HARMONISASI PENGATURAN KEWENANGAN

PEJABAT IMIGRASI DALAM PERATURAN TURUNAN UNDANG-UNDANG KEIMIGRASIAN

Ni Komang Tari Padmawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Pande Yogantara S, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i03.p3

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan adanya perbedaan pengaturan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh para pejabat imigrasi dalam melaksanakan fungsi keimigrasian. Perlu dilakukannya suatu harmonisasi pengaturan untuk mencegah adanya timpang tindih pengaturan yang satu dengan lainnya. Dalam melakukan penelitian ini tentunya perlu dilakukan peninjauan terhadap peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai keimigrasian secara umum dan kewenangan pejabat imigrasi secara khusus. Metode dalam pengkajian ini menerapkan metode penilitian hukum normatif dengan melakukan kajian pustaka terhadap tata peraturan mengenai kewenangan pejabat imigrasi, mempelajari doktrin-doktrin dengan menggunakan cara editing, dan pendekatan analisis kualitatif. Dengan tujuan untuk dapat mengetahui adanya pertentangan-pertentangan hukum dalam pengaturan keimigrasian serta harmonisasi pengaturan yang tepat dilakukan. Hasil dari penelitian ini yakni ditemukannya beberapa upaya harmonisasi hukum terhadap tata peraturan hukum imigrasi khsusunya pada bagian kewenangan yang dimiliki oleh para pejabat imigrasi dalam menjalankan fungsi imigrasi tersebut.

Kata Kunci: Harmonisasi, Kewenangan, Pejabat Imigrasi

ABSTRACT

The purpose of this research is to discover the differences and disting the role and obligations of immigration officials while doing the functions of immigrations itself. At the end author find that a harmonization action is needed to prevent the conflict between one rule to another. To overcome the disharmony of these regulations, of course, efforts are needed to harmonize the law. In conducting this research reviewing the legal regulations governing immigration in general and the authority of immigration officials in particular are needed. Conducting a normative legal research method is the method that implies in this reasaearch, by carry out a literature review of the regulations regarding the authority of immigration officials, studying doctrines using editing, and a qualitative analysis approach. With the aim of being able to find out if there are legal conflicts in immigration arrangements and the harmonization of the appropriate arrangements is carried out. At the end, the needs to do several activities for harmonizing the one rule within the other rule especially regarding the authority of immigrations officers in order to carry out the imigrations functions.

Key Words: Harmonization, Authority, Immigration Officials

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Pariwisata berhasil menjadi satu dari banyaknya sektor dalam perekonomian yang turut mempengaruhi stabilitas perekonomian suatu negara. Adanya kegiatan pariwisata ini mendorong terjadinya mobilitas global atau perpindahan antar warga

negara. Perpindahan satu warga negara ke negara lain tentunya melibatkan peranan keimigrasian. Dalam penerapannya, keimigrasian Indonesia beroperasi dengan beberapa prinsip, salah satunya adalah prinsip timbal balik (resiprositas) dan selective policy atau secara selektif yang terlihat dari regulasi pemberian visa kepada orang asing yakni termaktub dalam Bagian Umum Undang-Undang No. 6 Th. 2011 tentang Keimigrasian selanjutnya disebut UU Keimigrasian yang juga memperhatikan seberapa bermanfaatnya warga negara asing [selanjutnya disebut WNA] atau dalam hal ini masyarakat internasional yang datang ke Indonesia, sehingga hanya ia yang dapat berkontribusi dalam pemajuan ekonomi ataupun sector lainnya saja yang dapat diberikan izin masuk di Indonesia.1 Hal ini menyebabkan keimigrasian menjalankan peranan serta fungsi yang bersifat universal dalam mengatur lalu lintas masuk dan keluarnya seseorang dari wilayah suatu negara yang tentunya disesuaikan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah negara tersebut.2 Sehingga kinerja Direktorat Jendral Imigrasi bertanggungjawab atas tegaknya hukum nasional Indonesia dalam wilayah kedaulatan negara sebagai penjaga pintu gerbang negara dengan masyarakat Internasional.

Dalam menjalankan tanggungjawab keimigrasian sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan negara, lingkup tanggung jawab tersebut tentunya mencakup juga setiap permasalahan yang terjadi baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun kependudukan memiliki keterkaitan atau mempengaruhi stabilitas keamanan negara. Penegakan hukum yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dilakukannya upaya-upaya untuk dapat berfungsinya secara nyata segala penormaan hukum yang sengaja dibentuk sebagai pedoman kehidupan masyarakat dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum negara satu dengan lainnya dan bernegara.3 Sehingga kebijakan-kebijakan dalam keimigrasian dalam menyikapi lalu lintas perpindahan seseorang dari suatu negara ke negara lain haruslah memperhatikan dampak-dampak seluruh bidang baik yang bersifat daerah, nasional, regional, hingga internasional. Hal ini menyebabkan kebijakan oleh keimigrasian memiliki keterkaitan substansial serta memberikan dampak beruntun (multiplier effect).4

Di Indonesia, kebijakan-kebijakan keimigrasian dituliskan dalam beberapa tata peraturan di Indonesia termasuk juga perundang-undangan yang salah satunya yakni UU Keimigrasian yang juga mengatur mengenai batasan-batasan, hak, serta kewajiban WNA di wilayah Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa negara memiliki hak dalam melakukan penindakan apabila terjadinya pelanggaran oleh para WNA yang ada di Indonesia, baik hal tersebut merupakan pelanggaran administratif hingga pelanggaran pidana. Penindakan terhadap WNA merupakan salah stau fungsi dari penyelenggaraan administrasi pemerintahan, sehingga hukum keimigrasian merupakan bagian dari imperium hukum administrasi negara. Akan tetapi

pelanggaran yang biasa dilakukan oleh WNA dewasa ini tidak hanya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan keimigrasian melainkan juga terdapat adanya pelanggaran pidana.

Tata peraturan keimigrasian tepatnya pada UU Keimigrasian disebutkan bahwa terdapat pejabat imigrasi yang memiliki kewenangan untuk dapat menindak pelanggaran-pelanggaran ataupun kegiatan oleh WNA yang dianggap berbahaya dan juga patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU Keimigrasian mengatur bahwa pejabat imigrasi memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan administratif keimigrasian mengenai hal tersebut. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Keimigrasian, menyebutkan: “pejabat imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis keimigrasian serta memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan undang-undang”. Setiap pejabat imigrasi tentunya ditempatkan disetiap kantor imigrasi yang dibagi menjadi tiga yakni Kantor Imigrasi Kelas I, II, dan III5 serta kantor wilayah Kemenkumham. Sehingga setiap pejabat imigrasi yang bertugas memiliki tugas, tanggungjawab, serta kewenangan yang berbeda. Akan tetapi pengaturan yang tidak spesifik mengenai tugas, fungsi, serta kewenangan yang dimiliki masing-masing pejabat imigrasi dan tempat bertugasnya yang seringkali memiliki kesamaan akan tetapi kurang jelas terhadap wilayah hukum dan Batasan kewenangannya menyebabkan perlu adanya harmonisasi norma untuk mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan antara para pejabat imigrasi serta konstruksi hukum untuk menyesuaikan peraturan yang berlaku dengan penindakan serta penerapan yang dilakukan pejabat imigrasi di lapangan.

Sebelum tulisan ini, tentunya sudah terdapat beberapa tulisan yang membahas mengenai pejabat imigrasi dan kewenangan pejabat dalam melakukan fungsi imigrasi khusunya di bidang pengawasan dan penindakan orang asing serta tulisan-tulisan yang melakukan pengkajian terhadap pengaturan yang satu dengan yang lainnya, yakni suatu tulisan oleh Fatimah Rahmad dan Ida Bagus Surya Dharma Jaya dengan tulisan berjudul “Penengakan Hukum terhadap WNA yang Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Perjalan (Studi di Kantor Imigrasi Kelas I Ngurah Rai)6 dengan metode pengumpulan datanya menggunakan studi dokumen dan wawancara dengan focus pengimplementasian UU Keimigrasian untuk menindak adanya pemalsuan dokumen oleh WNA. Suatu tulisan oleh Ridwan Arifin dan Intan Nurkumalawati dengan judul tulisan “Kebijakan Pemeriksaan Keimigrasian di Indonesia: Bnetuk Pelayanan Publik dan Profesionalisme Petugas Imigrasi”7 yang dalam penelitiannya berfokus pada analisis bentuk pelayanan public dalam melaukan pemeriksaan keimigrasian. Serta melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan yang

timbul karena terjadinya perbedaan pemahaman, perspektif, dalam pemeriksaan keimigrasian oleh para petugas imigrasi.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam tukisan ini akan dikaji 2 (dua) permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan kewenangan pejabat imigrasi menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana harmonisasi pengaturan kewenangan pejabat imigrasi yang dibutuhkan dalam yangka menselaraskan tata peraturan mengenai kewenangan pejabat imigrasi dalam divisi imigrasi kemenkumham kanwil daerah dengan kantor imigrasi disetiap daerah?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tata peraturan yang menjadi dasar kewenangan pejabat imigrasi dalam melaksanakan fungsi keimigrasian, serta berikutnya untuk mengkaji harmonisasi pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi apabila adanya pertentangan pengaturan dari tata peraturan tersebut.

  • II.    Metode Penelitian

Akar dari kata metodologi adalah ‘metode’ yang apabila diartikan secara harfiah berarti ‘jalan’, akan tetapi awamnya metode dijelaskan sebagai kemungkinan-kemungkinan dari suatu tata cara atau tipe yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian atau penilaian.8Inti dari metodologi dalam suatu penelitian hukum ialah penulis dapat menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu dilakukan. Hal tersebut meliputi metode apa yang digunakan, metode pengumpulan data apa yang digunakan serta analisis yang akan dilakukan.9

Penelitian yang penulis lakukan saat ini menggunakan metode penelitian legal research atau penelitian hukum normative, yakni dengan melakukan pendekatan doctrinal dengan sifat normative10 yang dalam hal ini dilakukannya suatu penelitian hukum yuridis normative dengan mengkaji aspek-aspek internal dari suatu hukum positif.11 Bahan hukum primer yang dimaksudkan disini adalah tata hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti halnya Undang-Undang Dasar tahun 1945 selanjutnya disbeut UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Keimigrasian, permenkumham dan yang lainnya. Sedangkan untuk bahan hukum sekunder meliputi karya-karya ilmiah, dan doktriner-doktriner yang tertuang dalam buku. Penenlitian ini pula dilakukan dengan metode pengumpulan data studi

kepustakaan sebagai bahan penunjang penelitian. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan cara editing melalui pendekatan kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Kewenangan Pejabat Imigrasi di Indonesia

      • 3.1.1    Tinjauan Pejabat Keimigrasian Indonesia

Kegiatan pariwisata serta pengaruh globalisasi pada saat ini memudahkan serta mendorong setiap masyarakat dari seluruh dunia untuk melakukan perjalanan hingga perpindahan dari suatu negara ke negara yang lainnya. Mobilitas perpindahan tersebut pun kini dapat dikatakan sangat mudah dan cepat. Hak untuk dapat berpindahan dari satu negara ke negara lain ini diatur dijamin melalui ketentuan Pasal 28E UUD NRI 1945 dengan aturan, “Setiap orang berhak… memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Secara yuridis, pengertian keimigrasian telah diatur dalam rumusan pasal 1 Angka (1) UU Keimigrasian yang mengatur “keimigrasian” merupakan hal ihwal mobilitas orang yang masuk ataupun keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Masuk dan keluarnya seseorang kedalam atau dari suatu negara tentunya tetap memerlukan suatu perijinan berupa bukti dokumen lengkap yang diterbitkan atau dikeluarkan langsung oleh badan pemerintahan yang berwenang di suatu negara, hal ini khususnya diatur dalam Pasal 8 UU Keimigrasian.12 Tanpa memiliki bukti perijinan atau dokumen-dokumen tersebut maka orang tersebut dapat diklasifikasikan sebagai imigran illegal dan dapat ditindak sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang terkait karena hal tersebut adalah dilarang menurut ketentuan undang-undang seperti yang diundangkan dalam pasal 119 UU Keimigrasian.13

Badan keimigrasian di Indonesia mewujudkan refleksi dalam pemeriksaan keimigrasian yang berkaitan dengan pengawasan lalu lintas orang yang keluar dan masuk wilayah Indonesia dengan basis security dan intelligent keimigrasian.14 Fungsi keimigrasian yang dimaksudkan dalam Pasal 3 UU Keimigrasian berikutnya dijelaskan hal tersebut termasuk juga separuh atau beberapa dari tugas penyelenggaraan negara dalam memberikan penegakan hukum keimigrasian, menjadi fasilitator penunjang pembagunan ekonomi nasional serta tentunya memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat.

Disetiap daerah, badan Keimigrasian Indonesia dinaungi oleh suatu badan dibawah kementerian hukum dan hak asasi manusia kantor wilayah termasuk juga ada yang terletak di Bali. Dalam kantor wilayah ini berikutnya terbagi menjadi beberapa divisi yang salah satu divisinya adalah divisi Imigrasi yang

menaungi beberapa UPT keimigrasian lainnya, yang secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut;

  • 1)    Tinjauan Kelembagaan Kemenkumham Kanwil Bali

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia memiliki instansi vertikal yang mendirikan kantornya disetiap provinsi Indoneisa, salah satunya yakni terletak di Provinsi Bali. Kantor wilayah ini bertanggung jawab kepada Menkumham RI. Kantor Wilayah Kemenkumham Bali memiliki peranan besar dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia khususnya dalam jajaran Keimigrasian dan permasyarakatan. Kemenkumham Kanwil Bali mengelola 1 satuan kerja kanwil dan 18 Unit Pelaksana Teknis (UPT), yang terdiri dari 14 UPT Permasyarakatan dan 4 UPT Keimigrasian.

Penyelenggaran Kemenkumham Kanwil Bali dilaksanakan berdasarkan pada prinsip profesionalisme, akuntabilitas, sinergitas, transparansi, dan inovatif demi terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang baik. Sebagai bagian dari badan pemerintah, Kemenkumham Kanwil bali menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI [Permenkumham] No. MHH-01.PR.07.10 Th. 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM, serta adanya peraturan terbaru Permenkumham No. 28 Th. 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, yang menegaskan tugas dari Kantor Wilayah yakni bertanggung jawab atas tugas pokok dan fungsi Kemenkumham RI dalam Wilayah Provinsi berdasarkan kebijakan Menteri Hukum dan HAM RI serta peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam penyelenggaraannya Kemenkumham Kanwil Bali dipimpin oleh seorang Kepala Kantor Wilayah dengan didampingi oleh 4 Divisi yang masing-maisng memiliki ketua di bidangnya yakni Divisi Administrasi, Divisi Keimigrasian, Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, dan Divisi Pemasyarakatan.

  • 2)    Tinjauan Divisi Imigrasi Kemenkumham Kanwil

Divisi Keimigrasian dalam kanwil bertugas dalam menunjang tugas dan tanggung jawab dari kepala Kantor Wilayah melaksanakan sebagain tugas Kantor Wilayah di bidang keimigrasian berdasarkan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Imigrasi. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Divisi Keimigrasian dibagi menjadi beberapa bidang yakni:

  • (1)    “Bidang Perizinan dan Informasi Keimigrasian”

Bidang ini berwenang dan bertanggungjawab untuk melaksanakan pengawasan/pemantauan, pengendalian, pembinaan, evalauasi, dan tentunya menyusun laporan berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas teknis dibidang informasi dan perizinan Keimigrasian dan memberikan license approval, pengelolaan data sistem dan teknologi informasi terkait keimigrasian. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Bidang Perizinan dan Informasi Keimigrasian memiliki dua sub bidang lainnya yakni Informasi dan Perizinan Keimigrasian.

  • (2)    “Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian”

Bidang ini berwenang dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas untuk mempersipkan bahan pengendalian, dan pengawasan pelaksanaan tugas teknis, kerja sama, pembinaan, pemantauan, dan evaluasi, serta

penyusunan laporan pelaksanaan tugas teknis di bidang intelijen, pengawasan dan penindakan keimigrasian. Dalam penyeleggaraanya, Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian dibagidalam dua sub bidang yakni:

  • a)    “Sub Bidang Intelijen Keimigrasian”

Sub Bidang Intelijen Keimigrasian bertanggungjawab dalam hal-hal teknis yang berkaitan dengan persiapan akan tetapi hasil dari persiapan tersebut akan berikutnya diberikan kepada bidang intelijen dan pengawasan oleh pejabat imigrasi di unit atau yang berkedudukan di kantor imigrasi.

  • b)    “Sub Bidang Penindakan Keimigrasian”

Sub Bidang ini berwenang dan memiliki tanggung jawab perihal mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kewenangan yang bersifat teknis oleh pejabat imigrasi lainnya yang berwenang khususnya dalam hal pengendalian, kerjasama, pembinaan, pemantauan, evaluasi, hingga akhirnya menyusun laporan mengenai pelaksanaan teknis tersebut.

  • 3.1.2    Dasar Tugas dan Kewenangan Pejabat Imigrasi

Tugas dan kewenangan dari pejabat imigrasi tentunya secara khusus disesuaikan dengan Surat Keputusan Pengangkatan dan Penempatan yang hal tersebut bersifat internal dan bukan informasi yang tersebar luas diakses oleh publik. Akan tetapi secara umum pejabat imigrasi tentunya juga terikat dengan peraturan perundang-undangan, peraturan pelaksananya, dan tentunya peraturan Menteri.

Tata peraturan perundang-undangan yang mengikat pejabat imigrasi secara umum adalah UU Keimigrasian yang mengatur mulai dari pengertian-pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan keimigrasian, pihak-pihak yang terlibat dalam keimigrasian, istilah-istilah, pelaksanaan fungsi keimigrasian hingga bentuk penindakan keimigrasian yakni deportasi. Pengaturan mengenai kewenangan pejabat imigrasi, UU a quo tidak menyebutkan secara spesifik bagaimana pemabagian kewenangan dan penempatan pejabat imigrasi yang dimaksudkan. UU a quo mendefinisikan serta menjabarkan kewenangan dan tugas pejabat imigrasi secara umum dan mendasar. Akan tetapi saat ini pun UU Keimigrasian diperbaharui dalam UU No. 11 Th. 2011 tentang Cipta Kerja yang masih dalam masa perbaikan setelah dikeluarkannya PMK No. 91/PUU-XVIII/2020.

UU Keimigrasian berikutnya memiliki peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah yang saat ini sudah diperbaharui beberapa kali dengan tiga peraturan pemerintah yang masih berlaku hingga saat ini dan satu peraturan pemerintah hasil turunan UU Cipta Kerja di bidang Keimigrasian yang mmasih ditangguhkan keberadaannya. Ketiga Peraturan Pemerintah tersebut yakni Peraturan Pemerintah [“PP”] No. 31 Th. 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Keimigrasian [“PP No.31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Keimigrasian”], PP No. 26 Th. 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan No. 31 Th. 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Keimigrasian, dan PP No. 51 Th. 2020 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 31 Th. 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Keimigrasian Satu peraturan pemerintah yang ditangguhkan tersebut adalah PP No. 48 Th. 2021 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 31 Th. 2013 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Secara khusus tata peraturan yang mengikat pejabat imigrasi salah satunya adalah Permenkumham No. 28 Th. 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatur tugas dan kewajiban tiap-tiap divisi didalamnya yang termasuk juga Divisi Keimigrasian. Selain itu secara mengkhusus pula pengaturan kewenangan pejabat imigrasi dituangkan dalam panduan yang disebut Standar Oprasional Prosedur [SOP] yang disesuaikan dengan setiap bidangnya seperti SOP No.: IMI-GR.03.01-1186 tentang Penyelesaian Keberangkatan WNA di Pos Lintas Batas.

  • 3.1.3    Konflik Norma dalam Tata Pengaturan Kewenangan Pejabat Imigrasi

Suatu tata peraturan di Indonesia tentunya pantang untuk mengandung muatan yang saling bertentangan dengan peraturan lainnya baik yang sifat koordinasinya vertical ataupun horizontal. Hal ini menekankan pada tata peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang memiliki kedudukan lebih tinggi atau peraturan diatasnya. Hal ini sudah tertuliskan secara eksplisit dalam Teori Stufenbau.15 Ketika suatu peraturan hukum bertentangan dengan peraturan hukum lainnya maka tentunya hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum karena adanya kebingunan dalam pelaksanaan peraturan mengenai peraturan mana yang akan diikuti atau diterapkan.

UU Keimigrasian sebagai peraturan yang memiliki sifat general dalam memberikan pengaturan terhadap keimigrasian berikutnya kembali diperjelas dalam bentuk peraturan turunan lainnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah baik ditingkat Provinsi ataupun Kabupaten atau Kota, hingga adanya Standar Operasional Prosedure (SOP). Karena memiliki sifat yang parsial, dan tersebar kedalam pelbagai bentuk peraturan, pengaturan hukum keimigrasian mengalami cenderung tidak sistematis, tertata, dan tentunya mengalami tumpeng tindih dengan pengaturan lainnya.

Adanya norma-norma yang bersifat kabur, bertentangan terhadap satu sama lainnya, merupakan suatu permasalahan yang terjadi dalam tata peraturan keimigrasian di Indonesia. Hal ini ditunjukan dari Data Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional 16 bahwa permasalahan-permasalahan terkait kewenangan pejabat keimigrasian yang ada yakni:

  • 1)    UU Keimigrasian bersifat general sehingga harus diperjelas kembali melalui peraturan pelaksana. Hal ini juga didukung dengan karakter keimigrasian yang bersifat teknis sehingga membutuhkan peraturan yang lebih rinci. Akan tetapi pengaturan ‘teknis’ dalam bidang keimigrasian sangatlah beragam sesuai dengan lingkup pengaturannya. Hal ini menyebabkan banyaknya temuan ketidak konsistenan pengaturan yang satu dengan yang lainnya, adanya tumpeng tindih pengaturan, serta menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya. Adanya SOP pun tidak membantu

dalam mengentaskan permasalahan tersebut dikarenakan SOP yang disusun bersifat parsial yang dibentuk masing-masing unit kerja.

  • 2)    Penegakan hukum Keimigrasian tentunya memerlukan integrasi dengan banyak pihak yang terhubung melalui korrdinasi terhadap pejabat yang satu dengan pejabat lainnya, atau bahkan Lembaga atau badan yang satu dengan lainnya. Hal ini menyebabkan perlunya sinkronisasi yang sangat baik dalam hal data, dan pelaksanaan tugas pengawasan serta tugas-tugas lainnya yang menjadi kewenangan pejabat imigrasi. Dengan demikian tentunya peraturan yang dapat mengatur alur koordinasi seluruh unit dan pihak yang berkontribusi didalamnya sangatlah diperlukan.

  • 3.2    Harmonisasi Pengaturan Turunan ataupun Pengaturan Pelaksana dari UU Keimigrasian

    • 3.2.1    Harmonisasi Hukum Indonesia

Kata harmonisasi hukum merupakan upaya ataupun proses yang dilakukan untuk mengatasi adanya hal-hal yang bersinggungan ataupun bertentangan dalam hukum yang satu dengan lainnya. Upaya dan proses ini ditujukan untuk merealisasikan keselarasan, menciptakan kesesuaian, kecocokan, keserasian, dan keseimbangan diantara norma-norma atau peraturan hukum yang ada.17 Istilah harmonisasi hukum pertama kali muncul pada tahun 1992 dalam suatu kajian hukum di Jerman. Kajian tersebut menjelaskan bahwa dalam dunia hukum, terbentuknya hukum, adanya kebijakan pemerintah, serta peraturan lainnya yang dalam hubungannya tersebut terdapatnya keanekaragaman yang mampu menyebabkan terjadinya disharmonisasi.18

Harmonisasi system hukum melibatkan tiga komponen didalamnya, yakni komponen materi hukum (legal substance), komponen struktur hukum dan kelembagaannya (legal structure), dan komponen budaya hukum (legal culture).19 Dalam suatu tatanan peraturan yang membutuhkan harmonisasi hukum, sebelum menggabungkan ketiga komponen tersebut dalam melakukan upaya harmonisasi hukum tentu perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi hukum. Terdapat beberapa penyebab terjadinya disharmonisasi hukum yakni:20

  • 1)    Inkonsistensi vertical format peraturan, merupakan suatu disharmonisasi yang terjadi  apabila  peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

kedudukannya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang.

  • 2)    Inkonsistensi vertical waktu, yakni peraturan dengan jenis yang sama akan tetapi peraturan yang satu diundangkan lebih dulu dari peraturan yang lainnya. Seperti sesame peraturan perundang-undangan.

  • 3)    Inkonsistensi horizontal substansi peraturan, dengan beberapa peraturan yang sejajar dalam hierarkisnya akan tetapi peraturan satu memiliki substansi yang lebih umum dari subsatansi lainnya.

  • 4)    Inkonsistensi horizontal substansi suatu peraturan yang sama, yakni berbeda pada pengaturan ketentuan.

  • 5)    Inkonsistensi sumber hukum formal, yakni yang bersumber dari undang-undang dan putusan hakim, atau antara undang-undang dan kebiasaan.

  • 3.2.2    Upaya Harmonisasi Hukum Keimigrasian

Pejabat imigrasi memiliki tugas, dan kewenangan yang berbeda-beda. Hal ini berdasarkan pada kedudukan ataupun unit dan divisi tempat mereka bertugas. Dalam hukum administrasi terdapat beberapa disharmonisasi dibagian kewenangan antar pejabat imigrasi, yakni:21

  • a.    Pasal 6 Ayat (2) Permenkumham No. 50 Th. 2016 tentang Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) yang mengalami disharmoni hukum dengan ketentuan Permenkumham No. 28 Th. 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Yakni berkaitan dengan adanya pengaturan kewenangan oleh dua peraturan yang setingkat namun memberikan kewenangan yang berbeda pada pejabat yang sama (disharmoni vertical waktu). Disharmonisasi ini terletak pada tidak adanya fungsi pengawasan dan penindakan yang dimiliki oleh divisi imigrasi pada Kantor Wilayah Kemenkumham. Pada praktiknya Divisi Keimigrasian kemenkumham hanya berwenang dan difungsikan sebagai unit teknis di bawah Kator Wilayah dan tentunya tidaklah difungsikan untuk mem-back up tugas dan fungsi dari UPT Imigrasi di daerah. Sehingga untuk mengatasi disharmonisasi hukum yang terjadi, perlu dilakukan harmonisasi hukum terhadap Permenkumham a quo agar mampu mewadahi kewenangan yang dimaksudkan oleh Permenkumham No. 50 Th. 2016 Tentang Tim Pengawasan Orang Asing.

  • b.    Pasal 2 Permenkumham No. 30 Th. 2016 tentang Intelijen Keimigrasian yang memiliki perbedaan konsep dengan pengistilahan pada Pasal 74 Ayat (2) UU Keimigrasian jo pasal 202 ayat (2) PP No. 31 Th. 2013. Yakni terdapat suatu perbedaan definisi oleh beberapa peraturan pada objek yang sama. Dalam pengaturannya, Pasal 74 ayat (2) UU a quo jo Pasal 202 ayat (2) PP a quo tidak menyematkan istilah ‘intelijen’ sebelum kata penyelidikan dan pengamanan. Disebutkan bahwa dalam menjalankan fungsi “intelijen Keimigrasian”,   pejabat imigrasi tersebut memiliki tugas dan

tanggungjawab dalam penyelenggaraan pengamanan keimigrasian serta penyelidikan keimigrasian tanpa adanya istilah ‘intelijen’. Perbedaan peristilahan ini tentunya menghawatirkan karena berpotensi menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab ataupun pengaturan yang berkaitan dengan intelijen keimigrasian yakni intelijen penyelidikan keimigrasian dan pengamanan keimigrasian seperti yang diatur dalam Permenkumham Nomor 30 Tahun 2016. Berikutnya, dalam

Permenkumham a quo tidak memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dengan penyellidikan intelijen, berbeda dengan UU Keimigrasian jo PP Nomor 31 Tahun 2013 yang memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dengan penyelidikan keimigrasian. Permenkumham a quo juga tidak mengatur ataupun menjelaskan mengenai apa objek sasaran bidang keimigrasian ini, apakah hal tersebut termasuk juga tindak pidana keimigrasian? Selain itu, diatur pula bahwa timpora dapat melaksanakan fungsi intelijen tanpa memberikan Batasan wilayah kewenangan yang dilakukan oleh timpora dengan pejabat imigrasi. Sehingga harmonisasi yang perlu dilakukan adalah melakukan penambahan penjelasan ataupun pokok pengaturan pada Permenkumham a quo.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Hukum Keimigrasian di Indonesia memiliki tugas dan fungsi yang sangatlah luas dan kompleks namun terurai secara parsial sehingga acap kali memiliki pengaturan yang timpang tindih ataupun bertentangan antara peraturan yang satu dengan pengaturan lainnya. Sehingga perlu dilakukan harmonisasi hukum.

Dalam hukum keimigrasian terdapat tumpang tindih pengaturan terhadap kewenangan pejabat imigrasi dalam menjalankan fungsi imigrasi yakni melakukan pengawasan terhadap mobilitas ataupun keluar masuknya orang asing di Indonesia. Disharmonisasi hukum terjadi antara Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 50 Tahun 2016 tentang Tim Pengawasan Orang Asing dengan ketentuan Permenkumham Nomor 28 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kumham serta Pasal 2 Permenkumham No. 30 Th. 2016 tentang Intelijen Keimigrasian yang memiliki perbedaan konsep dengan istilah pada Pasal 74 Ayat (2) UU No. 6 Th. 2011 tentang Keimigrasian juncto pasal 202 ayat (2) PP No. 31 Th. 2013.

Upaya harmonisasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya disharmoni ini yakni dengan menambahkan penjelasan pada ataupun penambahan pokok pengaturan pada salah stau pengaturan a quo yang dapat mewadahi kebutuhan dari pengaturan tersebut untuk membuatnya selaras dengan pengaturan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. (Jakarta, Yayasan Obor, 2021).

Gunawan, Yordan. Pentingnya Harmonisasi Hukum Negara dan Hukum Islam. (Yogyakarta, UMY Press, 2012).

Hamidi, Jazim dan Charles Christian. Hukum Keimigrasian Bagi Orang Asing di Indonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2015).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2015).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 2012).

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. (Jakarta, Sinar Grafika, 2002).

JURNAL

Arifin, Ridwan dan Intan Nurkumalawati. “Kebijakan Pemeriksaan Keimigrasian di Indonesia: Bentuk Pelayanan Publik dan Profesionalisme Petugas Imigrasi”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14, No. 2 (2020): 243-262.

Benuf, Kornelius dan Muhamad Azhar. “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mnegurangi Permasalahan Hukum Kontemporer”. Jurnal Gema Keadilan 7. (2020): 20-34.

Budoyo, Sapto. "Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." CIVIS 4.2 (2014).

Manuaba, Ida Ayu Wijawati dan I Wayan Bela Siki Layang. “Kewenangan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai Terhadap WNA yang Melanggar Izin Tinggal”. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 6, No. 5 (2018): 1-15.

Mawar, Sitti. Metode Penemuan Hukum (Interpretasi Dan Konstruksi) Dalam Rangka Harmonisasi Hukum. Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, 2020, 1.1: 22-38.

Nugroho, Okky Cahyo. “Penegakan Hukum Terhadap Orang Asing di Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar dan Kelas I Khusus Bandara I Gusti Ngurah Rai”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure 17, No. 2 (2017): 231-247.

Nugroho, Trisapto Agung, and Trisapto Wahyudi. "Peran Intelijen Keimigrasian Dalam Rangka Antisipasi Terhadap Potensi Kerawanan Yang Ditimbulkan Oleh Orang Asing Di Wilayah Indonesia." Public Policy Scientific Journal 12, no. 3 (2018): 275-293.

Rahmad, Fatimah dan Ida Bagus Surya Dharma Jaya. “Penegakan Hukum Terhadap WNA yang Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Perjalanan (Studi di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai”. Jurnal Kertha Wicara 8, No. 1 (2018): 1-15.

Setiawan, Dede Rizky. “Tugas dan Wewenang Kantor Imigrasi Kelas II Pati Dalam Upaya Perlindungan Tenaga Kerja”. Diponegoro Law Journal 6, No. 1. (2017), 116.

Syahrin, M. Alvi. “Menakar Kedaulatan Negara Dalam Perspektif Keimigrasian”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, No. 1 (2018): 43-57.

Usfunan, Virginia. “Pengaturan tentang Penyelesaian Konflik Norma antara Peraturan Menteri Terhadap Undang-Undang”. Jurnal Kertha Semaya 8, No. 8 (2020): 11911201.

Zulfadli, Muhammad; dkk. “Penegakan Hukum sebagai Intrumen Perubahan Sosial untuk Membentuk Karakter Bangsa”. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Sarjana Ilmu Sosisl 2. (2017): 265-284.

Zulfikar, Achmad. 2019. “Harmonisasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran Dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004.” Thesis Commons. September 5.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 50 Tahun 2016 tentang Tim Pengawasan Orang Asing

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 30 Tahun 2016 tentang Intelijen Keimigrasian

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indoneisa. “Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Keimigrasian”. 2020.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 488-500