PERLINDUNGAN HUKUM DAN UPAYA PENANGGULANGAN ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEBAGAI PENGEMIS DI DENPASAR
on
PERLINDUNGAN HUKUM DAN UPAYA PENANGGULANGAN ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEBAGAI PENGEMIS DI DENPASAR
Stephanie Tinuresi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Bima Kumara Dwi Atmaja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i05.p08
ABSTRAK
Penelitian ini mempunyai tujuan dalam mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum dan faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan eksploitasi anak khususnya eksploitasi anak yang dipekerjakan sebagai pengemis di Kota Denpasar dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Penelitian ini menggunakan metodologi hukum empiris yang mengkaji peraturan perundang-undangan maupun konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan efektifitas dan implementasi dari UUPA yang berkaitan dengan eksploitasi anak sebagai pengemis. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bagaimana pemerintah Kota Denpasar memberikan perlindungan hukum serta bagaimana meminimalisir faktor-faktor yang menghambat upaya dalam menanggulangi eksploitasi anak sebagai pengemis di Kota Denpasar. Perlindungan hukum dan upaya penanggulangan eksploitasi anak sebagai pengemis merupakan perlindungan khusus yang pelaksanaannya wajib sesuai dengan UUPA agar menjamin hak-hak anak untuk dapat tumbuh, berkembang, dan hidup ecara maksimal dalam kerangka harkat dan martabat kemanusiaan, dilindungi dari macam kekerasan hak serta eksploitasi. Akan tetapi, terbukti dalam pengimplementasian peraturan perundang-undangan tersebut masih belum terlihat keefektifan pemerintah, lembaga perlindungan anak, serta segenap elemen masyarakat memandang eksploitasi anak sebagai hal yang urgensi untuk segera ditangani, karena hal ini bersangkutan dengan hak anak yang patut dipenuhi untuk kemajuan Negara. Sehingga seluruh anak bangsa dapat menjadi generasi penerus yang sehat, beradab dan terpenuhi hak asasi manusianya.
Kata kunci : Anak, Eksploitasi, Pengemis
ABTRACT
This research aims to examine and analyze legal protection and factors that hinder efforts to combat child exploitation, especially the exploitation of children employed as beggars in Denpasar City based on Law No. 35 of 2014 on Child Protection (UUPA). This research uses empirical legal methodologies that examine laws and regulations and legal concepts related to the effectiveness and implementation of the UUPA related to the exploitation of children as beggars. The results of this study show how the Denpasar City government provides legal protection and how to minimize factors that hinder efforts to overcome child exploitation as beggars in Denpasar City. Legal protection and efforts to combat the exploitation of children as beggars are special protections whose implementation must be in
accordance with the UUPA in order to ensure the rights of children to be able to grow, develop, and live optimally within the framework of human dignity and dignity, protected from various kinds of rights violence and exploitation. However, it is evident in the implementation of the legislation that it is still not seen the effectiveness of the government, child protection agencies, and all elements of society view child exploitation as an urgency to be addressed immediately, because this is related to the rights of children that must be fulfilled for the progress of the State. So that all the nation's children can become the next generation who are healthy, civilized and fulfilled their human rights.
Keywords: Children, Exploitation, Beggars
Anak adalah ciptaan Tuhan yang membawa kebahagiaan kedalam hidup kita, yang pantas mendapatkan cinta dan perlindungan sebagai hadiah dari kebahagiaan itu. Berdasarkan pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat dengan UUPA) menjelaskan bahwa anak merupakan manusia dibawah usia 1 8 tahun yang perlu dilindungi hak-haknya dari macam kegiatan diskriminasi yang mengganggu tumbuh dan kembang anak agar terwujud keadilan sesuai harkat dan martabat manusia. Anak merupakan insan cilik yang keberadaan dan hak-haknya wajib dipenuhi dan dilindungi secara pasti berdasarkan hukum yang berlaku. Perlindungan hukum atau legal protection ditujukan dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi ke dalam sebuah hak hukum.1 Sedangkan perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin perlindungan terhadap anak dan hak-hak anak dari segala macam bentuk kekerasan dan diskriminasi. Beranjak dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ruang lingkup perlindungan hukum untuk anak yaitu pelestarian kebebasan anak, perlindungan hak asasi anak yang terkait dengan kesejahteraan anak. Hak-hak anak merupakan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat dengan HAM) karena anak sejak dalam kandungan seorang ibu telah dilingkupi oleh hak-hak paten yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Perampasan hak anak merupakan hal yang salah dan bertentangan dengan HAM. Perampasan dan penelantaran hak-hak anak motifnya sangat beragam, salah satunya adalah eksploitasi anak secara ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang seharusnya merupakan peran orang dewasa. Hal ini akan menghasilkan pekerja anak yang tak layak seperti pengemis, pengamen, pedagang kaki lima, serabutan dan sebagainya. Istilah dieksploitasi secara ekonomi mengacu pada setiap tindakan yang dilakukan pada anak tanpa sepengetahuan atau izin anak tersebut. Kebanyakan, eksploitasi anak dilakukan oleh orang yang sangat terdekat seperti orangtua, keluarga ataupun lingkungan sekitar. Larangan eksploitasi pada anak diatur dalam Pasal 76I yang menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. Eksploitasi anak menjadi permasalahan yang masih belum terpecahkan dan masih sedikit solusinya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) selama kurun waktu tahun 2016-2020 mencatat terjadi sebanyak 1409 kasus eksploitasi anak, baik dari pengaduan langsung ke KPAI ataupun hasil investigasi oleh KPAI. Pengemis merupakan perilaku meminta-minta uang kepada orang lain dimuka umum dengan memanfaatkan belas kasihan orang lain tanpa bekerja. Anak yang diperkerjakan sebagai pengemis tidak memenuhi standar nasional Indonesia dan bertentangan dengan UUPA. Pasal 13 UUPA menjelaskan jika tiap anak sepanjang dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain yang berkontribusi atas pengasuhan, berhak memperoleh proteksi dari perlakuan diskriminasi, eksp1oitasi finansial/seksua1, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadi1an, perlakuan salah lainnya. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar pada terjadinya eksploitasi terhadap anak sebagai pengemis, yaitu :
-
I. Kemiskinan Keluarga
Tak dapat dipungkiri kemiskinan adalah permasalahan yang cukup serius terjadi di Indonesia. Bagi keluarga miskin anak bisa dikatakan sebagai modal/investasi, sehingga sedini mungkin dilatih untuk menjadi sumber penghasilan keluarga. 2 Karena kemiskinan yang memenuhi lingkungan tersebut, maka akan membatasi akses anak pada berbagai macam peluang.
-
1. Pertama, peluang mendapatkan akses pendidikan yang baik. Disadari bahwa pendidikan memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan seseorang, diketahui bahwa pendidikan di Kepala Rumah Tangga (KRT) melahirkan imbas ketika mengejar karir atau mendapatkan akes ke pendidikan tinggi, semakin rendah pembelajaran KRT, semakin besar kesempatan anak tereksploitasi. 3 Pada umumnya keluarga miskin tidak terlalu memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Kebanyakan dari mereka putus sekolah di jenjang yang sangat dini yaitu Sekolah Dasar (SD).
-
2. Kedua, peluang mendapatkan waktu. Anak-anak yang di eksploitasi sebagai pengemis sebagian besar menghabiskan waktunya di jalan, mereka rata-rata berada dijalanan selama 12 jam. Lingkungan jalanan yang berbahaya menyita waktu mereka untuk beristirahat yang cukup, bermain, makan, mandi, belajar, karena hampir seluruh waktunya digunakan untuk mengemis. Hal tersebut menggangu jalannya tumbuh kembang anak dan mempengaruhi kesehatan tubuh anak.
-
3. Ketiga, peluang mendapat future unggul. Anak-anak yang seharusnya mempersiapkan masa depan mereka pun dirampas hanya untuk memenuhi ekonomi keluarga yang
seharusnya menjadi tanggung jawab orangtua. Kemungkinan buruknya masa depan mereka akan berakhir sama suramnya.
Dorongan yang kokoh untuk penuhi tuntutan kebutuhan hidup menjadikan anak dari keluarga miskin rentan menjadi korban ekploitasi. Konsep “banyak anak banyak rejeki” juga menjadi penambah angka pengemis anak di Indonesia. Resesi ekonomi yang berkepanjangan menjadi alasan keluarga miskin menjadikan anak-anak mereka sebagai pengemis, anggaran keluarga di perkotaan kurang dari 5.000 rupiah/hari, meskipun anggaran keluarga di pedesaan lebih rendah.4 Badan Pusat Statistik (BPS) mendata sebanyak 2,7 juta angka kemiskinan meningkat terlebih selama masa pandemi covid.5
-
II. Motivasi dan Budaya Masyarakat Setempat
Kembali lagi kepada kebutuhan hidup yang mau tak mau mesti dipenuhi, belum lagi kebutuhan penunjang status sosial membuat orang cenderung termotivasi untuk menghalalkan cara agar mendapatkan uang dengan mudah. Rantai pengemis sulit diputus, hal ini seperti roda yang terus berputar. Anak yang dieskploitasi cenderung akan melakukan hal yang sama pula kepada anak yang lainnya. Salah satu hal yang memotivasi adalah rata-rata pendapatan atau penghasilan anak sebagai pengemis cenderung besar dibandingkan orang dewasa yang bekerja secara formal seperti buruh, petani dan lainnya. Selain itu, sejak kecil sudah diberi pemahaman dan cara-cara mendapatkan uang secara mudah, yang kemudian membentuk pola pikir “dengan mengemis aku aku bisa mendapat uang jajan, memenuhi kebutuhanku jadi lebih baik aku mengemis saja “. Pusat perkotaan yang padat dimana budaya masyarakatnya menganut sistem individualime tidak banyak membantu dalam memberikan peran untuk memberantas pengemis anak, masyarakat melihat pengemis anak sepanjang waktu, tetapi masyarakat cenderung mengabaikan mereka. Maraknya pengemis adalah masalah sosial yang memerlukan atensi ekstra dari semua pihak.
-
III. Peran Pemerintah dan Lembaga Negara yang Tidak Objektif
Tindakan pemerintah yang cenderung lambat dan minimnya penegakan hukum yang tegas terhadap orang dewasa yang menjadikan anak sebagai pekerja anak di jalanan serta kurang perhatiannya pemerintah pada kasus eksploitasi anak juga mengakibatkan orang-orang tidak merasa jera, sehingga kasus eksploitasi anak terus bertambah. Pemerintah sebagai wadah masyarakat cenderung mengabaikan hak-hak anak pengemis ini, terbukti dari waktu ke waktu selalu ada kasus eksploitasi anak, hal ini mengindikasikan tidak ada ketegasan pemerintah dalam memberantas eksploitasi anak. Untuk memutus tali pengemis, ada beberapa aspek yang harus diatensikan oleh pemerintah seperti :
-
- Meyakinkan anak-anak ini bahwa mereka tidak ingin dieksploitasi dan bahwa uang yang diberikan tidak akan cukup untuk masa depan mereka.
-
- Menawarkan pilihan yang lebih baik kepada keluarga yang kurang beruntung sehingga mereka tidak bergantung pada anak-anak mereka untuk membantu mereka bekerja.
-
- Menghentikan lingkaran setan yang membuat anak-anak tidak berdaya, tidak memiliki keterampilan dan bergantung pada kebaikan orang lain, sehingga mereka tidak dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dan berdampak buruk pada kehidupan masa depan anak-anak mereka.
Bali merupakan provinsi di Indonesia yang menjadi perhatian dunia karena pulaunya yang indah dan menjadi destinasi wisata bertaraf internasional. Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian di Bali, sehingga sangat penting untuk menjaga citra kota Denpasar tetap baik dimata dunia. Akan tetapi, ditengah padatnya kota Denpasar sebagai pusat kota, masih terdapat kasus-kasus eksploitasi anak khususnya pengemis anak yang kurang mendapat penanganan dari pihak pemerintah kota Denpasar. Kenyataan pahit ini lebih nyata lagi dapat kita lihat disekitar kita, lihat saja anak-anak dijalanan yang harus menjadi tulang punggung diusia yang masih sangat dini meminta-minta dan mengais rejeki. Mereka berada di jalanan yang berbahaya, siang dan malam, dimana seharusnya mereka berada di dalam rumah yang hangat, belajar dan bermain. Tidak peduli berapa banyak dari kita yang menghadapi ini, kita terus lalai dan lalai dalam menghadapi masalah yang dihadapi anak-anak malang tersebut. Bentuk-bentuk pengeksploitasiaannya beragam, salahsatunya yang mengemis berkedok berjualan seperti berjualan tissue, makanan ringan, pernak-pernik atau oleh-oleh, yang sebenarnya anak-anak tersebut menjadi alat belas kasihan orang dewasa untuk meminta-minta. Cara-cara yang semakin kreatif dan dinamis dilakukan oleh para orangtua dengan menuntut belas kasihan demi tercapai targetnya. Termasuk salah satunya membawa anak mengemis. Pola ini dilakukan mengingat anak lebih mudah dikasihani karena terlihat lemah dan patut dibantu, sehingga orang akan mudah memberikan uang atau bantuan. Berdasarkan pengamatan, kebanyakan pengemis ini membawa anak-anak yang berusia 0-6 tahun berjualan di lokasi padat pengunjung seperti dijumpai di persimpangan lampu merah, swalayan dan tempat-tempat wisata, anak-anak yang berusia 7 tahun keatas akan dibiarkan berkeliaran entah meminta-minta, mengamen atau membantu berjualan, kemudian pada pengujung hari mereka akan berkumpul menyetor kepada “orangtua” mereka. Hal tersebut tentu mengganggu kenyamanan masyarakat baik masyarakat lokal maupun turis, yang pada akhirnya pasti berpengaruh pada citra kota Denpasar sebagai pusat Pulau Bali di mata dunia. Hal tersebut tentu menjadi urgensi yang wajib ditangani dengan cepat oleh pemerintah kota Denpasar dan masyarakat karena berhubungan dengan hak asasi manusia khususnya hak anak, mengingat anak adalah insan yang akan meneruskan cita-cita bangsa. Fakta diatas menunjukkan bahwa banyaknya anak yang tidak menyadari hak-hak hukum mereka mengindikasikan perlunya melakukan segala upaya untuk melindungi hak anak-anak sebanyak mungkin. Maka dari itu, diperlukan gotong royong antara pemerintah Provinsi Bali, pemerintah Kota Denpasar, serta semua elemen masyarakat dalam menyodorkan perlindungan dan menanggung pemenuhan hak asasi anak sesuai dengan tanggung jawab dan kewajiban khusus mereka. Bersumber pada latar belakang permasalahan, penulis bermakud menerapkannya dalam pene1itian yang berjudu1 : “PERLINDUNGAN HUKUM DAN UPAYA PENANGGULANGAN ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEBAGAI PENGEMIS DI DENPASAR “
Sebelumnya terdapat penelitian yang berkaitan dengan eksploitasi anak sebagai pengemis. Penelitian yang berjudul “ Pertanggung jawaban Pidana Orang Tua Atas Eksploitasi Anak Sebagai Pengemis di Jalan” yang ditulis oleh Issabella Marchelina yang diterbitkan pada tahun 2020, penelitian tersebut berfokus pada pertanggungjawaban orangtua yang mengeskploitasi anaknya dengan mempekerjakan sebagai pengemis jalanan secara pidana. Penelitian kedua berjudul “Eksploitasi Anak Pengemis di Pelabuhan Kamal” yang ditulis oleh Yunia Ratnasari yang diterbitkan pada tahun 2020, penelitian tersebut berfokus pada penyebab terjadinya eksploitasi anak yang bekerja sebagai pengemis di wilayah Pelabuhan Kamal. Meskipun pada penelitian ini memiliki fokus yang seragam yaitu berkaitan dengan eksploitasi anak sebagai pengemis, tetapi penelitian ini memiliki kasus dan fokus kajian yang berbeda yaitu, penelitian ini berfokus pada upaya perlindungan dan penanggulangan terhadap anak yang menjadi korban eksp1oitasi, yang dipekerjakan sebagai pengemis, khususnya di wilayah Kota Denpasar.
Dalam penulisan ini mengangkat perkara:
-
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi di Kota Denpasar?
-
2. Bagaimana upaya penanggulangan anak korban eksploitasi sebagai pengemis di Kota Denpasar ?
Tujuan penulisan penelitian ini untuk memafhumi serta menganalisis upaya perlindungan terhadap anak korban eksploitasi di Kota Denpasar serta untuk mengetahui dan menganalisis upaya penanggulangan anak yang dieksploitasi sebagai pengemis di Kota Denpasar.
Penulisan ini merupakan penelitian hukum empiris yakni hukum dikonseptualisasikan sebagai fenomena empiris yang bisa diamati pada kehidupan nyata. Berdasarkan pada hal tersebut, hukum tidak hanya dihasilkan pada literatur-literatur, akan tetapi juga dihasilkan oleh keadaan masyarakat yang sesungguhnya dengan merumuskan kesenjangan antara da sein dan das solen yaitu kesenjangan antar norma dan realita dalam kehidupan masyarakat. Memakai Pendekatan Hukum Perundang-undangan ( The Statute Approach ), dimana dalam penulian ini mengana1isis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pene1itian yang dilakukan dan isu hukumnya, yakni mengenai per1indungan hukum terhadap anak korban eksploitasi yang dipekerjakan sebagai pengemis, khususnya di wilayah Kota Denpasar. Selain itu juga menggunakan jenis Pendekatan Fakta ( The Fact Approach ) yaitu pendekatan berdasarkan fenomena hukum dan di lapangan pada saat melakukan penelitian.
-
III. HasiI dan Pembahasan
Pada prinsipnya tiap orang berhak memperoleh hubungan hukum yang pasti perlindungannya. Lumrahnya perlindungan hukum berarti memayungi sesuatu yang lemah dari hal-hal yang berbahaya. Dalam hal ini hukum meyakini memberikan perlindungan dari hal-hak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak pelanggan.6 Satjipto Rahardjo menegaskan perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang 1ain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.7 Berdasarkan teori dari beberapa ahli menyimpulkan bahwa perlindungan hukum yang disodorkan, pun berkaitan dengan eksistensi hak dan kewajiban, dalam keadaan khusus ini yang dimiliki manusia sebagai subjek hukum dalam berdialog dengan manusia lain dan lingkungannya. Suatu tindakan hukum dilakukan oleh subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa upaya pemerintah dalam menjalankan kewajiban yaitu terjaminnya kepastian hukum dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya dengan mengikuti peraturan yang berlaku. Perlindungan hukum terbagi menjadi 2 jenis, yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan perlindungan yang bersifat represif. Secara teoritis, per1indungan hukum preventif adalah per1indungan yang bersifat pencegahan. Perlindungan hukum preventif dapat diartikan sebagai bentuk perlindungan dimana sebelum seseorang atau kelompok melakukan kegiatan negatif atau kejahatan yang diniatkan, hal tersebut dicegah sehingga dapat menghindarkan atau meniadakan terjadinya tindak kejahatan. Sementara perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa, sehingga dalam menjalankan perlindungan hukum represif dibutuhkan berbagai badan yang secara parsial mengurusnya.8 Perlindungan hukum terhadap anak pada dasarnya telah terintegrasi dalam hukum nasional yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( selanjutnya disingkat dengan UUPA ). UUPA Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan dengan tegas : “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjaamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi”.
Eksploitasi anak secara umum merupakan pemanfaatan dengan paksa dan lewat batas terhadap anak untuk menghasilkan keuntungan diluar kewajibannya sebagai anak
dan mengabaikan hak-hak anak.9 Anak-anak dieksploitasi ketika keluarga atau masyarakat mereka pada umumnya memiliki sikap diskriminatif terhadap mereka atau memperlakukan mereka secara sewenang-wenang.10 Perlindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi merupakan perlindungan khusus yang penyelenggaraannya juga dilaksanakan secara khusus, hal ini terdapat dalam Pasal 66 UUPA yang mengatur perlindungan khusus terhadap anak yang dieksploitasi dilakukan melalui penyebar1uasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, pemantauan dan pemberian sanksi serta pelibatan dari setiap unsur masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak. Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan upaya perlindungan kepada anak korban eksploitasi wajib berpedoman sesuai dengan UUPA, hal tersebut supaya upaya perlindungan hukum dapat diberikan secara optimal kepada anak korban eksploitasi yang menjadi fokus utama, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Bentuk pelaksanaan perlindungan hukum oleh Pemerintah Kota Denpasar sesuai dengan UUPA dapat dilakukan melalui :
-
a. Sosialisasi dan himbauan secara rutin kepada masyarakat Kota Denpasar terkait eksploitasi anak secara ekonomi/seksual. Sosialisasi & himbauan disampaikan secara ringan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, dapat disiarkan secara langsung maupun melalui media elektronik. Sosialisasi dan himbauan yang dilakukan secara terus menerus tentu akan meningkatkan kesadaran pada masyarakat, yang dapat membantu pemerintah dalam pencegahan terhadap kesempatan seseorang melakukan kejahatan eksploitasi anak.
-
b. Penindakan hukum dan pemberian sanksi yang tegas kepada pelaku eksploitasi anak di Kota Denpasar. Pemberian sanksi yang tegas akan memberikan efek jera kepada pelaku, sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan kejahatan berulang. Adapun sanksi yang diberikan kepada pe1aku eksplotasi anak diatur dalam Pasal 88 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang yang melakukan eksploitasi anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
-
c. Melibatkan dan bekerjasama dengan perusahaan, serikat kerja dan lembaga swadaya masyarakat yang ada di Kota Denpasar. Pekerja anak mempunyai berbagai segi dan penyebab, membuat kehadirannya begitu kompleks sehingga pemecahan dan perbaikannya tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Dilansir dari International Labour Organisation (ILO) terdapat beberapa alasan mengapa perusahaan, serikat kerja dan lembaga swadaya masyarakat penting untuk terlibat seperti perbaikan ekonomi, meningkatkan daya tawar serikat pekerja/serikat buruh, menumbuhkan solidaritas dan keadilan sosial, membuka pintu-pintu masuk ke sector yang tidak terorganisasikan, dan mendukung kampanye pendidikan untuk semua (Education For All).11
Realitas anak yang bekerja menunjukkan bahwa jumlah kasus paksaan terhadap pengemis, penelantaran, perdagangan anak, dan perilaku tidak pantas lainnya menjadi contoh konkret dari risiko yang harus dihadapi seorang anak karena ketidakmampuannya untuk menghindari risiko ini. Upaya perlindungan hokum terhadap anak korban eksploitasi di Kota Denpasar perlu diupayakan dengan maksimal, pemerintah Kota Denpasar sebagai alat utama dalam menjalankan perlindungan hukum wajib bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat Kota Denpasar dalam memberantas kejahatan eksploitasi terhadap anak. Sehingga hak-hak anak tidak terabaikan dan terjamin kehidupannya. Dengan demikian pemerintah Kota Denpasar dan seluruh lapisan masyarakat Kota Denpasar harus benar-benar memberikan kepastian hukum bagi anak-anak korban eksploitasi sesuai dengan UUPA, sehingga UUPA tidak hanya menjadi gertakan diatas kertas.
Pengemis anak di Kota Denpasar secara umum mengemis sembari berjualan pernak-pernik seperti tissue dan masker atau dapat dikatakan anak-anak ini mengemis berkedok berjualan, jumlahnya belum diketahui pasti dan jam kerjanya tidak menentu. Berdasarkan data yang dimiliki Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali setidaknya ada sekitar 200 anak-anak di Bali yang menjadi korban eksploitasi, 50 anak-anak diantaranya tersebar di Kota Denpasar. Upaya penanggulangan yang dilakukan pihak Kota Denpasar seperti Dinas Sosial, KPPAD dan Satpol PP Kota Denpasar yaitu penindakan mulai dari mengangkut untuk dikembalikan ke daerah asalnya, memberikan pelarangan untuk turun ke jalan dan bekerja sama dengan instansi terkait.12 Dapat diketahui bahwa sebenarnya upaya tersebut masih kurang efektif, seperti apabila dikembalikan ke daerah asalnya tidak ada jaminan anak-anak tersebut kembali di eksploitasi, atau hanya sekedar memberikan larangan tanpa penyuluhan secara persuasif yang cenderung tidak memberikan kesadaran kepada pelaku eksploitasi. Dapat diketahui lemahnya upaya penanggulangan yang dilakukan memiliki kaitannya dengan tegaknya norma hukum terdapat tiga faktor yang mempengaruhinya, faktor struktural, faktor substansi dan faktor kultural. Faktor struktur dan substansi dalam hal penanggulangan terhadap anak korban eksploitasi sebagai pengemis ini terkait dengan fungsi pengawasan oleh aparatur pemerintah, dalam hal ini Dinas Sosial Kota Denpasar dan Satpol PP Kota Denpasar tentang banyaknya orang yang memanfaatkan anak untuk bekerja dan mengabaikan hak-hak anak.
Dengan ini diketahui aparatur pemerintah tidak dapat berbuat banyak karena sedikitnya jumlah aparat pengawas dan karenanya belum dapat melakukan pengawasan yang efisien. Dalam pengawasan ini juga terkendala oleh sikap tertutup pelaku eksploitasi yang apatis mengenai anak-anak yang dipekerjakan, salahsatunya kesulitan ekonomi menjadi alasan utama. Faktor kultur dan budaya terkait dengan kesadaran hukum, baik kesadaran hukum pelaku eksploitasi anak, kesadaran hukum anak serta kesadaran hukum
mayarakat yang rendah. Adanya anggapan yang kurang penting terhadap hak-hak anak dan budaya menjadikan anak sebagai alat ekonomi senantiasa dilakukan terus menerus atau menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai hal biasa. Berkaitan dengan peran masyarakat dalam menanggulangi eksploitasi anak sebagai pengemis, dapat diklaim bahwa keberhasilan upaya perlindungan anak juga dipengaruhi oleh kesediaan dan kapasitas seseorang dalam mengusahakan keperluan pribadi dan orang lain. Hal ini berkaitan dengan sikap dan tindakan seseorang yang berhubungan erat dengan kerelaan seseorang untuk mengutamakan kepentingan orang lain, dalam hal ini anak korban eksploitasi sebagai pengemis diatas kepentingan pribadi. Berdasarkan asumsi diatas jika kepentingan pekerja anak pada akhirnya terpenuhi, maka kepentingan nasional juga akan terpenuhi, yang pada gilirannya berdampak pada pemenuhan tujuan pribadi. Hal tersebut apabila tidak ditanamkan di masyarakat, dikhawatirkan berdampak pada ketidakpeduliaan masyarakat pada kewajiban mereka turut serta dalam mendukung per1indungan anak.
Menjaga anak-anak agar aman dari kekerasan memakan waktu kurang dari 0,1% dari total pengeluaran anggaran pemerintah. Karena kerumitan administrasi dan kurangnya otoritas hukum dalam perlindungan anak, sulit untuk memberikan bantuan yang efektif kepada anak-anak yang rentan.13 Melihat jumlah pengemis anak yang tidak sedikit serta jumlah yang tidak pasti apakah berkurang atau semakin bertambah mengindikasikan upaya penanggulangan eksploitasi anak sebagai pengemis belum optimal, dapat dikatakan hal ini tidak menjadi urgensi bagi pemerintah Kota Denpasar, bahkan cenderung mengabaikan masalah ini. Mengingat pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan visi Indonesia bebas dari pekerja anak pada tahun 2022, maka untuk mewujudkan hal tersebut di Kota Denpasar diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih persuasif dan sungguh-sungguh menyikapi perihal pemenuhan hak-hak mereka sebagai anak. Sebagai anggota keluarga inti, orang tua mengemban tugas besar untuk melindungi anak-anak mereka dengan memenuhi semua kebutuhan anak-anak mereka, baik jasmani maupun rohani. Namun, nasib anak jalanan ini jelas berbeda dengan orang tuanya. Ini berarti bahwa orang tua mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan paling dasar anak-anak mereka. Untuk menjamin semua hak asasi anak, pemerintah Kota Denpasar di semua tingkatan harus bekerja sama untuk menjamin rasa hormat dan perlindungan mereka. Tuntutan keamanan yang maksimal harus diimbangi dengan kemampuan penegakan hukum yang cepat.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Kota Denpasar sebagai pusat kota Provinsi Bali memiliki citra sebagai pulau pariwisata berskala internasional. Penyelewengan HAM khususnya kejahatan eksploitasi terhadap anak akan menjadi perhatian dan dapat merusak citra Kota Denpasar, maka dari itu perlu dilakukan tindakan yang segera. Eksploitasi anak di Kota Denpasar marak terjadi, eksploitasi tersebut pada umumnya dilakukan dengan mempekerjakan anak sebagai pengemis. Pemandangan pengemis anak dapat dilihat di persimpangan lampu merah, swalayan, tempat ibadah dan tempat wisata di Kota
Denpasar. Eksploitasi anak bertentangan dengan UUPA khususnya pada Pasal 76I menyebutkan dengan jelas larangan eksp1oitasi anak, pada Pasal 66 UUPA juga memberikan per1indungan khusus kepada anak korban eksploitasi. Sehingga dalam hal ini, pemerintah Kota Denpasar berkewajiban dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yaitu dengan menegakkan keadilan dan menanggulangi kejahatan eksploitasi anak. Fakta dilapangan menunjukkan di Kota Denpasar tidak dilaksanakan upaya pencegahan eksploitasi anak secara efektif diakibatkan oleh hal-hal berikut :
-
1. Pemerintah Kota Denpasar tidak melihat kejahatan eksploitasi anak sebagai pengemis adalah masalah yang dapat mengancam hak-hak anak yang dapat membahayakan masa depan anak. Dapat dikatakan pemerintah Kota Denpasar cenderung abai dan lambat dalam menangani kejahatan eksploitasi anak.
-
2. Pelibatan kerjasama semua pihak baik pemerintah, peran masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga perlindungan anak Kota Denpasar kurang konsisten dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
Upaya penanggulangan eksploitasi anak sebagai pengemis oleh pemerintah Kota Denpasar kurang optimal karena hanya sebatas pelarangan dan mengembalikan anak-anak ke daerahnya masing-masing. Hal tersebut tidak menjamin anak-anak akan kembali mengemis, serta apabila tidak dilakukan pelarangan dan penyuluhan secara persuasif, maka kejahatan akan terus berulang yang disebabkan kurangnya kesadaran hukum. Maka dari itu pemerintah Kota Denpasar wajib melakukan upaya perlindungan dan penanggulangan anak korban eksploitasi sebagai pengemis secara maskimal untuk menengakkan HAM dan melindungi hak-hak anak. Upaya penanggulangan dapat dioptimalkan dengan memberikan kompensasi dan bantuan kepada anak, menyediakan rumah penitipan anak korban eksploitasi dan penegakkan sanksi yang tegas kepada pelaku eksploitasi anak
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hamzah, Andi. PerIindungan Hak Hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta,1986)
Philipus M. Hadjon. “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987)
Satjipto Rahardjo. “Ilmu Hukum”, (Surabaya: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, 2000)
Kamil, Rahmat dan Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008)
Kansil, C. S.T dan Christine. S. T. Kansil. Pokok - Pokok Hukum Pidana, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004)
Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom. Urgensi PerIindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita Edisi 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Wagiati, Soetodjo. Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006)
Philipus M. Hadjon. “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres, 2011)
Jurnal
Marlina. “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak, Jurnal Equality Volume l3, No. l (2008)
Sukrun, Emy Nihayah. “Eksploitasi Anak Jalanan Studi Kasus pada Anak Jalanan”,
Jurnal Paradigma Universitas Negeri Surabaya Volume 5, No. 2 (20l6)
Simbolon, Arliman Simbolon. “Partisipasi Masyarakat di Dalam Perlindungan Anak yang
Berkelanjutan Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas
Padjajaran Volume 3, No. 2 (2016)
Wulandari, Cahya dan Soni Saptoadjie Wicaksono. “Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) Khususnya Terhadap Perempuan dan Anak : Suatu
Permasalahan dan Penanganannya di Kota Semarang”, Yustisia Jurnal Hukum
Universitas Negeri Semarang VoIume 3, No. 3 (2017)
Saleh, Syaiful dan Muhammad Akhir , B Sisma. “Eksploitasi Pekerja Anak Sebagai Pemulung”,
Journal Sociology of Education VoIume IV, No. 1 (2018)
Wardana, Octavia Lissa dan Lizza Sari Kurnia. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eksploitasi Pekerja Anak di lndonesia Menggunakan Regresi Logistik Biner”, lndonesian Journal of Statitic and lts App1ications Vo1ume 4, No. 3 (2020 )
Atmaja, Prasetya Adi Ketut dan A.A Ngurah Yusa Darmadi, Putra Walesa Made. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Gelandangandan Pengemis ( Gepeng ) Ditinjau Dari Perspektif HAM ( Studi Kasus Pengadilan Negeri
Singaraja)”, Jurnal Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Udayana, (2018)
Darmika, Wayan Delva Budi. “Pengaruh Karkakteristik Kepala Rumah Tangga dan Rumah Tangga Terhadap Munculnya Pekerja Anak di Indonesia Tahun 2018”. Seminar Nasional Official Statistic Vol 2020, No. 1 (2020)
Undang-Undang
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Per1indungan Anak
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1018-1031
Discussion and feedback