KETIDAKMAMPUAN ISTRI MELAKSANAKAN KEWAJIBAN SEBAGAI ALASAN POLIGAMI DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
on
KETIDAKMAMPUAN ISTERI MELAKSANAKAN
KEWAJIBAN SEBAGAI ALASAN POLIGAMI DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
I Ketut Cakra Wayu Madewa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i05.p10
ABSTRAK
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman perihal syarat-syarat pengajuan poligami berdasarkan UU Perkawinan. Selain itu, penulisan ini bertujuan untuk memberikan interpretasi terhadap frasa “tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri” sebagai salah satu syarat bagi seorang suami dapat melaksanakan poligami. metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan mendayagunakan pendekatan berdasarkan konsep dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang suami dapat melaksanakan poligami apabila dapat dibuktikan bahwa “isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya” sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a UU Perkawinan. Akan tetapi, frasa “kewajiban” yang tercantum dalam ketentuan tersebut perlu diperjelas dengan menggunakan metode interpretasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Metode interpretasi yang akan dijadikan pedoman dalam menemukan makna kewajiban isteri adalah metode interpretasi sistematis. Hak dan kewajiban suami maupun isteri telah diatur pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 dalam “Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri”. Maka dari itu, seorang isteri dinilai tidak dapat menjalankan kewajibannya apabila isteri tidak mampu menjalankan salah satu di antara atau lebih dari kewajiban-kewajiban isteri yang telah diatur secara limitatif dalam Bab VI UU Perkawinan. Adapun kewajiban isteri berdasarkan UU Perkawinan ialah “mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin” sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Perkawinan serta menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga dengan cara “mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) juncto Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan.
Kata Kunci: Kewajiban Isteri, Poligami, Perkawinan
ABSTRACT
The purpose of this paper is to gain knowledge and understanding based on the requirements for submitting polygamy in the Marriage Law. In addition, this paper aims to provide an interpretation of the phrase "cannot carry out his obligations as a wife" as one of the requirements for a husband who has more than one wife (polygamy). The research method used is a normative legal research method by utilizing an approach based on concepts and laws and regulations. The results of the study indicate that a husband can have more than one wife if it can be proven that the wife cannot carry out her obligations as regulated in Article 4 paragraph (2) letter a of the
Marriage Law. However, the phrase "obligation" contained in the provision needs to be clarified using the interpretation method stated above. The interpretation method that will be used as a guide in finding the meaning of the wife's obligations is a systematic interpretation method. The rights and obligations of husbands and wives have been regulated in Articles 30 to 34 in the same chapter, namely Chapter VI concerning the Rights and Obligations of Husbands and Wives. Therefore, a matter that is considered unable to carry out its obligations if it cannot carry out one or more of the obligations is the obligations that have been limitedly regulated in Chapter VI of the Marriage Law. The obligations under the Marriage Law are to love, respect, be faithful, and provide spiritual and physical assistance as regulated in Article 33 of the Marriage Law and run as a housewife by managing household affairs as well as possible as regulated in Article 31 paragraph (3) in conjunction with Article 34 paragraph (2) of the Marriage Law.
Keywords: Wife’s duty, Polygamy, Marriage
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Pada hakikatnya, setiap manusia tidak dapat menjalankan kehidupan tanpa memerlukan interaksi atau hubungan dengan manusia yang lain. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari sifat manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya membentuk ikatan lahir dan bathin untuk hidup bersama dan saling mencintai satu sama lain secara sah berdasarkan agama dan hukum disebut dengan istilah perkawinan. Secara kodrati manusia juga diciptakan berpasang-pasang, memiliki kecenderungan berkeluarga dan membentuk keturunan, dari generasi ke generasi melalui perkawinan. Artinya, hidup bersama sebagai pasangan suami isteri merupakan salah satu hasil dari interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Pelaksanaan perkawinan tidak hanya didasarkan pada motivasi secara lahir dan bathin, tetapi juga mencakup tujuan yang lebih mulia yaitu “membentuk suatu keluarga atau rumah tangga bahagia yang kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari tujuan tersebut tersirat makna bahwa hendaknya seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan perkawinan sekali seumur hidup.1
Negara memegang peran sentral dalam mengatur hubungan-hubungan yang terjadi di lingkungan masyarakat, termasuk di dalamnya hubungan perkawinan. Ikatan yang terbentuk melalui perkawinan pada akhirnya membentuk unit sosial terkecil dalam masyarakat yang disebut dengan istilah keluarga. Apabila terjadi permasalahan yang berhubungan dengan perkawinan dan keluarga, negara dapat berperan untuk mengatasi persoalan tersebut melalui kebijakan legislasi. Kehadiran negara dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan perkawinan dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera pada umumnya dan kehidupan keluarga yang sejahtera lahir dan bathin pada khususnya. Atas dasar itulah kemudian pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagai instrumen yuridis perkawinan di Indonesia.2 Salah satu aspek penting yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah
diterapkannya asas monogami sebagai asas utama dalam perkawinan. Asas monogami yang berarti seorang suami hanya diperbolehkan memiliki seorang isteri dan demikian juga sebaliknya telah menjadi asas yang fundamental dalam hukum perkawinan di Indonesia. Asas dimaksud telah tercantum secara jelas dan tegas dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan. Kendatipun demikian, asas monogami ini dalam keadaan tertentu dapat disimpangi sehingga praktik poligami masih dimungkinkan terjadi. Negara tidak bisa menutup mata terhadap ajaran agama yang memang membolehkan poligami secara restriktif atau eksepsional dengan beberapa syarat tertentu. Karenanya, wajar jika negara berupaya mengakomodasi kepentingan tersebut ke dalam UU Perkawinan. Implementasi perkawinan poligami di Indonesia tentu saja tidak dapat dilaksanakan tanpa didasari seperangkat aturan yang bersifat khusus. Hal demikian dimaksudkan untuk menghindari adanya praktik poligami secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh seorang suami.
Izin berpoligami diberikan negara setelah mendapat izin dari pihak isteri dan pengadilan. Terkait persyaratan izin pengadilan, seorang suami harus mengajukan surat permohonan kepada pengadilan yang dilandasi dengan alasan-alasan yang dapat diterima, yaitu “isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan”. Sehubungan dengan syarat yang pertama, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut atau memberikan batasan yang tegas mengenai apa saja yang termasuk kewajiban seorang isteri. Maka dari itu, Pengadilan sebagai institusi yang berwenang memberikan atau tidak memberikan izin poligami tidak memiliki pedoman dalam menentukan kewajiban-kewajiban apa saja yang dipikul oleh seorang isteri yang tidak dapat dijalankan oleh isteri sehingga seorang suami dapat diberikan izin berpoligami. Penjelasan tentang kewajiban isteri penting untuk diatur karena hakim memiliki kewajiban untuk bersikap objektif dalam mengabulkan atau menolak permohonan izin poligami, mengingat dampak yang muncul dari adanya poligami tidak hanya berlaku bagi suami dan isteri, melainkan juga anak dari pasangan suami isteri tersebut. Ketidakmampuan isteri dalam menjalankan kewajiban sebagai alasan diperbolehkannya praktik poligami merupakan alasan yang masih kurang jelas sehingga suami dapat menyalahgunakan alasan tersebut agar dapat melangsungkan perkawinan lagi. Perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dari adanya praktik poligami lantaran tidak mempunyai daya tawar dan kedudukannya semakin lemah. Permasalahan yang telah dipaparkan di atas menjadi dorongan bagi penulis untuk mengkajinya dalam bentuk jurnal dengan judul “Ketidakmampuan Isteri Melaksanakan Kewajiban Sebagai Alasan Poligami Dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan”.
Topik permasalahan yang disinggung di atas belum pernah diajukan sebelumnya sebagai penelitian ilmiah. Artinya, penelitian ini masih memiliki unsur kebaruan dibandingkan dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Sebagai pembanding, berikut akan dijelaskan dua penelitian terdahulu yang secara substansi membahas tentang poligami. Pertama, penelitian dengan judul “Proporsionalitas Alasan Poligami Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” oleh Cholida Hanum dan Saiful Rohman. Hasil kajian menunjukkan bahwa perempuan berada dalam posisi yang lemah karena alasan-alasan poligami yang tidak proporsional. Beranjak dari hal tersebut, syarat-syarat poligami yang memperlemah kedudukan
perempuan perlu diubah paradigmanya melalui penafsiran-penafsiran hakim.3 Kedua, penelitian dengan judul “Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim dalam Memutus Permohonan Izin Poligami Karena Isteri Tidak Bisa Menjalankan Kewajiban (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Purworejo No. 0090/Pdt.G/2018/PA.Pwr)” oleh Hari Widiyanto. Hasil kajian menunjukkann bahwa Pengadilan Agama Purworejo memberikan izin poligami kepada seorang suami karena isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Di dalam perkara, pertimbangan hakim bahwa ada surat pernyataan isteri bahwa sanggup dan mau dimadu.4 Berbeda halnya dengan dua penelitian tersebut, pada penelitian ini juga akan dikemukakan mengenai bagaimana sebaiknya memaknai “ketidakmampuan isteri dalam melaksanakan kewajiban” sebagai alasan seorang suami mengajukan poligami kepada pengadilan.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Apa saja alasan-alasan pengajuan poligami berdasarkan UU Perkawinan?
-
2. Bagaimana sebaiknya menafsirkan ketidakmampuan isteri dalam menjalankan kewajiban sebagai alasan pengajuan poligami?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman perihal syarat-syarat pengajuan poligami berdasarkan UU Perkawinan. Selain itu, penulisan ini bertujuan untuk memberikan interpretasi terhadap frasa “tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri” sebagai salah satu syarat bagi seorang suami untuk melaksanakan poligami.
-
II. Metode Penelitian
Berdasarkan pemaparan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka metode penelitian yang tepat digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Objek yang dijadikan dasar dalam penelitian hukum normatif adalah kaidah-kaidah yang tercantum pada undang-undang dan instrumen hukum lainnya. Melalui kajian tersebut, maka dapat diketemukan problematika yang bersifat normatif yang meliputi tumpang tindih pengaturan, norma penelitian yang relevan dengan topik penelitian ini yaitu pendekatan konseptual dan pendekatan undang-undang. Selanjutnya, bahan hukum yang dijadikan rujukan dalam penulisan penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan penelitian ilmiah. Teknik analisis yang dijadikan acuan dalam menganalisis topik penelitian ini adalah teknik deskriptif, evaluasi, dan argumentasi.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Alasan-Alasan Pengajuan Poligami Berdasarkan UU Perkawinan
Poligami merupakan terminologi yang diperoleh dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Poly” (banyak) dan “Gamos” (perkawinan).5 Maka dari itu, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami adalah perkawinan yang banyak. Poligami terbagi menjadi dua bentuk yaitu poligini yang artinya seorang suami memiliki isteri lebih dari satu dan poliandri yang artinya seorang isteri memiliki suami lebih dari satu.6 Namun dalam perkembangannya, poligini menjadi terminologi yang tidak lagi digunakan oleh masyarakat dan hanya antropolog saja yang masih menggunakan istilah poligini. Kondisi tersebut kemudian menjadikan istilah poligami sebagai pengganti istilah poligini sehingga yang dimaksud dengan poligami lebih mengarah pada praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan.7 Istilah yang populer digunakan selain poligami adalah bermadu atau permaduan. Kedua istilah tersebut baik “bermadu” maupun “permaduan” memiliki kata dasar “madu” yang berarti isteri sah yang lain dari seorang suami.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia berasaskan monogami. Namun, dengan memenuhi syarat-syarat dan alasan-alasan tertentu seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari satu yang disebut dengan istilah poligami. Penerapan asas monogami dan diperbolehkannya praktik poligami didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk melaksanakan asas monogami dan ajaran agama yang memberikan ruang kepada umatnya untuk melangsungkan praktik poligami sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Masyarakat dan negara setidak-tidaknya akan mendapatkan 3 (tiga) dampak yang positif sebagai akibat diaturnya poligami oleh negara. Pertama, pengaturan poligami secara ketat dan tidak diskriminatif secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan. Kehadiran negara dalam menentukan syarat-syarat dan alasan-alasan poligami sangat penting dalam rangka mencegah adanya praktik poligami yang didasarkan atas kesewenang-wenangan. Kedua, pengaturan poligami termasuk pencatatannya oleh negara merupakan wujud pelindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Pencatatan perkawinan poligami sangat diperlukan agar seorang suami tidak mengabaikan kewajibannya terhadap isteri-isteri dan anaknya. Perkawinan baru dapat dikatakan secara sah di mata hukum apabila pihak tercatat di kantor urusan agama atau catatan sipil. Ketiga, diaturnya poligami oleh negara bertujuan untuk memudahkan pemerintah dalam menginventarisasi jumlah penduduk. Dengan demikian, maka pemerintah dapat menentukan secara pasti mengenai kebijakan dan tindakan yang akan diambil dalam rangka menjalankan pembangunan nasional karena adanya ketersediaan data populasi dan hasil produksi.8
Persoalan poligami di Indonesia pada dasarnya sangat terkait dengan peran dan selera politik penguasa (negara). Tinggal bagaimana penguasa mampu mengakomodasi dan membangun komunikasi yang harmonis dengan berbagai kelompok kepentingan, guna menciptakan suatu hukum perkawinan yang berorientasi praktis dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Jika menilik lebih lanjut dalam Pasal 4 UU Perkawinan, sebelum dapat melakukan poligami, seorang suami terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari Pengadilan, yang diajukan kepada Pengadilan di wilayah tempat tinggalnya. Pengadilan utamanya dalam mengeluarkan izin, memperhatikan apakah rencana poligami tersebut telah dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadilan juga turut memperhatikan apakah poligami diperbolehkan oleh aturan agama yang dianut oleh pemohon. Baru kemudian, pengadilan mempertimbangkan mengenai pemenuhan keadaan yang dapat dijadikan alasan berpoligami dan pemenuhan syarat-syarat oleh pemohon. Keharusan adanya izin dari pengadilan menunjukkan bahwa hukum menghendaki ada verifikasi yudisial melalui sidang pengadilan perihal kelayakan laki-laki yang ingin berpoligami. Untuk bisa mendapatkan izin dari pengadilan, pemohon harus mendapatkan persetujuan isteri dan bukti kepastian suami dapat menjamin seluruh kebutuhan anak-anak dan para isterinya serta berlaku adil. Persetujuan dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau lisan. Jika persetujuan diberikan secara lisan, maka persetujuan tersebut harus dikemukakan kembali di sidang pengadilan. Apabila isteri yang hendak dimintakan persetujuannya menghilang atau tidak ada kabar dalam kurun waktu minimum 2 tahun, maka suami tetap dapat mengajukan permohonan poligami tanpa persetujuan isteri. Selanjutnya, syarat harus berlaku adil ini sangat penting peranannya mengingat tanpa adanya perlakuan yang adil oleh seorang suami terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya, maka akan menimbulkan kecemburuan dan pada akhirnya hubungan keluarga tidak harmonis dan rentan akan pertikaian.9 Pemenuhan keadaan yang bisa digunakan sebagai dasar berpoligami telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan. Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk beristeri lebih dari satu yaitu ketidakmampuan isteri dalam melaksanakan kewajibannya, isteri menderita cacat atau penyakit yang tidak mampu dipulihkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ketentuan tersebut menunjukkan syarat-syarat substantif yang melekat pada isteri atau dapat dikatakan kondisi-kondisi yang secara rasional dapat dijadikan alasan bagi seorang suami untuk melangsungkan perkawinan kembali. Mengenai keadaan ketidakmampuan seorang isteri dalam menjalankan kewajibannya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kewajiban apa saja yang dijadikan ukuran, apakah kewajiban yang dimaksud merupakan kewajiban jasmani lahiriah ataukah kewajiban rohani batiniah.
-
3.2. Ketidakmampuan Isteri Melaksanakan Kewajiban Sebagai Alasan Pengajuan Poligami
Penemuan hukum memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengatasi permasalahan konkrit yang terjadi di masyarakat yang belum diatur akibatnya oleh hukum atau dalam hal dasar hukumnya telah tersedia namun masih mengandung ketidakjelasan. Penerapan hukum terhadap peristiwa tertentu pada praktiknya di pengadilan maupun di luar pengadilan menemui kendala yang cukup sulit lantaran aturan hukum yang tersedia masih menimbulkan multi interpretasi, tidak
komprehensif, tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, tidak mampu mengatasi tantangan perubahan zaman, atau bahkan sama sekali tidak ditemukan dasar hukumnya. Ikhtiar dalam menyempurnakan instrumen hukum yang mengandung ketidakjelasan dapat ditempuh melalui perbaikan oleh lembaga yang berwenang untuk itu atau melalui metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim.10 Beragam metode penafsiran hukum yang dapat digunakan untuk menemukan kejelasan makna dari ketentuan undang-undang ialah sebagai berikut:
-
1. Metode interpretasi gramatikal merupakan interpretasi menurut bahasa, yaitu menafsirkan atau menjelaskan suatu norma berdasarkan bahasa umum sehar-hari atau dengan kata lain merujuk pada kamus bahasa. Segala hal yang menyangkut tentang hukum tentunya membutuhkan bahasa di dalamnya. Ketika pemerintah hendak membentuk undang-undang, ketika hakim bermusyawarah untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan, atau ketika para pihak hendak mengadakan perikatan dalam bentuk perjanjian, maka bahasa mempunyai andil yang signifikan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa metode penafsiran gramatikal hanya fokus pada kata-kata dan sintaksis sehingga suatu norma hanya perlu ditafsirkan berdasarkan kata-kata yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.11
-
2. Metode penafsiran secara sistematis merupakan cara menemukan maksud sebenarnya dari pembentuk undang-undang dengan melihat undang-undang secara menyeluruh. Selain memperhatikan hubungan satu dengan lainnya dari seluruh ketentuan yang ada di dalam undang-undang, isi undang-undang juga dilihat dalam kaitannya dengan undang-undang lain yang relevan. Segenap hubungan itu kemudian membentuk suatu sistem hukum yang besar. Menafsirkan aturan hukum tertentu bukanlah secara terpisah, tetapi dalam seperangkat aturan yang lebih luas.
-
3. Untuk mencari makna yang tersembunyi di balik kata-kata, maka sejarah akan membantu dengan berbagai cara. Metode penafsiran historis merupakan cara menemukan maksud sebenarnya dengan melihat sejarah pembentukan undang-undang. Melalui metode ini akan diketahui secara utuh maksud dibentuknya undang-undang dan situasi yang terjadi pada saat pembentukan undang-undang. Ketika menafsirkan makna dari materi muatan dari suatu undang-undang, maka sebenarnya yang dicari adalah maksud yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.12
-
4. Penafsiran teleologis (sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang, dikarenakan kebutuhan-kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut masa sedangkan bunyi pasal undang-undang sama saja. Artinya, hakim menafsirkan undang-undang bukan berdasarkan situasi sosial
maupun latar belakang pada saat undang-undang itu dibuat, melainkan ditafsirkan berdasarkan situasi sosial yang sedang dihadapi sekarang.
-
5. Metode penafsiran futuristis digunakan untuk mencari pemecahan atas suatu perkara yang belum diatur dalam undang-undang yang berlaku. Lazimnya, metode penafsiran futuristis dilakukan dengan cara mengacu pada rancangan undang-undang yang belum disahkan secara formil, tetapi telah disetujui oleh eksekutif dan legislatif. Kaidah-kaidah hukum yang belum mempunyai kekuatan mengikat dapat diterapkan pada suatu perkara dengan tujuan menghadirkan keadilan yang nyata meskipun belum diatur secara resmi.
-
6. Penafsiran argumentatum a contrario dilakukan dengan cara memutarbalikkan definisi atau penjelasan antara permasalahan yang sedang ditangani dengan permasalahan yang telah diatur dalam undang-undang. Melalui penafsiran ini maka akan diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan yang ditangani bukan merupakan objek yang diatur dalam undang-undang itu.13
-
7. Semua metode penafsiran kecuali penafsiran gramatikal dapat keluar dari katakata menurut arti gramatikalnya. Hal ini menjurus kepada dua arah. Pertama, dapat diberikan penafsiran yang lebih sempit daripada yang tertulis. Kedua, dapat diberikan penafsiran yang lebih luas daripada yang tertulis. Penafsiran restriktif adalah penafsiran yang bersifat membatasi makna suatu teks, sebaliknya penafsiran ekstensif bersifat melampaui batas-batas penafsiran gramatikal. Artinya, metode penafsiran restriktif adalah cara memahami makna suatu teks dengan membatasi makna gramatikalnya, sedangkan metode penafsiran ekstensif adalah cara memahami makna suatu teks dengan memperluas makna gramatikalnya. Penggunaan metode penafsiran restriktif atau ekstensif terhadap suatu teks, tidak berarti memberikan penafsiran yang lebih sempit atau lebih luas daripada apa yang sebenarnya dimaksudkan pembuatnya. Sebab jikalau itu yang dilakukan, maka telah meninggalkan bidang penafsiran. Padahal tujuan penafsiran adalah berusaha mengikuti jejak pikiran pembuatnya, dengan bertolak pangkal dari teks yang dibuat. Oleh karenanya, meskipun sifatnya membatasi atau memperluas makna teks, metode penafsiran restriktif atau ekstensif tidak dapat dilepaskan dari maksud pembuatnya.
-
8. Penafsiran autentik yaitu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang terhadap beberapa kata penting. Oleh karena pembentuk undang-undang telah memberikan penjelasan terhadap beberapa kata dalam suatu peraturan, maka hakim dilarang menafsirkan di luar atau selain dari apa yang telah ditentukan penjelasannya. Tegasnya, pasal-pasal yang termuat dalam suatu peraturan memiliki makna yang jelas, tegas, dan tidak dapat ditafsirkan selain dari yang telah ditentukan maknanya oleh pembentuk peraturan.14
-
9. Interpretasi komparatif atau perbandingan adalah cara menafsirkan hukum melalui perbandingan antara aturan hukum yang satu dengan aturan hukum
yang lain. Melalui perbandingan tersebut, maka hakim akan menemukan makna yang sesungguhnya terhadap norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Objek yang dibandingkan dalam interpretasi komparatif meliputi asas-asas hukum, aturan hukum, latar belakang, dan sejarah yang melatarbelakangi pembentukan aturan hukum.
-
10. Penafsiran interdisipliner dilaksanakan dengan cara mendayagunakan berbagai disiplin ilmu hukum yang saling terkait satu sama lain untuk mengatasi permasalahan konkrit yang terjadi. Penggunaan lebih dari satu cabang ilmu hukum ini didasari pada pertimbangan bahwa perkara yang sedang ditangani tidak bisa diselesaikan dengan cara mengandalkan satu cabang ilmu hukum saja.
-
11. Penafsiran multidisipliner yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan penafsiran interdisipliner. Penafsiran interdisipliner melibatkan beberapa disiplin ilmu yang masih berada dalam ranah yang sama yaitu ilmu hukum. Sementara pada penafsiran multidisipliner, hakim tidak hanya dituntut untuk mempelajari dan memahami disiplin ilmu hukum saja, melainkan juga disiplin ilmu di luar ilmu hukum, termasuk cabang-cabang kekhususannya.15
Seorang suami dapat melaksanakan poligami apabila dapat dibuktikan bahwa “isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya” sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a UU Perkawinan. Akan tetapi, frasa “kewajiban” yang tercantum dalam ketentuan tersebut perlu diperjelas dengan menggunakan metode interpretasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Metode interpretasi yang akan dijadikan pedoman dalam menemukan makna kewajiban isteri adalah metode interpretasi sistematis. Hak dan kewajiban suami maupun isteri telah diatur pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 dalam “Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri”. Maka dari itu, seorang isteri dinilai tidak dapat menjalankan kewajibannya apabila isteri tidak mampu menjalankan salah satu di antara atau lebih dari kewajiban-kewajiban isteri yang telah diatur secara limitatif dalam Bab VI UU Perkawinan. Adapun kewajiban isteri berdasarkan UU Perkawinan ialah sebagai berikut:
-
1. “Isteri wajib mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Perkawinan.
-
2. Isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) juncto Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan”.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Seorang suami dapat melaksanakan poligami apabila dapat dibuktikan bahwa “isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya” sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a UU Perkawinan. Akan tetapi, frasa kewajiban yang tercantum dalam ketentuan tersebut perlu diperjelas dengan menggunakan metode interpretasi yang sudah dipaparkan sebelumnya. Metode interpretasi yang akan dijadikan pedoman dalam menemukan makna kewajiban isteri adalah metode interpretasi sistematis. Hak
dan kewajiban suami maupun isteri telah diatur pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 dalam “Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri”. Maka dari itu, seorang isteri dinilai tidak dapat menjalankan kewajibannya apabila isteri tidak mampu menjalankan salah satu di antara atau lebih dari kewajiban-kewajiban isteri yang telah diatur secara limitatif dalam Bab VI UU Perkawinan. Adapun kewajiban isteri berdasarkan UU Perkawinan ialah “mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir bathin” sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Perkawinan serta menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga dengan cara “mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) juncto Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bachrul Ulum. Rekonstruksi Pengaturan Pemabatasan Usia Perkawinan. (Yogyakarta, Lontar Mediatama, 2018), 1.
Jazil Rifqi. Telaah Problematika Pasal-Pasal Hukum Perkawinan Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam. (Pamekasan, Duta Media Publishing, 2017), 40.
Khaeron Sirin. Perkawinan Mazhab Indonesia Pergulatan Antara Negara, Agama, dan Perempuan. (Sleman, Deepublish, 2018), 45.
Jurnal:
Askarial, S. H. "Interpretasi atau Penafsiran sebagai Metode Penemuan Hukum." Menara Ilmu 12, no. 2 (2018).
Hanum, Cholida, and M. Saiful Rohman. "Proposionalitas Alasan Poligami Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Qawwam 12, no. 2 (2018): 188-201.
Imron, Ali. "Menimbang Poligami dalam Hukum Perkawinan." QISTIE 6, no. 1 (2012).
Juanda, Enju. "Konstruksi Hukum Dan Metode Interpretasi Hukum." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 4, no. 2 (2017): 168-180.
Mustari, Abdillah. "Poligami dalam Reinterpretasi." Jurnal Sipakalebbi 1, no. 3 (2014).
Nur, Muliadi. "Rechtsvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)." Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah 2, no. 1 (2016).
Sumardi, Didi. "Poligami Perspektif Keadilan Gender." ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan 9, no. 1 (2015): 185-202.
Taqiuddin, Habibul Umam. "Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim." JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 1, no. 2 (2017).
Tutik, Titik Triwulan. "Ilmu Hukum: Hakekat Keilmuannya Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum." Jurnal Hukum & Pembangunan 44, no. 2 (2014): 245268.
Wati, Rahmi Ria, Nurlaili Elly, and Sumarningsih Indah. "Poligami Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam." Pactum Law Journal 2, no. 01 (2018): 491-504.
Weruin, Urbanus Ura, and Dwi Andayani. "Hermeneutika Hukum: Prinsip dan Kaidah Interpretasi Hukum." Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (2016): 95-123.
Widiyanto, Hari. "Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Permohonan Izin Poligami Karena Isteri Tidak Bisa Menjalankan Kewajiban." Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir 3, no. 1 (2020): 23-30.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1045-1055
Discussion and feedback