DUDUKAN ILEGAL OLEH DESA ADAT DI BALI

Anak Agung Istri Widyasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i05.p15

ABSTRAK

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai dudukan ilegal serta untuk mengetahui penegakan hukum dari dudukan ilegal oleh desa adat. Artikel ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil studi menunjukkan bahwa segala bentuk keputusan Desa Adat wajib didaftarkan pada Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali. Hukum Dasar ialah tolak ukur produk hukum untuk pungutan uang kepada penduduk oleh Desa Adat wajib difasilitasi oleh Dinas PMA Provinsi Bali. Apabila Hukum Dasar tersebut tidak mematuhi ketentuan regulasi baik yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali jo Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, maka Hukum Dasar yang telah dipakai untuk memungut uang kepada penduduk adalah dudukan ilegal. Berikaitan sanksi Pidana Pungutan liar sama sekali tidak tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Jo Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, maka upaya hukum yang dilakukan penduduk mengacu pada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang Atau Barang serta ketentuan-ketentuan yang tertuang di KUHP.

Kata Kunci: Dudukan Ilegal, Penduduk, Desa Adat.

ABSTRACT

The writing of this article aims to find out the legal arrangements regarding illegal stands and to know the enforcement of the law form illegal stands by indigenous villages. This article is a type of normative legal research with the approach used, namely the statutory approach and the conceptual approach. The results of the study showed that all forms off customary village decision must be registered with the Indigenous People Promotion Office (PMA) of Bali Province. Basic Law is a benchmark of legal product for the levy of money to residents by Indigenous Village must be facilitated by the PMA Office of Bali. If the Basic law does not comply with the good regulation provisions contained in Bali Provincial Regulation No. 4 of 2019 concerning Indigenous Villages in Bali Jo Governor Regulation No. 34 of 2019 concerning Financial Management of Indigenous Villages in Bali, then the Basic Law that has been used to collect money to the population is an illegal stand. Related to the criminal sanctions if illegal levies are not contained at all in the Regional Regulation of Bali Province No. 4 of 2019 Jo Regulation of the Governor of Bali Province No. 34 of 2019 concerning the Financial Management of Indigenous Villages in Bali, then the legal efforts made by residents refer to the provisions of Article 8 of law No. 9 of 1961 concerning the Collection of Money or Goods and the provisions contained in the Criminal Code.

Keywords: Illegal Stands, Residents, Indigenous Villages.

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang

Desa merupakan bagian utama negara, karena desa merupakan tempat berbagai kebutuhan yang membantu kemajuan negara, dimana jika desa berkembang pesat,

negara akan ikut mendapat keuntungan dalam kemajuan tersebut dari desa.1 Pendapat Sutardjo Kartohadikusumo menyatakan bahwa desa merupakan unsur yang sah dimana suatu daerah bertempat tinggal yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Desa mengenai istilah desa adat ialah mengarah pada kalangan tradisional.2 Sedangkan desa adat awalnya disebut hanya sebagai ‘desa’. Dengan dibangunnya desa lagi oleh pemerintah Belanda, yang mempunyai tugas khas dalam mengurus administrasi pemerintahan di tingkat bawah maka terjadi kerancuan makna ‘desa’ sehingga desa yang dengan berbagai kewajibannya diberi istilah ‘Desa Adat’ dan ‘Desa Dinas’ atau ‘Desa Administrasi’. Desa dinas berkuasa mengurus mengenai administrasi kenegaraan sedangkan desa adat lebih kepada keagamaan serta kebudayaan.3 Desa adat ialah warisan organisasi kepemerintahan dari masyarakat lokal yang diakui serta dirawat supaya dapat beroperasi dalam pengembangan ketenteraman serta identitas budaya lokal.4 Keberadaan desa adat secara resmi dinyatakan dalam Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali yang dalam Pasal 1 huruf e disebutkan bahwa:

“Desa Adat merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Bali yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dengan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.5

Eksistensi pengakuan Desa Adat sebagaimana diatur dalam UUDNRI 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan masyarakat desa adat dan hak-hak tradisional sepanjang hidup serta sesuai peningkatan masyarakat, terlebih lagi prinsip negara kesatuan Republik Indonesia dalam UU. Maka itu menyiratkan keberadaan masyarakat hukum adat diperlukan tetap untuk diakui serta diberi jaminan keberlangsungan hidup di negara Republik Indonesia. Begitu pula dalam UUDNRI 1945 Pasal 281 ayat 3 menyatakan:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”

Dari substansi dalam UUDNRI 1945 terhadap keberadaan Desa Adat, menurut peraturan dibawahnya yaitu UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang telah menyediakan eksistensi mengenai desa serta desa adat.6 UU Desa No. 6 Tahun 2014 menyatakan eksistensi desa adat mempunyai pembangunan, uang desa, fungsi

pemerintahan dan mendapatkan fasilitas serta instruksi pemerintahan daerah sebagaiamana ditegaskan Pasal 1 dalam ketentuan umum yaitu diantaranya:

“Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang dapat wewenang mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak-hak tradisional yang dihormati di suatu sistem pemerintahan NKRI”

Dalam angka 15 menyebutkan:

“Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sabagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah”

Demikian juga dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, dari penjelasannya menyebutkan harus dikuatkannya jaminan hidup masyarakat hukum Adat serta hak tradisional sebagai kearifan lokal, sebagaimana sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 Pasal 236 ayat 4. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas sangat jelas dan terang eksistensi atau keberadaan tentang desa adat yang telah diakui UU maupun peraturan dibawahnya. Dari pengakuan tersebut, sejak disahkannya Perda No. 4 Tahun 2019 tentang desa adat, dari suatu penelitian di desa adat Bali terdapat adanya pungutan liar atau dudukan uang kepada masyarakat asli ataupun pendatang besaran serta dan objek pungutan desa yang di tentukan oleh keputusan bendesa adat yang didahului Paruman atau Rapat bersama dengan Pengurus/Prajuru Banjar Adat sehingga Keputusan Bendesa tersebut dianggap sah sebagai hukum dasar dari sebuah pengumpulan Uang/Pungutan Desa. Akan tetapi dalam keadaan di masyarakat tidak ada larangan Desa Adat melalui keputusan yang telah dibuat apakah keputusan tersebut dituangkan dalam Pararem atau Keputusan Bendesa Adat yang ditujukan kepada Krama Asli atau Krama/Penduduk Pendatang yang melakukan usaha di wilayah Desa Adat yang besar dan objek dari pungutan yang telah ditentukan dan dilakukan secara berkelanjutan. luar ketentuan perundang-undangan dikualifikasikan sebagai pungutan liar. Hanya saja adanya kebijakan mengenai sanksi pidana berkaitan pungutan uang yang tidak sah (ilegal) yang sama sekali sanksi pidananya tidak tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Jo Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali.

Pungutan liar/dudukan ilegal yang dilakukan oleh Desa Adat tentu adalah Keputusan dari sebuah Paruman atau hasil rapat haruslah atau wajib mengikuti regulasi di Perda Prov Bali No. 4 Tahun 2019 yang akan diulas dalam artikel ini sedangkan jika pungutan yang dilakukan oleh Petugas Desa Adat yang bersifat memaksa tentu akan berhadapan dengan Hukum Pidana jika Warga yang berkeberatan mengadukan permasalahan tersebut sebagai delik aduan maka Tim Saber Pungli dari Aparat yang berwenang apakah dari Kepolisian ataukah Kejaksaan akan mengambil tindakan hukum. Berkaitan hal tersebut, maka Desa Adat haruslah cermat dengan prinsip kehati-hatian terhadap pungutan yang dilakukan dan apabila ada kesalahan baik berupa pelanggaran atau perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan, baik dilakukan oleh Petugas Desa maupun secara struktural dari Pengurus Desa Adat setidak-tidaknya akan berimplikasi secara pidana terlebih-lebih adanya dibentuknya saber pungutan liar yang telah ada di Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Saber Pungli.

Dilematis desa adat sebagai subyek hukum tentulah sangat berat untuk menjaga adat-istiadat sebagai penjaga kebudayaan sebab adat-istiadat yang juga merupakan masyarakat. Supaya pemberdayaan desa adat menjadi tertib maka dibutuhkan

anggaran yang besar sehingga peran Pemerintah Daerah menjadi salah satu peran utama untuk menjaga keseimbangan dalam pemberdayaan masyarakat desa adat tersebut. Ketidakmampuan desa dalam mengandalkan pendapatannya dalam urunan warga asli serta aset-aset yang menjadi hak milik desa (Padruwen Desa). Pengertian padruwen desa menurut Perda No. 4 Tahun 2019 Tentang Desa adat adalah keseluruhan harta kekayaan milik desa adat yang memiliki dua sifat yaitu immateriil serta materiil. Padruwen desa adat dalam sifat immaterial merupakan nilai tradisi, seni, adat serta budaya. Sementara itu padruwen desa adat materiil ialah sumber daya alam, tanah, sumber ekonomi dari hak tradisional desa adat, kawasan suci serta harta kekayaan materiil yang lainnya.7 Sedangkan yang lebih bersifat pasif seperti kuburan, Tempat-tempat Suci, Gedung-Gedung/Wantilan sehingga alokasi Anggaran yang diberikan oleh Pemeritah Daerah dapat difungsikan semaksimal mungkin oleh Desa Adat di dalam menjaga kelesatarian adat istiadat dan budaya sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang peraturan dibawahnya.

Pungutan liar atau dudukan ilegal oleh desa adat yang telah dipaparkan diatas tersebut sangat menarik untuk diteliti, maka karenanya artikel ini ditulis dengan judul “Dudukan Ilegal Oleh Desa Adat”. Sebelumnya telah terdapat dua penelitian serupa yang membahas mengenai pungutan liar/ dudukan ilegal kepada penduduk. Pertama dengan judul penelitian “Pungutan Dana Krama Tamiu Bagi Penduduk Pendatang Di Klungkung Bali” yang ditulis Hasan8, dimana penelitian ini fokus utama mengenai penarikan pungutan uang yang dilakukan setiap bulan oleh petugas keamanan banjar yakni pecalang, kemudian penelitian selanjutnya dengan judul “Penegakan Hukum Tindak Pidana Pungutan Liar Yang Dilakukan Desa Adat Ditinjau Dari Perspektif Hukum Progresif” yang ditulis oleh Sri Mahendra9, penelitian ini membahas mengenai penyelesaian masalah yang terjadi diluar ketentuan perundang-undangan sehingga ditinjau berdasarkan penegakan hukum progresif dalam menangani tindakan pungutan liar yang dilakukan oleh desa adat tersebut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dilihat dari uraian diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Apakah yang menjadi indikator untuk menentukan legalitas dari dudukan oleh desa adat?

  • 2.    Siapakah pihak yang berwenang untuk membatalkan produk hukum yang mengatur dudukan ilegal oleh desa adat?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel bertujuan mengetahui aturan hukum tentang pungutan liar/dudukan ilegal oleh desa adat dan penengakan hukum dari pungutan liar/dudukan ilegal oleh desa adat serta memperoleh pengetahuan berkaitan dengan penerapan

Undang-Undang atau regulasi dari Undang-Undang sebagai peraturan dibawahnya atau sebagai peraturan pelaksanaannya.

  • II.   Metode Penelitian

    2.   Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan ialah metode penulisan normatif yang mengarahkan kepada pustaka atau bahan sekunder belaka10. Penulisan pada artikel memakai pendekatan perundang-undangan berkaitan dalam permasalahan yang dikaji dalam penulisan jurnal ini yakni Perda No. 4 Tahun 2019 serta UU No. 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang Atau Barang sebagai bahan hukum primer. Adapun bahan sekunder yakni asas-asas serta kepustakaan terkait dudukan ilegal oleh desa adat. Selain itu memakai juga prinsip serta teori ilmu hukum dan gagasan-gagasan yang menghasilkan suatu konsep serta asas-asas hukum yang relevan sebagai pemecahan dalam permasalahan yang dihadapi11. Metode kepustakaan (library research) dilangsungkan dengan cara menggabungkan bahan hukum dari yang terdahulu dan memiliki kemiripan dalam pemecahan permasalahan sehingga dapat dijadikan penulisan sebagai bahan penunjang.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Indikator Untuk Menentukan Legalitas Dari Dudukan Oleh Desa Adat

Hukum sebagaimana dimaksud dalam Hukum Positif yaitu sebagai instrument ketentuan dalam jumlah yang tidak terbatas dari alam kaidahnya. Di situ keseluruhan ketentuan berkaitan satu sama lain dengan tujuan menjadi satu kesatuan, karena itu seluruhnya menjadi masuk akal serta tidak melawan satu sama lain.12

Dasar hukum ialah suatu asas bagi perilaku subjek hukum perorangan maupun badan hukum. Hal yang telah dinyatakan di UUDNRI 1945 Pasal 1 ayat 3 menegaskan kekuasaan negara dijalankan atas dasar yang baik dan adil. Dasar hukum seperti asas maupun kaidah hukum dapat menjadi pembentukan perundang-undangan dari yang terbaru maupun dibawahnya segamaimana dalam hirarki. Begitu pula dasar hukum pembentukan Perda, dasar hukum yang dimaksud ialah mengacu pada asal-usul arahan dalam pembutan pengaturan itu terdapat dari peraturan daerah ataupun asal kewenangan dipunyai lembaga dalam pembuatan produk peraturan tersebut.

Penanganan fungsi, tugas serta kewenangan dari lembaga negara wajib mempunyai dasar hukum dan tak melawan dari kebajikan dan ketentuan yang berlangsung. Maka dasar hukum mendapat ketentuan dengan peraturan yang berlaku dalam menyatakan arahan ataupun pembatasan perbuatan hukum.

Penduduk di daerah Bali digolongkan menjadi krama desa, krama tamiu, serta tamiu ialah penduduk yang tidak beragama hindu dan bukan anggota dari desa pakraman.13 Pengaturan mengenai krama tamiu atau penduduk pendatang mengacu

pada suatu daerah di Bali, berdasarkan koordinasi dari desa adat dengan desa dinas mengenai pencatatan serta penerbitan data penduduk pendatang di Bali.14 Penyelenggaraan desa adat harus mengetahui asal-usul penduduk di wilayah desa adat. Pengaturan krama tamiu telah dituang dalam aturan desa adat serta hasil rapat desa atau pararem. Pararem merupakan aturan desa yang berasal dari keputusan rapat adat, serta harus dilaksanakan seluruh krama desa.15

Penyebutan penduduk di daerah Bali dalam perspektif Pasal 1 angka 10, 11 dan 12 Perda No. 4 Tahun 2019 dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum menyebutkan yaitu krama desa adat adalah warga masyarakat di Bali beragama hindu yang mipil serta tercatat sebagai anggota di desa adat setempat. Krama tamiu merupakan warga masyarakat di Bali beragama hindu yang tidak mipil, akan tetapi tercatat dalam desa adat setempat. Sedangkan pengertian tamiu adalah orang yang bukan krama desa adat dan krama tamiu yang berada di wewidangan desa adat untuk sementara serta tercatat di desa adat setempat. Berdasarkan pengertian krama tamiu terdapat istilah “tercatat” yang merupakan suatu pencatatan secara administrasi kependudukan, akan tetapi tidak teregistrasi menjadi krama desa adat.16 Sedangkan dalam UU RI No. 24 Tahun 2013 perubahan dari UU Administrasi Kependudukan No. 23 Tahun 2006, diataranya berbunyi:

Dalam angka 2 Pasal 1 berbunyi:

“Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”

Angka 8 Pasal 1 berbunyi:

“Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan

oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”

Angka 15 Pasal 1 berbunyi:

“Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.”

Angka 17 Pasal 1 berbunyi:

“Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.”

Dari pengertian istilah Penduduk yang terdapat di Perda No. 4 Tahun 2019 maupun yang termuat UU RI No. 24 Tahun 2013 Tentang perubahan UU Administrasi Kependudukan No. 23 Tahun 2006. Sehingga penulis lebih berorientasi kepada Istilah Penduduk saja, dimana cakupan pengertiannya adalah seseorang yang telah memiliki identitas diri yang sah maupun nantinya selaku obyek pungutan oleh Desa Adat.

Dalam perspektif Desa Adat sesuai ayat 1 Pasal 65 Perda No. 4 Tahun 2019 menyebutkan:

“Anggaran Pendapatan desa adat yang dimuat Pasal 64 huruf a berasal dari:

  • a.    Pendapatan asli desa adat

  • b.    Hasil pengelolaan padruwen desa adat

  • c.    Alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi Bali

  • d.    Bantuan pemerintah kabupaten atau kota

  • e.    Bantuan pemerintah pusat

  • f.    Hibah dan sumbangan atau dana punia pihak ketiga yang tidak mengikat g. Pendapatan lainnya yang sah”

Sedangkan dalam Pasal 65 ayat (3) menyebutkan:

“Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, e dan huruf g sesuai dengan ketentuan Peraturan Gubernur “ Peraturan Gubernur yang dimaksud adalah Perda No. 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Di Bali. Didalam Pasal 13 menyebutkan:

Ayat (1) menyebutkan:

“Pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g merupakan pendapatan yang diperoleh Desa Adat, terdiri atas:

  • a.    Dudukan dari Krama Tamiu dan Tamiu; dan

  • b.    Hasil kerjasama dengan pihak ketiga di luar padruwen Desa Adat.”

Ayat (2) menyebutkan:

“Tata cara pengumpulan dan penggunaan dudukan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a di atur dengan Pararem Desa Adat dan difasilitasi oleh Perangkat Daerah yang menangani Desa Adat”

Di dalam Perda No. 4 Tahun 2019 Jo Pergub Bali No. 34 Tahun 2019, secara inplisit secara tegas dituangkan aturan yang menyebutkan dudukan atau pungutan diatur dalam pararem dan dengan kalimat yaitu difasilitasi oleh pengurus daerah yang mengurus desa adat. Pengurus yang diartikan baik dalam Perda maupun Pergub tersebut telah dibentuk yang namanya “Dinas Pemajuan Masyarakat Desa Adat (PMA) Provinsi Bali” yang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Bali.

Kembali kepada Hukum Dasar yang dijadikan dasar di dalam bertindak melaksanakan pungutan uang kepada Penduduk, jika suatu Desa Adat dengan mendasarkan kepada Rapat Agung/Rapat Umum Warga Desa Adat harus dituangkan di dalam Pararem atau semacam peraturan pelaksanaan atau serupa dengan Pergub tapi kualifikasi jelas beda hanya Penulis berpendapat sejenis tetapi tidak sama sehingga tanpa Pararem Desa Adat tidak boleh melakukan pungutan uang kepada Penduduk. Jika dikaji lebih mendalam dari Pergub No. 34 Tahun 2019 tersebut secara tegas menyebutkan kata ‘Dan’ berarti Pararem saja tidak cukup melakukan pungutan uang karena ada tambahan kata ‘Difasilitasi’ oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat sehingga pengertian ekplisitnya adalah bahwa Pararem sebagai dasar pungutan dimana pararem tersebut wajib difasilitasi oleh dinas pemajuan masyarakat adat atau PMA provinsi Bali.

Merujuk pada Pasal 13 Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tersebut tidak dijelaskan pengertian dari kata difasilitasi dan Penulis dengan mendasarkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan kata dasar fasilitas memiliki 3 (tiga) arti sebagai berikut: Pertama, sarana melaksanakan kewajiban. Kedua, fasilitas kemasyarakatan yang diberikan pemerintah ataupun swasta bagi masyarakat seperti tempat berobat, sekolahan, tempat beribadah. Ketiga, fasilitas umum diberikan bagi

keperluan umum seperti jalanan, alat penerangan umtuk umum.17 Sehingga Penulis menentukan dengan mengacu ketentuan Pasal 13 ayat (2) dengan kata difasilitasi berarti meskipun Desa Adat telah memiliki hukum dasar berupa Pararem Desa Adat serta jika Pararem Desa Adat tersebut tidak difasilitasi untuk melancarkan pelaksanaan fungsi pungutan tersebut, maka Hukum Dasar Pararem yang tidak difasilitasi oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali maka secara hukum positif adalah Pungutan uang kepada Penduduk tetap dinyatakan tidak sah atau ilegal. Sejalan dengan ketentuan Pasal 65 ayat 1 Perda No. 4 Tahun 2019 Jo Pasal 13 ayat 1 serta ayat 2 Pergub No. 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat Bali yaitu sebagaimana ditegaskan dalam UU pengumpulan uang atau barang No. 9 Tahun 1961, menyebutkan diantaranya:

Pasal 2 ayat 1 menyebutkan:

“Untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diperlukan izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang.”

Pasal 4 ayat (1) menyebutkan:

“Pejabat yang berwenang memberikan izin pengumpulan uang atau barang ialah salah satu Gubernur, Kepala Daerah Tingkat I .”

Pasal 8 Ayat (1) Tentang Tindak Pidana menyebutkan:

“Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah), barang siapa:

  • a.    Menyelenggarakan, menganjurkan atau membantu menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang dengan tidak mendapatkan izin lebih dahulu seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1

  • b.    Tidak memenuhi syarat-syarat dan perintah yang tercantum dalam keputusan pemberi izin

  • c.    Tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 7.”

Pasal 8 Ayat (2) menyebutkan:

“Tindak Pidana tersebut dalam ayat (1) Pasal ini dianggap sebagai pelanggaran.” Pasal 8 Ayat (3) menyebutkan:

“Uang atau barang yang diperoleh karena tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini disita dan dipergunakan sedapat mungkin untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan yang sejenis.”

Dari ketentuan-ketentuan aturan hukum positif tersebut di atas, dikaitkan pengumpulan uang oleh Desa Adat kepada penduduk, dimana regulasi aturan hukum yang dipakai Desa Adat yaitu diantaranya: Pararem, Kesepakatan Desa Adat, Surat Keputusan Bendesa. Oleh karena aturan hukum yang dibuat oleh Desa Adat seperti diatas, maka persyaratan teknis secara hukum positif wajib dipenuhi, hal ini telah ditegaskan pada Pasal 19 ayat 3 Perda No. 4 Tahun 2019 menyebutkan:

“Pararem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftarkan ke perangkat Daerah Provinsi Bali yang membidangi urusan Desa Adat.”

Bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2019, dalam Perangkat daerah dimaksud telah dibentuk Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (Dinas PMA) yang dibentuk berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah Dinas. Jika adanya aturan hukum dalam sebuah Pararem, Kesepakatan Desa atau Surat Keputusan Bendesa, terlebih-lebih aturan hukum

tersebut yang berisi pungutan uang kepada penduduk pendatang dan bersifat berkelanjutan. Maka aturan hukum tersebut Tidak Sah secara hukum positif sebagaimana dijelaskan Pasal 19 ayat 3 Perda No. 4 Tahun 2019 demikian juga telah dipertegas dalam Pasal 13 Pergub Nomor 34 Tahun 2019 di atas yang penekanannya adalah difasilitasi oleh Perangkat Daerah yang berarti pula adanya kewajiban diketahui atau semacam legalisir dan atau pula adanya suatu ijin dari yang berwenang.

Dalam berita Balipuspanews.com tertanggal 2 Maret 2020 yang ditulis oleh Penulis Artayasa dalam judul beritanya “hati-hati, pungutan ke krama “Tamiu” perlu juklak dan juknis”.18 Dalam berita ini berkaitan dengan dudukan dari krama tamiu atau dapat diistilahkan sebagai penduduk pendatang. Menurut Kadek Yuliana dari Pokja Pencegahan Saber Pungli menyatakan pungutan harus di fasilitasi oleh dinas PMA Bali dan sebelum adanya pengaturan mengkhusus dan difasilitasi oleh dinas PMA maka dudukan ditunda terlebih dahulu serta dilakukan dengan sistem punia.

Dengan regulasi aturan hukum yang telah jelas dan terang sebagaimana dimaksud dalam Perda No. 4 Tahun 2019 maupun Pergub No. 34 Tahun 2019 tersebut. Apabila Desa Adat melakukan pungutan tanpa mengikuti aturan hukum dimaksud maka digolongkan menjadi tindak pidana bersifat pelanggaran sebagaimana ditegaskan pada Pasal 8 UU pengumpulan uang atau barang No. 9 Tahun 1961.

  • 3.2. Pihak Yang Berwenang Untuk Membatalkan Produk Hukum Yang Mengatur

    Dudukan Ilegal Oleh Desa Adat

Oleh karena keberadaan desa adat menurut UU mempunyai kewajiban pemerintahan, pembangunan, uang desa, dan memperoleh fasilitas serta mendapatkan fasilitas dan pemeliharaan oleh pemerintah kabupaten, begitupun pelayanan yang serupa bagi desa adat dalam UU desa No. 6 Tahun 2016. Disamping itu dimana desa adat dalam subyek hukum di pemerintahan Bali keberadaannya dinyatakan sebagai pemajuan adat budaya maupun kearifan lokal masyarakat dalam perda No. 4 Tahun 2019.

Dasar pemakaian pungutan desa adat di Bali merupakan pararem desa adat, keputusan majelis utama desa pekraman, awig-awig serta lainnya. Hal ini tidak akan menjadi permasalahan jika dudukan mengacu kepada masyarakat adat sebab itulah keharusan dari masyarakat adat akan tetapi bila bersinggungan dengan dudukan ditetapkan oleh objek wajib pungutan desa maka menyentuh pengertian penduduk sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang dan atau dalam Desa Adat dikenal dengan nama masyarakat pendatang serta akan menyentuh bidang usaha di wilayah desa adat.

Dudukan yang di pungut desa adat dari yang menetapkan objek, jumlah, serta dilaksanakan secara berkepanjangan, walaupun desa adat berdasarkan dari pungutan itu merupakan hasil paruman ataupun awig-awig dan lainnya. Maka tetap ditidak benarkan yang dapat juga diartikan sebagai pungutan liar/tidak sah/ilegal.

Upaya Hukum yang dilakukan penegak hukum dari tindakan pidana dudukan liar yang dilangsungkan desa dengan hukum prosedural yang menekankan bahwa siapapun yang melakukan pungutan diluar perundang-undangan dikategorikan

sebagai pungutan liar serta harus di proses secara hukum.19 Menurut hans kelsen sistem hukum ialah sistem anak tangga berdasarkan kaidah bertangga yang norma hukum diatasnya serta kaidah seperti konstitusi wajib berpedoman kepada aturan dasar atau gundnorm. Pendapat kelsen kaidah dasar wujudnya abstrak atau tidak konkrit.20

Peraturan hukum positif mempunyai sistem hukum yang konsisten dan tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain. Di masyarakan terdapat banyak persinggungan yang mengakibatkan konflik dalam rutinitas yang berlangsung dalam masyarakat dengan peraturan perundang-undangan serta keputusan pengadilan. Dari permasalahan tersebut dibutuhkan ketentuan umum dilakukan melalui konstan kepada permasalahan tersebut, sama dengan ketentuan khusus menyisihkanketentuan umum ataupun ketetapan terbaru menyisihkan ketetapan terlama. Pemerintah dalam upaya mengurangi tindakan korupsi dudukan liar sebagaimana dalam Perpres No. 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan pada Pasal 4 huruf f menyatakan bahwa:

“Dalam Melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud Satgas Saber Pungli mempunyai wewenang:

  • a.    Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar.

  • b.    Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementrian/Lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi.

  • c.    Mengoordinasikan, merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar

  • d.    Melakukan operasi tertangkap tangan

  • e.    Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementrian/Lembaga serta kepala pemerintahan daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

  • f.    Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/Lembaga dan kepala pemerintahan daerah

  • g.    Melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar.”

KUHP tidak mengatur tegas tentang pungli, akan tetapi pungutan liar di dalam KUHP menjadi perlakuan korupsi, penipuan, terdapat beberapa Pasal yakni:

KUHP Pasal 368 menyatakan:

“Siapapun yang bermaksud menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain menurut hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang yang seluruhnya ataupun sebagian milik orang lain atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”21

KUHP Pasal 415 menyatakan:

“Seseorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya,

atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”22

KUHP Pasal 418 menyatakan:

“Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menuntut orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”23

KUHP Pasal 423 menyatakan:

“Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.”24 Upaya penegakan hukum jika mengacu kepada Pasal-Pasal yang tertuang pada Kitab Hukum Pidana (KUHP). Tentu dalam praktek pembuktian atas unsur-unsur dugaan pidana yang dimaksud dalam Pasal KUHP tersebut tentu membutuhkan pembuktian yang rumit dan upaya penegakan hukum yang lebih sederhana sebagaimana ditegaskan dalam UU pengumpulan uang atau barang No. 9 Tahun 1961 Pasal 8 didalam UU ini sangat sejalan sebagaimana yang tersirat di dalam Perda No. 4 Tahun 2019 Jo Pergub No. 34 Tahun 2019 Tentang Keuangan Desa Adat Bali.

Dengan demikian berdasarkan upaya penegakan hukum sebagaimana uraian diatas. Sebelum menentukan pihak yang berwenang membatalkan produk hukum apabila adanya dudukan ilegal oleh desa adat tersebut, dapat dikaji terlebih dahulu Perda No. 4 Tahun 2019, sebagaimana Pasal 32 huruf “b” menyebutkan:

“Membuat keputusan yang menguntungkan pihak tertentu dengan merugikan kepentingan umum”

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, jika dalam penegakan hukum faktanya ditemukannya dugaan tindak pidana oleh aparat yang berwenang terhadap dudukan ilegal oleh desa adat dan peristiwa hukum tersebut sampai diproses ke meja hijau dan telah mendapatkan keputusan oleh pengadilan yang apabila menyatakan bahwa dudukan oleh Desa Adat adalah sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan dudukan tanpa dasar hukum yang pasti. Tentu apabila dengan adanya putusan tersebut maka sesuai tugas dan wewenang Majelis Desa Adat menurut Perda No. 4 Tahun 2019 Pasal 76 ayat 2 huruf “h” menyebutkan:

“Memberikan keputusan berdasarkan nilai-nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali terhadap dugaan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32”

Jika dilihat dari perspektif Pasal 76 ayat 2 huruf “h”. Tentu peranan Majelis Desa Adat dapat dikatakan tidak maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan membiarkan Desa Adat melakukan dudukan ilegal serta dapat dikatakan juga ada dugaan pembiaran nyata oleh karena sesuai tugas dan wewenangnya yang tersirat pada Perda No. 4 Tahun 2019 Pasal 76 ayat 1 huruf “d” menyebutkan:

“Mendampingi Desa Adat dalam penyuratan Awig-Awig dan Pararem”

Berdasarkan Pasal tersebut berarti Majelis Desa Adat berkewajiban menyampaikan agar Desa Adat setelah memiliki Pararem berkaitan dudukan kepada masyarakat supaya Pararem dimaksud disampaikan kepada Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (Dinas PMA) maupun tingkat kabupaten serta provinsi Bali mendapat ligitimasi dan atau mendapat fasilitasi dari pejabat yang berwenang. Oleh karena Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) memiliki kewenangan atas nama Gurbernur Bali, apabila dudukan ilegal oleh desa adat tidak sesuai dalam peraturan UU, maka Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) wajib secara proaktif mengecek kelapangan karena banyak dudukan/pungutan liar yang belum sesuai peraturan yang telah terjadi di masyarakat sebelum pengadilan menyatakan dudukan/pungutan liar kepada penduduk oleh Desa Adat adalah ilegal atau tidak sah.

IV. Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Segala bentuk keputusan Desa Adat, baik yang dituangkan dalam Awig-Awig/Uger-Uger, Keputusan Majelis Desa Adat, Keputusan Pesamuan Agung, Pararem Desa Adat (aturan/keputusan Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan Awig-Awig) dan lain-lain, Wajib didaftarkan pada Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Jo Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, maka Hukum Dasar yang telah dipakai untuk memungut uang kepada Penduduk adalah pungutan di luar ketentuan perundang-undangan dikualifikasikan sebagai pungutan liar. Oleh karena sanksi pidana berkaitan pungutan uang yang tidak sah (ilegal) yang sama sekali sanksi pidananya tidak tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Jo Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali. Majelis Desa Adat mempunyai sanksi moral berkaitan terbitnya sebuah pararem berkaitan dudukan ilegal oleh Desa Adat sesuai Tugas dan Wewenangnya demikian juga Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) wajib secara preventif. Mengingat pararem merupakan produk otonom daripada desa adat, maka sudah seyogyanya desa adat itu sendiri yang patut membatalkan pararem yang terbukti memuat pengaturan tentang dudukan ilegal. Disamping itu, ada kewajiban dari Majelis Desa Adat dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat untuk melakukan komunikasi dengan pihak desa adat dengan tujuan mengedukasi dan sekaligus mengevaluasi pararem yang terindikasi mengatur dudukan ilegal oleh desa adat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni-Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. (Bandung: Nusa

Media 2010)

Koesnoe, Mohammad. Dasar dan Metode Ilmu Humum Positif. (Surabaya, Air Langga

University Press, 2010)

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2013)

Wasistiono, Sadu. Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen Pemerintahan

Daerah (Fokus Media, 2006)

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Cet. Ke-23), Sinar Grafika,2016, Jakarta.

Jurnal Ilmiah:

Adharinalti, Adharinalti. "Eksistensi Hukum Adat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Bali." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 1, no. 3 (2012).

Dewi, Ni Luh Sri Mahendra. "Penegakan Hukum Tindak Pidana Pungutan

Liar Yang Dilakukan Desa Adat Ditinjau Dari Perspektif Hukum Progresif." Kerta Dyatmika 17, NO. 1 (2020).

Hasan, Hasan. "Pungutan Dana Krama Tamiu Bagi Penduduk Pendatang di Klungkung Bali." Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 3, no. 1 (2013)

Kantriani, Ni Ketut. "Pengaturan Penduduk Pendatang (Krama Tamiu) Di Tinjau Dari Hukum Adat Bali." Vyavahara Duta 13, No. 1 (2018).

KT, Ni Ketut Kristina Dewi AA. "Penerapan Pararem Terhadap Krama Tamiu Yang

Membeli Tanah Wajib Masuk Banjar Di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung." Jurnal Hukum Mahasiswa 1, no. 1 (2021).

Muchtar, Henni. “Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan

Hak Asasi Manusia.” Humanus 14, no. 1 (2015)

Radjab, Dasril. "Peluang Pembentukan Desa Adat Di Provinsi Jambi." Universitas

Jambi (2017).

Rauf, Muhammad A. "Politik Hukum Pembentukan Desa Adat dalam Sistem

Pemerintahan di Indonesia." DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2017).

Sarjana, I. Putu. "Penerapan Sangaskara Danda di Desa Pakraman Darmasaba,

Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung." Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan 18, no. 1 (2018).

Satrya, I. Ketut Teguh Yudha, Ni Kadek Sinarwati, Nyoman Trisna Herawati, and SE

AK. "Sinergi Desa Adat dan Desa Dinas dalam Pengelolaan Aset Desa untuk Mewujudkan Harmonisasi (Studi Pada Desa Adat Dan Desa Dinas Sambangan)." JIMAT (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi) Undiksha 7, no. 1 (2017).

Setiada, Nengah Keddy. "Desa Adat Legian Ditinjau dari Pola Desa Tradisional

Bali." Jurnal Permukiman Natah 1, no. 2 (2003).

Widnyana, Gusti Nyoman Ari, Nyoman Trisna Herawati, S. E. Ak, and Made Aristia

Prayudi. "Transparansi Pengelolaan Pungutan Dana Krama Tamiu Dan Dampaknya Di Desa Pakraman Bangkang, Kabupaten Buleleng." JIMAT (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi) Undiksha 8, no. 2 (2018).

Yanti, AA Istri Eka Krisna. "Kewenangan Desa Adat Dalam Pengelolaan

Kepariwisataan Budaya Bali Dalam Perspektif Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat." Jurnal Hukum Saraswati (JHS) 1, no. 1 (2019).

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang Atau Barang

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2273)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5495)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan

Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 Tentang Kedudukan, Fungsi, dan

Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat 1 Bali (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat 1 Bali Tahun 1988 Nomor 3, Seri : D)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Bali

(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Pembentukan dan

Susunan Perangkat Daerah Dinas (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 5)

Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan

Keuangan Desa Adat di Bali (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 34)

Internet:

Artayasa, 2020, “Hati-Hati, Pungutan ke Krama “Tamiu” Perlu Juklak dan Juknis”,

Retrieved from  https://www.balipuspanews.com/hati-hati-pungutan-ke-

krama-tamiu-perlu-juklak-dan-juknis.html

KKBI, 2016, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Retrieved from

https://kbbi.web.id/fasilitas

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1102-1116