PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
on
PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
I Kadek Dhananjaya Wijaya Pastika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i05.p17
ABSTRAK
Tujuan dibuatnya tulisan ini untuk mengkaji bagaimana bentuk pemidanaan dan pemberatan pidana khususnya pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Metode yang digunakan yakni metode penelitian hukum normative dengan menggunakan studi kepustakaan dan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa pemidanaan dan pemberatan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah diatur dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya pada Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Kemudian penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih kedepannya masih dapat diberlakukan. Hal tersebut disebabkan sanksi pidana mati hanya diterapkan pada ketentuan-ketentuan tertentu saja. Kemudian kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan yang luar biasa yang menyangkut kemanusiaan, serta adanya pembatasan mengenai kebebasan hak asasi seseorang dan pidana mati tidak lagi menjadi bentuk pidana pokok, melainkan pidana alternatif.
Kata Kunci: Pidana Mati, Kekerasan Seksual, Anak
ABSTRACT
The purpose of this paper is to examine how the forms of punishment and criminal penalties, especially the death penalty against perpetrators of sexual violence against children, are made. The method used is the normative legal research method by using a literature study and a statutory approach. The results of this paper indicate that the punishment and weighting of the death penalty against perpetrators of sexual violence against children has been regulated in the legal system in Indonesia, especially in the Law on Child Protection and Perppu Number 1 of 2016 concerning the second amendment to Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection which has been ratified through Law Number 17 of 2016. Thenthe imposition of the death penalty on perpetrators of sexual violence against children can still be enforced in the future. This is because the death penalty is only applied to certain provisions. Then sexual violence against children is an extraordinary crime that involves humanity, and there are restrictions on the freedom of a person's human rights and the death penalty is no longer a form of basic crime, but an alternative punishment.
Key Words: Death Penalty, Sexual Abuse, Children
Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahannya berlandaskan atas hukum. Artinya adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berlandaskan aturan dan norma berlaku. Adanya hukum ini tidak lepas dari aktivitas masyarakat karena kembali lagi, hukum merupakan suatu produk mengendalikan kelakuan setiap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Terlepas adanya produk
hukum di Indonesia, tidak menutup kemungkinan masih ada penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat, dan akan selalu ada karena perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Salah satu penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, adalah tindak kekerasan seksual.
Pada saat ini, kekerasan seksual menjadi suatu topik yang masih banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan masyarakat. Pelaku dari tindak kekerasan seksual ini tidak memandang kedudukan dari segi umur, status, jabatan serta pendidikan. Korban dari tindak kekerasan seksual juga tidak memandang kedudukan, bahkan yang lebih menyakitkan, korban dari kekerasan seksual ini sebagian besar dialami oleh seseorang dibawah umur (anak). Pemenuhan hak seorang anak bersifat mutlak dan semua mempunyai kesempatan setara untuk dilindungi dan bertumbuh kembang tanpa adanya pemisahan atau perlakuan diskriminatif.1 Karena nantinya, mereka ini akan menjadi ujung tombak yang sangat penting sebagai generasi penerus dalam memajukan nusa dan bangsa. Negara memiliki andil yang sangat penting bagi perlindungan dan penjaminan hak-hak anak, sebagai salah satu pemangku utama dalam membuat regulasi atau aturan yang terkait dengan perlindungan anak itu sendiri, termasuk didalamnya perlindungan dari tindak kekerasan seksual.
Dapat kita ketahui pemahaman tentang anak melalui UU Anak, yang diartikan sebagai seseorang yang masih berada dalam kandungan, atau seseorang yang usianya masih dibawah 18 (delapan belas) tahun. Berpedoman dari pengertian tersebut, anak-anak merupakan seorang yang paling rentan terkena tindakan kekerasan seksual. Asumsi dari pelaku ini memahami bahwa mereka masih lemah jika dilihat dari fisik, sehingga tidak sanggup untuk melakukan perlawanan. Kelemahan tersebut mengakibatkan kedudukannya rawan dan tidak menguntungkan. Tidak jarang mereka menjadi korban dari pelaku kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat, yang salah satunya adalah kekerasan seksual.
Anak yang menerima kekerasan seksual, telah mendapatkan perlindungan hukum yang diatur dalam beberapa aturan di Indonesia. Salah satunya adalah UU Perlindugan Anak yang disahkan tahun 2016 telah mengakomodir perlindungan hukum bagi anak yang menerima kekerasan seksual. Meskipun sudah ada aturan hukumnya, fakta di lapanan berkata lain. Data KemenPPPA mencatat, angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak terjadi pada tahun 2020 dengan 7.191 kasus. Kemudian pada tahun 2021 hingga bulan Juni, jumlah kasus meningkat hingga mencapai 1.960 kasus.2 Data tersebut memberikan gambaran bahwa masih lemahnya penegakan hukum terhadap salah satu tindak pidana ini. UU Perlindugan Anak nyatanya belum mampu untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Perlu adanya inovasi baru dengan memperbarui penegakan hukum atas permasalahan kekerasan seksual ini. Bukan tanpa alasan, kita semua tentu mengetahui bahwa posisi seorang anak merupakan posisi yang juga sangat rentan terhadap perlakuan kekerasan seksual. Karena mereka sendiri belum mengetahui apapun terkait dengan masalah
seksual, bahkan mereka cenderung akan diam, menangis dan menjerit ketika mereka menerima kekerasan seksual tersebut.3
Berdasarkan uraian tersebut, penulis merumuskan sebuah topik tulisan ilmiah dengan judul “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, yang akan mengulas bagaimana bentuk pemidanaan serta pemberatan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak serta bagaimana cita-cita kedepan (ius constituendum) adanya pemberatan pidana mati ini. Penulis juga menelusuri beberapa tulisan lain yang terkait dengan konteks pidana kekerasan seksual terhadap anak. Salah satunya adalah tulisan dari Ari Wibowo dengan judul “Kebijakan Pemberatan Pemidanaan Pada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan”. Pada intinya tulisan tersebut menjelaskan mengenai bagaimana kebijakan pemberatan pidanaa pada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak yang kemudian ditinjau dari perspektif tujuan dari adanya suatu pemidanaan. Kemudian tulisan tersebut penulis jadikan perbandingan serta semakin tertarik untuk membahas bagaimana bentuk pemidanaan dan pemberatan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak dengan menitikberatkan pada apakah pemberatan pidana khususnya pidana mati bagi pelaku kedepannya masih dapat dibenarkan atau tidak.
-
1. Bagaimana bentuk pemidanaan dan pemberatan pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak?
-
2. Bagaimana cita-cita (ius constituendum) penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak?
Tujuan dibuatnya tulisan ilmiah ini adalah untuk mengkaji bagaimana bentuk pemidanaan dan pemberatan pidana terhadap pelaku ketika ia melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak serta untuk mengkaji bagaimana cita-cita pejatuhan pidana mati kedepannya apakah masih dapat dibenarkan atau tidak. Sehingga masyarakat dapat mengetahui bagaimana pemidanaan dan pemberatan pidana terhadap pelaku serta apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku merupakan tindakan yang dapat dibenarkan atau tidak.
Penulis menggunakan metode hukum normatif dalam penulisan artikel ini. Metode normatif ini menitikberatkan pada kajian suatu norma dalam peraturan perundang-undangan, apakah norma tersebut tidak multitafsir, ada norma yang bertentangan atau apakah tidak ada pengaturannya. Kemudian metode yang digunakan dalam membuat tulisan ilmiah ini yakni studi kepustakaan serta pendekatan perundang-undangan dengan menitikberatkan pada UU Perlindungan Anak sebagai
objek kajian penulis. Selain itu, penulis juga menggunakan rujukan literatur dalam mengkaji permasalahan penulis. Literatur yang penulis gunakan tersebut berupa buku-buku, jurnal ilmiah yang penulis unduh melalui internet serta penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Bentuk Pemidanaan dan Pemberatan Pidana Yang Diberikan Kepada Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kita ketahui bersama, kekerasan seksual terhadap anak ini sudah sering kita jumpai dalam berbagai bentuk dan kualitas yang menjamur di mata masyarakat. Kasus kekerasaan seksual terhadap anak silih berganti tersaji dalam berbagai berita, baik melalui surat kabar, dan juga media telekomunikasi. Bentuk perlakuannya tidak hanya melalui fisik saja, tetapi juga non fisik yang melibatkan keadaan ekonomi, psikis maupun religi dari si korban.4 Pemberantasan tindak kekerasan seksual terhadap anak dan perlindungannya juga sebagai bentuk perwujudan dari keadilan di masyarakat. Oleh karena itulah maka perlindungan terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual harus digencarkan dalam lingkungan masyarakat.5
Hukum positif di Indonesia sudah mengatur bagaimana perlindungan bagi anak yang menerima kekerasan seksual, serta mengakomodir bagaimana bentuk sanksi yag diterima pelaku atas perbuatan pidananya. Hal itu terbukti melalui beberapa peraturan yang mengatur terkait dengan perlindungan korban dan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Pertama jika kita beracuan pada kasta tertinggi hukum pidana di Indonesia yaitu KUHP, sejatinya tak mengenal adanya kekerasan seksual, namun hanya ada istilah perbuatan yang cabul. Kekerasan seksual sendiri bisa diartikan sebagai sebuah bentuk ancaman dan pemaksaan seksual. Titik beratnya terletak pada “ancaman” (secara verbal) dan juga “pemaksaan” (melalui tindakan).6 Sejalan dengan hal tersebut, dalam KUHP itu dapat kita temukan pada Pasal 287 (tindakan persetubuhan) dan Pasal 289 (pencabulan) yang masing – masing mengatur perlindungan bagi korban tindak kekerasan seksual. dan penjatuhan pidana penjara masing-masing selama 9 tahun. Selebihnya kita dapat melihat kembali pada Pasal 288, Pasal 291 hingga Pasal 295 dan Pasal 298 yang sudah mengakomodir upaya perlinduganterhadap anak yang menerima kekerasan seksual serta bagaimana sanksi yang akan diterima oleh pelaku.
Namun tidak bisa dipungkiri permasalahan mengenai kekerasan seksual terhadap anak masih rentan terjadi disemua tempat. Masih banyak anak diluar sana yang kemudian dilanggar hak pribadinya, lalu menjadi korban tindak kekerasan seksual, baik itu melalui tindakan eksploitasi, diskriminasi dan lain sebagainya.7 Meskipun sudah diakomodir pengaturan tentang perlindungan bagi korban dan sanksi bagi pelaku
dalam KUHP, tetap saja kasusnya di Indonesia setiap tahun selalu saja bertambah dan cenderung tidak berkurang secara masif. Penambahan tersebut malah bertambah dari segi kualitasnya, yang juga mempengaruhi angka penambahan tersebut. Tidak hanya itu, pelakunya saat ini lebih cenderung berasal dari lingkungan terdekat dari korban, seperti dirumah, lingkungan sekolah dan juga pergaulan dari korban yang bersangkutan.
Atas permasalahan tersebutlah, maka Indonesia secara mengkhusus membuat pengaturan tentang perlindungan kekerasan seksual terhadap anak serta tidak luput juga pemberian sanksinya bagi pelaku. Lahirlah UU Perlindugan Anak pada tahun 2002, yang sudah mengalami perubahan pertama pada tahun 2014. Pada peraturan tersebut secara khusus mengatur tentang larangan melakukan kekerasan seksual terhadap anak, dapat kita lihat pada Pasal 76 D dan 76 E. Sanksi yang akan diterima oleh pelaku atas tindak kekerasan seksual yang ia lakukan diatur lebih lanjut pada Pasal 81 dan Pasal 82, yang dimana dalam masing-masing pasal tersebut memberikan sanksi kepada pelaku dengan pidana 5 (lima) tahun minimalnya lalu maksimalnya 15 (lima belas) tahun. Tidak hanya penjara, pelaku juga bersamaan dikenakan pidana denda paling banyak sebesar 5 (lima) miliar rupiah, mengacu pada frasa “dan” pada rumusan pasal tersebut yang menjelaskan bahwa pelaku dapat dijerat dengan pidana penjara dan denda secara bersamaan atas tindak kekerasan yang ia lakukan terhadap korban. Ketentuan pada kedua pasal tersebut juga diperkuat dengan adanya pemberatan pidana, yakni pidana pokok sebagaimana tertuang pada ayat (1) masing-masing pasal tersebut ditambah 1/3. Pemberatan pidana tersebut diberlakukan kepada pelaku yang berstatus sebagai orang tua korban, wali, pengasuh, serta tenaga kependidikan.
Adanya pemberatan pidana tersebut nampaknya belum memberikan efek apapun kepada pelaku. Direvisinya UU No. 35 Tahun 2014 melalui Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan yang kedua atas UU Perlindugan Anak sebelumnya, yang kemudian disahkan melalui UU No. 17 Tahun 2016 bukanlah tanpa suatu alasan yang kuat. Hal tersebut didasari atas meningkatnya angka kekerasan seksual terhadap anak yang dikhawatirkan bisa menganggu perkembangan dari anak itu sendiri serta juga mengganggu ketertiban dari masyarakat. Terlihat dalam peraturan ini kepentingan yang hendak dilindungi adalah kepentingan anak sebagai korban serta lingkungan masyarakat itu sendiri.8 Sanksi pemberatan pidana yang sudah dicantumkan pada peraturan perundang-undangan sebelumnya belum memberikan efek jera secara signifikan bagi pelaku, sehingga pelaku merasa masih ada celah atau kesempatan untuk terus melakukan aksinya. Alasan tersebut berkaitan dengan konsideran yang ada pada Perppu Perlindungan Anak yang sudah disahkan oleh Presiden pada tahun 2016. 9 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik 2 (dua) hal penting diberlakukannya pemberatan pidana ini. Pertama, adanya pemberatan pidana bagi pelaku ini bertujuan untuk melindungi kepentingan anak yang bersangkutan secara pribadi, baik kejiwaan maupun tumbuh kembang anak tersebut kedepannya. Kedua, adanya pemberatan ini juga bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya pelaku tindak kekerasan seksual yang bisa saja akan mengancam kenyamanan serta keselamatan anak mereka masing-masing.
Pemberatan pidana yang kemudian diatur pada Perppu tersebut mengkhusus pada Pasal 81 jo. Pasal 76 D UU Perlindungan Anak, dimana dalam pasal tersebut mengatur mengenai pantangan melakukan tindakan kekerasan seksual pada anak dalam bentuk persetubuhan atau pemerkosaan. Pemberatan tersebut berupa pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara dengan rentang waktu 10 (tahun) sampai dengan 20 (tahun) sebagaimana dicantumkan pada ayat (5) pasal tersebut. Pemberatan pidana tersebut juga berlaku bagi pelaku yang sebelumnya pernah melakukan tindak pidana dalam pasal 76D sebagaimana tercantum pada ayat (4). Pidana tambahan juga dapat dikenakan, yaitu berupa pengumuman identitas pelaku, serta pemberatan pidana tersebut diperkuat dengan diberikan pula tindakan bagi para pelaku. Tindakan tersebut berbentuk kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi. Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat lihat bahwa penetapan pemberatan pidana ini menjadi urgensi, mengingat kejahatan kekerasan seksual terhadap anak masih marak terjadi di kalangan bermasyarakat kita. Hukuman pemberatan ini diberlakukan karena pada UU Perlindungan Anak sebelumnya serta dalam KUHP tidak memberikan sanksi hukum yang setimpal terhadap korban.
-
3.2 Cita- Cita (Ius Constituendum) Penjatuhan Pidana Mati Kepada Pelaku
Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tak dapat dihindarkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak pidana ini masuk sebagai bagian dari kejahataan luar biasa (extra ordinary crime) yang semakin meningkat dari waktu dan bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak serta keamanan dalam masyarakat. Dikategorikan demikian karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan, yang dimana hal tersebut diterangkan melalui pasal 9 UU Pengadilan Hak Asasi Manusia.10 Adanya tindak kekerasan seksual terhadap ini secara langsung memberikan dampak, tidak hanya bagi korban yang mengalami saja, namun juga berdampak bagi ketertiban dan keamanan masyarakat.
Pidana mati adalah salah satu pemidanaan yang diberikan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Pidana mati ini dilakukan dengan cara mengambil jiwa dari seseorang yang sudah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Pada dasarnya, pidana ini diterapkan sebagai sarana pemidanaan yang paling akhir dan diberlakukan bagi mereka yang terlibat atau melakukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).11 Pidana mati merupakan hukuman terberat sebagaimana yang telah dituliskan dalam pasal 10 KUHP dan ditambah lagi kasus-kasus tindak pidana terhadap anak terkait dengan perlindungan pada anak sebagai korban belum terlaksana secara konkrit.12 Maka aparat penegak hukum haruslah cermat dan melihat perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak kekerasan seksual, apakah memang sudah memenuhi ketentuan untuk bisa dijatuhkan pidana mati terhadap pelaku.
Bersamaan dengan diberlakukannya pidana mati dalam sistem hukum yang ada di Indonesia termasuk UU Perlindungan Anak dalam menanggulangi pelaku kekerasan seksual pada anak, pada kenyataan di lapangan masih ada elemen masyarakat yang memperdebatkan diberlakukannya pidana mati tersebut. Pidana mati merupakan pidana yang berat dan menyangkut kehidupan seseorang, jadi tidak heran menimbulkan perdebatan di masyarakat. Masyarakat yang mendukung diberlakukannya pidana mati berasumsi bahwa pidana mati ini masih harus dipertahankan di Indonesia, namun hanya dikhususkan pada kejahatan yang sifatnya luar biasa seperti penjelasan sebelumnya. Selain itu, pihak yang pro juga berpikir dengan diterapkannya hukuman mati bagi pelaku, bisa menimbulkan efek jera (detteren effect), sehingga dapat membantu mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama. 13 Kemudian bagi yang tidak mendukung hukuman mati, mereka sudah tentu berpikir bahwa itu akan melanggar hak asasi dari si pelaku itu sendiri, seperti yang sudah termaktub dalam Pasal 28 A sampai 28 I UUD 1945. Perdebatan tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, apakah pengaturan pidana mati ini termasuk kepada pelaku kekerasan seksual pada anak sejatinya bisa diberlakukan atau tidak. Pertama-tama kita perlu juga memperhatikan korban dari pelaku tindak kekerasan seksual pada anak, sangat memungkinkan si korban ini akan mengalami trauma yang sangat mendalam terhadap dirinya dan ketika perbuatan pelaku ini sampai mengakibatkan korban meninggal dunia, artinya pelaku juga secara tidak langsung merenggut hak hidup dari korban. Maka para pihak yang keberatan terkait sanksi penjatuhan pidana mati atas dasar melanggar HAM perlu diingat kembali, bahwa HAM tidak boleh dianggap remeh begitu saja. Pemahaman yang sepenggal tentang klaim terjadinya pelanggaran HAM yang disebabkan oleh penjatuhan pidana mati, tentu bisa menimbulkan penafsiran yang tidak benar.14
Terkait dengan penerapan sanksi pidana mati, sebenarnya sudah sesuai prosedur dan tepat sasaran. Hal tersebut dikarenakan sanksi pidana mati tidak diberlakukan dalam keseluruhan sanksi dalam sistem hukum di Indonesia, hanya melainkan diterapkan pada beberapa ketentuan-ketentuan tertentu saja (termasuk kekerasan seksual terhadap anak) serta harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Jadi dapat kita ketahui bahwa sanksi pidana ini pasti sudah diuraikan secara eling dan hati-hati.15 Sejalan dengan itu, kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia sudah bukan kejahatan yang biasa, melainkan kejahatan yang bersifat extra ordinary crime seperti penjelasan diawal sebelumnya yang menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan. Disamping itu, keadilan yang dicapaii dengan adanya pidana mati ini adalah keadilan prosedural dan substantif. Substantive Justice sendiri berkaitan dengan persoalan hukum dari pelaku dengan seluruh pertimbangan dari majelis hakim dan mengacu pada peraturan terkait, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana mati. Kemudian Prosedural Justice sendiri berkaitan dengan prosedur yang dilewati dalam penyelesaian suatu perkara. 16Atas dasar tersebut, kedepannya sanksi pidana mati ini masih dapat
diterapkan dan harapannya dapat memberikan keadilan bagi keluarga korban serta sebagai upaya pengembalian ketertiban dalam lingkungan masyarakat.
Kemudian kita semua pasti tau bahwa negara Indonesia adalah negara yang sangat memuliakan adanya perlindungan hak asasi ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dicantumkan perlindungan HAM dalam Konsitusi UUD 1945 serta adanya Undang-Undang HAM di Indonesia, sebagai bentuk tanggungjawab moral negara kita yang juga sebagai salah satu negara yang menghormati adanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau jika dalam bahasa Indonesia disebut Deklarasi Universal HAM atau DUHAM. Deklarasi ini mengatur tentang perlindungan hak asasi yang termuat dalam beberapa pasal didalamnya, termasuk pasal yang mengatur tentang pembatasan dari HAM itu sendiri. Hal itu dapat kita lihat pada Pasal 29 ayat (2) deklarasi ini yang pada intinya mengemukakan bahwa jika ada penetapan peraturan perundang-undangan terkait, maka hak asasi seseorang dapat dibatasi, yang tujuannya juga untuk menjamin pengakuan hak asasi orang lain. 17Artinya disini adalah hak asasi dari seseorang dapat dibatasi, selama sudah diatur melalui UU yang berlaku, dengan tujuan untuk menjamin pengakuan atas hak asasi orang lain.
Masih berkaitan dengan penjelasan diatas, bentuk negara kita adalah negara hukum sesuai dengan Konstitusi UUD RI 1945. Konsekuensi dari suatu negara yang berbentuk negara hukum, maka negara tersebut mengakui adanya Hak Asasi ini. Dapat kita lihat sendiri pada konsitusi kita, mengatur secara terperinci mengenai HAM pada Pasal 28A sampai Pasal 28J. Khusus berkaitan dengan bentuk pidana mati jika dilihat, maka akan bertentangan dengan hak hidup seseorang sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1). Kendati demikian, meskipun hak hidup seseorang sudah termaktub dalam rumusan tersebut, kita perlu merujuk kembali pada rumusan pasal 28J konstitusi kita. Rumusan pasal tersebut lebih mengkhusus pada ayat (2) sudah termaktub, bahwa setiap orang dalam menjalankan hak asasinya wajib tunduk pada pembatasan yang diatur dalam UU, agar bisa menjamin hak orang lain demi keadilan bersama. Sejalan dengan penjelasan sebelumnya pada Pasal 29 DUHAM yang juga mengatur tentang pembatasan hak asasi seseorang, memberikan makna bahwa Indonesia tidak menganut asas kemutlakan HAM.18 Selain itu dirumuskannya pembatasan ini sebagai pasal penutup, memberikan kita penafsiran bahwa rumusan pasal yang ada sebelumnya, harus tunduk pada pembatasan yang termuat dalam Pasal 28 J UUD 1945. Secara tidak langsung memberikan makna, bahwa terdapat pertanggungjawaban bagi yang melanggar HAM dan itu berkaitan dengan pemberlakuan pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia.19 Jadi pemberlakukan pidana mati terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak masih bisa diberlakukan sesuai dengan penjelasan Pasal 28J UUD RI Tahun 1945.
Indonesia juga merumuskan Undang-Undang HAM yang sifatnya lex specialis atau secara khusus mengatur terkait HAM. Rincian terkait dengan hak hidup terumuskan pada Pasal 9 peraturan ini. Rumusan dalam pengaturan ini tidak jauh berbeda, karena mengadopsi langsung dari Deklarasi Universal HAM. Namun pengaturan ini juga memberikan batasan terhadap hak untuk hidup tersebut,
sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 69, 70 dan Pasal 73. Ketiga rumusan pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa setiap warga negara harus menghormati hak indiividu lain dan harus turut pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, sebagai landasan penghormatan terhadap hak asasi individu lain demi kepentingan bangsa. Berdasarkan hal tersebut, maka kita dapat mengartikan bahwa penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak yang masih menjadi pro dan kontra terkait dengan perampasan hak hidup ini masih tetap dapat ditegakkan.
Selanjutnya, penjatuhan pidana mati ini juga mengalami perubahan dalam RUU KUHP di Indonesia kedepannya. Pidana mati dalam RUU KUHP tersebut tidak lagi dimasukkan kedalam bentuk pidana pokok seperti KUHP yang masih berlaku saat ini, melainkan pidana yang bersifat khusus hanya pada delik tertentu yang diatur dalam undang-undang.20 Artinya bahwa hukuman mati sudah bukan merupakan suatu keharusan (imperatif) ketika hakim menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana. Hal tersebut sudah termaktub dalam rumusan Pasal 67 RUU KUHP yang merumuskan bahwa pidana mati diancamkan secara alternative. Kemudian dipejelas dalam Pasal 98 yang memberikan pemahaman bahwa pidana mati diberlakukan sebagai upaya yang paling akhir. Senada dengan penjelasan tersebut, maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih bisa diberlakukan, sebab termasuk dalam pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang serta diberlakukan secara alternatif.
Kemudian, Mahkamah Konsitusi juga pernah menetapkan bahwa penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut terjadi pada perkara pengujian Undang-Undang Dasar khususnya Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) terhadap Undang-Undang Narkotika dengan Putusan Nomor: 23/PUU-V/2007. Putusan tersebut memberikan penjelasan bahwa Mahkamah Konstitusi saat itu menolak permohonan pemohon yang menginginkan agar penjatuhan pidana mati tidak hanya dalam perkara narkotika saja, tapi dalam seluruh sistem hukum yang ada di Indonesia itu dihapuskan. Meskipun menolak permohonan dari pemohon, namun Mahkamah Konstitusi memberikan pengarahan agar nantinya putusan pidana mati kedepannya, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:
-
1. Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan alternatif, dan bukan lagi pidana pokok;
-
2. Pidana mati dapat diberlakukan dengan melalui masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, dan jika terpidana berkelakuan baik selama masa percobaan, maka dapat diringankan dengan pidana lainnya (penjara seumur hidup atau penjara selama 20 (dua puluh) tahun);
-
3. Kepada pelaku yang merupakan anak yang belum dewasa, pidana mati tidak diberlakukan;
-
4. Jika terpidana merupakan perempuan hamil atau seorang yang mengidap penyakit jiwa, maka eksekusinya akan ditunda sampai perempuan hamil itu melahirkan dan yang mempunyai penyakit jiwa dinyatakan sembuh.21
Atas dasar putusan tersebut, kita dapat melihat penjatuhan pidana mati yang terumuskan dalam Perppu tersebut, yakni Pasal 81 jo. Pasal 76 D UU Perlindungan Anak yang dimana pidana mati ini dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara dengan rentang 10 sampai dengan 20 tahun. Selain itu, dalam penjatuhan
pemberatan pidana mati terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak juga harus memenuhi syarat sebagaimana termaktub dalam rumusan Pasal 81 tersebut, yang dimana mengakibatkan korban meninggal dunia adalah salah satu syarat bisa diberlakukannya pidana mati terhadap pelaku. Oleh karenanya, menjadi tugas yang penting bagi para penegak hukum untuk membuktikan terpidana apakah memang benar atau tidak ia melakukan kesalahannya dengan melalui proses pengadilan dan pembuktian yang jelas atas dasar undang-undang yang berlaku. Selain dari proses pengadilan dan pembuktian berdasarkan undang-undang, penjatuhan pidana mati juga harus memperhatikan beberapa hal berikut:
-
1. Hukuman mati diberlakukan selektif dan telah memiliki kekuatan hukum tetap;
-
2. Terpidana didampingi oleh rohaniwan sejak putusan berkekuatan hukum tetap sampai waktu eksekusi tiba;
-
3. Permintaan terpidana mati yang terakhir harus dipenuhi oleh negara;
-
4. Hukuman dilakukan seeksklusif mungkin tanpa membuat terpidana mengalami penderitaan kembali;
-
5. Jenazah terpidana diperlakukan sama tanpa ada perbedaan dengan yang lainnya.22
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Pemberlakuan pidana mati terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak masih menimbulkan beberapa perdebatan bagi beberapa pihak. Pidana mati dalam penerapannya di Indonesia masih tetap diberlakukan, mengacu kepada KUHP sekarang yang menetapkan pidana mati sebagai pidana pokok, serta melalui Perppu tentang Perlindungan Anak yang sudah disahkan melalui UU No. 17 Tahun 2016. Meskipun penjatuhan pidana mati ini masih menuai protes yang menyatakan bahwa pidana mati dapat melanggar hak asasi seseorang terkhusus pada hak hidup dari pelaku, penjatuhan pidana mati ini sejatinya masih dapat diberlakukan. Mengingat sanksi pidana mati ini hanya diberlakukan pada ketentuan-ketentuan tertentu saja serta kekerasan seksual sendiri merupakan satu kejahatan luar biasa yang menyangkut kemanusiaan. Pengaturan hukum baik melalui ruang lingkup internasional dan nasional, terdapat pembatasan terhadap hak asasi seseorang demi kepentingan hak bagi orang lain atas dasar tujuan bersama. Selain itu, dalam sistem hukum nasional di Indonesia juga mulai menerapkan penjatuhan pidana mati bukan lagi sebagai pidana pokok, tapi sebagai pidana alternatif dan merupakan jalan terakhir. Bersamaan dengan itu, penjatuhan pidana mati khususnya pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang, serta memperhatikan beberapa hal sebelum menjatuhkan putusan pidana mati bagi pelaku. Maka dari itu, peran aparat penegak hukum disini juga penting untuk membuktikan terpidana apakah memang benar atau tidak ia melakukan kesalahannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dwi Yuwono, Ismantoro. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. (Yogyakarta, Medpress Digital, 2015)
Hatta, Muhammad. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime). (Lhokseumawe, Unimal Press, 2019)
Jurnal Ilmiah
Arief, Amelia, “Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana”, Jurnal Kosmik Hukum 1, No. 19, (2019): 91108. (DOI: 10.30595/kosmikhukum.v19i1.4086)
Arfa, Nys., Nur, Syofyan, dan Monita, Yulia, “Tinjauan Yuridis Penerapan Dan Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedar Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, Jurnal Sains Sosio Humaniora 4, No. 2, (2020): 526-537. (DOI:
https://doi.org/10.22437/jssh.v4i2.10999)
Arliman S, Laurensius, “Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Berkelanjutan”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19, No. 2, (2017): 305-326
Efendi, Roni, “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam”, Jurnal Ilmiah Syari’ah 16, No. 1, (2017): 126-143. (DOI:
http://dx.doi.org/10.31958/juris.v16i1.965)
Hana Sitompul, Anastasia, “Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Indonesia”, Jurnal Lex Crimen 4, No. 1, (2015): 46-56. (DOI:
Indrasanta, Husna, Lenny, “Tinjauan Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif HAM”, SCIENTA JOURNAL: Jurnal Ilmiah Mahasiswa 1, No. 20, (2019): 1-16. (DOI:
https://doi.org/10.14710/jphi.v1i1.78-92)
Ludiana, Tia, “Eksistensi Pidana Mati Dalam Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Terhadap Pidana Mati Dalam RUU KUHP)”, Jurnal Litigasi 21, No. 1, (2020): 6079. (DOI: http://dx.doi.org/10.23969/litigasi.v21i1.2394)
Latumaerissa, Denny, “Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Sasi 20, No.1, (2014): 8-18. (DOI:
https://doi.org/10.47268/sasi.v20i1.341)
Suseni, Komang Ayu dan Gami Sandi Utara, I Made, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu 1, No. 1, (2017): 19-28.
Savitri, Niken, “Pembuktian Dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak”, Jurnal Bina Mulia Hukum 4, No. 2, (2020): 276-293. (DOI:
https://doi.org/10.23920/jbmh.v4i2.323)
Supriyanto, Joko, “Pidana Mati Sebagai Sarana Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia”, Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan 4, No. 3, (2015): 345-358.
Warih, Anjari, “Penjatuhan Pidana Mati Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Widya Yustisia 1, No. 2, (2015): 107-115.
Wibowo, Ari, “Kebijakan Pemberatan Pemidanaan Pada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan”, Jurnal Yuridis 4, No.1 (2017): 1-14. (DOI: http://dx.doi.org/10.35586/.v4i1.123)
Zahara Lubis, Elvi, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual” JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 9, No. 2, (2017): 141-150. (DOI: https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8242)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297).
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99).
Sumber Lain
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 23/PUU-V/2007
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Website
Raynaldo Ghiffari Lubabah, ‘KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi Sebanyak 7.191 Kasus”, diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus.html pada 20 Oktober 2021
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1129-1140
Discussion and feedback