PEMENUHAN HAK KORBAN DALAM PENERAPAN DIVERSI DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
on
PEMENUHAN HAK KORBAN DALAM PENERAPAN
DIVERSI DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Ni Luh Wira Pramesthi Cahyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i03.p17
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana penerapan Diversi pada anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) dikaji dari aspek pemenuhan hak korban yang ditinjau dari Undang – undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian yang dilakukan untuk mengkaji berdasarkan undang – undang dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan restorative justice diatur di dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SPPA. Berdasarkan dengan ketentuan tersebut maka diupayakan agar anak yang mengalami permasalahan hukum dapat diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu melalui mekanisme Diversi, telah diatur pada Pasal 1 ayat (7) UU SPPA. Penerapan diversi tidaklah serta merta membebaskan pelaku dari tanggung jawab namun, dapat diterapkan konsep restitusi yang dengan pembayaran ganti rugi terhadap korban oleh pelaku. Tata cara Diversi telah diatur di dalam PERMA No 4 Tahun 2014. Pemenuhan hak korban yang sebenarnya belum diatur secara eksplisit di dalam undang – undang SPPA maupun di dalam PERMA No 4 Tahun 2014. Dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa pengaturan hasil musyawarah diversi dikembalikan lagi kepada kesepakatan yang telah ditanda tangani antara pihak korban dan pelaku.
Kata kunci : Restorative Justice, Diversi, pemenuhan hak korban.
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine how the application of Diversion to children in conflict with the law is studied from the aspect of fulfilling the rights of victims in terms of Law no. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. The writing of this research used normative juridical research methods using statutory and conceptual approaches. The results of this study indicated that the regulation of restorative justice is regulated in Article 5 Paragraph (1) of the SPPA Law. Based on these provisions, efforts are made so that children who experience legal problems can be resolved in an appropriate way, namely through the Diversion mechanism, which has been regulated in Article 1 paragraph (7) of the SPPA Law. The application of diversion does not necessarily free the perpetrator from responsibility, however, the concept of restitution can be applied by paying compensation to the victim by the perpetrator. Diversion procedures have been regulated in PERMA No. 4 of 2014. Fulfillment of the actual rights of victims has not been explicitly regulated in the SPPA law or in PERMA No. 4 of 2014. The regulation states that the arrangement of the results of the diversion deliberation is returned to an agreement which has been signed.
Keywords: Restorative Justice, Diversion, fulfillment of victims' rights.
-
I. Pendahuluan
-
I.1. Latar Belakang Masalah
-
Suatu perbuatan pidana adalah suatu perbuatan kejahatan yang tidak hanya mampu dilakukan oleh kalangan orang dewasa yang telah cakap hukum saja namun, dapat pula pada anak di bawah umur, sehingga merupakan sebuah dilema dan tantangan bagi negara untuk menghadapi kondisi tersebut. Anak adalah sebuah anugerah dari Tuhan, sekaligus aset bangsa yang diharapkan sebagai ujung tombak perubahan penerus cita – cita suatu negara sehingga harus dilindungi hak – haknya, dalam proses tumbuh kembang serta mendapatkan perlindungan hukum yang sama. Sebagaimana telah dicantumkan pada pasal 28B ayat (2) Undang – undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan, diskriminasi.”1 Hal yang telah dijabarkan pada pasal tersebut memiliki persamaan persepsi yang sama dengan kutipan pendapat Barda Nawawi Arief, yang mengatakan bahwa anak yang diberikan suatu perlindungan hukum dengan tujuan untuk melindungi kemerdekaan serta hak asasinya “(fundamental right and freedoms of children)” dan berbagai aspek yang menyangkut masa depan anak serta kesejahteraannya.2
Masalah pada anak merupakan masalah yang kompleks dan krusial yang sulit dipecahkan oleh negara, anak adalah generasi yang perlu dibina dalam proses perkembangan masa depannya khususnya untuk seorang anak yang berkonflik dengan permasalahan hukum (ABH), dengan tujuan menciptakan suatu pembelajaran terkait penegakkan hukum itu sendiri, yaitu dengan melalui suatu penanganan yang khusus, mengkhusus di sini berarti memperhatikan dari segala proses dan tahapan yang harusnya diterapkan atau tidak pada seorang anak sehingga perlindungan hukum sangat dijunjung tinggi pada anak. Dapat dilihat bunyi Undang – undang SPPA pada Pasal 1 angka 3 bahwa “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”) proses dari tahapan tersebut dilaksanakan dari tingkat penyidikan, penuntutan hingga proses peradilan.3
Pembentukan UU SPPA yang di dalamnya yang telah memuat tentang Konsep Restorative Justice melalui sistem Diversi yang memiliki suatu tujuan untuk mengupayakan terkait menghasilkan suatu keputusan damai antara pihak pelaku maupun korban. Substansi yang menjadi dasar pada Undang – undang tersebut terdapat aturan terkait tujuan dasar dari suatu keadilan keadilan restoratif melalui diversi adalah mencegah seorang anak yang masih di bawah umur untuk mengikuti proses peradilan seperti pada umumnya, dengan harapan menghindari dampak buruk yang akan dialami seorang anak akibat pengalamannya tersebut dari segi mental dan tekanan sosial dimasyarakat, sehingga anak pun bisa kembali berbaur dengan layaknya anak pada umumnya.
Permasalahan pidana pada seorang anak dengan jalan diversi diikuti oleh semua pihak yang terkait maupun bantuan dari pihak lain yang memiliki kompetensi terhadap permasalahan tersebut, bermusyawarah untuk dapat menghasilkan suatu kesepakatan yang dapat adil untuk kedua belah pihak, sehingga keseimbanganlah yang juga diutamakan agar tidak terjadi ketimpangan satu sama lain, keadilan yang didapatkan akan menciptakan suatu pemulihan kembali seperti keadaan awal, dengan begitu penyelesaian suatu konflik ini bukan menerapkan suatu pemidanaan ataupun pembalasan, namun perdamaian. Hal tersebut sesuai dengan aturan pasal 7 UU SPPA.
Dalam penyelesaian suatu perkara anak tersebut, tentu menggunakan sistematika yang berbeda dari peradilan pada umumnya, karena menggunakan sistem Diversi. Para penegak hukum pun wajib selalu mengupayakan Diversi pada setiap tahap dari sistem peradilan. Karena Jiwa dari Diversi adalah keadilan Restoratif, yaitu menyelesaikan suatu perkara dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restorative justice), dan bukan pembalasan maka bentuk dari penyelesaian dari suatu perkara bukanlah pemidanaan melainkan dengan cara musyawarah antara para pihak yang terkait sehingga menghasilkan suatu kesepakatan antara korban maupun pelaku. Adapun hal yang harus ditekankan dari bentuk kesepakatan tersebut adalah menyeimbangkan terkait hak semua pihak pelaku, korban maupun masyarakat setempat, melakukan pemulihan kembali atau memperbaiki terkait dampak buruk yang telah ditimbulkan, pelaku harus tetap bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan dengan memperhatikan hak korban itu sendiri, hal tersebut dilakukan juga dalam upaya untuk menghindari adanya pelaku residivis.
Melihat dari upaya tersebut maka, pihak korban maupun pelaku mendapatkan suatu keadilan yang sama di mana bersifat win – win solution. Namun pihak yang korban di mana adalah pihak yang paling dirugikan tentu memiliki hak untuk mendapatkan suatu ganti rugi atas perbuatan pelaku, tetapi dalam realitas yang terjadi pihak korban menemui suatu kendala dalam memperoleh keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan korban tersebut. Sehingga penulis tertarik, mengangkat Judul “Pemenuhan Hak Korban dalam Upaya Diversi Ditinjau dari Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak”.
-
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut penulis mengangkat rumusan masalah untuk jurnal ilmiah ini yang sebagai berikut :
-
1. Bagaimana pengaturan Upaya Diversi dalam Tindak Pidana Anak yang menggunakan konsep keadilan restoratif ?
-
2. Bagaimana Penyelesaian suatu Tindak Pidana Anak dengan Mekanisme Diversi dari aspek pemenuhan hak korban ditinjau dari UU SPPA?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan jurnal ilmiah ini yaitu untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan upaya Restorative justice dalam Sistematika Diversi dalam Tindak Pidana Anak dan Mengetahui Penyelesaian suatu Tindak Pidana Anak dengan Mekanisme diversi dari aspek pemenuhan hak korban ditinjau dari UU SPPA.
-
II. Metode Penelitian
-
2. Metode Penelitian
Jurnal ilmiah yang berjudul “Pemenuhan Hak Korban dalam Upaya Diversi Ditinjau dari Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak” merupakan jurnal ilmiah yang menerapkan tipe penelitian normatif, yang merupakan metode penulisan hukum yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis berdasarkan suatu pendekatan dengan melihat aturan perundang – undangan (The Statute Approah), pendekatan secara konseptual (Conceptual Approach) melalui teori dan konsep serta asas – asas ilmu hukum yang berlaku.4 Beranjak dari adanya suatu problematika norma, yaitu terdapat kekosongan norma pada Undang - Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terkait bagaimana pemenuhan hak korban dalam upaya Diversi. Pada pelaksanaan diversi yang menerapkan konsep restorative justice yang mengupayakan penyelasaian permasalahan hukum di luar pengadilan. Dampak dari belum adanya norma yang mengatur secara eksplisit dan tegas terkait pemenuhan hak korban dalam upaya diversi, maka rasa keadilan yang didapatkan korban tidak dijamin dan belum tentu seimbang sesuai hati nurani korban hal ini didasari karena belum ada regulasi yang melandasi terkait pemenuhan hak – hak korban.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 . Pengaturan Upaya Restorative justice dalam Sistematika Diversi dalam Tindak Pidana Anak
-
Anak merupakan generasi bangsa yang akan menjadi penerus untuk mewujudkan cita – cita bangsa. Tentu dalam hal ini, negara berkewajiban untuk melindungi hak dan kebutuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya. Khususnya ketika anak yang sedang mengalami permasalahan hukum atau yang disebut ABH (Anak yang B
erkonflik dengan Hukum). Anak yang ada pada permasalahan tersebut, cenderung akan menerima stigma dari masyarakat sebagai anak yang nakal. Sering kali dianggap sebagai seorang penjahat dan mendapatkan diskriminasi dan termarjinalkan di lingkungan sosialnya. Pada umumnya, pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana harus ada pertanggungjawaban tanpa terkecuali, namun beda halnya terkait penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) atau yang sering disebut anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Penjatuhan pemidanaan pada anak akan cenderung merugikan dalam aspek mental dan perkembangannya dimasa yang akan datang. Hal tersebut dapat terjadi akibat dari pemberian sanksi pemidanaan dengan berujung penjara, yang terkesan akan memberikan stigma sebagai orang yang jahat. 5
Secara tegas telah diterangkan dalam konvensi hak-hak anak bahwa: “In all actions corcerning children, whether undertaken by public or private social welfare institution, courts of law, administrative authorities or legislative bodies, the best interest of child shall be a primary consideran (dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial
pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama)”.6 Bunyi konvensi tersebut, dapat ditafsirkan bahwa tujuan dari pernyataan tersebut adalah untuk menyarankan adanya jalan alternatif bagi setiap penanganan kasus anak. Agar tetap memperhatikan keberlangsungan pertumbuhan dan daya kembang anak dari sisi psikologis, rohani maupun jasmani. Sehingga anak tetap dapat mendapatkan hak – haknya agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.
Istilah restorative justice, sudah tidak asing lagi terdengar di peradilan di Indonesia. penerapan restorative justice memiliki paradigma mengenai penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan atau perbaikan kembali seperti keadaan semula. Mengedepankan pemulihan kembali antara pelaku tindak pidana dan korban merupakan prinsip dari keadilan restoratif yang dapat diambil sebagai cara alternatif penyelesaian masalah.7
Pengaturan restorative justice diatur di dalam Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pada pasal 5 Ayat (1) yang berbunyi: “Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restorataive.” Dalam hal ini diupayakan agar anak yang mengalami permasalahan hukum dapat diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu melalui mekanisme Diversi.
Upaya diversi memiliki suatu konsep berpikir sebagai solusi untuk mendapatkan jalan keluar dari sebuah permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak tanpa pemidanaan maupun unsur pembalasan. Mekanisme diversi, sejalan dengan tujuan pemidanaan anak yang ada di Indonesia, Konsep yang terdapat dalam mekanisme diversi, diperlukan untuk membina anak yang berkonflik dengan masalah hukum (ABH), dengan harapan membentuk karakter dan masa depan anak lebih baik, dapat berbenah diri serta menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya yang harus dipertanggungjawabkan. Sehingga diharapkan anak mempunyai rasa penyesalan atas perbuatannya dan tidak melalukan pengulangan terhadap perbuatannya tersebut. Permasalahan anak dengan hukum tidak serta merta semua diselesaikan dengan jalan diversi, ada hal yang perlu diperhatikan sebelum pihak aparat menerapkannya kepada pihak yang bersangkutan. Salah satunya terkait jenis tindakan pidana yang telah dilakukan oleh seorang anak tersebut. 8
Pengaturan sistem diversi diatur dalam Undang - Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada pasal 1 angka (7) UU SPPA menyebutkan, “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.” Pada pengaturan tersebut telah diatur terkait sistem Diversi di Indonesia yang diupayakan pada tingkat aparat kepolisian, kejaksaan sampai pada proses pemeriksaan di pengadilan anak, upaya diversi yang diterapkan pada anak dilaksanakan dengan adanya suatu batasan yang telah diatur secara tegas dalam UU SPPA antara lain terkait penerapan diversi yang berlaku hanya pada suatu perbuatan pidana yang mendapatkan pemidanaan yang kurang dari 7 (tujuh) tahun serta perbuatan tersebut bukanlah suatu perbuatan
pengulangan kejahatan (residivis). Jika suatu tindak pidana pada anak diancam 7 (tujuh) tahun ke atas tidak dapat diterapkan diversi berdasarkan ketentuan yang telah termuat pada UU SPPA. Bagi seorang anak yang masih berumur di bawah 12 tahun dikategorikan sebagai kelompok anak yang memiliki prioritas utama untuk mendapatkan penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif. Apabila upaya sistem diversi berhasil diterapkan makan akan dilaksanakan penghentian proses hukum. 9
Pada perkara tindak pidana pada anak yang mendapatkan ancaman dengan sanksi sampai 1 tahun penjara wajib mendapat prioritas dalam penerapan upaya diversi sehingga perkara anak tersebut tidak perlu melalui proses hukum formal. Perkara anak dengan ancaman sanksinya melebihi 1 (satu) tahun sampai batasan yaitu kurang dari 7 (tujuh) tahun serta bukan residivis maka yang diterapkan adalah diversi dengan pendekatan keadilan restorative.
-
3.2 Pemenuhan Hak Korban Dalam Penerapan Diversi Ditinjau Dari Undang
Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Melihat substansi dari UU SPPA, memuat tentang penjelasan terkait sistem peradilan anak yang melalui beberapa rangkaian proses serta tahapan penyelesaian suatu konflik dari perkara anak berawal dari proses penyidikan sampai pada tahap pembimbingan setelah menghabiskan masa tahanan sebagai terpidana. Upaya tersebut dilaksanakan atas dasar pada salah satu asas dari pelaksanaan UU SPPA yang tercantum pada pasal 2 terkait dengan perlindungan, sehingga asas tersebut mengupayakan suatu perlindungan kepada seorang anak yang di bawah umur mendapatkan perlindungan saat mengalami permasalahan hukum.10
Penerapan Restorative justice pada sistem peradilan anak termanifestasi ke dalam sistem yang disebut diversi. Sistem diversi tersebut yang mengupayakan penyelesaian seorang anak yang mengalami permasalahan dengan hukum di luar pengadilan, dalam bentuk penyelesaian yaitu musyawarah antara pelaku dan korban yang pengadaannya telah difasilitasi oleh pihak masing – masing keluarga, masyarakat, pembimbimbing kemasyarakatan anak, aparat kepolisian, jaksa atau hakim. 11
Upaya diversi yang diterapkan pada peradilan anak memiliki tujuan yaitu untuk meningkatkan kesadaran anak dalam melaksanakan tanggung jawab. Hal itu tertuang dalam Pasal 6 UU SPPA.12 Dalam suatu pertanggungjawaban pidana unsur utama yang diutamakan adalah unsur kesalahan. Suatu pertanggungjawaban dapat dilakukan dengan penilaian yang memperhatikan kesanggupan atau kecakapan seseorang apakah orang tersebut memiliki kemampuan dalam bertanggung jawab atau
sebaliknya. Hal yang perlu dilihat secara seksama adalah terkait kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku, pembuktian kesalahan tersebut dapat diperoleh melalui suatu tes kejiwaan, apakah seseorang itu layak dan sanggup bertanggung jawab atau tidak terhadap perbuatannya.13
Restorative Justice adalah cara alternatif untuk penanganan suatu perbuatan melawan hukum yang menitik beratkan pada pemulihan kembali, sehingga dalam hal ini konsep pembalasan pada pemidanaan dikesampingkan karena konsep yang ditawarkan terkait Restorative justice.14 Dalam sistem penerapan pada keadilan restoratif pada proses yang dilalui mengikutsertakan pelaku, korban, pihak keluarga serta masyarakat. Dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu konflik masalah yang disebabkan oleh tindakan perbuatan melawan hukum oleh pelaku . Pada penyelesaian tersebut tentu dilaksanakan di luar pengadilan melalui musyawarah sehingga memberikan solusi yang lebih efektif.15
Termuat di dalam UU SPPA pada pasal 1 angka 4 menerangkan bahwa “Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.” Tujuan dari penerapan diversi adalah sebagai berikut : 1. Bertujuan untuk tercapainya perdamaian antara korban dan pelaku; 2. Melaksanakan penyelesaian suatu perkara pada anak di luar peradilan; 3. Mencegah anak terenggut kemerdekaannya. 4. Mengikut sertakan partisipasi masyarakat. 5. Mengajarkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap anak itu sendiri. Tujuan tersebut telah dijabarkan berdasarkan pasal 6 UU SPPA.
Di samping itu, telah diatur di dalam pasal 8 UU SPPA di sana menjelaskan penerapan diversi dilaksanakan melalui suatu proses penyelesaian konflik dalam bentuk musyawarah yang mengikutsertakan peran anak, pihak korban, masing – masing keluarganya,,serta pihak pembimbing kemasyarakatan. Proses tersebut dilaksanakan melalui suatu pendekatan yang dikenal dengan keadilan restoratif. Dalam penerapan proses keadilan restoratif melalui diversi direalisasikan melalui suatu musyawarah yang melibatkan orang – orang yang telah disebutkan di atas tentu dengan tujuan mendapatkan jalan yang terbaik yang dapat ditempuh dari pihak pelaku atau korban.
Harapan dari hasil jalannya proses musyawarah tersebut, tentu merupakan hasil yang dianggap paling adil dan tepat untuk kedua belah pihak antara korban maupun pelaku. Dari sebuah hasil konsensus yang telah disepakati oleh para pihak yang bersangkutan, adapun bentuk kesepakatan dari hasil diversi tersebut secara tegas sudah diatur pada pasal 11 Undang – Undang SPPA. “Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat.”16
Terdapat pengaturan lebih spesifik yang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 4 tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengatur teknis jalannya proses diversi. Dalam PERMA tersebut menjelaskan bahwa proses musyawarah pada diversi dimulai oleh pihak fasilitator diversi, adapun mekanismenya terkait dengan adanya perkenalan oleh para pihak yang menghadiri proses musyawarah tersebut serta mengutarakan terkait maksud ataupun tujuan mengapa musyawarah diversi dilaksanakan, setelah hal tersebut berlangsung tentu hasil dari musyawarah diversi akan di catat dalam berita acara Diversi dan menghasilkan ketetapan yang telah diberi tanda tangan oleh para pihak setelah itu akan diberikan kepada Ketua Pengadilan. Laporan tersebut diberikan melalui fasilitator Diversi. Tentu terkait mekanisme praktiknya, penyelenggaraan Diversi tidak serta merta membebaskan anak yang sebagai pelaku dalam bertanggungjawab. Kesepakatan yang telah disepakati dalam musyawarah diversi antara pelaku dan korban haruslah memenuhi rasa keadilan pada masing – masing pihak sehingga, anak yang berada pada posisi menjadi korban haruslah terpenuhi hak – haknya untuk meminta sebuah pertanggungjawaban dari pelaku. Sejalan dengan konsep keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali.17
Dalam Upaya pemenuhan Hak Korban terkait aspek khusus masalah pada kasus anak yang berkonflik pada hukum dapat diperoleh jalan keluar yaitu berupa kesepakatan dengan cara restitusi. Konsep restitusi diberikan kepada korban kejahatan atas penderitaan yang mereka alami. Dalam penerapan kesepakatan yang berupa restitusi tersebut berupa bentuk ganti rugi yang diberikan oleh pihak pelaku,(anak) yang bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya kepada pihak korban. Ganti rugi tersebut dapat berupa sebuah harta milik/ mengganti rugi dengan cara membayar akibat rusaknya suatu benda maupun kerugian yang lainnya akibat imbas perbuatan pelaku pada korban.18
Hasil dari diversi yang dapat berupa kesepakatan restitusi, merupakan wujud yang dapat memberikan solusi terhadap penyelesaian masalah yang dirasa dapat memberikan rasa keadilan dan tepat bagi kedua belah pihak. Karena dalam proses tersebut dilaksanakan melalui musyawarah tanpa adanya penghukuman bagi pelaku anak sehingga tujuan restorative justice tercapai dengan baik. Namun, terdapat kendala dalam realisasinya hal inilah yang merupakan tantangan dan hambatan bagi pemenuhan hak korban setelah proses diversi yang telah mencapai suatu kesepakatan. Hal itu dikarenakan belum tentu bahwa restitusi dapat segera dibayarkan kepada anak yang sebagai korban karena pada fakta di lapangan pelaku belum tentu mau membayarkan karena alasan tidak sanggup membayar. Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan apabila pelaku tindak pidana mengingkari kesepakatan tersebut maka implikasi dari
pengingkaran tersebut akan berkonsekuensi terhadap kasus tersebut yang akan dilanjutkan menggunakan sistem peradilan.19
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Diversi merupakan manifestasi dari penerapan restorative justice yang memiliki maksud dan tujuan menyelesaikan suatu permasalahan tindak pidana pada kasus anak tanpa adanya suatu pemidanaan/hukuman. Telah terdapat pengaturan pada Undang–Undang SPPA, pasal 6, Mengatur terkait tujuan diadakannya sistem diversi yaitu menumbuh kembangkan pendidikan pentingnya tanggung jawab yang harusnya tertanaman sedini mungkin pada seorang anak untuk membentuk menjadi insan yang berkarakter dimasa depannya. Diversi menghasilkan ketetapan yang telah diberi tanda tangan oleh para pihak terlibat setelah itu akan diberikan kepada Ketua Pengadilan. Laporan tersebut diberikan melalui fasilitator Diversi. Hasil dari kesepakatan yang telah ditandatangani tersebut tentu tidak serta merta membebaskan pelaku dari tanggung jawab namun sejalan dengan konsep keadilan restoratif yaitu menekankan pada pemulihan keadaan kembali pada korban maka dapat diterapkan konsep restitusi yang dengan pembayaran ganti rugi terhadap korban oleh pelaku.
Dalam pembahasan yang sudah dipaparkan penulis memberikan beberapa saran. Terkait dengan pengaturan terkait anjuran penerapan diversi pada anak sudah termuat pada UU Sistem Peradilan Pidana yang dimana teknisnya sudah diatur juga di dalam PERMA No 4 Tahun 2014 sehingga pengaturan 22 pelaksanaan diversi sudah memiliki kekuatan hukum dan dalam hal ini tentu akan menjamin serta melindungi setiap hak – hak yang mutlak harus dimiliki seorang anak yang sedang berkonflik dengan permasalahan hukum (ABH) dapat terlindungi dengan baik namun, di samping itu, dalam hal hukum yang dicita – citakan hendaklah para praktisi hukum dan para penegak hukum dapat memperbaiki dari segala bentuk kekurangan dari peraturan ini agar terciptanya hukum yang bermanfaat, adil dan memiliki kepastian. Dalam Hal, pemenuhan hak korban yang sebenarnya belum diatur secara eksplisit di dalam undang – undang SPPA maupun di dalam PERMA No 4 Tahun 2014 dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa pengaturan hasil musyawarah diversi dikembalikan lagi kepada kesepakatan antara kedua belah pihak antara korban dan pelaku. Namun pada hal ini konsep keadilan belum bisa dilihat pasti terkait keseimbangannya. Sehingga pada pemenuhan hak korban dikembalikan lagi pada kesepakatan Diversi yang telah dibuat dan ditandatangani.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. (Bandung, Citra Aditya Bakti,1998.)
Martha, Eri Safira and Iriani, Dewi. Penerapan Perlindungan Hukumn Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Tentang penyelesaian Secara Litigasi dan Nonlitigasi dalam Perkara Tindak Pidana Anak Tahun 2015-2017 di Kabupaten Ponorogo) (Ponorogo:Natakarya, 2018.)
Nasir Djamil. Anak Bukan Untuk di Hukum. (Jakarta, Sinar Grafika, 2013.)
Zainuddin, Ali. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta, Sinar Grafika , 2017.)
JURNAL ILMIAH
Adelina, Theresia, and AA Ngurah Yusa Darmadi. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan (Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar)." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum,7 no.5 (2017).
Ernis, Yul “Diversi Dan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di Indonesia (Diversion And Restorative Justice In Case Settlementof Juvenile Justice System In Indonesia).”Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 10, no 2 (2016).
Edyanto, Novi. "Restorative Justice Untuk Menyelesaikan Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum.", Jurnal Ilmu Kepolisian,1 no.3 (2017).
Ghoni, Mahendra Ridwanul, and Pujiyono Pujiyono. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum Melalui Implementasi Diversi di Indonesia.”Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia,2 no.3 (2020).
Hambali, Azwad Rachmat.“Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana (Diversions for Children in Conflict with The Laws in The Criminal Justice System).” Jurnal Ilmu Hukum,13 no.1(2019).
Jessyca, Br Nainggolan”Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di Indonesia” Jurnal Kertha Semaya,9 no.6 (2021).
Ulang Mangun Sosiawan “Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”Jurnal Penelitian Hukum De Jure,16 no. 4 (2016).
Suwandewi, Ni Ketut Ayu dan Ni Nengah Adiyaryani. “Diversi sebagai Bentuk Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan di Indonesia.”Jurnal Kertha Patrika,42, no. 3 (2020).
Tarigan, Fetri AR.”Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses Peradilan.”Lex Crimen,4 no.5 (2015).
Theresia Adelina, A.A. Ngurah Yusa Darmadi”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan (Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar)” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum,7 no.5 (2017).
Mufidah, Lailatul, Uswatul Khasanah”Implikasi Diversi Dalam Membentuk Tanggungjawab Anak Menuju Keadilan Restoratif”Jurnal Legislatif (Lembaran Gagasan Mahasiswa Yang Solutif Dan Inovatif) Lembaga Penalaran Dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,2 no.2 (2019).
Mareta, Josefhin ”Penerapan Restorative Justice Melalui Pemenuhan Restitusi Pada Korban Tindak Pidana Anak”, Jurnal Legislasi Indonesia,15 no.4 (2018).
PERATURAN PERUNDANG –UNDANGAN
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2)
Pemerintah Indonesia. 2014. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 109. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 153. Sekretariat Negara. Jakarta.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Berita Negara RI Tahun 2014, No. 1052. Jakarta.
Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.03 TAhun 2022, hlm.659-669
Discussion and feedback