PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK CIPTA ANIME DARI KEGIATAN STREAMING DAN DOWNLOAD PADA APLIKASI ILEGAL

I Dewa Made Anom Jagadhita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Putu Aras Samsithawrati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i05.p20

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengkasji terkait perlindungan hukum terhadap penyebarluasan film anime pada aplikasi streaming ilegal berdasarkan Undang-undang Hak Cipta. Streaming merupakan sebuah teknologi pengiriman informasi, vidio, atau suara dalam bentuk yang telah dikompresi secara daring yang ditampilkan oleh suatu player secara realtime. Sedangkan download adalah pemberian berkas ke layanan data secara daring atau ke perangkat lain dari perangkat yang digunakan. Penulis menggunakan metode penelitian yang melalui pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan perundang-undangan sebagai objek utama. Penelitian ini menemukan hasil dimana menurut hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum terhadap hak cipta yang digunakan tanpa hak pada aplikasi ilegal telah diatur didalam Undang-undang Hak Cipta yang kemudian dalam kegiatan penggunaa hak cipta dilindungi juga oleh Undang-undang ITE dan KUH Perdata. Sedangkan menurut Hukum Jepang hal ini diatur didalam Copyright Law of Japan yang mana mengatur mengenai sanksi yang akan didapat jika menggunakan hak cipta tanpa ijin agar tidak timbul hal-hal yang dapat merugikan pencipta. Undang-undang Hak Cipta juga mengatur mengenai hak eksklusif yang diperleh pencipta yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hal ini dilakukan guna melindungi kepentingan pribadi dari pencipta baik dari segi reputasi pencipta hingga hak ekonomi yang akan diperoleh pencipta dari ciptaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pencipta.

Kata Kunci: Hak Cipta, Pembajakan, Penyebarluasan, Anime.

ABSTRACT

This paper aims to examine the legal protection against the distribution of anime films on illegal streaming applications based on the Copyright Act. Streaming is a technology for sending information, vidio, or sound in compressed form online which is displayed by a player in real time. While downloading is the provision of files to data services online or to other devices from the device used. The author uses a research method through a normative juridical approach by using legislation as the main object. This study found results where according to positive law in Indonesia, legal protection of copyrights that are used without rights on illegal applications has been regulated in the Copyright Law which is then protected by the ITE Law and the Civil Code. Meanwhile, according to Japanese law, this is regulated in the Copyright Law of Japan which regulates the sanctions that will be obtained if you use copyright without permission so that things do not arise that can harm the creator. The Copyright Law also regulates the exclusive rights obtained by the creator, namely moral rights and economic rights. This is done in order to protect the personal interests of the creator, both in terms of the creator's reputation and the economic rights that the creator will get from his creation to create prosperity for the creator.

Key Words: Copyright, Hijacking, Dissemination, Anime.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Di zaman yang serba modern saat ini hiburan dapat diperoleh dengan mudah, salah satunya adalah dengan menonton film. Menonton film ini sendiri dapat dilakukan di berbagai tempat dan media seperti bioskop, televisi, hingga gadget. Film yang merupakan hasil karya sinematografi memiliki beberapa jenis yaitu seperti film dokumenter, film iklan, film cerita, dan film kartun. Pada dasarnya anime adalah salah satu bagian dari jenis film kartun. Istilah anime sendiri sangat lazim dikenal di dunia sebagai jenis film animasi yang diproduksi oleh Jepang. Komik khas Jepang atau yang biasa dikenal dengan Manga sangat memengaruhi tampilan dari film anime. Gaya yang khas ini menjadi keistimewaan yang dibawa oleh film anime dibandingkan dengan gaya animasi kartun pada umumnya. Keunikan dari pemilihan warna, karakter sebuah tokoh, hingga penggambaran dari sebuah karakter sangat membuat film anime ini dianggap unik dan berbeda.1 Karena anime merupakan bentuk hasil karya intelektual manusia tentu saja hal ini dapat membuat anime dapat didaftarkan hak ciptanya guna menghindari pembajakan hingga plagiasi.

Akan tetapi dengan segala kemudahan yang diberikan di zaman modern ini, penyebarluasan sebuah konten sangatlah sulit untuk dikendalikan. Maraknya pembajakan dan penyebarluasan film tanpa hak di Indonesia secara digital dapat merugikan pemegang hak cipta. Pada pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC) menyebutkan bahwa “Pembajakan adalah penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.”

Pembajakan digital, juga dikenal sebagai pembajakan online atau pembajakan melalui internet, mengacu pada pembuatan, distribusi, dan konsumsi perangkat lunak, buku elektronik, film, musik, dan lain-lain. Hal ini merupakan reproduksi ilegal dan distribusi hak cipta konten (seperti perangkat lunak, buku elektronik, film, musik, program TV, vidio game, foto, dan majalah) melalui sarana elektronik untuk mendapatkan keuntungan. Pembajakan terjadi ketika seseorang menyalin, mendistribusikan atau menjual produk digital, tanpa izin dari pencipta produk. Pembajakan terjadi melalui jaringan peer-to-peer, layanan cloud, situs streaming ilegal, dan lelang online. Meskipun pembajakan digital dapat terjadi di media digital apa pun, ada tiga hal utama yang menerima banyak perhatian yaitu pembajakan musik, pembajakan vidio (misalnya, film atau acara TV), dan pembajakan perangkat lunak (misalnya, program komputer atau permainan).2

Hak cipta adalah satu di antara rezim yang ada pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hak ini bermuara dari segala aktivitas yang bersifat imajinatif dari suatu kapabilitas otak manusia yang dimanifestasikan pada kumpulan masyarakat dengan berbagai bentuk yang memiliki fungsi dalam menopang kehidupannya atau orang lain dan juga mempunyai nilai ekonomi di dalamnya.3 Di Indonesia, pengaturan mengenai

HKI khususnya mengenai hak cipta bukan merupakan hal yang asing. Hal itu dapat dilihat dari adanya berbagai perubahan yang sudah terjadi di dalam konteks dari UUHC. Pasal 1 angka 1 UUHC menjelaskan bahwa “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Kemudian Pasal 1 nomor 3 UUHC menerangkan bahwa “Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.” Intelectual property rights tidak dapat dihasilkan oleh setiap orang karena tidak setiap orang berkemampuan untuk mengolah pikirannya dengan intelektual yang dimilikinya secara maksimal dalam membuat suatu karya. Hal tersebutlah yang menyebabkan HKI bersifat eksklusif dan dilindungi oleh hukum.4 Gagasan kreatif yang muncul dari daya pikir seseorang (human intellect) dalam menciptakan suatu karya ini kemudian menciptakan hak esklusif yang kemudian disebut hak cipta.5

Hanya dengan menggunakan koneksi internet, menonton film anime bisa saja dilakukan dengan mudah baik via website hingga via perangkat lunak (aplikasi) yang menyediakan layanan streaming yang dapat diinstal pada perangkat keras (gawai, komputer, dan laptop) pengguna. Layanan tersebut berbentuk layanan over the top (OTT). Tidak perlu terlibat secara langsung, layanan OTT dapat memuat konten secara daring berupa data, informasi, games atau multimedia, audiovisual melalui jaringan atau infrastruktur operator.6 Pengimplementasian dari layanan OTT dapat berbentuk aplikasi, vidio streaming, layanan aplikasi, audio streaming, jejaring sosial, dan pesan instan dengan cara menggunakan jaringan internet dari operator layanan telekomunikasi dan berbasis mobile.7

Oleh karena itu pelanggaran hak cipta berupa pembajakan anime secara digital sering terjadi. Hal ini dilakukan oleh beberapa komunitas yang sering disebut dengan fansub, yaitu komunitas yang secara khusus memang melakukan penerjemahan bahasa dengan cara meletakkan teks terjemahan (subtitle) pada film yang awalnya tidak berisi subtitle kemudian diberikan subtitle berbahasa Indonesia, Inggris ataupun bahasa lain. Karena penonton anime bukan hanya dari Jepang, menyebabkan apabila penonton ingin menonton anime tersebut dan ingin memahami alur ceritanya, maka oleh para fansub dibuatkanlah subtitle yang mereka terjemahkan dari bahasa Jepang menjadi bahasa terkait. Hasil dari penerjemahan bahasa tersebut kemudian mereka sebar luaskan baik melalui website streaming ilegal hingga aplikasi.

Pada smartphone pun memang ada beberapa developer aplikasi yang mampu membeli lisensi dari anime dari pihak pemegang hak cipta untuk disiarkan kembali seperti Crunchyroll, IQIYI, Sushiroll, Netflix, dan lain sebagainya. Akan tetapi

memang penonton perlu membayar sejumlah uang untuk dapat mengakses dan menonton beberapa anime, sehingga apa yang dapat ditonton pada aplikasi tersebut sangatlah terbatas apabila kita tidak sanggup untuk membayar akses untuk menonton. Karena hal itu lah komunitas fansub sangatlah laku khususnya di Indonesia.

Kebiasaan yang kerap terjadi pada masyarakat Indonesia dewasa ini adalah lebih cenderung memilih layanan streaming yang tidak berbayar, hal ini dikarenakan pada aplikasi legal jika kita tidak membeli akses premiumnya maka akan banyak sekali iklan yang akan muncul selama menonton dan juga jumlah tayangan yang bisa ditonton sangatlah terbatas. Lain halnya dengan aplikasi ilegal yang tidak memunculkan iklan apapun di saat sedang menonton dan juga jumlah tayangan yang dapat ditonton begitu banyak. Iklan hanya ditampilkan saat baru ingin mengganti episode yang akan ditonton selanjutnya. Iklan yang muncul itulah kemudian yang menjadi sumber pemasukan untuk developer aplikasi. Meski jumlah yang didapatkan tidak seberapa akan tetapi mereka juga tidak perlu mengeluarkan modal yang begitu banyak untuk membeli setiap lisensi anime yang akan mereka tayangkan.

Selain itu, faktor lainnya yang mengakibatkan penyebaran film anime ilegal yang dilakukan fansub lantaran kurangnya ketersediaan fasilitas yang secara legal untuk menampilkan film anime tersebut secara cuma-cuma. Pada sejumlah negara maju seperti Inggris dan Amerika mempunyai stasiun televisi tertentu yang memang disediakan untuk menayangkan film-film anime secara terjadwal. Hanya saja di Indonesia hal ini sudah sangat jarang ditemukan dan diiringi pertumbuhan penonton film anime di Indonesia yang berkembang secara cepat semenjak kasus COVID-19 muncul pertama kali di Indonesia.8

Apabila stasiun TV ingin menayangkan film anime, hal tersebut tentu memerlukan biaya untuk membeli lisensi untuk menayangkan anime tersebut dan itu tidaklah murah.9 Harga tersebut mulai dari Rp998.126.500 hingga Rp7.129.475.000 untuk satu episodenya. Sehingga faktor ekonomi juga mempengaruhi stasiun TV di Indonesia sangat membatasi penayangan anime.

Indonesia termasuk salah satu dari tujuh negara terbawah yang memainkan peran pertumbuhan kekayaan intelektual dalam laporan yang dibuat oleh U.S. Chamber International IP Index 2020. Hal ini perlu diperbaiki, mengingat menurut laporan tersebut, hal ini disebabkan karena keterkaitan langsung Indonesia antara kekuatan dan evektifitas hak kekayaan intelektual sebuah negara dan kemampuan untuk memanfaatkan kemampuan inovatif dan kreatif domestik serta untuk mendapatkan akses inovasi global. United States Trade Representative (USTR) meluncurkan perlindungan HKI melalui Priority List of Controlled atau Priority Watch List (PWL), dan berdasarkan hal itu sejak 20212 hingga 2020 Indonesia termasuk di dalamnya. Karena masuknya Indonesia di dalam PWL, maka upaya penegakan dan perlindungan HKI di Indonesia masih dianggap bermasalah. Pembajakan secara digital menjadi perhatian, terutama melalui perangkat dan aplikasi pembajakan, dan

perekaman vidio ilegal dan penggunaan perangkat lunak tanpa izin tetap menjadi masalah. 10

Menjadi permasalahan yang cukup serius bagi industri perfilman di Indonesia, kian hari pembajakan film semakin marak terjadi akibat perkembangan teknologi yang tidak terkendali. Kerugian hingga triliunan rupiah pun sudah menjadi hal yang umum mengingat adanya peralihan penonton melalui bioskop karena beralih kepada akses streaming gratis melalui situs streaming atau aplikasi streaming ilegal.11 Dapat dibayangkan berapa jumlah kerugian yang diderita oleh pencipta atau pemegang hak cipta anime di Jepang dimana sudah sangat banyak ciptaan mereka dibajak oleh para fansub di Indonesia dan ditayangkan secara ilegal baik melalui website streaming maupun pada aplikasi.

Secara umum, masyarakat Indonesia lebih memilih menonton melalui situs web ilegal maupun aplikasi ilegal di tengah-tengah boomingnya layanan streaming secara daring, hal ini diungkapkan oleh perusahaan data dan opini publik global yang melakukan sebuah survei. Dari data survei yang diperoleh menunjukkan bahwa 63 dari 100 orang responden lebih suka melakukan ilegal streaming dan sebanyak 29 dari 100 orang responden memakai aplikasi ilegal yang menyediakan kanal ke vidio dan saluran televisi yang dibooting. 12

Hasil analisis Brian T. Yeh pada Kongres ke-112 terhadap undang-undang yang membahas tentang hukuman untuk streaming ilegal maupun jenis pelanggaran hak cipta daring lainnya menerangkan bahwa menyebarluaskan karya orang lain dengan tanpa izin memiliki konsekuensi hukuman dengan cara yang serupa tanpa mempertimbangkan teknologi yang dimanfaatkan, menjadikan streaming ilegal sebagai salah satu kejahatan yang melawan hukum hanyalah merupakan salah satu uraian secara teknis. 13

Mengacu pada Pasal 15 ayat. (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU.ITE) menyatakan bahwa “Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.” Oleh sebab itu, pemberian perlindungan terhadap hak cipta anime terkait menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan oleh pihak developer agar tidak melanggar hak yang sudah diperoleh pencipta ketika mendaftarkan ciptaannya demi melindungi ciptaannya. Kegiatan fansub ini juga sudah menyalahi aturan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (3) UUHC yang menerangkan “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.” Apapun yang dilakukan untuk mengubah ciptaan tanpa izin pencipta sudah jelas telah melanggar hak moral pencipta.

Pemerintah Jepang sendiri mengatur mengenai perlindungan hukum bagi hak cipta di dalam Undang-undang No. 70 yang diundangkan pada tanggal 6 Juli 2018 dan

berlaku pada tanggal 31 Januari 2019. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan segala hak terkait hak cipta dan perlindungan bagi hak-hak tersebut bagi pencipta agar terjadi penggunaan ciptaan yang adil atas produk budaya dan pengembangannya.

Beberapa penelitian memiliki konsep yang serupa namun berlainan dalam fokus masalah penelitian ini. Adapun salah satu penelitian yang memiliki persamaan dengan artikel ini yakni, artikel yang dibuat pada Jurnal Konstruksi Hukum Universitas Warmadewa oleh “Anak Agung Gde Chandra Wiratama, I Nyoman Putu Budiartha, dan Diah Gayatri Sudibya”, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Terkait Kegiatan Streaming Dan Download Film Bajakan Melalui Website Ilegal”. Artikel selanjutnya ialah artikel yang dibuat pada Jurnal Kertha Negara Universitas Udayana oleh “Ni Made Gearani Larisa Paramita dan Nyoman Mudana”, dengan judul “Perlindungan Hukum Hak Cipta Film Anime Yang Diunggah Oleh Komunitas Fandub Tanpa Izin Pencipta”

Berdasarkan pemaparan di atas maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Cipta Anime Dari Kegiatan Streaming Dan Download Pada Aplikasi Ilegal.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Agar pemaparan pokok bahasan dalam tulisan kali ini dapat terfokuskan maka penulis telah menentukan ragam permasalahan yang hendak dikupas lebih mendalam yaitu antara lain:

  • 1.    Bagaimana konsekuensi hukum dari kegiatan streaming dan download anime di aplikasi ilegal?

  • 2.    Bagaimanakah perlindungan bagi Hak Moral dan Hak Ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta anime dari kegiatan download dan streaming di aplikasi ilegal?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini untuk:

  • 1.    Menganalisa dan mengkaji konsekuensi hukum dari kegiatan streaming dan download anime di aplikasi ilegal.

  • 2.    Menganalisa dan mengkaji perlindungan bagi Hak Moral dan Hak Ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta anime dari kegiatan download dan streaming di aplikasi ilegal.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian yang mengangkat permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pemegang hak cipta anime dari kegiatan streaming dan download pada aplikasi ilegal ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum melalui pendekatan yang bersifat yuridis normatif. Penggunaan pendekatan normatif ini dilandasi oleh objek utama yang ada pada penelitian ini yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Tulisan ini mengarah kepada penelitian terhadap persoalan yang berlandaskan pada sebuah informasi yang kemudian dikaji lebih lanjut untuk ditarik sebuah konklusi. Pengumpulan informasi yang akan dikaji dilakukan dengan cara studi kepustakaan dimana mengumpulkan berbagai bahan yang dapat dikaji dengan membaca dan memahami perundang-undangan, buku, dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian dan bersifat valid. Yuridis normatif yang bersifat kualitatif menjadi pilihan penulis sebagai metode analisis data yang kemudian

data tersebut diurutkan secara runtut guna memperoleh konklusi yang bersifat obyektif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konsekuensi Hukum Dari Kegiatan Streaming dan Download Anime Di Aplikasi Ilegal

Pelanggaran terhadap hukum, salah satunya berhubungan dengan Hak Cipta anime memiliki konsekuensi yang jelas pada pencipta atau pemegang hak cipta. Sebagai contoh yaitu tidak diberikannya royalti kepada pencipta. Menurut Pasal 1 angka 21 UUHC “Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.”

Dari perspektif hukum perdata, konsekuensi hukum dari pelanggaran hak cipta anime diatur di dalam Pasal 99 ayat (1) UUHC yang menjelaskan bahwa "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian dari penghasilan penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau produk hak terkait kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau Produk Hak Terkait." Kemudian sesuai dengan Pasal 99 ayat (3) UUHC menjelaskan bahwa "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait dapat melakukan permohonan putusan provinsi atau putusan sela kepada Pengadilan Niaga untuk:

  • a.    meminta penyitaan Ciptaan yang dilakukan Pengumuman atau Penggandaan, dan/atau alat Penggandaan yang digunakan untuk menghasilkan Ciptaan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait; dan/atau

  • b.    menghentikan kegiatan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan Ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta dan produk Hak Terkait.”

Perbuatan mengunduh (download) film anime pada aplikasi dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan menduplikat suatu karya yang tidak sah karena tidak memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta sehingga dapat merugikan pihak bersangkutan secara ekonomi dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 113 ayat (3) UUHC dimana "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Di dalam praktiknya, pihak developer aplikasi tersebut mengunduh anime pada salah santu webiste ilegal yang kemudian disebarkan kembali pada aplikasi yang sudah dibuatnya untuk dapat dilakukan streaming ataupun diunduh oleh pengguna aplikasi. Sejalan dengan itu maka pendistribusian anime tersebut dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Adapun konsekuensi hukum berdasarkan Pasal 113 ayat (4) UUHC yang berbunyi “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, kegiatan mengunduh anime pada aplikasi dapat diklasifikasikan sebagai PMH karena telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

  • 1.    Adanya perbuatan, dimana unsur perbuatannya adalah pembajakan film;

  • 2.    Perbuatan tersebut melawan hukum, dimana kegiatan download dan streaming pada aplikasi ilegal bertentangan dengan pasal 9 UUHC, dan melanggar hak ekonomi pencipta film;

  • 3.    Adanya kerugian, dimana yang pihak yang mengalami kerugian adalah pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait;

  • 4.    Terdapat kesalahan, baik itu karena kesengajaan atau karena kealpaan. Kegiatan download anime pada aplikasi ilegal tentu dilakukan dengan kesadaran;

  • 5.    Adanya hubungan sebab-akibat, dengan kegiatan download anime pada aplikasi ilegal mengakibatkan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait mengalami kerugian.

Sehingga pelaku download, streaming, dan pihak developer aplikasi dapat dikatakan telah melakukan PMH dan wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan ataupun bisa mendapatkan konsekuensi hukum berupa denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) atau penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Terdapat dua kebijakan yang digunakan oleh UU ITE yaitu dengan menggunakan sanksi penal (sanksi pidana berupa pengaturan untuk mengendalikan suatu tindak pidana) atau dengan sanksi nonpenal (upaya hukum preventif guna mencegah peristiwa pidana dengan mengetahui asal mula dari suatu masalah).14

Dalam UU ITE, kegiatan download dan streaming anime ilegal telah melanggar ketentuan pasal 32 yang menyatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukumdengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.” Sanksi yang berlaku untuk perbuatan di atas adalah dengan dipidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000 sebagaimana tertera dalam Pasal 48 ayat (1).

Kemudian didalam Peraturan di Jepang yang mengatur mengenai Hak Cipta (Copyright Law of Japan) memberikan hukuman yang tegas terhadap para pelanggar Hak Cipta yang tercantum pada Bab 8 ketentuan pidana Pasal 119 ayat (3) Copyright Law of Japan yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang melanggar hak cipta atau hak terkait dengan sengaja membuat suara digital atau rekaman visual untuk tujuan penggunaan pribadi setelah menerima transmisi interaktif yang melanggar hak cipta atau hak terkait suatu suatu ciptaan yang disediakan untuk umum dihukum penjara tidak lebih dari dua tahun atau denda tidak lebih dari 2,000,000 yen” atau setara dengan Rp252.000.000 dan/atau keduanya.15

Peristiwa pembajakan juga tidak dapat dihilangkan apabila pencipta atau pemegang hak cipta terkait tidak melaporkan adanya pembajakan terhadap ciptaannya. Hal ini dikarenakan UUHC berjalan atas pelaporan oleh pihak yang merasa dirugikan (delik aduan).16 Terjadi beberapa faktor yang terjadi di lapangan

seperti pencipta hanya berpikir bahwa apabila modal dari produksi ciptaannya sudah kembali maka mereka tidak mau ambil pusing terhadap briokrasi pemerintah dengan melakukan pelaporan terhadap pelanggaran hak cipta. Banyak masyarakat tidak ingin merogoh kantong mereka hanya untuk orisinalitas dalam sebuah karya dan lebih memilih untuk melakukan pembajakan dengan dalih lebih ekonomis.17

Kemudian yang menjadi permasalahan lainnya adalah, aplikasi streaming ilegal ini belum mendapat tindakan sama sekali dari pemerintah seperti yang dilakukan pemerintah terhadap website streaming ilegal yaitu dengan cara diblokir. Banyak permasalahan muncul akibat adanya situs web ataupun aplikasi streaming ilegal seperti, kerugian baik secara moral maupun ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta, terdapat virus yang dapat menyerang perangkat pengguna, sumber pendapatan negara yang rendah dari hasil hak cipta, tidak tersaringnya konten-konten film yang tidak sesuai dengan kategori penonton, hingga rusaknya citra negara di mata negara lain akibat maraknya pembajakan. Permasalahan yang serupa juga pasti terjadi terhadap pengggunaan aplikasi ilegal untuk menonton sebuah film hasil bajakan.

Jika dilihat dari KUH Perdata, UUHC, maupun UU ITE, maka konsekuensi hukum yang didapat jika melakukan kegiatan streaming dan download anime di aplikasi ilegal, maka dapat berlaku pidana penjara dan/atau denda ganti rugi. Hal serupa juga dilakukan oleh pemerintah Jepang melalui undang-undang yang berlaku disana, dimana apabila kegiatan pembajakan hak cipta sebuah karya maka akan berlaku pidana penjara dan/atau denda. Akan tetapi juga diperlukan tindakan pro-aktif oleh para pencipta dan juga lembaga yang mendaftarkan hak ciptanya agar masalah ini tidak menjadi berlarut sehingga menjadi hal yang wajar di masyarakat.

  • 3.2    Perlindungan Bagi Hak Moral dan Hak Ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta Anime Dari Kegiatan Download dan Streaming di Aplikasi Ilegal

Anime merupakan salah satu bagian dari karya sinematografi sehingga mendapat perlindungan Hak Cipta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC yang menyatakan bahwa “ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, terdiri atas karya sinematografi”. Download berarti mengambil, dimana kegiatan download film melalui aplikasi telah mengambil suatu ciptaan tanpa izin pencipta karena website tersebut tidak mempunyai kerjasama dengan pencipta atau pemegang hak cipta.

Terdapat konsep dasar dari perlindungan hak cipta bahwa hak cipta hanya berkaitan dengan wujud dari suatu ciptaan, sehingga tidak berkaitan maupun berhubungan dengan isinya. Ketika seorang pencipta merealisasikan idenya ke dalam sesuatu yang memiliki wujud maka hak cipta itu dapat dikatakan ada. Suatu ciptaan lahir karena adanya wujud dari sebuah ide. Hak cipta suatu ciptaan adalah hak yang diakui secara hukum dan tidak dapat digabung dan disamakan dengan penguasaan fisik suatu ciptaan.

Dalam hal perlindungan hak moral pencipta atau pemegang hak cipta, pada pasal 5 ayat (1) UUHC menerangkan bahwa “hak moral yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:

  • a.    tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;

  • b.    menggunakan nama aslinya atau samarannya;

  • c.    mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

  • d.    mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan

  • e.    mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan (memutarbalikkan suatu fakta atau identitas ciptaan), mutilasi ciptaan), modifikasi ciptaan (pengubahan atas ciptaan), atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

Aplikasi ilegal ini mengunggah film anime yang sedang tayang di televisi Jepang atau bahkan yang sedang tayang di bioskop dalam bentuk file rekaman kamera. Bahkan tidak menutup kemungkinan menggunakan vidio asli yang sudah dijual secara publik dengan menggunakan DVD, kemudian vidio tersebut disebarluaskan secara ilegal melalui daring. Hal tersebut sudah termasuk dalam kategori memodifikasi suatu ciptaan dikarenakan film anime tersebut sudah tidak sama seperti apa yang penciptanya inginkan terhadap anime tersebut. Tentu saja pencipta merasa dirugikan akibat dari pelanggaran hak cipta tersebut dengan cara memodifikasi ciptaannya tanpa hak dan izin.

Pencipta tentu saja tidak hanya memiliki hak moral dalam perlindungan atas ciptaannya, tentu saja juga memiliki hak ekonomi yang perlu dilindungi karena keduanya merupakan hal penting yang ada di dalam hak cipta. Pasal 8 UUHC menjelaskan bahwa "Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya." Hak-hak pencipta perlu diberikan tempat perlindungan dari perbuatan orang lain yang tanpa ijin menyebarluaskan atau menduplikat karya film anime pada aplikasi ilegal. Seorang pemegang hak cipta film memiliki suatu intellectual property yang bersifat personal dan memberikan hak-hak ekonomi dari ciptaannya.

UUHC sebagai salah satu produk hukum wajib memberikan perlindungan hukum terhadap karya film apapun karena film merupakan salah satu dari banyaknya pendukung ekonomi kreatif yang ada.18 Perlindungan hukum yang dapat diberikan negara hanya mengutamakan pemblokiran terhadap situs-situs film ilegal. Seharusnya pemerintah dapat mencari solusi bagaimana cara agar masyarakat tidak menggunakan website dan aplikasi ilegal lagi. Apabila tidak ada masyarakat yang menggunakan website film ilegal, otomatis website-website dan aplikasi-aplikasi ilegal tersebut tidak akan berkembang.

Maka kegiatan download dan streaming pada aplikasi ilegal merupakan hal yang bertentangan dengan hak-hak yang dilindungi oleh UUHC, dimana Hak Eksklusif yang diberikan oleh undang-undang terhadap para pencipta sebuah karya tidak berlaku optimal dikarenakan terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan kerugian baik secara materiil dan juga moral pencipta.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Segala perundang-undangan di Indonesia sudah memberikan berbagai macam perlindungan terhadap para pencipta dan juga konsekuensi bagi orang yang melanggarnya. Baik itu UUHC, UU ITE, KUH Perdata memberikan perlindungan yang

serupa atas pelanggaran download dan streaming secara ilegal, mulai dari memberikan pidana penjara hingga denda untuk ganti rugi. Akan tetapi pencipta ataupun lembaga yang mendaftarkan hak cipta juga perlu menjadi pro-aktif dalam melaporkan kasus-kasus ini sehingga hal ini tidak menjadi hal yang wajar di dalam masyarakat. Selain itu, kegiatan download dan streaming pada aplikasi ilegal juga bertentangan dengan hak-hak yang dilindungi oleh UUHC, dimana Hak Ekslusif yang diberikan oeh undang-undang terhadap pencipta tidak dapat berlaku secara optimal karena ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, pencipta atau lembaga yang mendaftarkan hak ciptanya dapat menggugat oknum yang melanggar hak ekslusif pencipta dengan berpedoman kepada UUHC.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Supasti Dharmawan, Ni Ketut, dkk, Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, (Bali, Swasta Nulus, 2018).

Kaligis, O.C., Teori-Praktik Merek dan Hak Cipta, (PT. Alumni, Bandung, 2012).

Jurnal

Al-Farouqi, Akhmad, Nandang Sutrisno, Budi Agus Riswandi. "The Law Of Anime: Otaku, Copyright, Fair Use, And It’s Infringements In Indonesia." Jipro: Journal of Intellectual Property 1, No. 1 (2020): 42-60.

Ariani, Relys Sandi, Luna Dezeana Ticoalu, dan Herlin Sri Wahyuni. "Mengoptimalkan Peran Badan Perfilman Indonesia: Analisis Aspek Hak Cipta terhadap Praktik Siaran Vidio Ilegal." Jurnal Kajian Pembaruan Hukum 1, No. 2 (2021): 182-227.

Azrianti, Akmi, Mardalena Hanifah, dan Ulfia Hasanah. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Seni Motif Tenun Songket Pandai Sikek Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.” Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau 3, No. 2 (2016): 1-15.

Brian L. Frye. “An Empirical Study of Law Journal Copyright Practices.” The John Marshall Review of Intellectual Property Law, No. 16 (2017): 207-231.

Carolin, A., & Harefa, B. “Urgensi Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Anak Di Indonesia Melalui Upaya Hukum Penal Dan Non Penal.” Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 8, No. 4 (2021): 525-539.

Darwance, Yokotani, dan Wenni Anggita. “Dasar-Dasar Pemikiran Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.” PROGRESIF: Jurnal Hukum 15, No. 2 (2020): 193–208.

Khofifah, L. N. “Dominasi You Tube, Whatsapp, Dan Facebook Di Indonesia: Potensi Ancaman Layanan Ott (Over-The-Top) Asing Terhadap Kedaulatan Negara”. Review of International Relations 3, No. 1 (2021): 79-94.

Ningsih, Ayup Suran, and Balqis Hediyati Maharani. "Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring." Jurnal Meta-Yuridis 2, No. 1 (2019): 13-32.

Noviandy, Robby. "Naskah Publikasi: Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Film Terhadap Situs Penyedia Jasa Unduh Film Gratis Di Media Internet." (2016): 1-10.

Paramita, Ni Made Gearani Larisa, and Nyoman Mudana. "Perlindungan Hukum Hak Cipta Film Anime Yang Diunggah Oleh Komunitas Fandub Tanpa Izin Pencipta." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, (2019): 1-18.

Sadiku, M. N., Ashaolu, T. J., Ajayi-Majebi, A., & Musa, S. M. “Digital Piracy”. International Journal of Scientific Advances 2, No. 5 (2021): 797-800.

Setiawan, Ahmad Budi. “Pengembangan Kebijakan Terhadap Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Pada Ekosistem Digital Melalui Over the Top.” Jurnal Penelitian Pos Dan Informatika 8, No. 2 (2018): 169-184.

Yamane, Toi. “Kepopuleran dan Penerimaan Anime Jepang Di Indonesia.” Ayumi: Jurnal Budaya, Bahasa dan Sastra 7, No. 1 (2020): 68-82.

Yeh, Brian T. "Illegal internet streaming of copyrighted content: legislation in the 112th Congress." Library of Congress, Congressional Research Service, 2011: 1-11.

Peraturan Perundang-Undangan

Copyright Law of Japan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1165-1176