PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

KUMPUL KEBO DALAM RANCANGAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Putu Reksa Rahmayanti Pratiwi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i03.p11

ABSTRAK

Penulisan ini mempunyai tujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kumpul kebo yang dikaji dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RKUHP”) dan melakukan perbandingan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dimana di dalam KUHP terjadi kekosongan norma yang mengakibatkan pelaku tindak pidana kumpul kebo masih belum memiliki pasal khusus yang menjeratnya. Dalam mengkaji tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa landasan dasar diangkatnya tindak pidana kumpul kebo dan pertanggungjawaban pidana pada pelaku tindak pidana kumpul kebo dalam RKUHP. Langkah yang dapat dilakukan agar dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana kumpul kebo adalah disahkannya RKUHP yang mengatur pasal mengenai kumpul kebo kemudian disosialisasikan kepada masyarakat mengenai sanksi apa saja yang dapat dikenakan bila melakukan perbuatan kumpul kebo.

Kata Kunci: Kasus Kumpul Kebo, Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Kumpul Kebo

ABSTRACT

This study aimed to analyze the criminal liability against the perpetrators of the crime of cohabitation reviewed from the Bill of Criminal Code and made a comparison with the Criminal Code, where in the criminal code there is a norm void which resulted the perpetrators of the crime of cohabitation, they still do not have a special article that ensnares them. The research method of his study used a normative legal by taking a statutory approach and a conceptual approach. The study indicated that the basic basis for the appointment of the crime of cohabitation and criminal responsibility for the perpetrators of the crime of cohabitation in the Bill of Criminal Code. The steps that can be taken in order to minimize the occurrence of criminal acts of cohabitation are the ratification of the Bill of Criminal Code which regulates the article regarding cohabitation and then socialized to the public regarding the sanctions can be imposed when committing cohabitation acts.

Keywords: Cohibitation Case, Criminal Liability, Cohibitation Crime

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang dikenal sebagai negara hukum berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana bermakna bahwa setiap tingkah laku warga negaranya maupun badan hukum dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa pengecualian agar senantiasa berdampingan dengan segala peraturan yang bersumber dari hukum. Dalam hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, sejahtera, aman, adil, dan makmur. Indonesia memiliki instrumen penting dalam pembangunan bangsa yang segala aspeknya berlandaskan kepada hukum dalam mengambil sebuah pertimbangan. Posisi hukum sangat diperlukan, artinya sejajar dengan bidang lain. Karena di era globalisasi ini kita membutuhkan suasana yang tertib, tanpa ketertiban sulit untuk melanjutkan pembangunan.

Perkembangan zaman akan terus terjadi dan tingkat kriminalitas akan semakin berkembang juga. Hal seperti ini tentunya tidak dapat kita pandang sebelah mata dalam kehidupan sehari-hari dan akan berdampak pada lingkungan sekitar menjadi tidak aman lagi. Terlepas dari perbuatannya, manusia merupakan makhluk yang memiliki derajat lebih tinggi dan mulia daripada hewan, dimana hal tersebut manusia seyogyanya memiliki akal yang sehat dan moral yang baik. Contohnya adalah posisi hukum dalam pelaksanaan kejahatan seksual, yang tidak hanya menjadi masalah hukum internal, tetapi juga masalah hukum eksternal. Pada umumnya, kejahatan seksual berupa pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual yang dimana biasanya korbannya adalah perempuan.

Seiring berkembangnya zaman inilah kejahatan seksual semakin berkembang pula motifnya. Penyimpangan kesusilaan tersebut salah satunya adalah hidup bersama dan tidak ada hubungan perkawinan resmi antara pria dan wanita dalam masyarakat dikenal dengan istilah kumpul kebo. Hal ini menjadi polemik karena berbagai macam alasan, terutama biaya hidup yang semakin meningkat, sehingga pasangan yang belum melangsungkan perkawinan secara sah pun memutuskan untuk tinggal bersama atau istilahnya kumpul kebo. Kekosongan hukum yang terjadi akan memicu banyaknya pelaku yang akan mencari korban untuk melakukan sebuah penyimpangan kesusilaan dan akibatnya akan berdampak buruk bagi moral bangsa Indonesia sendiri serta tidak sesuai dengan apa yang dilandaskan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Maka, perlu dilakukannya pembaruan supaya sesuai dengan perkembangan zaman dan sinkron oleh norma-norma yang hidup di masyarakat saat ini.

Pada dasarnya penyelenggaraan hukum tidak lebih dari sekedar pembentukan hukum yang bertujuan untuk melakukan perubahan, pembaruan dan penggantian yang tidak hanya menyangkut struktur dan substansi, tetapi juga budaya, karena ketiga hal tersebut dapat membawa pengaruh dan warna pada hukum dan pelaksanaannya. Pengklasifikasian peraturan pidana dalam

satu undang-undang dapat menjamin kepastian hukum dan memudahkan untuk menemukan aturan hukum yang mengatur setiap perbuatan yang terjadi. Keseluruhan dari adanya suatu pembaruan hukum pidana mestilah diliputi oleh adanya pembaruan hukum pidana formil, hukum pidana materiil serta, hukum pelaksanaan pidan aitu sendiri. Aspek-aspek itulah yang harus beriringan dengan dilakukan pembaruan karena jika tidak dilakukan secara bersamaan maka dalam pelaksanaannya nanti akan mengakibatkan kesulitan serta tujuan pembaruan hukum pidana tidak akan tercapai seutuhnya.1

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk perlu membahas menelaah lebih lanjut penyimpangan kesusilaan dalam perbuatan kumpul kebo menjadi sebuah artikel dengan judul “Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Penelitian ini ditulis berbeda dari penelitian sebelumnya karena di dalam penulisan ini terdapat kasus tindak pidana kumpul kebo dan dibarengi dengan tindak pidana narkotika yang baru saja terjadi tahun ini serta lebih memfokuskan mengenai sanksi yang dijerat dari pelaku sebab belum ada undang-undang yang mengatur perihal delik kumpul kebo. Penelitian ini perlu diangkat karena untuk meninjau kembali dari pengaturan sebelumnya sebagai pertimbangan bagi RKUHP ke depannya. Berdaarkan penelitian yang oleh I Gst Ag Gd Krisna Dwipayana dan A.A Ngurah Wirasila, dengan judul Pengaturan Terhadap Perbuatan Kumpul Kebo (Kohabitasi) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yang menitikberatkan pada perumusan masalah dimana artikel terdahulu membahas mengenai bagaimanakah pengaturan tentang perbuatan kumpul kebo (kohabitasi) di Indonesia serta bagaimanakah pemidanaan perbuatan kumpul kebo (kohabitasi) dimasa mendatang. Dalam artikel ini menitikberatkan pada hakikat dasar diangkatnya tindak pidana kumpul kebo dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta pengaturan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku yang melakukan tindak pidana kumpul kebo di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa hakikat dasar diangkatnya tindak pidana kumpul kebo dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

  • 2.    Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku yang melakukan tindak pidana kumpul kebo di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan umum penelitian ini yakni supaya para pembaca mengetahui, mengkaji, dan menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku serta pengaturan dalam mengatasi atau menindaklanjuti delik kumpul kebo jika

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah disahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai moral yang ada pada Pancasila.

  • II.    Metode Penelitian

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum ialah segala kegiatan dimana orang menjawab pertanyaan hukum yang pada hakikatnya adalah akademisi serta praktisi, baik itu asas hukum, norma hukum bagi kehidupan dan perkembangan masyarakat, maupun persoalan hukum yang berkaitan dengan realitas hukum di masyarakat.2 Problematika dalam artikel ini ialah terdapat kekosongan norma yang belum diaturnya hukum dalam menjerat pelaku delik kumpul kebo dalam KUHP.

Dalam penulisan ini memakai penelitian hukum normatif dengan pendekatan sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Sumber bahan hukum yang didapat peneliti dengan observasi, wawancara atau eksperimen dari objek yang diteliti disebut bahan hukum primer. Contoh bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahan hukum yang didapat peneliti dari daftar bacaan serta biasanya bahan hukum ini dikutip yaitu disebut bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang menyampaikan pedoman serta penjelasan bagi bahan hukum primer dan sekunder disebut bahan hukum tersier. Dalam artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Hakikat Dasar Diangkatnya Tindak Pidana Kumpul Kebo Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Di kota-kota besar Indonesia, penyimpangan kesusilaan kumpul kebo ini mulai sering dijumpai dan telah menjadi peristiwa umum oleh masyarakat tersebut. Tentu peristiwa ini telah merusak moral dari bangsa Indonesia yang terkenal dalam memuliakan nilai-nilai kesusilaan di lingkungan dan masyarakatnya sehari-hari. Perbuatan ini memicu kegaduhan pada masyarakat karena ditafsir sebagai suatu bentuk penyimpangan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Permintaan dan keinginan nasional untuk mengadakan pembaruan sekaligus mengganti atau merubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan Indonesia kini agar lebih menjadi efektif sesuai dengan kadar mutu masyarakat Indonesia sebagai halnya termaktub pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan latar belakang dari adanya penyusunan Rancangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Pada hakikatnya upaya pembaruan hukum pidana termasuk bidang “penal policy” selaku butir atas kebijakan sosial yang mampu membereskan sosial selama mencapai tujuan nasional. Pembaruan hukum pidana selaku butir atas kebijakan kriminal, merupakan suatu cara perlindungan masyarakat. Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari implementasi penegakan untuk memperbarui substansi hukum.

Pembaruan hukum pidana ialah suatu cara pemeriksaan ulang dan evaluasi ulang terhadap nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-ideologis, sosio-kultural, dan sosio-politik yang menjadi fondasi dasar mengenai muatan normatif dan substantif dari hukum pidana yang diinginkankan sejak dahulu melalui pendekatan nilai.3 Agar upaya untuk melakukan pembaruan hukum pidana nasional terwujud maka diperlukan penelahaan dan pengkajian dari nilai-nilai kebangsaan yang berpangkal dari Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan di dalam kehidupan sosial. Falsafah Pancasila memuat nilai-nilai kesusilaan dan di dalamnya mengandung nilai-nilai kehidupan bangsa yang disandarkan oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat disimpulkan bahwasanya jika seseorang hendak tinggal dalam hubungan suami-istri dengan orang lain, mereka harus melakukannya melalui perkawinan yang resmi sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, dimana tertuang dalam nilai-nilai kesusilaan pada Pancasila. Sedangkan kumpul kebo memiliki penafsiran yaitu seorang pria dan wanita yang belum memiliki sebuah ikatan perkawinan yang sah menurut hukum maupun agama, tetapi sudah hidup seatap layaknya suami-istri. Artinya, “kumpul kebo” berseberangan dari nilai-nilai kesusilaan yang telah disetujui secara nasional dan perlu diangkat sebagai sebuah delik. Delik ini tentunya melanggar kesusilaan, dimana kesusilaan berhubungan dengan moral dan etika dari bangsa Indonesia sendiri.

Berbagai faktor yang memicu terjadinya perbuatan kumpul kebo salah satunya adalah maraknya pola hidup sex bebas sekarang ini dalam lingkungan masyarakat karena beragam pengaruh yang mereka dapatkan dari dalam lingkungannya maupun dari internet maka dapat menimbulkan terjadinya delik kumpul kebo.4 Perbuatan kumpul kebo dapat berakibat merusak moralitas masyarakat Indonesia kedepannya, dan anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menanggung beban psikologis dalam lingkungannya serta rusaknya garis keturunan mereka yang tidak jelas siapa ayahnya dikarenakan banyak terjadinya pembuahan biologis. Kumpul kebo ini sudah digolongkan sebagai delik menurut ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam Pasal 45. Delik yang disebutkan dalam pasal tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 10 Ayat 3 yang menjelaskan bahwa dengan memperhatikan tata cara perkawinan sesuai dengan hukum agama serta kepercayaannya tersebut dan dilakukan di hadapan petugas

pencatat kemudian dihadiri oleh dua orang saksi. Di dalam hukum yang berlaku di masyarakat sudah terlebih dahulu mengenal perbuatan kumpul kebo sebagai sebuah delik.

Kumpul kebo merupakan suatu perbuatan melanggar agama/adat/kesusilaan yang acap kali terjadi dalam masyarakat sesuai dengan penelitian dari hukum yang hidup di Indonesia. Sering dijumpai beragam istilah mulai dari “Lokika Sanggraha” dan “Memitra Ngalang” yang terdapat di Bali, “Baku Piara” daerah Minahasa, dan “Sumbang Salah” di Sumatera.5 Setiap manusia pada hakikatnya mempunyai nafsu seksualitas kepada lawan jenis, dimana kondisi tersebut merupakan kodrat dari seorang manusia. Akan tetapi, perbuatan dari seseorang tersebut mempunyai batasannya dan diatur oleh hukum positif yang bersifat mengikat serta diterapkan untuk mengontrol hubungan antar manusia dan juga hawa nafsunya.6 Hukum positif ini merupakan peraturan-peraturan bersifat mengikat dan masih berlaku hingga kini. Menurut Prof. Mr. J van Kan, berpendapat mengenai tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia serta hukum mempunyai tugas untuk memenuhi kewajiban masyarakat dalam memperoleh kepastian hukum. Dalam membuat pengaturan mengenai kumpul kebo wajib mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan kumpul kebo, seperti norma agama, norma adat dan keinginan masyarakat itu sendiri. Karena kumpul kebo merupakan penyakit sosial, maka tidak hanya berdampak negatif pada masyarakat, tetapi kumpul kebo juga melanggar norma yang berlaku di masyarakat.7

  • 3.2    Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Kepada Pelaku Yang Melakukan Tindak Pidana Kumpul Kebo Di Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana memiliki pengertian yang luas yaitu merupakan kelanjutan dari penghukuman yang obyektif dalam tindak pidana yang secara subjektif memenuhi syarat untuk memvonis perbuatan tersebut. Asas legalitas merupakan dasar dari adanya tindak pidana, dan asas kesalahan merupakan dasar dari adanya suatu pemidanaan. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban pidana yaitu pertanggungjawab seseorang atas kejahatan yang dilakukan. Tegasnya, orang tersebut bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan olehnya. Kesimpulannya adalah kesalahan menjadi hal penting untuk dapat memidana seseorang oleh sebab itu perlu adanya kesalahan. Jikalau tidak terdapat unsur kesalahan, maka seseorang tidak dapat dipidana. Dalam Hukum Pidana, asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan asas yang

mendasar untuk mempertanggungjawabkan sebuah tindak pidana di dalam RKUHP. Namun, beberapa hal sebenarnya memberikan kemungkinan pertanggungjawaban dan bukan merupakan pengecualian atas kesalahan yaitu:

  • a.    Pertanggungjawaban Pidana Ketat (Strict Liability)

Undang-undang memiliki kewenangan untuk memutuskan seseorang dapat di pidana lantaran sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana tanpa perlu melihat lebih jauh kesalahannya.

  • b.    Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability)

Dalam undang-undang, ditentukan bahwa seseorang dapat bertanggungjawab atas perbuatan orang lain.

Kekhususan pertanggungjawaban pidana dalam RKUHP hanya berfungsi bagi kejahatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus).8 Delik culpa semata-mata dapat dipidana hanya jika diatur dengan jelas oleh hukum. Pertanggungjawaban pidana atas akibat tertentu dari tindak pidana yang telah meningkatkan ancaman pidana karena hukum akan dibebankan kepada terdakwa hanya jika terdakwa dapat secara wajar mencurigai kemungkinan akibatnya atau sekurang-kurangnya terdapat kelalaian. Selama ini KUHP sudah jelas mengatur bahwa dasar pemidanaan adalah asas legalitas formal yang pengaturannya terdapat pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Dalam pengaturan asas legalitas jelas ditegaskan bahwa hanya dengan memvonis perilaku seseorang menurut undang-undang maka orang tersebut dapat dipidana, dan akibatnya jika tidak diatur maka perilaku tersebut tidak akan dihukum, atau dengan kata lain, tidak ada tindakan yang dapat dihukum tanpa pengaturan sebelumnya. Menurut aparat penegak hukum dalam menangani beberapa kasus tindak pidana kumpul kebo di Indonesia, masih sulit mencari solusinya karena belum ada pasal yang mengatur mengenai tindak pidana ini di dalam KUHP.9 Namun, yang ada hanyalah pasal mengenai perzinahan. Berdasarkan dengan ketentuan pasal perzinahan tersebut belum bisa mengatur perihal tindak pidana kumpul kebo manakala pelakunya sama-sama belum ada status perkawinan yang sah.10

Para aparat penegak hukum dalam menangani sejumlah kasus kumpul kebo yang terjadi di Indonesia juga mempergunakan peraturan tindak pidana ringan (Tipiring) seperti Peraturan Daerah tentang Perbuatan Asusila atau Peraturan Daerah tentang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, tetapi tidak semua daerah mempunyai peraturan yang sama dalam menertibkan masyarakatnya. Sehingga, masyarakat yang mengetahui di lingkungannya terdapat pasangan kumpul kebo biasanya mereka justru membiarkan hal

tersebut terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur mengenai perbuatan tersebut dan jikapun ada masyarakat yang tidak setuju dengan perbuatan tersebut terjadi di lingkungannya, maka biasanya mereka akan melakukan penggerebekan dan main hakim sendiri kepada pasangan kumpul kebo tersebut. Kekosongan hukum tersebut yang dapat menjadi ruang bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana kumpul kebo di dalam kehidupan bermasyarakat, seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Aceh:

“Polisi menangkap oknum PNS di Aceh berinisial AA (37) yang dicurigai melakukan pesta sabu dengan perempuan berinisial YY (43). Menurut AKP Raja Harahap, Kasat Narkoba Polresta Banda Aceh, mereka ditangkap setelah adanya laporan dari masyarakat Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Penggerebekan dilakukan pada Jumat (8/1) malam, ditemukan alat isap sabu, sabu sisa seberat 0,11 gram dan ganja 14,77 gram. Barang terlarang tersebut di beli dari FL dan AG yang kini menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang). AA dan YY dijerat dengan Pasal 112 Ayat (2) Jo Pasal 114 Ayat (2) Jo Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keduanya kini terancam pidana penjara maksimal 12 Tahun”.11

Dalam kasus tersebut, kedua pelaku hanya terjerat pasal narkotika dan tidak dikenai sanksi mengenai perbuatan kumpul kebo yang mereka berdua lakukan. Sementara itu, di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019 sudah mengatur mengenai delik kumpul kebo yang dicantumkan pada Pasal 418 Ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”

Hal menarik dalam rumusan pasal ini adalah adanya penjelasan perihal siapa saja yang berhak mengajukan pengaduan sebagaimana yang tercantum pada Ayat (3).12 Hingga kini pro dan kontra masih terjadi mengenai dimasukkannya delik kumpul kebo ke dalam RKUHP terutama dikaitkan dengan kriteria penggunaan hukum sebagai sarana penanggulangan kejahatan serta lebih spesifiknya mengenai perbuatan yang semestinya diatur oleh hukum pidana.13 Pengaturan delik kumpul kebo pada RKUHP menimbulkan

kontroversi dikalangan masyarakat karena berbagai macam alasan. Beberapa masyarakat yang tidak menyetujui dengan adanya pasal ini memiliki berbagai macam alasan, salah satu alasannya adalah pemerintah terlalu mengatur hubungan seks warga negaranya yang dimana hubungan seks dianggap sebagai keputusan individu.

Disamping itu, tidak sedikit pula masyarakat yang menyetujui adanya pasal ini karena delik kumpul kebo dinilai telah melanggar hukum adat dan kumpul kebo merupakan fakta sosial yang menyebabkan masalah sosial, namun belum memiliki pengaturan yang sah sehingga terdapat kekosongan hukum di dalamnya. Delik kumpul kebo perlu memperoleh kajian signifikan menimbang kerugian yang akan terjadi pada bangsa, negara, ataupun individu sehingga perlu adanya hukum tertulis yang mengatur mengenai delik ini dalam kehidupan bermasyarakat.14 Hingga saat ini, RKUHP yang mengatur pertanggungjawaban dari tindak pidana kumpul kebo tersebut tak kunjung disahkan dan sanksi terhadap delik kumpul kebo masih belum bisa dijadikan landasan yuridis bagi pelanggarnya.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Perkembangan kejahatan seksual yang terjadi pada zaman sekarang sangatlah bermacam-macam motifnya, sehingga hukum pun harus dilakukan pembaharuan agar mengikuti perkembangan dari perbuatan kejahatan tersebut. Penyimpangan sosial yang sudah mengalami perkembangan dan belum ada peraturan yang mengikat perbuatan tersebut salah satu contohnya adalah hidup bersama layaknya sepasang suami-istri antara pria dan wanita namun tidak terjadinya sebuah perkawinan yang resmi secara hukum dan agama terhadap kedua pasangan tersebut atau istilah lainnya disebut dengan kumpul kebo. Perbuatan kumpul kebo tersebut tentunya sudah bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan pada Pancasila, sehingga perbuatan kumpul kebo perlu diangkat sebagai sebuah delik. Untuk memasukkan delik kumpul kebo ke dalam RKUHP, aparat penegak hukum perlu melakukan pengkajian terlebih dahulu agar sesuai dengan struktur, substansi, dan juga budaya dari masyarakat Indonesia. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kumpul kebo haruslah ada kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan demikian, delik kumpul kebo pada RKUHP tentu dapat menciptakan harapan di masa depan agar tidak ada kekosongan hukum yang terjadi bagi pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, 2017.

Arief, B. N. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media, 2016.

JURNAL

Dwipayana, I Gst Ag Gd Krisna, and A.A Ngurah Wirasila. “PENGATURAN TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO (KOHABITASI) DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA.” Jurnal Kertha Desa 8, no. 7 (2020): 1-12.

Irawati, A. C. “Politik Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana (Ruu Kuhp Asas Legalitas).” ADIL Indonesia Journal 2, no. 1 (2019).

Mahendra, Gede Bisma, and I Gusti Ngurah Parwata. “Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Kumpul Kebo (Samen Leven) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia.” Kertha Wicara Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Univesitas Udayana 8, no. 6 (2019): 1-12.

Nurhadi, Syiis. “FORMULASI KEBIJAKAN KRIMINALISASI PERZINAAN DALAM RUU KUHP (RUU KUHP 15 September 2019).” Jurnal Kapita Selekta Administrasi Publik 1, no. 1, (2020): 1-14.

Rizal, Pahrur. “DASAR KRIMINALISASI KUMPUL KEBO DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA.” MEDIA BINA ILMIAH 15, no. 1 (2020): 3905-3914.

Sari Harahap, Diah Ratu. “KRIMINALISASI KUMPUL KEBO.” Jurnal Yuridis 13, No. 15 (2011): 83-97.

Widayati, Lidya Suryani. “Kebijakan Kriminalisasi Kesusilaan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana dari Perspektif Moral (Criminalization Of Decency In The Criminal Code Bill From Moral Perspective).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 9, no. 2 (2019): 181-198.

Wiranata, I Gst Ngr Dwi, and Ibrahim R. “Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Kumpul Kebo.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 1, no. 3 (2013): 1-5.

SURAT KABAR

Setyadi, Agus, 2021, Pasangan Kumpul Kebo Di Aceh Ditangkap Polisi, Diduga Sempat Pesta Sabu, dalam berita online URL : https://news.detik.com/berita/d-5328941/pasangan-kumpul-kebo-di-aceh-ditangkap-polisi-diduga-sempat-pesta-sabu, Diakses pada 16 April 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.03 Tahun.2022. hlm 588-599