KEBEBASAN BERGERAK DALAM PEMBATASAN PERJALANAN INTERNASIONAL (TRAVEL RESTRICTIONS) PADA MASA PANDEMI COVID-19

Aisha Mahira Hakim Pambudi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : pambudi.aisha@gmail.com

Made Suksma Prijandhini Devi Salain, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: suksmadevi@gmail.com

DOI: KW.2022.v11.i02.p18

ABSTRAK

Tulisan bertujuan untuk menjelaskan penerapan pembatasan perjalanan yang diadopsi oleh negara-negara pada saat pandemi. Studi ini memakai metode normatif yang dipadupadankan perbandingan, kasus, dan perundang-undangan. Tulisan ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui apakah terdapat pelanggaran dengan adanya penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional pada masa Pandemi oleh Negara. Hasil studi memperlihatkan bahwa suatu pembatasan perjalanan internasional dapat diimplementasikan dengan dasar untuk kesehatan masyarakat dan tidak melanggar hak kebebasan bergerak jika suatu pembatasan tersebut selaras dengan hukum, adanya sasaran atau tujuan yang memang diperlukan, dan sejalan dengan hak lainnya yang terdapat pada Konvensi.

Kata Kunci: WHO, Pandemi, Hak Kebebasan Bergerak, Pembatasan Perjalanan Internasional

ABSTRACT

This writing aimed to examines the COVID-19 as a Public Health Emergency of International Concern that mutated into a Pandemic. In the Temporary Recommendations, WHO underlined the need to avoid undue interference with international travel and trade. Nevertheless, state parties are still adopting additional health measures regarding travel restrictions. This writing utilizes normative legal research merged with a comparative, case, and statutory. It also reveals whether implementing entry regulations during a pandemic is permissible under international law. In regards to this study, imposing restrictions in the time of pandemic is possible, If the implementation does not go beyond restrictive and intrusive to international traffic and persons.

Keywords: WHO, Pandemic, Rights of Freedom of Movement, International Travel Restriction

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Per 30 Januari 2020, Direktur WHO mendeklarasikan ‘novel coronavirus’ sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia atau Public Health Emergency of International Concern [“PHEIC”] yaitu insiden luar biasa yang mengancam kesehatan secara umum yang dapat menyebar secara global dan penanggulangannya memerlukan aksi internasional yang terkoordinir.1 Ditetapkannya coronavirus [“COVID-19”] sebagai Darurat Kesehatan Global dikarenakan kasus telah mencapai 7,834 orang dan 170 orang telah meninggal dunia. Selain itu, penyebaran COVID-19 mempunyai kesamaan seperti wabah SARS dan MERS penyebab dalam cepatnya penyebaran wabah secara global, hal ini disebabkan oleh pengguna jasa penerbangan sebagai sarana utama bepergian antar Negara. Jika dibandingkan dengan wabah flu Spanyol pada tahun 1918, penyebaran wabah membutuhkan waktu agar dapat menyebar ke Negara selain benua Eropa dikarenakan kendaraan yang digunakan untuk bepergian adalah Kapal Laut.2

Per 11 Maret 2020, terdapat 118.000 kasus di 114 Negara dan 4.291 kematian, Direktur Jenderal WHO merubah status wabah COVID-19 sebagai Pandemi.3 Setelah dinyatakannya COVID-19 sebagai Pandemi, WHO lalu mengadopsi Peraturan Kesehatan Internasional atau International Health Regulation (2005) [“IHR”] sebagai dasar dari ‘Rekomendasi Sementara’ untuk Negara Anggota agar dapat membuat peraturan kesehatan tambahan. WHO dalam ‘Rekomendasi Sementara’ menyarankan untuk mengimplementasikan suatu pengaturan kesehatan tambahan yang sesuai dengan IHR, dan menghindari pembuatan kebijakan yang sekiranya akan mengganggu lalu lintas perjalanan internasional.4

Namun, dengan dikeluarkannya ‘Rekomendasi Sementara’ oleh WHO, tidak sedikit dari Negara Anggota yang membuat kebijakan berkaitan dengan Pembatasan Perjalanan Internasional dalam bentuk Regulasi Larangan Masuk Sementara bagi Warga Negara Asing. Sampai pada tanggal 15 Juni 2020, tercatat sebanyak 65% dari destinasi di seluruh dunia yang telah menutup rapat pintu masuk Negara, terutama untuk Warga Negara Asing.5 Dengan maraknya

Negara Anggota yang mengimplementasikan Pembatasan Perjalanan Internasional, secara tidak langsung telah melanggar ketentuan Pembatasan Perjalanan Internasional dan telah melanggar ketentuan dari Peraturan Kesehatan Internasional.6 Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) IHR menyatakan bahwa dalam melaksanakan Peraturan Kesehatan Internasional harus sepenuhnya menghormati HAM dan kebebasan fundamental.7 Berdasarkan pasal tersebut, dalam mengimplementasikan ketentuan dari IHR harus menghormati dan sepenuhnya berpedoman pada hak asasi manusia. Namun, dalam mengimplementasikan pembatasan perjalanan internasional Negara secara tidak langsung akan membatasi hak asasi manusia yakni kebebasan bergerak.

Berdasarkan Pasal 12 International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang selanjutnya akan disebut sebagai [“ICCPR”], siapapun yang secara hukum memenuhi syarat untuk tinggal di wilayah manapun,8 bebas untuk meninggalkan Negara manapun, termasuk Negara asal.9 Namun, sebuah hak dapat dibatasi oleh hukum untuk melindungi hal yang telah diatur dalam Kovenan. Dengan maraknya pengimplementasian pembatasan perjalanan internasional, WHO mempertanyakan kebeneran dari Negara Anggota yang telah menerapkan pembatasan perjalanan internasional dengan menggunakan alasan kesehatan publik.10 Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan apakah negara-negara yang menerapkan pembatasan perjalanan pada saat pandemi dianggap telah melanggar ketentuan dari hukum internasional. Sebuah Negara dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional jika melakukan hal yang telah menimbulkan kerugian bagi negara lain dan telah melanggar kewajiban sebagai negara berdasarkan hukum internasional. Sebuah pelanggaran terhadap kewajiban hukum internasional oleh Negara timbul jika tindakan atau kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan kewajibannya. Sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 21 Konstitusi WHO yaitu WHO dapat mengadopsi peraturan mengenai suatu isu,11 dan hal tersebut bersifat mengikat secara hukum terhadap Negara anggota. Dengan terjadinya perubahan status yang cepat atas COVID-19, menyebabkan dikeluarkannya kebijakan yang didasari oleh IHR. Negara mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hukum yang diadopsi secara domestik telah konsisten dengan ketentuan hukum internasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum internasional ke dalam kebijkan domestik.

Agar dapat terjamin originalitas penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa peneliyian terdahulu yang memiliki penelitian yang sejenis yaitu: Ari Wirya Dinata berjudul “Pembatasan Hak Untuk Bergerak (Right to Move) Melalui Larangan masuk dan Pembatasan Perjalanan Selama Penyebaran Virus COVID-19 Menurut Hukum Internasional dan Hukum Indonesia”, yang membahas mengenai pembatasan perjalanan pada masa pandemi dan penanggulangan wabah dengan sudut pandang kebijakan domestik di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai “Analisis Yuridis Kebebasan Bergerak dalam Pembatasan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Atas dasar uraian di atas, adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu :

  • 1. Apakah penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional pada masa

Pandemi COVID-19 melanggar Hak Kebebasan Bergerak ?

  • 2. Apakah penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional pada masa

Pandemi COVID-19 diperbolehkan oleh WHO?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah dengan adanya penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional pada masa Pandemi oleh negara dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Serta membahas lebih dalam mengenai aturan tambahan menurut WHO.

Tujuan Khusus

  • a.    Untuk mengetahui apakah Negara Anggota dapat menerapkan Pembatasan Perjalanan Internasional ditinjau dari IHR.

  • b.    Untuk mengetahui dampak dari penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional pada masa Pandemi bagi komunitas internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Metode normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meniliti data-data sekunder.12 Dalam penelitian ini akan menggunakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti asas hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan dan melakukan sinkronisasi terhadap hukum yang ada, serta melakukan perbandingan hukum. Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan faktual. Lebih lanjut, bahan hukum yang akan digunakan yaitu perjanjian internasional dan kasus-kasus yang relevan sebagai bahan hukum primer. Selain itu, prinsip-prinsip serta pandangan para sarjana sebagai bahan sekunder. Pengumpulan bahan hukum tersebut melalui studi pustaka dengan mengacu kepada sumber-sumber hukum internasional yaitu Pasal 38 ICJ Statute.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Penerapan Pembatasan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Tidak Melanggar Hukum Internasional

Setiap Negara tidak lagi terfokus untuk menghindari terjadinya pelanggaran atas hak asasi manusia, tetapi Negara juga perlu mengambil langkah-langkah agar suatu hak asasi manusia dapat terjamin.13 Menurut Henry Shue14 dan Asbjørn Eide,15 terdapat 3 (tiga) tingkat kewajiban atas hak asasi manusia yang telah diadopsi secara universal yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.16 Tingkatan kewajiban tersebut dapat dipakai dalam kasus pemenuhan atas hak sipil dan politik ataupun ekonomi, sosial, dan kultural.17 Lebih lanjut, kewajiban untuk menghormati yaitu Negara dilarang untuk mencampuri atau mengganggu hak asasi manusia warga negaranya, kewajiban untuk melindungi yaitu sebuah negara berkewajiban untuk mencegah pelanggaran HAM oleh pihak ketiga dan kewajiban untuk memenuhi yaitu Negara berkewajiban untuk mengerahkan legislatif, administratif, anggaran, pengadilan ataupun cara yang tepat lainnya untuk pemenuhan realisasi atas hak asasi manusia.18 Dengan adanya pandemi COVID-19, tercatat pada tanggal 15 Juni 2020 terdapat 65% Negara yang telah menutup pintu perbatasannya. 19 Hal ini tentunya dapat mempengaruhi lalu lintas internasional dan secara tidak langsung telah melanggar ketentuan Pembatasan Perjalanan Internasional dan ketentuan dari Peraturan Kesehatan Internasional.20

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) IHR, “… the implementations of these regulations shall take into account the human rights and freedoms of persons.”21 Pasal tersebut mengatur bahwa dalam melaksanakan ataupun menerapkan Peraturan Kesehatan Internasional harus tetap menghormati secara penuh Hak Asasi Manusia. Rentannya benturan antar hak asasi manusia pada saat Pandemi menimbulkan masalah baru bagi pemerintah dalam menanggapi dan mengeluarkan suatu kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat secara umum.22 Walaupun tidak ada hak asasi manusia yang bersifat absolut tetapi terdapat hak-hak yang bersifat fundamental.23 Hak atas kesehatan adalah hak fundamental dari HAM,24 isu mengenai kesehatan publikpun sering dijadikan

sebagai dasar untuk Negara dalam membatasi beberapa HAM.25 Namun, pembatasan dengan dasar untuk melindungi kesehatan masyarakat harus memiliki durasi yang terbatas dan ditinjau lebih lanjut.26 Berdasarkan Pasal 12 Ayat (3) ICCPR ,27 “The freedom of movement may be subject to restrictions if it is provided by law,28 necessary to pursue a legitimate aim,29 and are consistent with the other rights recognised in ICCPR.30 Pasal di atas menjelaskan bahwa hak atas kebebasan bergerak dapat dibatasi,31 tetapi terdapat syarat atas pembatasan hak kebebasan bergerak yaitu dibatasi oleh hukum, adanya sasaran atau tujuan yang memang diperlukan, dan sejalan dengan hak lainnya yang terdapat pada Konvensi.32

  • 3.1.1    Regulasi Harus Didasari oleh Hukum

Sebagaimana diatur pada kasus Zoolfia,33 Peltonin,34 dan Celepli ,35 “…the measures to restrict the right and freedom of movement must be prescribed by law,36 it must be in accordance with the covenant.”37 Lebih lanjut, hal ini telah dipraktekkan atau digunakan pada kasus Sunday Times38 dan kasus R v Nova bahwa terdapat dua persayaratan agar suatu regulasi dapat dikategorikan ‘didasari oleh hukum’, yaitu (i) hukum tersebut harus dapat diakses, dan (ii) regulasi telah diformulasikan dengan detail sehingga masyarakat dapat menerapkannya. Tanpa adanya dasar hukum yang sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebuah Negara tidak bisa mengeluarkan regulasi pembatasan perjalanan.

  • 3.1.2    Regulasi Harus Mempunyai Sasaran atau Tujuan yang Diperlukan

Pada kasus Claude Ory, “… States may adopt measures but must pursue a legitimate aim”, bahwa Negara dapat mengadopsi sebuah langkah-langkah tetapi harus mempunyai tujuan yang sah. Tujuan yang sah ini tentunya telah ditentukan batasan-batasannya yang diatur pada Pasal 12(3) ICCPR,39 yaitu: kesehatan masyarakat. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kesehatan masyarakat sering dijadikan dasar

sebagai pembatasan suatu hak oleh Negara dengan menekankan bahwa penggunaan pembatasan tersebut hanya diperbolehkan jika ditujukan untuk melindungi hak-hak individu.40

  • 3.1.3    Regulasi Harus Selaras Dengan Hak-hak yang Terdapat Pada

    Konvensi

Berdasarkan Pasal 1 IHR, “Temporary recommendation means nonbinding advice issued by WHO.” Lebih lanjut, merujuk kepada kasus Zoolfia,41 Peltonen,42 dan Celepli43 bahwa dalam pembatasan kebebasan bergerak, langkah-langkah yang diambil ataupun diadopsi harus sesuai dengan kebutuhan44 agar dapat melindungi tujuan sosial45 dan proporsional. Agar suatu langkah dapat dikategorikan telah sesuai dengan kebutuhan, langkah tersebut harus proporsional46 dengan tujuan.47 Hal ini disebabkan karena kedua kata yaitu ‘necessary’48 dan ‘propotionate’49 saling terikat.

Jika negara anggota tetap mengeluarkan regulasi pembatasan perjalanan internasional yang telah secara kumulatif memenuhi Pasal 3 Ayat (1) IHR dan Pasal 12 Ayat (3) ICCPR maka sebuah negara tidak dapat dikatakan melanggar hak kebebasan bergerak pada saat pandemi. Selain itu, sebuah Negara yang menerapkan pembatasan perjalanan dan melarang Warga Negara Asing untuk masuk tidak dapat dikatakan telah melanggar hak kebebasan bergerak ataupun hukum internasional. Hal ini selaras dengan hukum kebiasaan internasional bahwa penerapan Pasal 12 ICCPR tidak dapat meluas secara ekstrateritorial dan hanya berlaku bagi penduduk yang berada di Negara tersebut.

  • 3.2    Pengaturan Penerapan Pembatasan Perjalanan Pada Masa Pandemi Selaras dengan Kebijakan WHO

IHR merupakan salah satu instrumen hukum Internasional yang dibentuk untuk membantu melindungi seluruh negara dari penyebaran wabah penyakit, serta hal-hal yang menyangkut Risiko Kesehatan Masyarakat (Public Health Risks) dan Darurat Kesehatan Masyarakat (Public Health Emergency). Lebih lanjut, IHR merupakan instrumen hukum Internasional yang bersifat mengikat bagi seluruh Negara atau legally binding yang mewajibkan negara-negara untuk patuh dan mengikuti peraturan didalamnya. IHR telah melalui beberapa kali revisi

khususnya selepas wabah SARS pada tahun 2003, IHR 2005 lebih lanjut menekankan bahwa negara disarankan untuk menghindari suatu interfensi atas lalu lintas internasional.50 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertanggal 15 Juni 2020 terdapat 65% Negara yang telah menutup pintu perbatasannya 51 yang dapat mengakibatkan tergganggunya lalu lintas internasional.52

Berdasarkan Pasal 1 IHR, “International traffic means the movement of persons, baggage, cargo, containers, conveyances, goods or postal parcels across an international border, including international trade.” Lalu lintas yang didefinisikan oleh IHR memiliki makna yang cukup luas, namun dengan dikeluarkannya pembatasan perjalanan internasional oleh negara-negara dan secara tidak langsung membatasi pergerakan manusia. Berdasarkan Pasal 43 IHR,53 “… Additional health meadures can only be implemented in response to a Public Health Emergency of International Concern [“PHEIC”], if they are backed up by (1) public health rationales; (2) scientific principles and evidence; or (3) WHO guidance and advice.”54 Dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 43 IHR bahwa negara tidak dapat mengimplementasikan aturan kesehatan tambahan secara eksklusif jika dasarnya tidak didukung oleh prinsip dan bukti ilmiah, dan saran dari WHO.55 Dalam memahami maksud dari Pasal 43 perlu diimbangi dengan instrumen hukum internasional lainnya agar dapat mengadopsi tingkat perlindungan atas kesehatan yang telah disesuaikan dengan kondisi tiap negara.

Suatu pembatasan perjalanan dapat dikatakan memadai jika pembatasan tersebut dan bukti ilmiah mempunyai tujuan yang sama.56 Pada saat merebaknya wabah Ebola (2014-16), Kanada mengadopsi pembatasan perjalanan dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran Ebola di wilayahnya yang bertentangan dengan bukti ilmiah mengenai penyebaran dari penyakit tersebut.57 Walaupun, IHR 2005 menekankan adanya interfensi yang tidak dibutuhkan terhadap lalu lintas internasional dikarenakan pada saat itu pembatasan perjalanan dinilai tidak efektif,58 dan hanya menghambat penyakit untuk masuk ke dalam sebuah negara tanpa meminimalisir jumlah orang yang tertular.59 Pemerintah Kanada membenarkan aturan kesehatan tambahannya untuk mencegah terjadinya penularan dan penyebaran virus Ebola di Kanada.60 Lebih lanjut, Pemerintah

Kanada beragumen bahwa dengan adanya pergerakkan keluar-masuk orang-perorangan dari daerah yang telah terinfeksi ke Kanada dapat berkontribusi dalam penyebaran wabah Ebola.61 Selain Kanada, terdapat beberapa Negara yang telah mengimplementasikan pembatasan perjalanan pada saat Ebola seperti Australia, Antigua, Barbuda dan Jamaika. Sama halnya saat wabah COVID-19, faktanya tidak sedikit dari negara-negara yang telah mengimplementasikan pembatasan perjalanan pada saat wabah COVID-19 dan pembatasan tersebut tidak didukung oleh WHO ataupun didukung oleh prinsip dan bukti ilmiah,62 hal ini tentunya telah melanggar ketentuan dari IHR.63 Disisi lain, Selandia Baru64 mengimplementasikan regulasi tentang penutupan perbatasan secara efektif dan progresif berdasarkan informasi risiko yang mengurangi penyakit impor yang mendorong epidemi.

Dalam menerapkan aturan tambahan, Negara harus memastikan bahwa bukti ilmiah yang digunakan merupakan bukti ilmiah terbaik yang tersedia mengenai suatu penyakit dan dapat mendukung aturan tambahan.65 Bukti ilmiah didasari oleh metode ilmiah dan dapat digunakan sebagai bukti.66 Agar suatu aturan tambahan dapat dikatakan memadai, aturan tersebut harus mempunyai hubungan yang objektif dengan bukti ilmiah. Bukti ilmiah yang layak adalah bukti ilmiah yang dapat divalidasi melalui penilaian risiko seperti: evaluasi terhadap konsekuensi penyakit, kemungkinan atas masuk dan penyebaran,67 dan memiliki hubungan yang rasional dengan aturan tambahan.68

Respons tata cara menangani PHEICs untuk negara anggota telah dibatasi secara hukum oleh IHR. Pada saat dideklarasikasikannya PHEIC, WHO secara tanggap mengeluarkan ‘Rekomendasi Sementara’ untuk seluruh negara anggota yang selaras dengan prinsip dan bukti ilmiah, dengan mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan masyarakat internasional, dan meminimalisir gangguan terhadap lalu lintas dan perdagangan internasional.69 Walaupun Negara memiliki kedaulatan dan dapat menentukan kebijakannya secara mandiri,70 terdapat 196 negara anggota yang telah mengadopsi IHR. Hal ini secara tidak langsung mengilustrasikan bahwa negara-negara telah mengakui betapa pentingnya sebuah kerja sama internasional dalam segi preventif dan mengotrol

penyebaran penyakit menular secara mengglobal.71 Demikian, penting bagi negara-negara untuk tidak hanya mengandalkan hasil penelitian domestiknya, tetapi juga melihat hasil dari penelitian internasional.72

Dengan direvisinya IHR 2005, lebih terfokus kepada perlindungan nasional melalui kontrol perbatasan dan membantu negara-negara untuk menahan wabah agar tidak terjadinya penyebaran.73 Hal ini yang membuat WHO menegaskan disetiap kesempatan bahwa tidak memperbolehkannya negara-negara untuk mengimplementasikan aturan kesehatan tambahan pada saat Pandemi. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa berdasarkan Pasal 43 IHR Negara dilarang mengadopsi aturan tambahan yang tidak diperlukan dan dapat mengganggu kelancaran lalu lintas internasional, khususnya aturan tambahan yang bersinggungan dengan perbatasan.

Secara historis, pada saat merebaknya wabah Ebola, pembatasan perjalanan yang diimplementasikan oleh Kanada dinilai terlalu berlebihan74 dan tidak memenuhi syarat pada Pasal 43.75 Hal ini yang menyebabkan Kanada dinilai melanggar kewajibannya dan tidak mematuhi IHR,76 khususnya pada saat PHEIC yang sangat diperlukannya sebuah kerja sama Internasional sesuai dengan IHR. Dilain sisi, terdapat beberapa Negara yang mengimplementasikan pembatasan perjalanan Internasional pada saat wabah Ebola, tetapi aturan tambahan tersebut tidak dinilai mengganggu kelancaran dari lalu lintas Internasional sehingga tidak menimbulkan adanya pelanggaran kewajiban. Sama halnya dengan Pandemi COVID-19 yang masih dikategorikan sebagai PHEIC, namun tidak sedikit dari Negara anggota yang mengimplementasikan pembatasan perjalanan walaupun dengan saran dari WHO.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

    4. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pertama, penerapan pembatasan perjalanan internasional pada masa pandemi COVID-19 tidak melanggar hak kebebasan bergerak jikaregulasi pembatasan perjalanan internasional telah secara kumulatif memenuhi Pasal 3 Ayat (1) IHR dan Pasal 12 Ayat (3) ICCPR. Maka sebuah negara tidak dapat dikatakan melanggar hak kekbebasan bergerak pada saat pandemi. Lebih lanjut, sebuah negara tidak dapat dikatakan melanggar hak kebebasan bergerak jika mengeluarkan regulasi yang melarang Warga Negara Asing untuk masuk, hal ini selaras dengan hukum kebiasaan internasional yang dikodifikasikan pada Pasal 12 ICCPR bahwa hak kebebasan tersebut tidak meluas secara esktrateritorial dan hanya berlaku di teritorial Negara yang mengeluarkan regulasi. Kedua, penerapan pembatasan perjalanan internasional pada masa pandemi COVID-19 tidak melanggar ketentuan yang dikeluarkan oleh WHO. Hal ini diperkuat dengan sifat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh WHO yaitu bersifat rekomendasi dan tidak mempunyai sifat mengikat. Negara

dapat mengimplementasikan regulasi mengenai pembatasannya selama regulasi tersebut tidak bersifat berlebihan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas dan kerja sama internasional.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bjorge, Eirik dan Miles, Cameron. 1997. Landmark Cases in Public International Law. Hart Pulishing: Portland.

Conte, Alex. 2010. Human Rights in the Prevention and Punishment of Terrorism. Springer: London.

Efendi, Jonaedi. 2016. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Kencana: Depok.

Joseph, Sarah dan Mcbeth, Adam. 2010. Research Handbook on International Human Rights Law. Edward Elgar: Cheltenham.

O. Gostin, Lawrence and Lazzarini, Zila. 1997. Human Rights and Public Health in the AIDS Pandemic. Oxford University Press: New York

Shue, Henry. 1992. Basic Rights: Subsistence, Affluence and US Foreign Policy. Princeton University: Princeton.

JURNAL/ARTIKEL

Andrew, Lee. (2020). Wuhan Novel Coronavirus (COVID-19): Why Global Control is Challenging? Public Health, 179, A1-A2.

Ferhani, Adam dan Rushton, Simon. (2020).The International Health Regulations, COVID-19, and Bordering Practices: Who Gets in, What Gets out, and Who Gets Rescued? Contemporary Securiry Policy, 41(3), 458-477.

Habibi, Roojin et al. (2020). Do Not Violate the International Health Regulations during the COVID-19 Outbreak. The Lancet, 395(10225), 664-666.

Jefferies, Sarah et al. (2020). COVID-19 in New Zealand and the Impact of the National Response: A Descriptive Epidemilogical Study. Lancet Public Health, 6(11), e612-23.

JLG, Dos Santos et al. (2021). Collision of Fundamental Human Rights and the Right to Health Access during the Novel Coronavirus Pandemic. Front. Public Health, 8(57024), 1-14.

Tejpar, Ali dan J. Hoffman, Steven. (2017). Canada’s Violation of International Law during the 2014-16 Ebola Outbreak. Canadian Yearbook of International Law, 54(368), 366-383.

INTERNET

IEKKRI. “Waspada Penyebaran Penyakit Infeksi Emerging.” Diakses pada 18 Oktober 2021. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/berita-bulletin/waspada-penyebaran-penyakit-infeksi-emerging#.

UNWTO. “Restrictions on Travel Easing as Europe Leads Cautious Restart of Tourism.” Diakses pada 28 Januari 2021. https://ww.unwto.org/news/restrictions-on-travel-easing-as-europe-leads-cautious-restart-of-toursim

Ruth Fletcher, Elaine. “WHO Head Praises China Response to Coronavirus Emergency: Criticizes “Unnecessary” Trade and Travel Restrictions.” Health Watch Policy. Diakses pada 02 Debruari 2021.     https://healthpolicy-watch.news/who-head-praises-china-response-to-coronavirus-

emergency-criticizes-unnecessary-trade-and-travel-restrictions/

WHO. “WHO Director-General’s opening remarks at the media briefing on COVID-19 – March 2020.” Diakses pada 27 Desember 2020. https://ww.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening -remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020

_____. “Report of the Director-General, 146th Meeting of the Executive Board.” Diakses pada tanggal 02 Februari 2021. https://www.who.int/director-general/speeches/detail/report-of-the-director-general-146th-meeting-of-the-executive-board

KASUS

Celepli v. Sweden, Communcation No. 456/1991, 18 Juli 1994.

Faurisson v. France, Comm. No 550/1993, 8 November 1996.

Karker v. France, Comm. No 833/1998, 26 Oktober 2000.

Orazova v. Turkmenistan, Comm. No 1883/2009, 20 Maret 2012.

Peltonen v Finland, Comm.No 492/1992, 21st Juli 1994.

WTO. Australia – Measure Affecting Importation of Salmon, Appellate Body Report.

____. United States - Continued Suspension of Obligations in the EC - Hormones Dispute, Appellate Body Report, 2008.

____. United States — Certain Measures Affecting Imports of Poultry from China, Panel Report, 29 September 2010.

____. Australia – Measure Affecting Importation of Salmon

Stefan Lars Nystrom v. Australia, UN Doc CCPR/C/102/D/1557/2007, Comm. No. 1557/2007, 18 Agustus 2011.

Zoolfia Batyrova v. Uzbekistan, Comm.No. 1585/2007, 13 Juli 2009.

Dokumen Lain

Eide, A. “The Right to Adequate Food as a Human Right: Special Rapporteur’s Report on the Right to Adequate Food”, UN Doc E/CN.4/Sub.2/1987/23 (7 July 1987).

_______. “The Rights to Adequate Food and to be Free from Hunger: Updated Study on the Right to Food”, UN Doc E/CN.4/Sub.2/1999/12 (28 June 1999).

WTO. WTO Analyticial Index: Guide to WTO Law and Practice, SPS Agreement - Article 2.

_____. WTO Analytical Index: Guide to WTO Law and Practice, SPS Agreement - Article 5.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 424-436