam melawan oknum pembajak film.
Pengaturan tentang masalah pelanggaran hak cipta yang memakai delik aduan telah tertuang dalam ketentuan Pasal 120 UU No. 28/2014. Delik aduan ialah upaya hukum yang telah dijalankan dengan melewati tahapan hukum pidana. Pencipta mampu mengadukan aduan tindak pidana ke Direktorat Jendral HKI yang telah berkerjasama bersama kepolisian, apabila pencipta mendapatkan kerugian hak ekonomi ataupun hak moral yang dilangsukan oleh oknum lain tanpa persetujuan darinya untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Korban atau yang merasa dirugikan harus melaporkan delik tersebut sehingga dapat diproses.19 Pemerintah telah sengaja membentuk beberapa peraturan berupa berbagai ketentuan didalamnya, dimana ketentuannya ini tidak sekedar mencakup upaya preventif belaka. Sebgaimana yang telah diuraikan, dengan menghadirkannya peraturan-peraturan tersebut tentu juga memberikan usaha represif terhadap para pelanggar kebijakan hukum hak cipta yang bisa dilewati dengan tiga jenis hukum. Tiga jenis hukum yang dimaksud antara lain, jalur hukum perdata, pidana, maupun administratif.
Semenjak UU No.28/2014 terbaru disahkan dan diberlakukannya oleh pemerintah pada tahun 2014. Segala bentuk peraturan perlindungan hukum yang bersifat preventif ataupun represif seperti yang sudah dijabarkan diatas wajib diakui sudah dilaksanakan dengan baik dan setidaktidaknya cukup efektif. Namun, penegakan upaya-upaya tersebut belum dikatakan maksimal dikarenakannya usaha penindakan mapun pencegahan bagi para oknum tindak kejahatan hak cipta sejauh ini belum cukup kuat dan sangat kurang mampu dalam memberikan efek jera terhadap para oknum tindak kejahatan atas hak cipta, terkhususnya karya sastra film, yakni pelaku penyebaran film di Indonesia.20
Membangun kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat perlu digalakan lagi oleh pemerintah selain menguatkan penegakan hukumnya. Agar terciptanya proteksi hukum yang adil terhadap hak cipta karya sastra film, perlu adanya sinergi yang baik antara keberadaan aturan hukum dengan perilaku masyarakat yang menjadi peran penting. Hal yang dapat diupayakan untuk mengubah perilaku masyarakat dengan cara melakukan berbagai langkah-langkah yang persuasif yaitu dengan diberikannya sebuah edukasi kepada masyarakat lewat iklan di televisi, media sosial dan dengan merangkul masyarakat agar menonton dengan cara yang legal.21 Dapat pula mengajak masyarakat melakukan campaign dengan mengumpulkan para ahli pembuat film supaya membuat film-film pendek yang menyertakan pesan moral yang nantinya dapat memberikan semangat anti terhadap pembajakan dan dapat lebih menghargai hasil karya sastra film. Masyarakat memiliki pengaruh besar atas upaya perlindungan terhadap hasil dari intelektual seseorang. Kesadaran masyarakat dalam menghargai hasil ciptaan karya ini juga sangat penting dengan tidak mengakses, mengunduh, menyalin, serta menyebarluaskan secara illegal yang tidak sesuai dengan undang-undang hak cipta.
Penyebaran cuplikan film tanpa seizin pemilik karya di media sosial merupakan bentuk pelanggaran hak cipta karena sudah melanggar hak ekskusif yang diperoleh pencipta karya tersebut. Hak eksklusif yang dimiliki pencipta ialah hak ekonomi serta moral. Upaya preventif dan upaya represif ialah bentuk perlindungan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah agar terhindar dari pelaku pelanggaran hak cipta yaitu dengan dibuatkannya seperangkat peraturan perundang-undangan demi menjamin kesejahteraan bagi hak cipta terkhususnya untuk para pemegang hak cipta akan karya sastra film. Hukuman yang dapat diberikan kepada individu yang menggugah karya cipta film tanpa izin terkait ialah pencipta bisa menggugatnya baik secara perdata dengan memberikan ganti rugi maupun secara pidana. Adapun upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan oleh pencipta yaitu melalui mediasi hingga diberlakukannya penutupan akses maupun konten atas website yang bertentangan dengan Hak Cipta.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Rahmi Jened. Interface Hukum Intelektual Kekayaan dan Hukum Persaingan
(Penyalahgunaan HKI) (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
Santoso, Budi. HKI Hak Kekayaan Intelektual (Semarang, Penerbit Pustaka Magister, 2011).
Jurnal
Bimo Mahendra. “Eksistensi Sosial Remaja Dalam Instagram (Sebuah Perspektif Komunikasi).” Jurnal Visi Komunikasi 16 (2017).
Dewi, Anak Agung Mirah Satria, and Anak Agung Mirah. "Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Cover Version Lagu Di Youtube." Jurnal Magister Hukum Udayana 6, no. 4 (2017).
Haryono, and Agus Sutono. "Pengakuan Dan Perlindungan Hak Cipta Tinjauan Secara Filosofis Dan Teoritis." CIVIS 6, no. 2 (2017).
Indriani, Iin. "Hak Kekayaan Intelektual: Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Karya Musik." Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 2 (2018).
Lopes, Fransin Miranda. "Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Di Bidang Musik Dan Lagu." Lex Privatum 1, no. 2 (2013).
M. Husein Maruapey. “Penegakkan Hukum dan Perlindungan Negara.” Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi 7, no. 1 (2017).
Noviandy, Robby. "Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Film Terhadap Situs Penyedia Jasa Unduh Film Gratis Dalam Media Internet." (2016).
Paseran Paserangi, Hasbir. "Perlindungan Hukum Hak Cipta Software Program Komputer di Indonesia." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 18 (2011).
Permatasari, Sang Ayu Putu Dela, and I Made Dwi Dimas Mahendrayana. “Pengaturan Karya Cipta Sinematografi Melalui Aplikasi Telegram
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta”. Jurnal Kertha Semaya 10 no.5 (2022).
Senewe, Emma Valentina Teresha. "Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah." Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum 2, no. 2 (2015).
Suastini, Ni Putu Maitri, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Pemidanaan Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Dalam Kaitannya Dengan Kontrol Sosial (Social Controlling)." E-Journal Ilmu Hukum 8, no. 2 (2019).
Sumardani, Ni Made Rian Ayu, and I Made Sarjana. “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online”. Jurnal Kertha Semaya 6 no.3 (2018).
Yanto, Oksidelfa. "Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD)." Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 3 (2015).
Skripsi
Kurniawati M, Mega Silvana. "Konsekuensi Perubahan Sifat Delik Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Perlindungan Pencipta Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta." PhD diss., UAJY, 2016.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 4 Tahun 2022, hlm. 870 - 878
Discussion and feedback