PROBLEMATIKA PENYANDANG DISABILITAS MENTAL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Ni Ketut Pirda Juwisa Badra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Ketut Sukranatha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i05.p14

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan adalah untuk mengkaji kehidupan dari Penyandang Disabilitas Mental terkait banyaknya permasalahan yang muncul di masyarakat mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Penulisan ini merupakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa kehidupan dari Penyandang Disabilitas Mental dalam mendapatkan hak-haknya sebagai manusia telah diatur secara internasional melalui Convention on the Rights of Persons with Disabilities serta secara nasional di Indonesia telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilites atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Walaupun sudah banyak terdapat pengaturan-pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia, namun tidak jarang ditemukan berbagai macam permasalahan yang menyangkut hak dasar manusia itu sendiri. Berdasar pada perspektif hak asasi manusia, Penyandang Disabilitas Mental mempunyai hak untuk menerima layanan kesehatan yang sepantasnya serta memiliki kebebasan hidup di masyarakat tanpa adanya diskriminasi.

Kata Kunci: Penyandang Disabilitas Mental, Pelanggaran, Hak Asasi Manusia.

ABSTRACT

The purpose of this writing was to examine the life of Persons with Mental Disabilities in regards to human rights infringement issues happened in the society. This study used normative law research method with legislation approach. The study indicated that life of Persons with Mental Disabilities in gaining their rights as human being has been regulated internationally through Convention on the Rights of Persons with Disabilities and nationally in Indonesia has been ratified with legislation under ‘Undang-Undang No. 19 Tahun 2011’ about the validation of Convenstion on the Rights of Persons with Disabilities. Even though there are a lot of rules about human rights, but it is not rare of human rights problems were founded. In human rights point of view, Persons with Disabilities has rights to receive proper services and rights to live in the society without any discrimination.

Keywords: Persons with Disabilities, Infringement, Human Rights.

  • I.   Pendahuluan

    1.1.  Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia telah diperoleh manusia sedari mereka lahir. Setiap orang terlahir dengan berbeda baik dari fisiknya, budayanya, jenis kelaminnya, hingga mentalnya. Manusia akan tetap memiliki hak-hak asasi manusia walaupun dengan perbedaan yang ada. Hal itu dikarenakan oleh sifat universal dari hak asasi manusia. Hak itu tak bisa dihilangkan ataupun diserahkan walau buruknya perbuatan

seseorang, ia tetap merupakan manusia. “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness1 Dari pernyataan itu jelas jika semua orang itu sejajar atau sama dan diberkahi Tuhan melalui hak-hak tertentu yang tak bisa dicabut dalam hidup ini. Sampai detik ini, hak asasi manusia sering dijadikan topik pembicaraan di seluruh dunia karena orang-orang semakin sadar dan mau mempelajari hak-haknya. Hak asasi manusia semakin terasa nyata karena dari dulu hingga sekarang kerap dilecehkan di dalam sejarah kehidupan manusia.2 Maka dari itu perlunya setiap orang mempunyai pemahaman yang baik mengenai hak-hak terhadap dirinya sendiri serta orang lain sebagai sesama manusia. Karena dengan dipahaminya hak-hak milik orang lain, sebagai sesama manusia kemudian akan mengetahui kewajibannya agar menghargai serta menghormati hak manusia demi terciptanya perdamaian.

Pada umumnya, yang paling sering mendapatkan pelecehan maupun diskriminasi HAM ialah kaum minoritas atau kelompok rentan. Berdasar pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM diatur tentang diberikannya perlindungan yang lebih terhadap berbagai macam orang yang tergolong sebagai kelompok rentan. Ini dikarenakan oleh yang termasuk ke dalam kelompok rentan tersebut yakni anak-anak, wanita hamil, orang tua, fakir miskin dan penyandang disabilitas. Adapun berdasarkan Human Rights Reference, kelompok rentan terdiri dari: Pengungsi, Pengungsi Dalam Negeri, Kelompok Minoritas, Buruh Migrant, Penduduk Asli, Anak-Anak, Wanita.3 Pelanggaran HAM sering terjadi kepada siapa saja di dunia ini. Terlebih lagi terhadap kaum minoritas seperti penyandang disabilitas dimana mereka sering dianggap lemah dan untuk itu perlunya perlindungan maksimal agar terhindarnya dari berbagai hal yang tak dikehendaki. Padahal penyandang disabilitas memiliki HAM untuk dihormati hak-haknya sebagai manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dijelaskan mengenai arti dari penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan individu yang berhak tinggal di tengah masyarakat. Hanya saja penyandang disabilitas mempunyai keterbatasan baik itu fisiknya, intelektualnya, sensoriknya, ataupun mentalnya sehingga dapat menyebabkan rintangan untuk beraktivitas di dalam masyarakat.

Terdapat berbagai macam disabillitas yakni penyandang disabilitas fisik, intelektual, sensorik, dan mental. Di Indonesia, seringkali ditemukan masyarakat keliru dan menimbulkan stigma terhadap penyandang disabilitas mental sehingga menimbulkan diskriminasi seperti menyebut penyandang disabilitas mental sebagai suatu kutukan dan sebagainya. Hal itu disebabkan oleh kurang terbukanya pikiran masyarakat Indonesia dan masih banyak yang terpaku oleh hal-hal gaib atau mistis. Penyandang disabilitas mental sering kali tidak memiliki kehidupan yang layak dimana mereka ditempatkan di tempat rehabilitasi yang bahkan tidak layak disebut sebagai tempat rehabilitasi, selain itu masih banyak yang mendapat perlakuan yang melanggar HAM. Padahal Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas telah diatur

tentang bagaimana penyandang disabilitas patut terbebas atas berbagai perbuatan kejam, penganiayaan, eksploitasi, perbuatan merendahkan martabat sebagai manusia, perbuatan yang semena-mena dan kekerasan. Mereka berhak dihargai dan dihormati fisik maupun mentalnya sama seperti orang lain. Di dalam konvensi tersebut juga diatur tentang hak-haknya atas layanan sosial, proteksi/perlindungan berhubungan dengan urgensi dan indepedensi.4

Bahasan dalam jurnal ini merupakan penuangan ide yang orisinil dan berdasarkan pengamatan yang telah ditelusuri belum ditemukan judul penelitian yang sama seperti karya tulis ini. Akan tetapi, perlu dimengerti setiap penelitian tidak terlepas dari konsep penelitian sebelumnya namun memiliki titik fokus ataupun permasalahan yang berbeda. Dalam hal penelitian ini contohnya ialah penelitian oleh Aprilina Pawestri tahun 2017 dengan judul “Hak Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif HAM Internasional Dan HAM Nasional”. Keterkaitan dengan karya tersebut yaitu mengulas tentang penyandang disabilitas terhadap perspektif HAM. Sedangkan fokus permasalahan dalam penelitian ini lebih mengarah kepada permasalahan HAM yang terjadi serta penanggulangannya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa saja masalah pelanggaran HAM yang terjadi terhadap penyandang disabilitas mental?

  • 2.    Bagaimana cara menanggulangi perilaku diskriminasi terhadap hak-hak penyandang disabilitas mental?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap penyandang disabilitas mental dan untuk mengetahui cara menanggulangi hak-hak penyandang disabilitas mental yang mendapat perlakuan diskriminasi.

  • II.    Metode Penelitian

Pada penyusunan jurnal dengan judul “Problematika Penyandang Disabilitas Mental dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” mempergunakan suatu penelitian hukum normatif. Penelitian ini mencakup tentang sistematika hukum, tingkat sinkronisasi hukum dan asas-asas hukum. Penelitian berikut digunakan untuk mengkaji masalah-masalah yang ada dengan mempergunakan norma hukum serta peraturan perundang-undangan yang ada. Problem norma yang ditemukan ialah terjadinya kekosongan hukum karena walaupun adanya Undang-Undang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang HAM, masih belum ditemukan ketentuan yang secara khusus memberikan aturan tentang tata cara yang menampung hak para penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum sehingga tidak adanya peraturan pelaksana sebagai dasar hukum untuk pemenuhan hak mereka tentunya menimbulkan ketiadaan standar pelayanan teknis bagi para penyandang disabilitas. Sehingga tertutupnya upaya dalam mewujudkan kepastian, kemanfaatan hingga keadilan hukum bagi para penyandang disabilitas. Adapun bahan yang dipergunakan

untuk menulis jurnal berikut ialah bahan sekunder. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah seperti kajian kepustakaan yaitu jurnal-jurnal maupun buku-buku mengenai hukum. Adapun pendekatan kualitatif digunakan di penelitian ini merujuk kepada kebiasaan-kebiasaan, norma-norma serta peraturan perundang-undangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Permasalahan Pelanggaran HAM terhadap Penyandang Disabilitas Mental

    • 3.1.1    Pengaturan Penyandang Disabilitas Mental

Berdasarkan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI, pengertian dari penyandang disabilitas mental yakni merupakan Orang Dengan Masalah Kejiwaan atau ODMK dan Orang Dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ yang kesulitan saat bersosialisasi serta berpartisipasi di lingkungan masyarakat.5 Pengertian ODMK dan ODGJ terdapat di dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa. Individu berisiko menderita gangguan jiwa karena memiliki permasalahan dari segi fisik, sosial, mental, kualitas hidup, pertumbuhan maupun perkembangan disebut dengan ODMK. Sedangkan, orang yang pikirannya, perilakunya dan perasaannya mengalami gangguan yang dapat menimbulkan hambatan dan penderitaan dalam menjalani kehidupannya disebut dengan ODGJ. Berdasarkan penjelasan dalam UU Penyandang Disabilitas dijelaskan tentang maksud dari penyandang disabilitas mental merupakan adanya gangguan terhadap emosi, perilaku dan fungsi pikir seperti psikososial berupa bipolar, skizofrenia, anxietas, depresi serta gangguan kepribadian. Selain itu disabilitas perkembangan yang berdampak terhadap kapabilitas bersosialisasi adalah seperti hiperaktif serta autis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya disabilitas mental itu terdapat banyak macamnya. Penyandang disabilitas mental bukan berarti orang tersebut gila. Orang yang mengalami disabilitas mental patut dihormati dan dihargai keberadaannya di masyarakat.

Salah satu instrument HAM internasional dan nasional yang didalamnya berisikan mengenai berbagai upaya perlindungan, pemenuhan serta penghormatan hak bagi difabel ialah CRPD. Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau CRPD adalah suatu pedoman yang berisikan mengenai hak-hak bagi difabel. Negara Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi itu tertuang di dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD. Konvensi tersebut mempunyai tujuan sebagai pelindung, penjamin dan memajukan persamaan hak serta kebebasan yang mendasar terhadap penyandang disabilitas. Kebebasan yang mendasar atau kebebasan fundamental berarti hak untuk hidup, hak untuk terbebas daripada tindakan-tindakan penganiayaan, hak untuk terbebas daripada tindakan yang tidak manusiawi dan menjatuhkan martabat, hak untuk terbebas daripada perbudakan, hak untuk bebas berpikir dan beragama. Penyandang disabilitas sebagai manusia juga berhak memiliki kebebasan bergerak yang dibatasi. Setiap kebebasan haruslah dikontrol dengan melihat kepentingan bersama, nilai agama, budaya dan sebagainya supaya tidak sewenang-wenang dan menyebabkan timbulnya anarki. Menghormati martabat seluruh penyandang disabilitas sebagai inherent dignity atau bagian yang tak

terpisahkan di dalam diri manusia juga merupakaan tujuan dari adanya konvensi tersebut.

Dalam psikologi, disabilitas mental didasarkan pada problema yang terwujud sebagai bentuk keterbatasan fungsi sosial dan psikologis.6 Akan tetapi, akar dari masalah disabilitas mental sulit dipahami atau dimengerti. Persoalan tersebut harus dihubungkan dengan metode pengobatan dan sosial karena rumitnya masalah disabilitas mental. Penyandang Disabilitas Mental paling sering mendapatkan diskriminasi di masyarakat. Penyandang disabilitas mental yang masih termasuk ke dalam kelompok rentan ini sering mendapatkan stigma yang berat, diantaranya dianggap berbahaya, cenderung melakukan kekerasan dan bahkan di beberapa daerah Penyandang Disabilitas Mental dianggap kerasukan roh jahat, terkena kutukan dan sebagainya. Padahal di Indonesia sendiri, perlindungan, penghormatan serta pemenuhan hak Penyandang Disabilitas adalah keharusan negara. Permasalahan tersebut juga sudah ditekankan di dalam undang-undang. Seharusnya masyarakat merasakan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab juga sebagai warga negara dan sebagai sesama manusia supaya hak asasi manusia penyandang disabilitas dihormati dan dihargai. Hak asasi manusia bersifat universal yang terikat pada setiap orang dan oleh karena itu, baik orang tersebut mengalami disabilitas mental ataupun tidak harus tetap dilindungi dan dihormati. Penyandang Disabilitas Mental juga mempunyai harkat dan martabatnya sebagai manusia.

  • 3.1.2    Bentuk Permasalahan Pelanggaran HAM terhadap Penyandang Disabilitas Mental

Pernyataan mengenai setiap orang memiliki hak dari semua hak serta kebebasan mendasar yang termuat di dalamnya tanpa adanya pembedaan-pembedaan dan bahwa penyandang disabilitas dijamin pelaksanaan haknya tanpa adanya diskriminasi telah disetujui dan diproklamasikan di dalam berbagai kovenan internasional serta deklarasi universal hak asasi manusia.7 Pelanggaran HAM sering terjadi pada Penyandang Disabilitas Mental di seluruh dunia. Kehidupan Penyandang Disabilitas Mental sering mengalami masalah-masalah yang melanggar HAM baik pada tingkat keluarga hingga di masyarakat luas. Isu HAM yang sering menjadi perhatian ialah stigma dan diskriminasi. Penyakit mental dapat terjadi pada siapa saja dan kapanpun. Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang anak sampai orang tua pun dapat mengalami gangguan mental. Biasanya sering terjadi pembulian-pembulian terhadap orang-orang yang mengalami kelainan ini karena stigma-stigma yang ada. Oleh karena itu, diperlukannya rehabilitasi dan dukungan dari lingkungan-lingkungan sekitarnya. Jika kerap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas akan dikhawatirkan membuat jiwa mereka semakin terluka. Orang yang awalnya mengidap penyakit mental yang tidak parah bisa menjadi bahaya, seperti yang awalnya mengalami depresi lalu kurangnya kepedulian dari masyarakat sekitarnya, bisa saja menyebabkannya mengalami gangguan kejiwaan yang semakin parah. Sehingga, perlu ditekankan bahwa Penyandang Disabilitas Mental membutuhkan perhatian dari lingkungan sekitarnya dan bukan diskriminasi.

Diskriminasi yang terjadi di dalam lingkungan keluarga cenderung melanggar hak-hak si Penyandang Disabilitas Mental sebagai manusia. Dengan tekanan stigma yang ada, anggota keluarga si Penyandang Disabilitas Mental bisa saja berbuat perbuatan yang dilarang kepada sesama manusia seperti melanggar hak mereka untuk memiliki kebebasan dengan tidak memperbolehkannya keluar rumah bahkan hingga melakukan pasung. Padahal tindakan tersebut akan mengakibatkan keadaan Penyandang Disabilitas Mental menjadi memburuk baik secara fisik maupun emosionalnya. Pemasungan merupakan perbuatan pembatasan fisik yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu baik itu dari pihak keluarga maupun masyarakat kepada ODGJ. ODGJ dikurung atau dipenjarakan dengan kakinya yang dirantai pada balok kayu dan disekap di ruangan tanpa batas waktu. Hal tersebut sudah merendahkan martabatnya sebagai manusia karena kebebasannya telah dirampas. Berdasarkan tindakan perampasan kebebasan dan kesempatan ODGJ untuk mendapatkan pengobatan serta martabatnya sebagai manusia yang diabaikan maka sudah pasti bisa disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.8 Selain itu, sering kali orang dengan gangguan mental biasanya memerlukan perawatan khusus namun dikarenakan akses dan sumber daya yang terbatas menyebabkan sulitnya mendapatkan bantuan yang dibutuhkan. Terlebih lagi terhadap keluarga si penyandang yang kurang mampu, tidak jarang ditemukan masalah-masalah seperti dibuang oleh keluarganya sendiri baik karena tidak bisa memberikan pengobatan yang benar maupun karena tidak mau menganggap Penyandang Disabilitas Mental sebagai keluarganya. Anggapan tentang penyakit mental adalah hal yang tabu dan dikaitkan dengan hal-hal gaib masih berlangsung sampai sekarang khususnya di negara ini.

Stigma masyarakat terhadap Penyandang Disabilitas Mental yang terlalu kuat menyebabkan individu-individu yang merasa memiliki masalah dengan kejiwaannya akan menjadi enggan untuk pergi ke psikiater sehingga terlambat mendapat pengobatan yang sebenarnya dibutuhkan. Selain itu, tempat rehabilitasi sosial kerap menjadi masalah karena standar pelayanannya yang dapat dikatakan dibawah standar yang layak. Rehabilitasi sosial sebagai metode cara yang dilakukan dalam membantu memulihkan serta mengembangkan fungsi sosial seseorang agar dapat beraktivitas dengan baik di lingkungan masyarakat. Pernyataan tersebut didasarkan pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 14 tahun 2019 mengenai Pekerja Sosial. Pemulihan serta pengembangan kapabilitas perihal orang yang fungsi sosialnya terganggu atau tidak berfungsi secara normal untuk bisa kembali melakukan kegiatannya dengan baik lagi merupakan tujuan dari adanya rehabilitasi sosial.9 Akan tetapi, seringkali tempat rehabilitasi yang seharusnya menjadi tempat untuk membantu para Penyandang Disabilitas Mental justru membuat kesehatan mental mereka semakin memburuk. Pada bulan Maret 2016, Human Rights Watch mengeluarkan sebuah laporan penelitian yang dilakukan selama enam minggu yang berfokus pada praktik-praktik dan aktivitas tempat-tempat penampungan Penyandang Disabiltas Mental termasuk rumah sakit jiwa (RSJ) dan tempat rehabilitasi di Jakarta, Bekasi, Bogor, Jawa Barat,

Jawa Tengah dan Bengkulu. Terdapat 143 kasus pemasungan, 200 peristiwa yang sejenis disampaikan menurut RSJ Bengkulu serta 25 peristiwa kekerasan lainnya ditemukan dan didokumentasikan oleh Human Rights Watch.10 Laporan tersebut menjelaskan fakta bahwa masih banyaknya tempat-tempat di Indonesia yang seharusnya digunakan sebagai tempat praktik rehabilitasi sosial justru sering menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan dan berbagai pelanggaran HAM.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan seksual juga bisa terjadi kepada para penyandang disabilitas mental. Kondisi mental yang tidak baik membuat mereka kadang tidak tahu menahu kalau dirinya adalah korban pelecehan seksual. Lebih parahnya lagi di beberapa situasi, tindakan pelaku pelecehan tersebut dimungkinkan membuat korbannya bergantung kepada pelaku sehingga pelecehan tersebut akan terjadi secara berulang-ulang. Tindakan baik maupun buruk umumnya tidak mampu dipahami dan dibedakan oleh korban pelecehan yang mengalami gangguan mental. Dorongan yang dimiliki orang dengan gangguan mental agar bisa hidup di lingkungan sosial acapkali membuat mereka mudah mengikuti kemauan orang lain demi mempunyai teman. Penderita gangguan mental sering dijauhi orang-orang sekitarnya kemudian membuatnya merasa dikucilkan. Perasaan tersebut kemudian dapat memperparah keadaan mentalnya. Beberapa penderita gangguan mental juga terkadang ingin menjauh dari orang-orang sekitarnya karena merasa ingin mendapatkan ruang dan waktu sendiri, namun orang-orang yang tidak baik sering merusak ketenangan para penderita gangguan mental dan bahkan mengejek atau membulinya. Permasalahan tersebut tentu sudah sangat parah walau sering terjadi di masyarakat luas.

  • 3.2    Penanggulangan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Mental yang Mendapat Diskriminasi

Munculnya stigma, labelling, atau stereotip mengenai disabilitas dan penyandang disabilitas didasari dari pemikiran-pemikiran orang di masyarakat karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kebiasaan mereka. Sedari jaman dahulu hingga sekarang, apapun yang terlihat berbeda dari kebiasaan yang ada di masyarakat akan selalu sulit diterima oleh masyarakat.11 Dengan adanya perilaku-perilaku masyarakat yang menyimpang yang melanggar kebebasan orang yang memiliki kelainan terutama Penyandang Disabilitas Mental, diperlukannya cara-cara atau solusi untuk menanggulangi masalah-masalah yang sering terjadi terhadap Penyandang Disabilitas Mental. Selanjutnya, adapula munculnya CRPD dijadikan seperti bentuk penggerak berubahnya cara pandang yang dahulu yakni penyandang disabilitas menjadi “obyek” perawatan dan proteksi sosial diubah dengan human right based. Adanya opini terbaru yakni penyandang disabilitas dijadikan “subjek” yang mempunyai hak serta dapat memutuskan kehidupannya dengan bebas dan didasari oleh dirinya sendiri hingga aktif bermasyarakat.12 Orang yang mengalami gangguan mental memerlukan perlindungan serta perlakuan khusus. Salah satu upaya perlakuan

khusus adalah dihormatinya, dimajukan, dilindungi serta dipenuhinya hak-hak asasi manusia secara umum atau global.13

Melihat isu-isu yang menyalahi hak-hak asasi manusia para penyandang disabilitas mental maka adapun penanggulangan-penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu:

  • 1.    Melakukan sosialisasi

Kurangnya pemahaman masyarakat awam tentang Penyandang Disabilitas Mental kemudian menimbulkan suatu stigma negatif. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan sosialisasi-sosialisasi mengenai apa itu Penyandang Disabilitas, termasuk Penyandang Disabilitas Mental agar nantinya masyarakat dapat paham dan mengerti serta dapat merangkul para Penyandang Disabilitas Mental di lingkungan masyarakat. Dengan begitu akan terciptanya suatu lingkungan yang sehat dimana tidak ada diskriminasi terhadap para Penyandang Disabilitas Mental. Lingkungan yang sehat itu pula yang kemudian secara tidak langsung akan membantu membuat jiwa menjadi sehat dan kemungkinan menjadikan para penyandang disabilitas mental lebih baik lagi saat melakukan aktivitasnya di masyarakat. Masyarakat diharapkan tidak menjauhi para Penyandang Disabilitas Mental.

Berdasar pada Undang-Undang Penyandang Disabilitas, seluruh masyarakat diajak pemerintah supaya bersama-sama memanifestasikan persamaan hak para penyandang disabilitas supaya memiliki hidup mandiri, damai dan tidak adanya perlakuan diskriminasi terhadapnya.14 Sosialisasi juga bisa dilaksanakan para mahasiswa yang merupakan agen perubahan yang kemudian dapat membawa perubahan yang baik terhadap masyarakat. Sosialisasi sangatlah penting agar masyarakat mengetahui bahwa penyakit mental bukanlah suatu hal yang buruk ataupun gaib. Sehingga tidak pantaslah para Penyandang Disabilitas Mental untuk mendapatkan siksaan seperti dipasung. Disini mahasiswa perlu memberikan penekanan terhadap hal tersebut sehingga mereka yang menyandang disabilitas mental bisa memperoleh haknya kembali dan memiliki kebebasan fundamental untuk bermasyarakat. Baik di lingkungan keluarga maupun di luar itu haruslah tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia yang ada.

  • 2.    Melakukan evaluasi pelayanan kesehatan jiwa

Masih banyaknya kasus pemasungan terhadap orang dengan gangguan mental di berbagai layanan kesehatan jiwa sangatlah meresahkan untuk dilihat. Tempat pelayanan kesehatan jiwa seperti tempat rehabilitasi sosial yang dimaksudkan sebagai tempat para Penyandang Disabilitas Mental melakukan perawatan justru menyiksa mereka secara tidak manusiawi. Pemerintah harus lebih tegas dengan melakukan evaluasi ke tempat-tempat pelayanan kesehatan jiwa agar meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Fasilitas dan layanan kesehatan jiwa yang ada masih butuh dikembangkan lagi agar mencapai parameter pelayanan yang diinginkan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Agar perkembangan layanan kesehatan jiwa maksimal dapat dilakukan penilaian atau evaluasi secara rutin. Apabila parameter layanan bagus, diharapkan masalah-

masalah yang ada dapat dideteksi sedini mungkin serta layanan kesehatan jiwa yang manusiawi, lengkap dan tepat sasaran bisa diterima pasien.

Pemerintah harus menindak tegas praktik-praktik pasung yang terjadi di tempat-tempat pelayanan kesehatan jiwa. Pemasungan masih terjadi walau sudah ada larangannya.15 Adapun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik itu terjadi di tempat layanan kesehatan jiwa bukan milik pemerintah maupun badan rehabilitasi milik pemerintah haruslah diusut sampai tuntas karena telah melanggar hak asasi manusia. Tindakan pasung adalah hal yang fatal dan sangat tidak manusiawi. Hal tersebut akan menjadi kemunduran kondisi kesehatan baik secara fisik maupun mental dari pasien. Oleh karena itu, sanksi bagi oknum-oknum yang melakukan pasung diharapkan tegas supaya adanya efek jera dan takut untuk berbuat tindakan itu lagi. Hanya dengan cara tersebut bisa membuat kesadaran masyarakat mengenai buruknya tindakan pasung meningkat.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Penyandang disabilitas mental merupakan orang dengan masalah kejiwaan atau ODMK dan orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ dimana untuk waktu yang tidak diketahui menghadapi kesulitan berinteraksi maupun berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. Pengaturan yang mengatur terkait Penyandang Disabilitas Mental yakni UU HAM, UU Pengesahan CRPD, UU Kesehatan Jiwa, UU Penyandang Disabilitas serta UU Pekerja Sosial. Kehidupan para Penyandang Disabilitas Mental sering mengalami diskriminasi akibat stigma-stigma yang tercipta di masyarakat sejak dahulu. Penyandang Disabilitas Mental kerap dilanggar hak-haknya dimanapun mereka berada. Di Indonesia masih sering terjadi anggapan bahwa penyakit mental adalah hal yang tabu dan dikaitkan dengan hal-hal gaib. Masalah pelanggaran HAM terhadap Penyandang Disabilitas Mental kerap terjadi dimana saja dan kapanpun, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, hingga tempat-tempat pelayanan kesehatan jiwa seperti tempat rehabilitasi sosial. Penanggulangan permasalahan tersebut patut dilakukan dengan bantuan dari berbagai pihak yaitu masyarakat hingga pemerintah agar terciptanya lingkungan yang bebas dari stigma dan diskriminasi dengan cara melakukan sosialisasi mengenai Penyandang Disabilitas Mental hingga evaluasi-evaluasi terhadap tempat-tempat pelayanan kesehatan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Muhtaj, Majda El. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2017).

Hartanto, Mochamad Felani Budi, and Isnenningtyas Yulianti. HAM Penyandang Disabilitas Mental Di Panti Rehabilitasi Sosial. (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2018).

Tomuschat, Christian. Human Rights: Between Idealism and Realism. (Oxford: Oxford University Press, 2003).

Jurnal

Eddyono, Supriyadi Widodo, and Ajeng Gandini Kamilah. "Aspek-Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas." Institute for Criminal Justice Reform (2015).

Hoesin, Iskandar. "Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, Dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia." In Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII (2003).

Husmiati, Husmiati, Nyi R. Irmayani, Sugiyanto Sugiyanto, and Habibullah Habibullah. "Dukungan Terhadap Penyandang Disabilitas Mental Sebagai Strategi Mendukung Program Stop Pemasungan 2019." Sosio Konsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 7, No. 1 (2017): 62-74.

Murni, Ruaida, and Mulia Astuti. "Rehabilitasi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi Dan Layanan Sosial Rumah Kita." Sosio Informa 1, No. 3 (2015): 278-292.

Pawestri, Aprilina. "Hak Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif HAM Internasional Dan HAM Nasional." Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 15, No. 1 (2017): 164182.

Prakosa, Petra WB. "Dimensi Sosial Disabilitas Mental di Komunitas Semin, Yogyakarta. Sebuah Pendekatan Representasi Sosial." Jurnal Psikologi 32, No. 2 (2005): 61-73.

Rahmanto, Tony Yuri. "Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia." Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial 18, No. 3 (2019): 229-244.

Rompis, Kartika Gabriela. "Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia." Lex Administratum 4, No. 2 (2016): 171-177.

Shaleh, Ismail. "Implementasi Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan di Semarang." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, No. 1 (2018): 63-82.

Widinarsih, Dini. "Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan Definisi." Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial (Journal of Social Welfare) 20, No. 2 (2019): 127-142.

Yazfinedi. "Konsep, Permasalahan, Dan Solusi Penyandang Disabilitas Mental Di Indonesia." Quantum: Jurnal Ilmiah Kesejahteraan Sosial 14, No. 2 (2018): 101-110.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang No. 14 tahun 2019 tentang Pekerja Sosial

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1092-1101