KEABSAHAN PERJANJIAN KREDIT SECARA ONLINE BERBASIS FINANCIAL TECHNOLOGY DITINJAU DARI SEGI HUKUM
on
KEABSAHAN PERJANJIAN KREDIT SECARA ONLINE BERBASIS FINANCIAL TECHNOLOGY DITINJAU DARI SEGI HUKUM
Anak Agung Istri Anom Sinta Wedaswara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]
Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i05.p19
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menganalisis keabsahaan dan kekuatan hukum dari perjanjian kredit yang dilakukan secara online berbasis financial technology (fintech), menimbang bahwa kini seiring berkembang pesatnya kecanggihan teknologi telah membawa segala bentuk kemudahan dalam berbagai macam bidang di Negara Indonesia, termasuk industri keuangan. Metode penelitian yang dipakai pada studi kali ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil daripada studi yang telah dilakukan menunjukan bahwa perjanjian kredit secara online berbasis financial technology sah adanya selama memenuhi persyaratan yang diatur dalam KUHPerdata mengenai sahnya suatu perjanjian, dan karena perjanjian itu telah sah maka mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian kredit secara online berbasis financial technology termasuk ke dalam bentuk perjanjian digital, sehingga kekuatan hukum perjanjian kredit online berbasis financial technology diperkuat oleh adanya Undang-Undang Informasi dan Teknologi. Perjanjian kredit secara online ini tertuang dalam akta atau kontrak elektronik. Kredit Online memiliki resiko yang cukup tinggi, salah bentuk resiko yang kerap terjadi adalah kredit macet. Untuk itu perlu dipertegasnya mekanisme penyelesaian apabila terjadinya kredit macet. Terdapat dua upaya yang dapat ditempuh apabila terjadi permasalahan kredit macet yakni upaya hukum dan upaya non hukum, keduanya dapat ditempuh berdasarkan kebijkan yang dikehendaki perusahaan financial technology itu sendiri.
Kata Kunci: Perjanjian Kredit, Online, Financial Technology.
ABSTRACT
The following study aims to analyze and examine the validity and legal power of credit agreements conducted online based on financial technology (fintech), considering that now as the rapid sophistication of technology has brought all forms of convenience in various fields in the Country of Indonesia, including the financial industry. The reseacrh method used in this study is normative juridical with a statutory approach and concept approach. The results of the studies that have been conducted show that online credit agreements based on financial technology are valid as long as they meet the requirements stipulated in the KUHPerdata regarding of the validity of an agreement and because the agreement is valid it is binding and applies as a law for the parties who make it. Online credit agreements based on financial technology are included in the form of digital agreements, so the legal power of online credit agreements based on financial technology is strengthened by the existence of the Information and Technology Act. This online credit agreement is contained in a deed or electronic contract. Online credit has a fairly high risk, one form of risk that often occurs is bad credit. For this reason, it is necessary to strengthen the settlement mechanism in the event of bad credit. There are two efforts that can be taken if there is a bad credit problem, namely legal efforts and non-legal efforts, both can be taken based on the policy desired by the financial technology company itself.
Keywords: Credit Agreements, Online, Financial Technology.
Perkembangan informasi teknologi dan elektronik saat ini kian tumbuh semakin cepat dan canggih. Perkembangan teknologi informasi yang kini lumrahnya disebut sebagai Internet, menyumbangkan pengaruh dan dampak yang cukup signifikan bagi dunia, kecanggihan-kecanggihan yang diperbarui setiap harinya membawa dunia seolah tanpa batas. Melalui Internet, kehidupan dibekali dengan kemudahan dalam segala bidang baik pendidikan, sosial, budaya, politik maupun ekonomi. Berbicara mengenai kemudahan dalam sektor ekonomi. Melalui internet, kini perekonomian memasuki fase baru yang disebut dengan fase ekonomi digital.1
Saat ini penggunaan internet telah merambah industri keuangan di Indonesia. Salah satu wujudnya yakni diberikanya kemudahan bagi para debitur (masyarakat Indonesia) dalam melakukan perjanjian kredit secara online melalui internet, yang mana lumrahnya pemberian jasa kredit harus dilakukan oleh pihak bank dan antara kreditur dan debitur harus bertatap muka langsung untuk menjamin kelancaran kredit tersebut. Namun sejak pesatnya perkembangan teknologi perjanjian kredit online bukan lagi hal yang tabu, dan tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia menyukai hal-hal yang instan maka dari itu perjanjian kredit online semakin marak terjadi.
Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan diatur “kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak satupun mengatur tentang perjanjian kredit, namun mengatur tentang perjanjian khusus.2 Marhaenis mengemukakan mengenai perjanjian kredit itu sendiri lebih mendekati perjanjian khusus yang dimuat dalam KUHPerdata yakni perjanjian pinjam meminjam, sehingga ketentuan-ketentuan tentang perjanjian pinjam meminjam yang ada di dalam KUHPerdata dapat digunakan sebagai dasar dalam perjanjian kredit. Perjanjian Kredit memiliki ciri yakni Konsensual dan Riil, Riil artinya perjanjian baru dianggap berlaku secara sah jika uang yang disepakati diawal telah diserahkan kepada debitur secara nyata dan dapat dilihat wujudnya saat itu juga3 dan konsensual berarti perjanjian baru terjadi sejak adanya kesepakatan4 Perjanjian kredit diharuskan dibuat menggunakan sarana tertulis dengan tujuan guna keperluan pembuktian dan administrasi yang teratur juga rapi.
Bahwa dari hal-hal yang mencakup tentang perjanjian kredit di atas ditarik benang merah bahwa perjanjian kredit tersebut memang dapat saja dilakukan secara online asal memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian kredit dan adanya
kesepakatan diantara kedua belah pihak yakni debitur (masyarakat Indonesia) dan kreditur (perusahaan pemberi jasa kredit online)
Perusahaan yang memfasilitasi pemberian jasa kredit online dikenal dengan Financial Technology (untuk selanjutnya disebut dengan fintech). Istilah fintech mengacu pada layanan keuangan berbasis teknologi yang tentunya akan memudahkan kita untuk bertransaksi dimanapun dan kapanpun.5 Fintech hadir sebagai suatu pembaharuan dalam ranah keuangan yang mengandalkan kecanggihan teknologi informasi sebagai pondasinya. Banyak hal-hal baru yang dijanjikan oleh perusahaan fintech diantaranya flekfibilitas, efisiensi, keamanan dan peluang.6 Di Indonesia kini telah banyak menjamur perusahaan-perusahaan fintech yang bergerak diberbagai macam bidang diantaranya peminjaman, pembiayaan, investasi ritel dan lain sebagainya. Misalnya Kredivo, CekAja, Bareksa, UangTeman, Kartuku7
Dengan keberadaan fintech, aktivitas dalam ranah keuangan di Indonesia sangat dipermudah, dan dengan adanya kemajuan teknologi seperti ini dapat meningkatkan kesadaran dari para konsumen terhadap hal-hal yang berkaitan dengan financial atau keuangan.
Demi menjamin orisinalitas penelitian, bahwa perlu diketahui terdapat beberapa penelitian yang memiliki topik serupa dengan penelitian kali ini, penelitian tersebut yakni :
-
1. Penelitian jurnal yang ditulis oleh Devy Iziana Pradini, Izzi Zya Hariyadi, Shohibul Khoir pada tahun 2020 dengan judul “Kepastian Hukum Kredit Online”. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa memang sah secara hukum adanya perjanjian kredit yang diselenggarakan secara online, namun belum dapat memberikan kepastian hukum karena para pihak yang tidak saling bertemu. Prinsip 5C harus benar-benar diterapkan guna mencegah terjadinya itikad tidak baik.8
-
2. Penelitian jurnal yang ditulis oleh Nesia Weroza Puspa pada tahun 2018 dengan judul Änalisis Yuridis Perjanjian Kredit Secara Online Sebagai Bagian Dari Financial Technology (Fintech)”. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa perjanjian kredit online yang terjadi sah adanya sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam perjanjian tersebut timbul hak dan kewajiban dari masing-masing pihak baik pelaku usaha maupun konsumen, selama kedua
belah pihak memenuhi hak dan kewajibannya maka perjanjian tersebut dianggap sah.9
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mengangkat topik serupa dengan mengkaji lebih lanjut dan menambahkan upaya penyelesaian yang terjadi jika dikemudian hari terjadi kredit macet. Sudah sepatutnya bahwa kemudahan bertransaksi yang disediakan sebagai akibat dari berkembang pesatnya teknologi tentu membawa dampak resiko yang tinggi bagi para pihak yang melakukannya. Untuk itu perjanjian kredit secara online berbasis fintech perlu didampingi dengan payung hukum yang jelas mengenai keabsahaan dan kekuatan hukum tentang perjanjian kredit online tersebut serta bagaimana penyelesaiannya apabila perjanjian kredit online tersebut terjadi kredit macet. Berdasarkan latar belakang di atas dilalakukan kajian secara normatif dengan judul “Keabsahan Perjanjian Kredit Secara Online Berbasis Financial Technology Ditinjau Dari Segi Hukum”.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditarik permasalahan diantaranya yakni :
-
1. Bagaimana keabsahan dan kekuatan hukum perjanjian kredit yang dilakukan secara online?
-
2. Bagaimana penyelesaiannya apabila perjanjian kredit online tersebut terjadi kredit macet?
Untuk mengkaji serta menganalisis keabsahan dan kekuatan hukum dari perjanjian kredit yang dilakukan secara online mengingat kerapnya di zaman sekarang praktek perjanjian kredit secara online dan untuk memahami penyelesaian atau cara yang ditempuh apabila perjanjian kredit online tersebut terjadi kredit macet.
Dalam suatu penelitian terdapat suatu metode yang digunakan untuk meneliti, mengkaji dan menganalisis bahan yang nantinya dipergunakan untuk mengolah data-data yang sudah di dapat. Dalam penelitian mengenai keabsahan dan kekuatan hukum perjanjian kredit secara online berbasis financial technology ditinjau dari segi hukum ini, yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan studi kepustakaan dari berbagai bahan dan data hukum baik primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum primer yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan, yang mana menjadi bahan dasar dari penelitian keabsahan dan kekuatan hukum perjanjian kredit secara online ini. Kemudian bahan hukum sekunder, yang dimaksud dengan bahan hukum sekunder yakni jurnal, buku, skripsi, laporan penelitian lainnya yang berkaitan dengan perjanjian kredit secara online, dimana bahan hukum sekunder ini memberikan pemahan terhadap bahan hukum primer tadi. Serta bahan hukum
tersier yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, KBBI yang mana memberikan pentunjuk terhadapa bahan hukum primer dan sekunder.
Berkaitan dengan metode penelitian yang dipergunakan yakni metode penelitian yuridis normatif, maka dari itu metode pendekatan yang gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan atau statute approach dan pendekatan konsep atau yang disebut dengan conceptual approach. Yang dimaksud dengan statute approach yakni dimana media analisasi yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan positif. Sementara conceptual approach yakni menganalisis masalah-masalah hukum yang terjadi bertitik tolak pada konsep-konsep hukum.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
A. Keabsahan Perjanjian
Sedari dulu persoalan mengenai sah atau tidaknya perikatan yang terjadi sebagai akibat dari suatu perjanjian standar untuk mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya yang terlibat sudah menjadi masalah dan kini masih berkelanjutan. Negara-negara lain pun juga mengalami persoalan yang sama mengenai problema penggunaan pola kontrak standar, dimana masyarakat terus berupaya untuk mencari kepastian dan keadilan apalagi jika mereka berada dalam posisi sebagai konsumen (pihak pengguna barang dan jasa) yang mana cenderung lebih berada pada posisi yang lemah.10
Perjanjian kredit secara online merupakan salah satu perjanjian yang bersifat baku, dikatakan demikian karena pemberi kredit diberikan kuasa sepenuhnya untuk menentukan bentuk dan format perjanjian kredit tersebut. Karena itu, dalam dokumen perjanjian kredit semua klausula-klausula dibakukan tanpa melalukan negosiasi mengenai isi dari klausula tersebut kepada pihak debitur, mulai dari bunga pinjaman, jumlah dan batas waktu pinjaman dan lain sebagainya.11 Tentu jika dilihat dari bentuknya maka posisi debitur dapat dikatakan lebih lemah, terlebih lagi perjanjian kredit ini dilakukan secara online dan banyak kemungkinan resiko yang mungkin terjadi. Kemudian timbul pertanyaan mengenai keabsahaan perjanjian kredit secara online tersebut
Perjanjian kredit secara online merupakan bentuk perjanjain/kontrak digital, yang mana di era serba modern kini kerap terjadi. Oleh karena itu timbul pertanyaan apakah perjanjian yang dibuat secara digital tersebut sah secara hukum. Kontrak elektronik/digital pada dasarnya merupakan perjanjian yang disepakati para pihaknya dimana perjanjian tersebut menggunakan sarana yang berbeda yakni melalui sistem elektronik. Istilah kontrak online digunakan oleh Edmon Makarim, Ia memberi pengertian bahwa kontrak elektronik/online sebagai hubungan hukum ataupun perikatan yang diadakan melalui sarana elektronik yakni dengan menggabungkan
antara jaringan sistem informasi dengan sistem komunikasi dibalut dengan kecanggihan internet.
Mengenai sah atau tidaknya perjanjian kredit secara online, KUHPerdata mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
-
a) Sepakat Mengikatkan Diri Bagi Mereka Yang Terlibat
Pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata dijelaskan mengenai kesepakatan, yakni persesuaian kehendak antara setiap orang yang terlibat dalam kesepakatan tersebut baik satu orang atau lebih dengan orang yang lainnya. Kesepakatan harus dilandaskan atas keberadaannya kemauan yang sama dari pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.
-
b) Perikatan Terjadi Berdasarkan Kecakapan Dalam Hukum
Cakap dalam hukum memiliki arti yakni orang tersebut telah mencapai umur yang ditentukan dan oleh karenanya telah dianggap dewasa, serta tidak berada dalam pengampuan siapapun. Adapun syarat-syarat yang telah disebutkan, terdapat suatu syarat lain yang menjadikan seseorang dianggap cakap dalam hukum, yakni menurut Pasal 1329 KUHPerdata setiap orang dapat mengadakan perikatan apabila orang tersebut cakap dan oleh ketentuan perundang-undangan tidak melarangnya.
-
c) Suatu hal tertentu
Sesuatu hal tertentu, disini yang dimaksud suatu hal tertentu yakni menyangkut objek yang diperjanjikan, jadi barang/objek tersebut harus jelas spesifikasi dan statusnya yakni memuat jenis barang/objek tersebut, memuat detail ciri, kualitas, bentuk, tahun dibuat dan lain sebagainya. Dalam Pasal 1132 KUHPerdata telah diatur lebih jelas mengenai maksud suatu hal tertentu.
“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan.”
Pasal 1333 KUHPerdata:
“Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan dan dihitung.”
Pasal 1334 KUHPerdata
“Barang-barang yang baru akan ada kemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan kesepakatannya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu”
Setelah dipaparkannya tiga pasal tersebut dapatlah dimengerti jika objek yang diperjanjikan itu harus merupakan suatu hal tertentu atau bisa dimaknai dengan suatu barang/objek yang jenis serta spesifikasinya sudah ditentukan sebelumnya, baru dengan begitu perjanjian bisa dianggap sah dan berlaku.
-
d) Suatu sebab yang halal
Sebuah perjanjian harus yang dibuat harus memperhatikan syarat-syarat yang tercantum di dalam undang-undang, untuk itu perjanjian tidak diperkenankan menyalahi peraturan yang berlaku, selain undang-undang perjanjian juga harus memperhatikan norma kesusilaan dan ketertiban umum, untuk itu dalam Pasal 1355 KUHPerdata diatur :
“Suatu persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau terlarang tidaklah mempunyai kekuatan”
Pasal 1338 KUHPerdata diatur :
“Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Keempat syarat diatas tersebut menentukan keabsahan sebuah perjanjian baik perjanjian konvensional maupun digital, karena dalam KUHPerdata pun tidak diberikannya batasan tentang perjanjian tersebut harus dalam bentuk konvensional. Syarat I dan II diatas disebut sebagai syarat subjektif karena melibatkan para pihak (subjek) yang membentuk perjanjian tersebut, sementara syarat III dan IV disebut sebagai objektif dikarenakan menyangkut barang yang diperjanjikan.
Merujuk pada yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa kontrak elektronik diyakini seperti yang tertera dalam Pasal 1313 KUHPerdata yakni suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau lebih dengan seseorang atau lebih lainnya dengan maksud mengikatkan dirinya. Kontrak elektronik itu sendiri diklasifikasikan sebagai “kontrak tidak bernama” atau innominaat dimana tidaklah dimuat secara gamblang dalam KUHperdata namun tumbuh dan hidup dalam masyarakat sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan zaman. Meskipun sedikit berbeda karena sarananya, namun kontrak elektronik tetap harus mematuhi syarat sahnya perjanjian yang telah di jabarkan diatas sebelumnya, karena baik kontrak elektronik dan kontrak konvensional memiliki kekuatan hukum yang sama ketika telah sah dan berlaku sebagai undang-undang terhadap semua pihaknya (Pasal 1338 KUHPerdata)12
Maka seluruh bentuk perjanjian yang terjadi baik diadakan secara konvensional ataupun melalui media elektronik dinyatakan sah jika telah mengikuti syarat-syarat perjanjian yang diatur pada Pasal 1320-1337 KUHPerdata.
Diluar dari ketentuan KUHPerdata mengenai keabsahan perjanjian kredit secara online berbasis fintech, Peraturan yang juga menjadi payung hukum dari suatu kegiatan perjanjian kredit online (pinjam meminjam online) berbasis fintech yaitu Peraturan.Otoritas.Jasa Keuangan.Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Melalui Peraturan tersebut, kegiatan perjanjian kredit secara online tidak diragukan lagi keabsahannya, karena dengan Peraturan OJK No. 77 Tahun 2016 menjadi bukti dan diperolehkannya kegiatan perjanjian kredit online tersebut diadakan. Pasal 1 angka 3 Peraturan OJK No. 77 Tahun 2016 diatur bahwa :
“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.”
Maka dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas semakin memperkuat keabsahan dari perjanjian kredit secara online berbasis fintech.
-
B. Kekuatan Hukum
Seluruh perjanjian yang dibuat dan kemudian telah dinyatakan sah maka perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut (Pasal 1338 KUHPerdata), hal ini berarti bahwa perjanjian konvensional dan perjanjian digital memiliki akibat hukum bahwa perjanjian tersebut
yang telah dinyatakan sah dibuat, mengikat para pihaknya dan maka dari itu para pihak yang terlibat tersebut harus menepati kewajibannya.
Selain itu kekuatan hukum dari Perjanjian Kredit diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Teknologi Informasi. Sebab perjanjian tersebut menggunakan media online, maka perjanjian tersebut termuat dalam kontrak elektronik. Mengenai kontrak elektronik diatur pada Pasal 1 angka 17 UU ITE yang memformulasikan :
“Kontrak Elektronik merupakan suatu perjanjian yang dibentuk dengan mengandalkan sarana elektronik”
Kemudian kekuatan hukum e-contract kembali diperjelas melalui Pasal 18 UU ITE yang menyebutkan :
“Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.”
Dari penjelasan dan pengaturan diatas maka adanya suatu kegiatan transaksi yang kemudian dikonversi menjadi perjanjian dan dimuat dalam kontrak elektronik pada dasarnya mempunyai sifat mewajibkan untuk ditaati oleh para pihak yang terlibat, tak terkecuali kontrak-kontrak lain. Kontrak elektronik ini sifatnya diklasifikasikan sebagai akta di bawah tangan karena melalui media online, sementara kontrak konvensional lainnya sifatnya diklasifikasikan sebagai akta autentik/notariil.13
Berbicara mengenai akta di bawah tangan, bahwa pada hakekatnya akta dibawah tangan tersebut merupakan akta yang dibentuk oleh pihak-pihak tertentu yang mana ditujukan guna suatu kepentingan. Namun dalam akta di bawah tangan ini dibentuk tanpa melibatkan pihak yang berwenang, jadi hanya pihak-pihak tertentu yang memang terlibat dalam perjanjian itu saja (kreditur dan debitur).14 Setiap kontrak yang telah dinyatakan sah bisa dipakai sebagai alat bukti, dimana ia memiliki kekuatan hukum. Namun akta di bawah tangan ini memiliki kekuatan yang lebih lemah dan tidak sesempurna bukti akta autentik/notariil. Saksi adalah kunci dari pembuktian akta di bawah tangan ini, dan apabila terdapat pihak yang berbohong dan tidak berkata sesuai fakta yang terjadi maka penyelesaiannya harus di bawa pengadilan karena memang kebenaran dan pembuktiannya cukup sulit.
Berbohong dalam kasus akta di bawah tangan misalnya yakni tidak mengakui tanda tangan yang tertera di kontrak, dan apabila terjadi seperti ini maka pihak yang membawa kasus ini ke pengadilan harus mencari alat bukti lainnya. Tapi jika para pihak memang telah mengakui kebenaran dan keaslian tanda tangan yang tertera di kontrak, maka kontrak tersebut sudah sempurna untuk menjadi alat bukti karena memiliki kekuatan hukum formil yang sama dengan akta autentik (Pasal 1875 KUHPerdata).15
Era industri 4.0 menandakan awal perkembangan fintech (Financial Technology). Keberadaanya fintech ini tanpa disadari telah sangat membantu dan mempermudah
kehidupan manusia. Berbagai macam bidang telah di bantu melalui kehadiran fintech ini, sebut saja Gojek dan Grab serta OVO yang mempermudah transaksi di bidang pendidikan seperti untuk membayar uang sekolah, di bidang teknologi dan perbankan yakni mempermudah segala jenis aktivitas yang berkaitan dengan pembayaran termasuk dalam hal perjanjian kredit online.16
Jika dulu untuk memproses kredit bisa mencapai seminggu lamanya untuk bisa cair, kini dengan adanya perusahaan pinjaman online, kredit tersebut dapat cair hanya dengan hitungan jam atau paling tidak dalam waktu sehari sudah selesai prosesnya. Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi pencinta kemudahan dan teknologi, termasuk di Indonesia. Permohonan kredit pada bank memang cukup ketat bahkan dikatakan berbelit-belit, yang tentunya berbeda dengan kredit online sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, memiliki beberapa keunggulan atau kemudahannya antara lain prosesnya yang cepat bahkan tanpa agunan.17
Sesuatu yang diselimuti dengan kemudahan pasti akan selalu ada sisi baik dan buruknya, sisi baiknya yakni tentu kemudahan yang di dapat sementara sisi buruknya yakni resiko yang semakin tinggi. Maka harus diperhatikan baik oleh penyedia maupun penerima pinjaman online tersebut, mengingat maraknya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam perjanjian kredit secara online berbasis fintech, antara kreditur dan debitur tak tahu satu sama lain. Tanpa mengenal, transaksi terjadi melalui media online, tanpa tatap muka langsung, bisa di bilang terjadi di dunia maya meskipun perjanjian yang terjadi nyata adanya.
Mengenali potensi resiko yang kerap terjadi dalam perjanjian kredit secara online adalah hal utama yang perlu dipertimbangkan matang-matang sebelum melakukan perjanjian kredit secara online. Resiko yang kerap terjadi adalah terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Yang dimaksud dengan kredit bermasalah atau kredit macet adalah ketidakberhasilan debitur untuk menepati kewajiban yang sebelumnya telah disepakati sesuai dengan isi perjanjian.18
Permasalahan mengenai kredit bermasalah atau kredit macet dikualifikasikan ke dalam tindakan wanprestasi. Kredit macet termasuk ke dalam bentuk perbuatan debitur yang tidak menepati janjinya terhadap kreditur atau dapat disebut ingkar janji (wanprestasi). Wanprestasi dalam praktek perjanjian kredit memiliki 3 bentuk yakni utang yang tidak dikembalikan, dikembalikan sebagian, dan keterlambatan pengembalian.19 Kasus kredit macet dalam perjanjian kredit secara online atau pinjam meminjam secara online mengharuskan dicantumkannya tata cara penyelesaian
sengketa dan oleh sebab itu harus termuat pada klausul perjanjian jika terdapat pihak nantinya yang melakukan wanprestasi.
Penyelesaianya kredit bermasalah atau kredit macet itu sendiri biasanya dapat ditempuh melalui upaya hukum maupun upaya non hukum. Upaya non hukum yang biasanya dilakukan yakni dengan cara restrukturisasi. Menurut ahli, restrukturisasi itu merupakan suatu cara guna menyelesaikan permasalahan kredit macet yang melalui langkah-langkah negoisasi antara pihak debitur dan kreditur. Pada cara restrukturisasi ini bertujuan untuk debitur guna memperbaiki kualitas pinjamannya.20
Surat Edaran B.I No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 menjadi dasar penyelesaian kredit bermasalah atau kredit macet, yang pada hakekatnya memberikan tata cara penyelesaian kredit macet pada tahap negosiasi sebelum dibawa ke jalur hukum. Negosiasi yang dimaksud yakni adalah melalui :
-
I. Rescheduling
Rescheduling merupakan suatu cara penyelesaian kredit macet melalui penjadwalan kembali. Penjadwalan kembali yang dimaksud yakni mengubah beberapa persyaratan awal yang telah di setujui. Persyaratan tersebut meliputi waktu jatuh tempo, jumlah yang harus di angsur setiap bulan, ataupun penambahan kredit.
-
II. Reconditionning
Reconditionning merupakan suatu cara penyelesaian kredit macet melalui perubahan persyaratan. Perubahan persyaratan disini lebih luas ketimbang rescheduling seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Segala bentuk persyaratan yang telah disetujui bisa diubah tergantung dengan kesepakatan dan kepentingan perusahaan.
-
III. Restructuring
Restructuring merupakan suatu cara penyelesaian kredit macet melalui penataan kembali. Penataan kembali dalam hal ini juga mengubah persyaratan yang ada namun dapatdilakukan dengan atau tanpa melewati tahap penjadwalan kembali atau perubahan persyaratan. Pada tahap ini penataan kembali dilakukan seperti memberi kredit tambahan ataupun mengkonversi kredit baik seluruh maupun sebagian menjadi perusahaan21
Berdasarkan kasus nyata kredit macet yang terjadi di suatu perusahaan Winwin fintech, bahwa langkah yang dilakukan guna penyelesaiankan kredit macet yakni pertama-tama melakukan pendekatan persuasif melalui telepon, mengirim pesan, dan email. Bila komunikasi berhasil dengan alasan yang dapat diterima maka kreditur akan memberikan waktu perpanjangan jatuh tempo, namun jika upaya-upaya tersebut diatas gagal dilakukan, maka akan ada petugas perusahaan yang akan mengecek langsung ke rumah debitur yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk mengecek langsung kondisi pihak debitur, untuk memperoleh alasan kenapa tidak kunjung dibayarnya hutang, apakah alasannya nanti dapat diterima atau tidak, apakah hal tersebut dilakukan atas dasar kesengajaan atau diluar kehendak si debitur (force majeure).
Setelah melakukan investigasi langsung ke lapangan, maka pihak kreditur dan debitur akan melakukan musyawarah untuk mencari solusi terbaik dan menentukan langkah berikutnya. Apabila tidak kunjung berhasil maka tahap selanjutnya perusahaan dapat mengambil langkah melalui jasa pihak ketiga guna menyelesaikan permasalahan kredit macet ini. Pihak ketiga yang dimaksud adalah debt collector. Penggunaan campur tangan dari debt collector merupakan jalan yang ditempuh apabila tim internal perusahaan gagal melakukan segala upaya yang sudah dikerahkan. Maka untuk mempercepat penyelesaiannya, biasanya perusahaan memakai jasa debt collector22. Di Indonesia sendiri, landasan hukum yang mengatur tentang diperbolehkannya penggunaan jasa debt collector oleh perusahaan financial sebagai bentuk kerja sama yakni tertuang dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan B.I No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit.23
Dikarenakan medianya yang melalui elektronik dan secara online maka perjanjian kredit secara online berbasis fintech ini masuk ke dalam bidang UU ITE yang aman diatur pada Pasal 39 UU ITE. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa jika terjadinya sengketa/permasalahan maka dapat diselesaikan melalui lembaga penyelesaian alternatif (arbitrase). Kemudian selain di atur dalam UU ITE, Peraturan Otoritas Jasa Keungan No. 77 Thn 2016 juga mengatur tentang tata cara penyelesaian masalah/sengketa.
Dalam penyelesaian kredit bermasalah atau kredit macet, seperti yang tadi sudah dijelaskan bahwa upaya yang dapat ditempuh yakni melalui upaya hukum dan upaya non hukum. Upaya non hukum melalui restrukturisasi sedangkan upaya hukum yakni melalui pengadilan. Sejatinya resiko kredit secara online tidak dapat dihindari dan selalu berkemungkinan untuk terjadi, maka dari itu penyelesaiannya dapat ditempuh melalui tiga lembaga yakni : 24
-
a) Penyelesaian Melalui Pengadilan
-
- Litigasi
Litigasi berarti pihak kreditur melimpahkan permasalahan ke pihak pengadilan guna menyelesaikan kredit macet yang terjadi. Ketika sudah dirasa segala cara telah di tempuh namun tidak menemukan titik terang dan pihak debitur tidak kunjung memenuhi prestasinya maka jalur ini dapat dilalui.
-
- Non Litigasi
Non litigasi berari permasalahan diselesaikan tanpa melalui jalur pengadilan yakni dengan mengusahakan perdamaian dan mendapatkan keputusan seadil-adilnya antara kedua belah pihak dalam penyelesaian resiko tersendiri.25
-
b) Tanpa Melalui Pengadilan
Tanpa melalui gugatan ke pengadilan, maka cara ini dilakukan dengan melaksanakan eksekusi jaminan. Eksekusi jaminan yang dimaksud adalah bahwa jaminan yang telah di jaminkan sebelumnya oleh pihak debitur kepada kreditur sebagai alat pengembalian dana yang telah di pinjam. Eksekusi jaminan ini dapat berupa pelelangan, jadi pihak kreditur dapat melelang barang jaminan debitur, semisal rumah maka rumah tersebut dalam dilelang dan kemudian jika telah laku, maka pihak debitur mau tidak mau harus keluar dari rumah tersebut. Hal-hal yang berkaitan lebih lanjut mengenai jaminan diatur dalam Undang-Undang 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan KUHPerdata.
-
c) Melalui Kepailitan
Penyelesaian sengketa kredit macet yang terakhir yakni ada melalui kepailitan. Kepailitan dapat diajukan ke pengadilan niaga yakni nanti caranya adalah dengan menjual harta kekayaan si debitur guna melunasi hutang-hutangnya. Dalam proses eksekusinya nanti akan dilakukan oleh kurator dan dimpangi hakim pengawas. Namun tetap ada upaya dimana si pihak debitur tetap dapat memperbaiki hutang-hutangnya tanpa harus dinyatakan pailit yakni dengan menyetakannya PKPU terlebih dahulu, namun jika tidak juga bisa melunasi hutang-hutangnya maka atas berbagai pertimbangan hakim maka putusan pailit akan di jatuhkan.
Demikian adalah cara-cara yang dapat ditempuh guna menyelesaikan permasalahan perjanjian kredit secara online yang mengalami kredit macet. Setiap perusahaan fintech memiliki kebijakannya masing-masing namun secara garis besar langkah yang di ambil rata-rata adalah melalui upaya non hukum terlebih dahulu, seperti memberikan peringatan, melakukan mendekatan persuasif, melakukan investigasi langsung ke lapangan, kemudian jika kreditur bersifat kooperatif maka akan dilakukan langkah 3R. Namun apabila tidak menemukan titik terang maka langkah yang ditempuh selanjutnya adalah melalui jalur hukum seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Perjanjian kredit secara online berbasis fintech merupakan bentuk perjanjain/kontrak digital, yang mana di era serba modern kini kerap terjadi dan dinyatakan sah secara hukum apabila sudah mengkuti syarat perjanjian dapat dikatakan sah yang dimuat pada Pasal 1320 KUHPerdata. Diluar dari ketentuan KUHPerdata mengenai keabsahan perjanjian kredit secara online berbasis fintech, dasar hukum dapat diadakannya perjanjian kredit secara online berbasis fintech yakni Peraturan OJK No. 77 Thn 2016. Meskipun kontrak atau perjanjian tersebut dilakukan melalui media online namun jika memang telah memenuhi persyaratan sahnya perjanjian maka ia memiliki kekuatan mengikat pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal kekuatan pembuktian kontrak elektronik ini tentunya belum cukup sempurna karena diklasifikasikan sebagai kontrak di bawah tangan. Namun jika kedua belah pihak mengakui kontrak tersebut memang terjadi dan di tanda tangani keduanya maka sudah cukup sempurna untuk menjadi alat bukti apabila terjadinya sengketa dan di bawa ke pengadilan. Kemudahan yang disuguhkan oleh perusahaan kredit online membawa resiko yang cukup tinggi terjadi terhadap praktek perjanjian kredit secara online, mengharuskan adanya klausul penyelesaian sengketa di dalam perjanjian.
Resiko yang kerap terjadi yakni terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Terdapat upaya hukum dan upaya non hukum guna menyelesaikan kredit macet. Upaya non hukum dapat ditempuh dengan pendekatan persuasif seperti memberi peringatan melalui telepon, whatsapp, maupun langsung melakukan investigasi ke lapangan melihat kondisi pihak kreditur, dan apabila cara ini berhasil maka akan dilaksanakan langkah restrukturisasi. Namun apabila langkah awal tersebut gagal, maka pihak debitur dapat menempuh upaya hukum baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Indrajit, Richardus Eko. E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011).
Serfiani, Cita Yustisia. Buku Pintar Bisnis Online dan Transaksi Elektronik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Supramono, Gatot. Perjanjian Utang Piutang. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013).
Suyatno, Anton. Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018).
Jurnal/Skripsi
Abdulhalim, Mohammad Taufik. "Kredit Online Melalui Teknologi Finansial Menurut Peraturan OJK Nomor 77/POJK. 01/2016." LEX PRIVATUM 7, no. 5 (2020): 7585.
Firmanto, Fakhry. "Penyelesaian Kredit Macet Di Indonesia." Jurnal Pahlawan 2, no. 2 (2019): 29-35.
Idris, M. "Perjanjian Kredit Perbankan Konvensional dan Akad Pembiayaan Perbankan Syariah: Suatu Tinjauan Deskriptif Dalam Hukum Di Indonesia." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 1, No. 1 (2015): 24-42.
Istiqamah. "Analisis Pinjaman Online Oleh Fintech Dalam Kajian Hukum Perdata." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 6, No. 2 (2019): 291-306.
Muzdalifa, Irma, Inayah Aulia Rahma, Bella Gita Novalia, and Haqiqi Rafsanjani. "Peran Fintech Dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif Pada UMKM di Indonesia (pendekatan keuangan syariah)." Jurnal Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah 3, no. 1 (2018).
Palit, R C. 2015. "Kekuatan Akta di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti di Pengadilan." Lex Privatum 3, No. 2 (2015): 137-145.
Panggabean, R. M. "Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, no. 4 (2010): 651-667.
Puspa, Nesia Weroza, Sri Turatmiyah, And Mardiana Mardiana. "Analisis Yuridis Perjanjian Kredit Secara Online Sebagai Bagian Dari Financial Technology (Fintech)." Skripsi. Sriwijaya University, 2018.
Putra, Komang Satria Wibawa dan I Nyoman Budiana. " Perjanjian Kredit Melalui Financial Technology Dalam Lalu Lintas Hukum Bisnis." Jurnal Analisis Hukum 2, No. 1 (2019): 73-92.
Rahmat, Tri, and Risma Nur Arifah. "Penyelesaian Sengketa Kredit Macet Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Financial Technology)." Journal of Islamic Business Law 4, no. 3 (2020). 1-14.
Riyanto, Mochamad Duwi April. "Perlindungan Terhadap Kreditur Pada Penyelenggaraan Perusahaan Teknologi Keuangan Atau Financial Technology (Fintech) Menurut Undang-Undang Perbankan." PhD diss., Universitas 17 Agustus 1945, 2019., (2018).
Rizal, Muhamad, Erna Maulina, and Nenden Kostini. "Fintech As One Of The Financing Solutions For SMEs." Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan 3, no. 2 (2018): 89-100.
Santi, Ernama, Budiharto Budiharto, and Hendro Saptono. "Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK. 01/2016)." Diponegoro law journal 6, no. 3 (2017): 1-20.
Suryono, Ryan Randy. "Financial technology (fintech) dalam perspektif
aksiologi." Masyarakat Telematika Dan Informasi Jurnal Penelitian Teknologi Informasi Dan Komunikasi 10, no. 1 (2019): 51-66.
Widyanti, Yenny Eta. "Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-prinsip Pemberian Kredit dan Tolak Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak." Pamator Journal 4, no. 1 (2011): 97-103.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Transaksi Elektronik (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Peraturan.Otoritas.Jasa Keuangan.Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11 DASP, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275).
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1151-1164
Discussion and feedback