PENGATURAN PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH DEBITOR TERHADAP PERMOHONAN

PERNYATAAN PAILIT OLEH KREDITOR

Andrea Louisa Doren, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:1 [email protected]

Putu Aras Samsithawrati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:2 [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i06.p02

ABSTRAK

Tujuan yang menjadi sasaran dalam tulisan ini adalah memberikan kajian dalam hukum kepailitan Indonesia mengenai debitur yang hendak mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai jawaban terhadap permohonan pailit oleh krediturnya serta untuk mengetahui akibat hukum yang timbul ketika debitur adalah pihak yang memohonkan penundaan kewajiban pembayaran utang. Penulisan ini menggunakan pendekatan penelitian normatif dengan model penulisan deskriptif melalui pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil studi yang diperoleh adalah pengaturan mengenai debitur yang ingin memohonkan penundaan kewajiban pembayaran utang terdapat pada Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan permohonan tersebut dapat diajukan sebagai jawaban atas permohonan pailit. Akibat hukumnya adalah permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diajukan bersamaan dengan permohonan pailit yakni pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pailit maka nantinya permohonan PKPU harus diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Bila permohonan diajukan debitur, maka pengadilan harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara maksimal 3 (tiga) hari sejak permohonan tersebut didaftarkan di kepaniteraan. Selain itu, pengadilan menunjuk 1 (satu) orang hakim pengawas dan juga mengangkat 1 (satu) atau lebih orang sebagai pengurus harta debitur.

Kata Kunci: Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Debitur, Kreditur

ABSTRACT

The objective targeted in this article is to provide a review in Indonesia's bankruptcy law regarding debtors who want to apply for PKPU (Suspension of Payment) in response to the bankruptcy statement application by their creditors and to find out the legal consequences that arise when the debtor is the party who requests a delay in suspension of payment. This writing uses a normative research approach with a descriptive writing model through conceptual and statutory approaches. The results of the study obtained are arrangements regarding debtors who wish to request a suspension of payment obligations contained in Article 222 paragraph (2) of the Bankruptcy and Suspension of Payment Obligations and such applications can be submitted in response to bankruptcy statement applications. The legal consequence is that the request for a suspension of payment must be submitted along with the bankruptcy statement application itself, namely at the first hearing of the bankruptcy application examination, the request for a delay in debt payment obligations (PKPU) must be examined and decided first. If the application is submitted by the debtor, then the court must grant a delay in the temporary suspension of payment maximum of 3 (three) days from the time the application is registered in the registrar. In addition, the court appoints 1 (one) supervisory judge and also appoints 1 (one) or more people as the debtor's property manager.

Key Words: Bankruptcy, Suspension of Payment, Debtors, Creditors

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Terdapat banyak sekali faktor dan alasan yang mampu memberikan pengaruh yang masif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi baik dalam skala regional, nasional, atau bahkan dalam skala global, seperti faktor ekonomi, sosial, politik, atau faktor lainnya.1 Pasang surutnya laju ekonomi tersebut dapat mengakibatkan timbulnya gelombang krisis ekonomi dapat menyebabkan kondisi keuangan perusahaan atau usaha perseorangan memburuk. Faktanya, krisis moneter pernah melanda kawasan Asia di tahun 1997-1998. Krisis moneter tersebut tak hanya menerjang beberapa negara di kawasan Asia, Indonesia pun turut terkena imbasnya. Peristiwa tersebutlah yang menjadi sebuah batu loncatan bagi lembaga kepailitan untuk menjadikan kepailitan sebagai langkah penyelesaian utang-piutang di Indonesia. Tak jarang kita melihat banyak perusahaan maupun usaha perseorangan yang melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesehatan dan kestabilan keuangan usahanya, salah satunya dengan melakukan perjanjian utang-piutang yang dapat diketahui bersama merupakan cara yang sangat umum ditempuh para pelaku usaha.2 Namun tak bisa dipungkiri bahwa proses utang-piutang tersebut tidak selalu berjalan sesuai rencana sehingga acapkali mengakibatkan beberapa pemilik usaha mengalami kesulitan untuk membayar utangnya yang pada akhirnya berujung dengan kepailitan.

Setiap sebab pasti selalu menyebabkan akibatnya. Sama halnya dengan kepailitan selalu menimbulkan akibat siginifikan, baik bagi kreditur atau debitur bahkan tenaga kerja suatu perusahaan yang terancam pailit dan akan berujung dengan pemutus hubungan kerja.3 Secara garis besar, kepailitan berpotensi membawa dampak yang signifikan dan krusial terhadap perekonomian sebuah negara karena secara tidak langsung dapat menimbulkan kerugian pada sektor ekonomi negara yang bersangkutan. Mengapa? Karena kerugian tersebut muncul seiring dengan sulitnya debitur-debitur untuk membayar utang-utangnya kepada para krediturnya.

Umumnya jika dilihat dari kaca mata hukum, utang berawal dari adanya perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian kredit, dan lain-lain. Kemudian dari perjanjian tersebut pihak yang bersangkutan akan mengatur dengan jelas hak dan kewajibannya dan jika ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya (yang dalam konteks ini debitur), maka pihak tersebut telah ingkar janji atau istilah lainnya ‘wanprestasi’.

Dengan demikian, pihak yang merugi dapat menuntut pihak berpiutang untuk meminta ganti rugi, bunga, atau hal-hal lain yang dideritanya.4

Pengaturan tentang kepailitan sendiri dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/04). Perlu dilihat kembali bahwa UU 37/04 tidak memberikan pengertian tegas mengenai “pailit” sendiri, melainkan hanya memberikan pengertian kepailitan saja. Jika kita lihat secara garis besar pailit ialah keadaan di mana debitur tidak lagi mampu membayar utang kepada para krediturnya. Secara sederhana, pailit merujuk pada suatu kondisi dimana debitur tidak dapat melakukan pembayaran atas sejumlah utangnya karena debitur sedang dalam keadaan kesulitan pada sektor keuangannya. Kesulitan keuangan atau financial distress acapkali menjadi alasan utama debitur jatuh ke dalam keadaan tidak mampu membayar utang, biasanya pula karena debitur sendiri sedang mengalami kemunduran finansial dalam usahanya.5 Kepailitan sendiri dalam prakteknya berbentuk putusan pengadilan yang dijatuhi kepada debitur pailit dan akan akibatnya akan dilaksanakan sita umum atas seluruh harta debitur pailit. Tujuan dari penjatuhan pailit semata-mata agar antara debitur dan krediturnya sama-sama memperoleh perlindungan hukum.6 Pailit sendiri akan diperoleh melalui putusan pengadilan niaga yang bilamana putusan pailit sudah dijatuhkan atas debitur, maka akan menjadikan debitur berganti status menjadi debitur pailit dan terhadap harta debitur akan berubah namanya menjadi boedel pailit dan debitur pula akan kehilangan hak untuk menguasai atau mengurus harta pailit. Hal inilah yang membuat kepailitan menjadi sebuah mimpi buruk bagi pelaku usaha di Indonesia. Entah karena reputasi usaha yang turun ataupun karena usahanya sudah “gulung tikar” secara hukum.

Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam UU 37/04 bilamana debitur terancam pailit adalah penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam dunia perniagaan, bilamana debitur dalam keadaan tidak mampu atau bahkan tidak mau bayar utang terhadap para krediturnya entah dikarenakan situasi ekonomi atau kondisi keuangan debitur itu sendiri, maka debitur dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU) sebagai salah satu solusi atas pemasalahan tersebut.

UU 37/04 tak hanya memberikan kesempatan kepada kreditur untuk mengajukan pailit, namun juga memberikan debitur untuk mengajukan PKPU sebagai senjata alternatif bagi debitur yang tidak ingin usahanya dijatuhi pailit. PKPU juga dapat dikatakan jalur damai antara debitur dengan para krediturnya. Permohonan PKPU dalam hukum dapat diajukan secara voluntair atau secara sukarela oleh debiturnya sendiri dengan catatan bahwa sudah ada perkiraan bahwa debitur memang benar

tidak dapat membayar utang lagi. Permohonan PKPU oleh debitur juga bisa digunakan sebagai upaya hukum atau “jawaban” atas permohonan pailit yang telah dilayangkan kreditur kepada debiturnya.7 Dalam mengajukan PKPU, debitur harus memberikan tawaran atas pembayaran utang-utangnya kepada para krediturnya yang termaktub dalam rencana perdamaian serta bukti surat yang cukup membuktikan bahwa debitur sedang dalam keadaan financial distress.

PKPU sudah jelas sangat bermanfaat bagi debitur untuk kembali merestrukturisasi atau melakukan reschedule atas pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya. Dalam rencana perdamaian debitur dapat pula menjelaskan secara rinci keadaan keuangan yang dihadapi sehingga kreditur dapat memberikan sedikit ruang bagi debitur untuk mencari solusi atas keadaan keuangannya sehingga dapat membayar kembali utang-utangnya dan terhindar dari kepailitan. PKPU dapat menjadi harapan baik karena debitur masih dapat menjalankan usahanya sambil melakukan penyehatan keuangan sepanjang dibolehkan dalam undang-undang.8 Maka bilamana ternyata debitur sudah diajukan permohonan pernyataan pailit oleh krediturnya, maka pada saat yang bersamaan debitur dapat pula mengajukan1 permohonan PKPU kepada pengadilan niaga sebagai “jawaban” atas permohonan pernyataan pailit tersebut. Hal tersebut sudah jelas diatur dalam Pasal 222 ayat (2) UU 37/04. Adapun penelitian pertama yang berjudul “Upaya Debitor Untuk Menghindari Kepailitan” oleh 1Ni Luh Gede Sri Suariyanti Laksmi dan penelitian kedua yang berjudul “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pada Kepailitan Melalui Perdamaian” oleh Hary Kurniawan. Pembahasan pada penelitian pertama lebih memfokuskan upaya debitor untuk menghindari kepailitan adalah membayar seluruh utangnya, mengajukan PKPU, atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sementara pada penelitian kedua memfokuskan pada akibat hukum adanya perdamaian dalam PKPU. Maka dalam penelitian ini diangkat judul “Pengaturan Pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Oleh Debitor Terhadap Permohonan Pernyataan Pailit Oleh Kreditor” yang berfokus pada prosedur pengajuan permohonan PKPU sebagai jawaban atas permohonan pernyataan pailit.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan pengajuan permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) oleh debitur berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia?

  • 2.    Apakah akibat hukum permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)1 oleh debitur sebagai jawaban atas permohonan pailit oleh kreditur?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan pengajuan permohonan PKPU oleh debitur berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia serta1

untuk mengetahui akibat hukum diajukannya permohonan PKPU oleh debitur sebagai jawaban atas permohonan pernyataan pailit oleh kreditur.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang diaplikasikan dalam penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan model penulisan deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh fakta hukum dengan pembuktian secara normatif. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, penelitian hukum yang bersifat normatif pada dasarnya mengkonsepkan hukum sebagai suatu norma dan berlaku di kalangan masyarakat serta menjadikan hal tersebut sebagai pedoman perilaku setiap orang. Menurut Soerjono Soekanto bersama Sri Mamudji memberikan pemahaman bahwa penelitian hukum normatif dilaksanakan hanya dengan menteliti bahan pustaka atau data sekunder saja. Adapun pendekatan yang diaplikasikan untuk mendukung metode penelitian normatif dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan dimana dalam penulisan ini, terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan kajian mendalam kemudian dilakukan penyesuaian dengan permasalahan hukum yang dibahas dalam penelitian ini. Pendekatan konseptual dipergunakan dalam penelitian ini karena pada dasarnya akan memberikan sudut pandang analisa penyelesaian suatu isu hukum lalu mengaitkannya dengan konsep atau doktrin hukum yang sudah ada. UU 37/04 adalah sumber primer penelitian hukum ini sedangkan sumber bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku hukum, disertasi, jurnal ilmiah hukum, skripsi, tesis, dan putusan pengadilan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Pengajuan Permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) Oleh Debitor Berdasarkan Hukum Kepailitan Di Indonesia

Salah satu masalah yang sering sekali dihadapi hampir semua orang atau bahkan perusahaan adalah perkara utang-piutang, terlebih jika berbicara mengenai kesulitan dalam melunasi utang.9 Dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa utang piutang melalui “jalur hukum” masih menjadi sebuah mimpi buruk bagi seluruh pelaku bisnis khususnya di Indonesia. Entah diselesaikan dengan gugatan atau permohonan secara perdata ke pengadilan, keduanya bisa dikatakan merupakan skenario terburuk dalam sengketa penyelesaian utang piutang antara debitur dengan krediturnya. Dalam praktek atau kehidupan sehari-hari atau bahkan pengalaman pribadi tiap individu seringkali mendengar, melihat, atau membaca lewat berbagai macam dan bentuk media komunikasi, pasti selalu ada kabar mengani pihak debitur yang lalai melaksanakan kewajibannya dalam membayar utang kepada kreditur.10 Keadaan debitur yang lalai ini umumnya disebabkan karena debitur sedang dalam keadaan

finansial atau ekonomi yang sulit dalam artian “tidak mampu” membayar utangnya atau bisa saja debitur sendiri yang “tidak mau” membayar utangnya.

Kreditur yang merasa haknya tidak dipenuhi oleh debitur sudah pasti akan menuntut si debitur untuk segera melaksanakan kewajibannya yaitu membayar utang sebagai pemenuhan hak kreditur. Maka dalam menghadapi keadaan seperti itu, hukum telah mengeluarkan sebuah produk hukum untuk memberikan jalan keluar kepada kreditur maupun debiturnya untuk menuntut pemenuhan kewajiban atau hak-haknya yakni dengan dikeluarkannya UU 37/04. Tujuan dibuatnya peraturan mengenai kepailitan melalui UU 37/04 ini adalah agar para kreditur tidak berebut dan saling mendahului untuk menguasai harta debitur bilamana di kemudian hari debitur tidak sanggup melunasi utang-utangnya. UU 37/04 juga menjadi langkah preventif untuk menghindari perbuatan curang yang dilakukan kreditur atau debitur sendiri.

Jika dilihat secara garis besar, pada intinya UU 37/04 memberikan 2 (dua) macam opsi penyelesaian sengketa utang piutang (jika mengambil jalur hukum), yakni dengan Kepailitan dan PKPU. Cara pertama yakni dengan kepailitan. Frasa “pailit” sendiri adalah frasa Belanda yaitu “failit”. Dari frasa "failit” muncullah frasa “faillissement” yang terjemahannya adalah “kepailitan”.11 Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU 37/04 yang menyebutkan bahwa: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.Black’s Law Dictionary mengasosiasikan istilah ‘pailit’ dengan kata ‘bangkrut’ yang diartikan bahwasannya pailit ialah kondisi dimana debitur tak memiliki kemampuan untuk membayar utang lagi. Melihat kedua definisi tersebut, dapat kita pahami jika kepailitan adalah suatu keadaan di mana debitur baik perorangan atau badan hukum tak lagi mampu melaksanakan pembayaran utang pada krediturnya yang membuat harta debitur akan disita secara ‘umum’ untuk memenuhi pembayaran utang terhadap para krediturnya. Akibat hukum yang ditimbulkan jika debitur dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang paling signifikan adalah kewenangan debitur untuk mengelola harta kekayaannya akibat dikenakannya sita umum sehingga debitur tak lagi punya wewenang dalam mengurus dan/atau membuat perbuatan hukum apapun terhadap hartanya karena jika harta debitur sudah menjadi sita umum maka harta tersebut berubah dan masuk menjadi harta pailit. Maka sudah seyogianya, kepailitan ditempuh sebagai jalan terakhir atau menjadi ultimum remidium untuk menyelesaikan sengketa utang piutang kreditur dengan debiturnya. Maka langkah yang semestinya ditempuh terlebih dahulu ialah merestrukturisasi utang-utang debitur lalu barulah bisa ditempuh kepailitan bilamana setelah dilakukan restrukturisasi utang, debitur tetap gagal melaksanakannya.

Cara kedua adalah menempuh PKPU atau “Suspension of Payment”. Pada dasarnya, PKPU dapat diartikan sebagai sebuah tawaran damai debitur untuk para krediturnya dalam hal merestrukturisasi utang-utang, entah akan dilunasi sebagian

atau mungkin debitur langsung melunasi utangnya (jika mampu).12 Dalam hukum kepailitan, dikenal PKPU Sementara dan PKPU Tetap. PKPU Sementara atau yang disingkat PKPU-S adalah jenis PKPU yang apabila debitur mengajukannya, maka melalui putusannya 1pengadilan dalam 3 (tiga) hari sejak pendaftaran permohonan 1PKPU kepada panitera, berdasarkan UU 37/04 harus mengabulkan PKPU Sementara, menunjuk 1 (satu) hakim pengawas, dan mengangkat 1 (satu) atau lebih orang pengurus untuk mengurus harta dengan debitur. PKPU Sementara berlangsung maksimal 45 hari sejak putusan PKPU-S diucapkan. Di sisi lain, PKPU Tetap atau yang disingkat PKPU-T sederhananya merupakan perpanjangan waktu dari PKPU Sementara. Apabila kreditur belum memberikan suara terkait rencana perdamaian atau debitur belum siap menyampaikan revisi rencana perdamaiannya, maka debitur melalui pemungutan suara atau voting oleh seluruh kreditor, dapat meminta krediturnya untuk memberikan PKPU Tetap dengan maksud agar debitur, para kreditur, maupun pengurus dapat mempertimbangkan lebih lanjut dan menyetujui rencana perdamaian dan dalam kurun waktu 270 hari sejak putusan PKPU Sementara diucapkan, dalam PKPU Tetap dilakukan pembahasan rencana perdamaian yang lebih intensif antara debitur dan para krediturnya karena jika belum juga dicapai kesepakatan baru atas rencana perdamaian, maka pengadilan dapat menyatakan debitur pailit.

UU 37/04 tidak secara expressive verbis mengatur tentang pengertian PKPU, PKPU hanya 1diatur dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 2941 UU 37/04. PKPU dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk ditempuh debitur dalam upayanya menghindari diri dari kepailitan, jika debitur mengalami financial distress atau bisa saja dalam keadaan insolven.13 Alasan yang paling sederhana yang dapat menjadi pertimbangan diberikannya PKPU kepada debitur adalah demi memberikan kepada debitur yang masih solven kesempatan untuk mengusahakan jalur damai dengan para krediturnya lewat rencana perdamaian yang di dalamnya akan menjelaskan keadaan keuangan debitur serta usaha debitur untuk melunasi utang-utangnya baik sebagian atau keseluruhan atau bahkan merestrukturisasi utang-utang kepada para krediturnya. Dengan memperhatikan alasan-alasan tersebut, dengan PKPU debitur memiliki kesempatan yang baik dan juga kelonggaran waktu dalam melunasi utang-utang yang dimilikinya agar debitur pun terhindar atau tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan.14

Dengan memberikan kesempatan untuk “menunda” pembayaran utang-utangnya, sudah pasti akan membuka peluang masif untuk debitur agar dapat melunasi secara perlahan sisa utang-utangnya. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kepailitan yang pada akhirnya akan memberikan pengurangan nilai perusahaan dan cenderung

akan berpotensi merugikan bagi pihak kreditur, maka sudah selayaknya dengan memberikan kesempatan kepada debitur untuk menjadwalkan ulang (atau reschedule) tenggat pembayaran utang atau bisa juga merestrukturisasi utang-utangnya, harapannya akan memberikan win-win solution bagi debitur dengan para krediturnya yakni debitur yang tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sambil melunasi utang-utang kepada para krediturnya sehingga tidak perlu melakukan sita umum atau eksekusi harta debitur yang berpotensi dapat merugikan para krediturnya.

Pengaturan pengajuan permohonan PKPU oleh debitur berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia diatur dalam 1Pasal 222 ayat (2) UU 37/041 yang menyatakan bahwa: “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagai atau seluruh utang kepada Kreditor.” Permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur sebelum atau sesudah adanya permohonan pernyataan pailit. Jika debitur mengajukan permohonan PKPU sebelum adanya permohonan pernyataan pailit oleh satu atau lebih krediturnya, maka debitur tidak bisa dinyatakan pailit. Namun apabila debitur mengajukan permohonan PKPU sesudah adanya permohonan pernyataan pailit oleh satu atau lebih krediturnya, maka sesuai dengan 1Pasal 229 ayat (3) UU 37/04, permohonan PKPU harus1 diperiksa dan diputus terlebih dahulu dan hakim akan menunda pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Hal yang perlu diperhatikan dari ketentuan pasal tersebut adalah permohonan PKPU oleh debitur hanya dapat diperiksa dan diputus terlebih dahulu oleh pengadilan apabila putusan kepailitan belum diucapkan oleh pengadilan terhadap debitur yang bersangkutan.

Syarat-syarat dan hal-hal yang harus diperhatikan oleh debitor atau kreditor 1dalam mengajukan permohonan PKPU diatur jelas1 dalam Pasal 222 UU 37/04 dalam uraian unsur-unsur yakni sebagai berikut:

  • 1.    Permohonan PKPU dapat diajukan1 secara “voluntair” oleh debitur atau krediturnya sendiri. Bila diajukan oleh debitur, maka debitur harus mempunyai satu atau lebih kreditur;

  • 2.    Jika debitur hendak memohon PKPU, sederhananya sudah ada dalam posisi tak dapat membayar utang atau setidaknya sudah memperkirakan tak akan dapat melanjutkan untuk membayar utang-utang;

  • 3.    Utang milik debitur adalah utang yang sudah jatuh waktu/jatuh tempo dan termasuk utang yang bisa ditagih;

  • 4.    Permohonan PKPU dapat diajukan kepada tiap-tiap kreditur, yaitu kreditur yang didahulukan sampai dengan kreditur konkuren;

  • 5.    Bila memohon PKPU ialah debitur, maka harus diajukan pula rencana perdamaian yang didalamnya berisi tawaran pembayaran utang secara sebagian dan/atau seluruh utang kepada para krediturnya;

  • 6.    Bilamana yang mengajukan adalah krditur, maka kreditur harus memperhatikan bahwa utang si debitur termasuk utang yang sudah jatuh tempo dan bisa ditagih serta sudah memperkirakan bahwa debiturnya tak dapat melanjuti pembayaran utang.

Syarat lain yang perlu diperhatikan terdapat dalam Pasal 224 ayat (2) UU 37/04 yang mana bila debitur yang memohon PKPU, permohonan harus pula disertai

dengan daftar atau list sifat piutang, jumlah piutang, dan besaran utang debitur beserta bukti surat secukupnya yang pada prakteknya debitur biasanya melampirkan kondisi keuangannya berupa laporan keuangan. Pengajuan permohonan PKPU ditujukan kepada pengadilan dan ditandatangani oleh debitur selaku pemohon PKPU serta oleh advokat/kuasa hukumnya.

Lalu pada Pasal 224 ayat (5) menyebutkan bahwa debitur juga harus melampirkan rencana perdamaian di mana akan memuat tawaran cara-cara pelunasan pembayaran utang. Dilampirkannya rencana perdamaian bagi debitur yang akan mengajukan permohonan PKPU merupakan sebuah kewajiban bagi pihak debitur dengan tujuan agar debitur mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan solvabilitas perusahaannya serta tawar menawar pembayaran atau skema direstrukturisasinya utang secara komprehensif dan tentunya berkepastian hukum untuk kreditur, karena pada akhirnya tujuan akhir PKPU adalah tercapainya perdamaian. Seluruh alasan-alasan maupun syarat-syarat permohonan PKPU sebagaimana yang termaktub dalam UU 37/04 harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur serta harus selaras dengan alasan utama debitur memohon PKPU yaitu untuk memohon penundaan pembayaran utang. Jadi alasan-alasan yang diajukan dalam posita permohonan PKPU oleh debitur harus sesuai dengan keadaan debitur dan selaras dengan rencana perdamaian yang diajukan karena hal tersebut akan memperkuat dan mendukung petitum permohonan PKPU-nya agar kreditur atau majelis hakim yang memutus perkara dapat mempertimbangkan dengan baik apakah debitur layak diberikan PKPU atau tidak.15

  • 3.2    Akibat Hukum Permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

Oleh Debitor Sebagai Jawaban Atas Permohonan Pernyataan Pailit Oleh Kreditor

Mengajukan permohonan PKPU menjadi salah satu 1upaya yang dapat ditempuh debitur untuk1 memohon kelonggaran waktu untuk melakukan pelunasan atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo kepada para krediturnya.16 Dengan mengajukan permohonan PKPU yang pengajuannya bersamaan dengan rencana perdamaian debitur, dapat menjadi alternatif debitur untuk menghindari kepailitan dan tetap menjaga reputasi usaha debitur. Permohonan PKPU yang sudah mendapatkan putusan pengadilan yang sudah inkracht akan berakibat hukum diberhentikannya kewajiban debitur dalam membayar utang untuk sementara sampai adanya pembahasan akan rencana perdamaian yang sebelumnya sudah dilampirkan bersamaan dengan permohonan PKPU pada saat didaftarkannya permohonan PKPU dan/atau pada sidang pertama pembacaan permohonan pailit hingga tercapai kesepakatan baru antara debitur dan para krediturnya. Namun yang perlu digaris bawahi adalah dengan “ditundanya” pembayaran utang debitur bukan berarti serta merta menghapuskan kewajiban debitur untuk membayar dan melunasi utang-

utangnya.17 Dalam penundaan pembayaran utang,18 keberlangsungan usaha debitur adalah hal utama yang tetap diperhatikan oleh para kreditur karena bagaimanapun juga kreditur pasti ingin debitur tetap membayar utangnya yakni dengan memberi debitur kesempatan berupa tambahan waktu sewajarnya agar debitur dapat melunasi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan bersama lewat rencana perdamaian. Dengan memperhatikan kelangsungan usaha debitur akan memberikan debitur kesempatan untuk mengajukan restrukturisasi utang atau menjadwalkan ulang pembayaran utang-utangnya.

PKPU itu sendiri bisa dikatakan masuk ke dalam golongan suatu peristiwa hukum, dengan mengigat bahwa 1PKPU akan menimbulkan akibat hukum1 kepada pihak-pihak yang dalam hal ini adalah debitur dengan para krediturnya yang secara harfiah memiliki hubungan hukum melalui suatu perjanjian.19 Menurut ahli hukum yaitu Soeroso, akibat hukum terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan hukum yang dikehendaki pelakunya. Dalam buku yang berjudul “Menguak Tabir Hukum” karya Achmad Ali, ia pun berpendapat bahwa akibat hukum ialah akibat dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum dan yang diatur hukum. Jika ditarik, konsep akibat hukum di atas dapat kita terapkan dalam pengajuan permohonan PKPU. Terhadap PKPU yang diajukan oleh debitur tergolong suatu peristiwa hukum karena debitur melakukan perbuatan hukum berupa permohonan PKPU yang akibat hukum terhadap permohonan PKPU itu sendiri sudah diatur dalam UU 37/04 dan akan memberi akibat-akibat hukum kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan hukum yang dalam hal ini adalah debitur dan kreditur pun telah diatur jelas dalam undang-undang.

Dalam prakteknya, tidak jarang debitur yang diajukan pailit oleh krediturnya mengajukan permohonan PKPU sebagai jawaban atas permohonan pailit oleh kreditur bukan hanya semerta-merta agar terhindar dari kepailitan, namun juga menimbulkan akibat hukum bagi debitur maupun krediturnya 1karena berdasarkan Pasal 229 ayat (3) UU 37/041 mengatur bahwa jika permohonan PKPU diajukan bersamaan permohonan pailit, maka permohonan PKPU harus diputus dahulu. Mengapa? Karena kepailitan semata-mata adalah ultimum remidium atau jalan terakhir bila perdamaian tidak tercapai antara debitur dan kreditur. PKPU disini berperan sebagai premium remidium-nya yang dimana pengadilan pasti akan mengusahakan terjadinya perdamaian antara debitur dan kreditur terlebih dahulu baik dengan mediasi atau dengan jalur permohonan PKPU oleh debitur ini. Jika melihat unsur-unsur dalam Pasal 229 ayat (3) tersebut, pengadilan secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada debitur untuk menjelaskan kondisi keuangan ataupun kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya dan memohon untuk memberikan jangka waktu lebih untuk melunasi utang-utangnya kepada para kreditur sepanjang debitur memiliki prospek dan potensi untuk hal tersebut. Permohonan PKPU oleh debitur juga dapat memperlihatkan adanya iktikad baik dari debitur untuk mengakhiri permasalahan utangnya maka secara logika, terdapat kemungkinan usaha debitur akan kembali pulih dan kepailitan pun dapat dihindari.

Dalam keadaan sudah diajukannya permohonan pernyataan pailit kepada debitur lalu kemudian debitur hendak memohon PKPU sebagai bentuk “jawaban atau tangkisan” permohonan pailit, maka sesuai Pasal 229 ayat (4) UU 37/04, debitur terhadap permohonannya tersebut wajib mengajukan permohonan PKPU pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Artinya, jika debitur ingin mengajukan permohonan PKPU, maka harus ada permohonan pernyataan pailit oleh kreditur kepada pengadilan terlebih dahulu. Kemudian berangkat dari hal tersebutlah, permohonan PKPU oleh debitur tersebut harus diputuskan duluan sebelum permohonan pailit diputuskan sebagaimana diatur pada Pasal 229 ayat (3) UU 37/04.

Akibat hukum PKPU lainnya terdapat dalam Pasal 225 ayat (2) UU 37/04 yaitu pengadilan harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara maksimal 3 hari sejak didaftarkannya permohonan PKPU di kepaniteraan. Selain itu, pengadilan dalam putusannya pula harus menunjuk 1 orang hakim pengawas dan mengangkat 1 atau lebih orang pengurus yang nantinya akan mengurus harta bersama dengan debiturnya sendiri pasca putusan PKPU-Sementara. Hal yang juga tak boleh terlepas dari perhatian adalah bilamana permohonan PKPU ditolak yang dalam artian tidak tercapainya perdamaian atau kesepakatan baru antara debitur dengan para krediturnya, maka melalui putusan pengadilan debitur dapat dinyatakan pailit paling lambat pada hari berikutnya. Dengan demikian, akan berakibat pula terhadap pemeriksaan permohonan pailit yang tadinya ditunda menjadi berakhir.

5. Kesimpulan

Pengaturan pengajuan PKPU oleh debitur dapat ditemukan dalam Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 224 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UU 37/04. Akibat hukum yang ditimbulkan bilamana PKPU diajukan oleh debitur adalah permohonan PKPU oleh debitur dapat melakukan pengajuan sebelum atau sesudah adanya permohonan pailit. Apabila permohonan PKPU oleh debitur diajukan bersamaan dengan permohonan pailit maka permohonan PKPU yang diperiksa lalu dilakukan putusan dahulu. Permohonan PKPU oleh debitur wajib diajukan debitur pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit dan kemudian (melalui putusan) pengadilan harus mengabulkan PKPU-S maksimal 3 hari sejak pendaftaran permohonan PKPU di kepaniteraan, lalu 1menunjuk hakim pengawas, dan juga mengangkat 1 (satu)1 orang atau lebih pengurus agar nantinya pengurus tersebut akan mengurus harta debitur bersama dengan debiturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nugroho, Susanti Adi. Hukum Kepailitan Di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya (Kencana, Jakarta, 2020).

Sjahdeini, Sutan Remy. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2003 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. (Kencana, Jakarta, 2016).

Suyatno, H.R.M. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. (Kencana, Jakarta, 2012).

Skripsi

Ramadhani, Bravika Bunga. “Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan (Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T. Prudential Life Insurance).” (2009) Tesis Universitas Diponegoro.

Jurnal

Dewi, Wulan Wiryanthari. “Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Status Sita dan Eksekusi Jaminan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, No. 1 (2017): 1-6.

Irianto, Catur. “Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).” Jurnal Hukum     dan     Peradilan     4,     No.     3     (2015):     399-418.

http://dx.doi.org/10.25216/jhp.4.3.2015.399-418

Irwanti, Kartika dan Anggit Sinar Sitoresmi. "Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Akibat Hukum terhadap PT. Asmin Koalindo Tuhup berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004." Pandecta Research Law Journal          14          No.          2          (2019):          119-127.

http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v14i2.16902

Kurniawan, Hary. “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pada Kepailitan Melalui Perdamaian.” FOCUS MAHASISWA UPMI 1, No. 1 (2019): 53-65.

Laksmi, Ni Luh Gede Sri Suariyanti. “Upaya Debitor Untuk Menghindari Kepailitan.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 3 (2019): 1-13.

Panasea, I Komang Ari Buana Nusantara. “Pengaturan Kedudukan Konsumen Sebagai Kreditor Dalam Perspektif Hukum Kepailitan”. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, No. 8 (2020): 1-12.

Pemayun, Cok Istri Bhagawanti. “Kewenangan Kurator Dalam Pemberesan Aset Debitor Pailit Yang Berupa Saham Pada Perseroan Terbatas.” Kertha Semaya: Journal     Ilmu     Hukum     8,     No.     8     (2020):     1180-1190.

https://doi.org/10.24843/KS.2020.v08.i08.p06

Prabaningsih, Luh Ayu Maheswari. “Pengaturan Insolvency Test Dalam Penjatuhan Putusan Pailit Terhadap Perusahaan.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No. 9 (2019): 1-15. https://doi.org/10.24843/KM.2019.v07.i08.p14

Pratiwi, Agustina Ni Made Ayu Darma. “Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan PKPU Mengenai PKPU Dalam Hal Debitur Pailit Dimasa Covid 19.” Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum 12, No. 1 (2021): 6075. https://doi.org/10.31764/jmk

Sagala, Elviana. “Efektifitas Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Untuk Menghindarkan Debitur Dari Pailit.” Jurnal Ilmiah “Advokasi” 3, No. 1 (2015): 38-56. https://doi.org/10.36987/jiad.v3i1.389

Yuanita, Eva. “Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Niaga Atas Penolakan Permohonan Pernyataan Pailit Yang Diajukan Oleh PT. Magnus Indonesia Terhadap PT. Garuda Indonesia.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 36, No. 3 (2006): 257-288. http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol36.no3.1259

Internet

Tim Yuridis.id. “Penghutang Yang Tidak Mampu Membayar Hutangnya Dapat Di Kenakan Ketentuan Hukum Di Bawah Ini!” (2019). URL: https://yuridis.id/penghutang-yang-tidak-mampu-membayar-hutangnya-dapat-di-kenakan-ketentuan-hukum-di-bawah-ini/  diakses pada tanggal 15

Desember 2020.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4484.

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.6 Tahun 2022, hlm.1191-1202