KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN NOMINEE DALAM KEPEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERATURAN DI INDONESIA

Ni Made Dinda Meisya Saraswati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Anak Agung Sri Indrawati , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i03.p18

ABSTRAK

Artikel ini ditulis bertujuan untuk menganalisa keabsahan serta akibat hukum daripada Pengaturan tentang Perjanjian Atas Nama didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang telah tersedia di Indonesia. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini yakni dengan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa keabsahan Perjanjian Atas Nama di Indonesia tidak sah secara hukum karena objek dari perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok terkait kepemilikan sepenuhnya suatu tanah dalam Pasal 9 serta 21 ayat (1). Sekalipun Perjanjian Atas Nama dalam peraturan-peraturan yang ada telah dinyatakan serta tersirat, nyatanya Perjanjian Atas Nama tersebut kerapkali terjadi di Indonesia. Ketegasan pemerintah akan penerapan Perjanjian Atas Nama tentu perlu dikukuhkan kembali yang disertakan dengan peran masyarakat dalam bertindak agar pelaksanaan pengaturan Perjanjian Atas Nama tersebut berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku.

Kata Kunci : Perjanjian Atas Nama Nominee, Orang Asing, Akibat Hukum.

ABSTRACT

This article aimed to analyze the law and consequences of the arrangements of the agreement that has been provided in Indonesia. As for the method used in this paper with normative legal research using statutory approach. The study result indicated that Nominee Accords in Indonesia is unlegally because the object of Nominee Agreement doesn't fit with written laws on the Civil Code connected to the legal condition of act 1320 and also Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles connected to the land ownership of act 9 and 21 paragraph (1). Even if the terms have been implied in the law, the arrangements are related to the agreement of the Covenant are still in Indonesia. The government's jurisdiction of the Nominee Agreement must be reorganized with the role of the public in acting to the execution of the arrangement of the agreement of the previous forms.

Key Words: Nominee Agreement, Foreigners, Legal Consequences.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Seiring lajunya jaman, suatu tatanan peraturan tentu akan meneysuaikan dengan situasi serta kondisi yang kerap terjadi pada masyarakat. Suatu perjanjian baik yang

telah dikukuhkan maupun yang akan dijalin tentunya akan disesuaikan dengan tolak ukur suatu peraturan hukum yang berlaku, sehingga perjanjian tersebut saat dilaksanakan tidak bersebrangan terhadap hukum yang berlaku sehingga dapat memberikan efektifitas yang maksimal dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Indonesia dalam hierarki tatanan peraturannya berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau (UUD NRI 1945) yang menyiratkan bahwa dalam penerapan demokrasi akan didasarkan oleh puncak hierarki peraturan yaitu UUD NRI 1945.1 Hukum dalam implementasi tentu berintensi salah satunya yaitu mencapai suatu ketertiban, hal tersebut dinyatakan pula oleh Mochtar Kusumaatmadja yaitu "Tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban bagi adanya suatu masyarakat yang teratur" sehingga dalam pencapaiannya membutuhkan suatu interaksi antar manusia dalam masyarakat yang dapat mencerminkan kepastian hukum. Algra menyatakan bahwasanya "kepastian hukum merupakan kepastian mengenai hak dan kewajiban serta mengenai apa yang menurut hukum diperbolehkan dan tidak diperbolehkan".2

Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam KUH Perdata yaitu dalam Pasal 1233 "Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang." sehingga suatu persetujuan yang telah dicapai oleh para pihak dapat disebut sebagai perikatan. Perjanian atas nama atau perjanjian nominee pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang melibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) serta Warga Negara Asing (WNA) sehingga menimbulkan suatu hubungan terkait penggunaan kuasa, dalam kegiatan perikatan suatu perjanjian atas nama terdapat proses berupa pihak WNA akan diberikan surat kuasa oleh pihak WNI agar dapat melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perbuatan hukum baik itu dalam lingkup pertanahan maupun terkait kepemilikan saham. Bila dilihat secara tidak menyeluruh, suatu Perjanjian Atas Nama tersebut dapat dilihat tidak menyalahi peraturan yang ada hal tersebut disebabkan karena pemindahannya tidakberupa hak secara jual beli, tetapi jika diperdalam kembali dengan peninjauan-peninjauan dari segi peraturan yang ada di Indonesia maka dapat dikatakan perjanjian tersebut terlaksana guna pengalihan maupun pemindahan kepemilikan hak tanah yakni hak milik kepada WNA.3 Perkara terkait Perjanjian Atas Nama tersbut kerap terjadi di Indonesia terlebih di Bali yang melingkupi kegiatan terkait pariwisata, sehingga dalam pelaksanaannya memicu pertanyaan akan keabsahan dari perjanjian atas nama tersebut. Perjanjian yang ditetapkan akan menimbulkan hubungan dari para pihak yang berjanji sehingga dapat disebut perikatan. Hukum Perikatan tersebut menggunakan sistem terbuka yang memiliki makna bahwa setiap orang dapat mengadakan suatu perikatan, namun suatu sistem terbuka dalam perikatan tersebut tentu memiliki batas-batasannya yakni tidak bersebrangan dengan ketentuan undang-undang, kesusialaan serta ketertiban-ketertiban umum yang berlaku.4 Sistem terbuka yang dianut dalam Hukum Perikatan tersebut yang dapat diamati ketentuannya dalam KUH Perdata terkait perjanjian, hal tersebut tentu dapat diartikan bahwa hubungan perjanjian atas nama yang dilaksanakan oleh pihak WNI dengan WNA tersebut dikatakan dapat dijalin jika

dilihat dalam pasal 1233 KUHPerdata, akan tetapi suatu perjanjian yang menganut sistem terbuka tersebut disyaratkan pula pengaturannya dalam pasal 1320 KUHPerdata dan bila ditinjau kembali melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau (UUPA) yang berlandaskan atas asas nasionalitas maka terdapat kriteria yang berkaitan dengan subjek dari pemberian serta kepemilikan hak tanah tersebut. Perjanjian Atas Nama tersebut tentunya telah marak terlaksana di Indonesia, yang secara nyata belum dapat dipastikan dapat memberikan suatu keuntungan bagi pihak pemberi surat kuasa atau WNI dari pihak penerima surat kuasa atau WNA karena dalam Perjanjian Atas Nama tersebut pihak penerima surat kuasa diberikan kebebasan dalam perbuatan hukum atas nama si pemberi surat kuasa tersebut. Suatu perjanjian atas nama nominee yang dilaksanakan tentu tidak terlepas dari peran pejabat negara yaitu Notaris selaku pejabat pembuat akta autentik di Indonesia.

Penelitian karya ilmiah terkait Perjanjian Atas Nama sebelumnya telah dilaksanakan dengan judul "Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Warga Negara Asing yang Memiliki Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Nominee Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960" oleh Asari Putri Kindangen yang telah diterbitkan dalam website resmi milik Universitas Sam Ratulangi yaitu Lex et Societat dengan tujuan pembahasan yaitu guna memahami lebih lanjut terkait hak tanah yang dimiliki oleh WNA serta terkait konsekuensi hukum yang muncul akibat dari Perjanjian Atas Nama berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.5 Namun didasarkan dari gagasan tersebut, penulis menyampaikan gagasan didasarkan pada sudut pandang berbeda yaitu dari segi hukum yang dilihat juga dalam permasalahan terkait perjanjian atas nama yang kepemilikannya dipunyai oleh badan hukum serta dampak yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, penulis mengajukan penelitian yang diberi judul "KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN ATAS NAMA (NOMINEE) DALAM KEPEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA".

  • 1.2    Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan penulis angkat sesuai dengan paparan pada latar belakang sebelumnya yakni:

  • 1.    Bagaimana keabsahan terhadap Perjanjian Atas Nama (Nominee) terkait kepemilikan tanah di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana akibat hukum Perjanjian Atas Nama (Nominee) terkait kepemilikan tanah oleh orang asing di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Agar dapat memberikan pemahaman kepada pembaca bagaimanakah keabsahan terhadap Perjanjian Atas Nama (Nominee) terkait kepemilikan tanah di Indonesia.

  • 2.    Agar dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca terkait akibat hukum Perjanjian Atas Nama (Nominee) terkait kepemilikan tanah oleh orang asing di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan terkait jurnal ini sesuai dengan keabsahan serta akibat hukum terkait perjanjian atas nama (Nominee) dalam kepemilikan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga dilaksanakan jenis penelitian yakni didasarkan pada penulisan hukum normatif. Penulisan jurnal yang menggunakan metode hukum normatif ini dilaksanakan sesui dengan bahan-bahan hukum termasuk juga bahan hukum primer yakni peraturan maupun norma-norma serta perundang-undangan yang masik berlaku hingga saat ini. Terkait pembahasan rumusan masalah saat penulisan jurnal ini dilaksanakan menyertakan juga bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman dalam pembuatan jurnal ini yaitu : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Bahan hukum sekunder yang dijadikan pedoman dalam pembuatan jurnal ini yaitu : buku yang telah diterbitkan, doktrin, hasil penelitian terkait permasalahan Perjanjian Atas Nama (Nominee). Penulisan jurnal ini menyertakan pula terkait kekuatan hukum suatu perjanjian atas nama (nominee) terkait kepemilikan tanah berlandaskan peraturan perundang-undangan yang belaku di Indonesia yang dikaitkan bersamaan dengan akibat hukum dari kegiatan Perjanjian Atas Nama (Nominee) oleh warga negara indonesia dengan warga negara asing yang lebih spesifik membahas terkait pertanggungjawaban serta dampak yang ditimbulkan dari Perjanjian Atas Nama baik oleh Warga Negara Indonesia serta Warga Negara Asing. Cara yang disertakan dalam pengulasan serta pelaksanaan analisis dalam jurnal ini menggunakan teknik deskriptif, komparatif, argumentatif serta evaluatif yang digabungkan serta dikombinasikan sehingga dapat menyimpulkan data yang bersifat runtut dan aktual.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keabsahan Terhadap Perjanjian Atas Nama (Nominee) Terkait Kepemilikan Tanah Di Indonesia

Dalam Kitab Udang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313 menyatakan bahwa "Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih" sehingga dari pernyataan tersebut dapat dikaitkan bahwa suatu Perjanjian Atas Nama dalam pelaksanaannya tentu melibatkan lebih dari 1 (satu) orang agar perikatan tersebut dapat terealisasikan dan juga dalam perjanjian tersebut melibatkan pihak Warga Negara Asing (WNA) serta Warga Negara Indonesia (WNI) yang tentunya perikatan tersebut dilaksanakan guna peminjaman nama WNI oleh WNA guna suatu kegiatan salah satunya berupa kegiatan jual beli tanah. Suatu perikatan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan "Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang." sehingga dalam pelaksanaan perjnajian oleh pihak WNA serta WNI termasuk sebagai salah satu syarat dari terbentuknya perikatan yaitu suatu perjanjian atas nama. Hukum perikatan dalam pelaksanaannya memegang sistem terbuka yang dapat dimaknai yakni setiap orang mampu menjalin suatu perikatan baik yang telah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya oleh undang-undang.6 Suatu perikatan yang timbul

dikarenakan suatu perjanjian akan menimbulkan pula suatu hak serta kewajiban yang muncul karena dikehendaki oleh subjek-subjek hukum.7 Dapatlah ditarik suatu pesan tirsirat bahwa suatu perikatan dalam hukum merupakan pengaturan-pengaturan yang berkaitan erat dengan hak serta kewajiban suatu subjek hukum pada seluruh tindakan hukumnya yang dalam pembahasan artikel ini yaitu terkait tindakan hukum kekayaannya. Suatu perjanjian akan terlaksana tentunya dengan suatu syarat-syarat yang mengikutinya, begitu pula terkait perjanjian atas nama yang terjalin antara pihak WNA dengan WNI. Terkait syarat-syarat dalam pengadaan suatu perjanjian dapatlah dilihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Udang Hukum Perdata yang isinya menyatakan :

"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  • 1.    kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;

  • 2.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  • 3.    suatu pokok persoalan tertentu;

  • 4.    suatu sebab yang tidak terlarang."

Dari persyaratan tersebut terdapat syarat subjektif yaitu pada angka 1 dan 2 serta syarat objektif pada angka 3 dan 4, yang dimana jika syarat subjektif tidak dipatuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam angka 1 menyatakan terkait kesepakatan yang merujuk kepada terpenuhinya negosiasi antara pihak terkait yang dalam hal dapat dilaksanakan baik secara lisan maupun tulisan maupun disertai akta otentik ataupun akta dibawah tangan.8 sehingga jika pihak WNA serta WNI mencapai kesepakatn bersama maka syarat kesepakatan dapat dilalui. Selanjutnya dalam angka 2 terkait kecakapan dalam melaksanakan perjanjian, para pihak yang turut serta dalam suatu perjanjian yakni subyek hukum tentunya memiliki kewenangan hak serta kewajiban dalam melaksanakan suatu perbuatan hukum baik itu pihak WNI maupun WNA yang telah mengikatkan dirinya sehingga dapat dikatakan cakap.9 Angka 3 serta 4 pasal tersebut termasuk kedalam syarat objektif yang mengharuskan adanya objek perjanjian serta perjanjian yang dilaksanakan tidaklah melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Dari pernyataan isi pasal 1320 dapat diketahui secara jelas yakni suatu perjanjian yang sah berdasarkan hukum tentunya harus memenuhi ke-empat syarat tersebut, sama halnya dengan perjanjian atas nama. Perjanjian atas nama yang telah terjalin antar WNA serta WNI jika ditinjau dari syarat yang termuat dalam pasal 1320 serta memenuhi seluruh syarat tersebut maka bisa dikatakan suatu perjanjian. Tetapi dalam suatu perjanjian atas nama yang terlaksana di Indonesia yang dilaksanakan oleh WNI dan WNA jika dikaitkan dalam hal kepemilikan hak milik pertanahan maka perjanjian yang dilaksanakan tersebut dikatakan tidak sah sebab tidak sesuai dengan syarat pasal 1320 tersebut yaitu dalam angka 4 yang secara tersirat menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dilaksanakan tidaklah melanggar peraturan yang ada.10 Dipertegas kembali dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." berdasarkan pernyataan tersebut

tersirat makna yakni persetujuan yang mencapai suatu kesepakatan dalam perjanjian menyebabkan timbulnya hak serta kewajiban yang nantinya saat perjanjian tersebut masih berlaku akan menjadi suatu pengikat bagi para pihak yang berjanji dalam hal ini WNA serta WNI agar dapat melaksanakan hak serta kewajibannya sesuai dengan kesepakatan awal. Tetapi dalam pasal 1338 menyatakan pula "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik." sehingga tentunya dalam membuat suatu perjanjian atas nama yang sesuai berdasarkan ketentuan KUH Perdata juga harus didasarkan dengan itikad baik sehingga dapat menjadi suatu pengikat bari para pihak yang terkait. Keterkaitan antara pasal 1320 serta 1338 tersebut dapat mencerminkan suatu sistem terbuka yang telah dijelaskan sebelumnya, yang mengartikan bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian jika memenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan tersebut berdasarkan KUH Perdata.11

Hukum Agraria yang memiliki "dualisme" makna dengan KUH Perdata yang ditengahi dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria diharapkan untuk kedepannya dapat menghilangkan "dualisme" makna tersebut dan dapat melengkapi kebijakan hukum terkait agraria di indonesia.12 Perjanjian atas nama terkait pertanahan dapatlah ditinjau dalam ruang lingkup Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yang secara tersitat dalam pasal 9 menjelaskan terkait kepemilikan suatu hak pertanahan yang dinyatakan sebagai berikut "Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan pasal 2" sehingga dapat diartikan bahwa suatu tanah dimungkinkan untuk secara sepenuhnya baik itu dalam hal penggunaan serta kepemilikannya hanya oleh WNI yang diperjelas kembali terkait hak milik atas tanah tersebut dalam pasal 21 ayat (1) yang menyatakan "hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik". Dari kedua pasal tersebut terdapat makna bahwa suatu tanah yang dapat digunakan secara penuh hanya dapat dipenuhi oleh WNI sehingga WNA tidak diperbolehkan dalam pemberian hak sepenuhnya terkait tanah.13 Suatu kepemilikan tanah dapat pula ditempuh dengan cara jual-beli, bila kegiatan jual-beli tersebut terlaksana di Indoensia maka sudah sepatutnya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam hal ini yaitu sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria beserta dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 terkait dengan Perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.14 Dalam Undang-Undnag Pokok Agraria tepatnya dalam Pasal 26 ayat (2) menyatakan "Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan Wasiat dan perbuatan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah

batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak hak pihak lain yang membebani nya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali." dari pernyataan tersebut sudah secara tegas dinyatakan bahwa jual-beli yang dilaksanakan kepada WNA tidak diperbolehkan terkecuali dalam keadaan sesuai dengan persyaratan dalam pasal tersebut. Tetapi suatu badan hukum yakni badan hukum indonesia maupun badan hukum asing dapat menguasai serta menggunakan suatu tanah dengan syarat yang telah dinyatakan dalam pasal 30 yaitu "yang dapat mempunyai hak-guna usaha ialah :

  • a.    warga negara Indonesia;

  • b.    badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia."

Hak milik tanah bisa diperoleh oleh WNA seperti yang ternyatakan berdasarkan Pasal 21 ayat (3) yakni memuat syarat jika memenuhi syarat hak milik bagi orang asing yakni "orang asing yang sesudah berlakunya undang undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa Wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara" dijelaskan dalam penyataan tersebut bahwa WNA maupun WNI yang kewarganegaraanya telah berpindah diperbolehkan menguasai serta menggunakan tanah dengan tenggat waktu 1 tahun, sehingga bila tidak diubah maka hak tersebut menjadi milik negara. Tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi permasalahan seperti penduduk Indonesia yang pada saat itu pula masih memiliki status sebagai WNA sehingga masih mempunyai hak milik terkait tanah oleh WNA yang tinggal di Indonesia.15 Lain halnya jika WNA serta WNI tidak menjalankan perjanjian atas nama melainkan perjanjian sewa-menyewa, maka hal ini diperbolehkan jika ditinjau berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria yakni Pasal 41 beserta Pasal 42 yang membolehkan orang asing untuk memiliki hak pakai. Ditinjau dari berbagai aspek terkati pengaturan-pengaturan terkait tanah tersebut dapat dikatakan adil dikarenakan baik itu WNA maupun diperbolehkan dalam kepunyaan hak atas tanah yang dibatasi oleh persyaratan pasal-pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang telah diperjelas sebelumnya.16 Perjanjian atas nama dalam Undang-Undang Pokok Agraria tepatnya jika dikaitkan dalam Pasal 21 terkait kepemilikan hak milik pertanahan serta dikaitkan dengan Pasal 26 yang menyatakan terkait jual-beli tanah di Indonesia, maka perjanjian atas nama dapat dikatakan melanggar syarat obyektif dalam perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam KUH Perdata tepatnya Pasal 1320 dikarenakan sebab perjanjian itu terlaksana termasuk larangan sehingga mengakibatkan tidak dipenuhinya pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Hal tersebut diperjelas kembali dalam pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan "suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan." yang dimana perjanjian atas nama tersebut dikatakan batal sejak semula dikarenakan perikatan yang dibuat tersebut tidak memiliki kewenangan mengikat serupa dengan undang-undang kepada para pihak pembuat perjanjian atas

nama.17 Sehingga tersirat makna bahwa perjanjian atas nama dalam jual-beli pertanahan di Indonesia dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum.18

  • 3.2 Akibat Hukum Perjanjian Atas Nama (Nominee) Terkait Kepemilikan Tanah Oleh Orang Asing Di Indonesia

Praktek perjanjian atas nama di Indonesia dapat dinyatakan tidaklah sinkron dengan hukum yang berlaku serta tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti sesuai dengan penjabaran yang telah diperjelas sebelumnya, hal tersebut dikarenakan suatu perjanjian atas nama yang dilaksanakan oleh pihak WNA serta WNI tidak termasuk perjanjian yang sah sehingga dapat dikatalan sebagai penyelewengan dalam hukum yang berlaku dan tentunya perjanjian atas nama yang telah terlaksana akan menimbulkan suatu akibat hukum.19 Perikatan yang terjadi dalam suatu perjanjian atas nama tersebut dapat pula dikatakan telah melanggar salah satu asas yang termuat pada Hukum Agraria yang ada di Indonesia yaitu terkait asas nasionalisme yaitu dalam hukum agraria menyatakan bahwa "Hanya WNI yang boleh mempunyai hak milik di negara Indonesia".20 Ketidaksesuaian yang terjadi tersebut dapat dilihat dari pihak WNA yang bersepakat dengan WNI guna meminjam namanya untuk keperluan baik itu terkait kepemilikan sepenuhnya dalam pertanahan maupun dalam kepemilikan saham dilaksanakan dengan keadaan tidak memenuhi syarat-syarat yang didasarkan pada peraturan yang berlaku di Indonesia agar dapat mewujudkan tindakan hukum yang tidaklah sinkron terhadap peraturan yang telah tersedia.21 Dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat-syarat suatu perjanjian baik syarat subyektif dan syarat obyektif yang ada maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu akibat hukum akan tindakan hukum yang telah dilaksanakan tersebut dikarenakan tidak sahnya perjanjian atas nama yang dilaksanakan oleh pihak WNA serta WNI tersebut sehingga dinyatakan batal sejak semula.22 Suatu pembatalan yang terjadi tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya suatyu syarat objektif dalam KUHPer yang diartikan bahwa perjanjian tersebut akan dianggap tidak ada sejak awal dan/ atau semula.

Bila dilihat keterkaitan perjanjian atas nama oleh WNA serta WNI dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang dikaitkan besertaan dengan pertanahan tentu menimbulkan suatu akibat, jika dilihat dalam Pasal 21 ayat (1) serta pasal 26 ayat (2) yang berkaitan dengan kepemilikan hak milik atas tanah secara sepenuhnya ditegaskan yaitu WNI, sehingga didasarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa hak sepenuhnya yang termasuk baik itu kegiatan jual-beli tanah,

kepemilikan hak milik, hak guna bangunan serta hak guna usaha hanya dapat dimiliki oleh warga negara indonesia dan bilamana suatu perjanjian atas nama tersebut terlaksana maka perjanjian perjanjian tersebut dinyatakan tidak sinkron dengan Pasal 1320 KUH Perdata didukung dengan Pasal 21 serta 26 Undang-Undang Pokok Agraria sehingga dinyatakan batal demi hukum. Tetapi dalam Pasal 41 serta 42 Undang-Undang Pokok Agraria juga memperbolehkan orang asing untuk memiliki hak pakai sesuai dengan syarat yang telah ditentukan, dan dalam syarat tersebut tidaklah termasuk kedalam perjanjian atas nama. Pernyataan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut sudah secara jelas dan pasti dinyatakan berdasarkan hukum yang diharapkan dapat mengurangi, menghindari serta menindaklanjuti kegiatan-kegiatan hukum yang menimbulkan akibat hukum yang tidak sinkron dengan peraturan di Indonesia. Selain akibat hukum yang ditimbulkan, dapat juga dilihat dari sudut pandang yaitu diharapkan juga agar seluruh pertanahan baik yang dimiliki sepenuhnya oleh negara maupun yang dimiliki sepenuhnya oleh perseorang yang ada di Indonesia dapat dipertahankan dan tidak diambil alih oleh pihak asing nantinya, jika hal tersebut tidak diawasi lebih lanjut didasarkan pada peratutan perundang-undangan yang telah berlaku di Indonesia maka kedepannya ada celah bagi pihak asing untuk menguasai tanah yang ada di Indonesia.23 Perjanjian atas nama yang dibuat secara akta otentik tentunya dilaksanakan dihadapan pejabat negara dalam hal ini Notaris dan sampai saat ini belum ditemukan pengaturan terkait perjanjian atas nama dalam pengaturan hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan adanya kekosongan norma.24 Akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian atas nama yang dalam hal ini tidak memiliki kekuatan hukum pasti dapat pula mengakibatkan Perjanjian Atas Nama terkait kepemilikan sesungguhnya akan tanah yang didasarkan pada peraturan undang-undang yang ditetapkan di Indonesia dapat dipastikan tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti, yang dijelaskan secara tersirat sesuai dengan KUH Perdata disertai dengan Undang-Undang Pokok Agraria yaitu perjanjian atas nama oleh WNA serta WNI bersifat semu dan mengakibatkan keadaan hukum seperti semula dikarenakan perjanjian yang dilaksanakan berdasarkan dengan sebab yang palsu dan tidak memenuhi syarat perjanjian sesuai peraturan yang ada di Indonesia.25 Sehingga suatu perjanjian atas nama (Nominee) tersebut di Indonesia jika ditinjau berdasarkan peraturan-peraturan yang ada akan dikatakan batal demi hukum, berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan "Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya." sehingga terdapat 3 syarat terkait pembatalan perjanjian, yaitu :

  • 1.    Suatu perjanjian haruslah bersifat timbal-balik;

  • 2.    Suatu kegiatan dalam perjanjian haruslah ada wanprestasi;

  • 3.    Dengan adanya keputusan hakim.

Adapun dampak yang terjadi bagi pihak pejabat negara yang memiliki wewenang untuk membuat suatu akta otentik dalam kasus ini yaitu Notaris dapat juga dimintai pertanggungjawaban hukum, yakni :

  • 1.    Secara perdata berupa pertanggungjawaban dengan adanya penuntutan akan ganti rugi yang telah disebabkan.

  • 2.    Secara pidana berupa pertanggungjawaban dengan tuntutan terkait pemalsuan terhadap akta otentik yang telah dibuatnya.

  • 3.    Secara administrartif maka dapat dilaksanakannya pemberhentian secara tidak hormat.

Ketiga pertanggungjawaban oleh Notaris tersebut akan terjadi bilamana adanya keterlibatan Notaris dalam pembuatan akta otentik guna Perjanjian Atas Nama yang dilaksanakan oleh pihak WNA serta WNI. Suatu perjanjian atas nama secara tegas didasarkan pada peraturan-peraturan yang ada di Indonesia tepatnya ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata serta Pasal 9 dan 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria bahwa Perjanjian Atas Nama tersebut tidaklah sah didepan hukum yang menimbulkan dampak yaitu perjanjian atas nama tersebut dinyatakan batal demi hukum.26

  • IV. Kesimpulan Sebagai Penutup

4. Kesimpulan

Keabsahan suatu Perjanjian Atas Nama (Nominee) yang terlaksana di Indonesia terkait kepemilikan hak milik atas tanah jika ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tepatnya dalam Pasal 1320 terkait syarat sahnya suatu perjanjian tepatnya pada syarat objektif yakni angka 4 tidaklah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Ditinjau kembali berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria tepatnya dalam Pasal 9 serta dalam Pasal 21 ayat (1) sehingga dari kedua pasal tersebut menjelaskan terkait kepemilikan suatu hak pertanahan yang menyatakan bahwa dimungkinkan untuk secara sepenuhnya baik itu dalam hal penggunaan serta kepemilikannya hanya oleh WNI. Sehingga suatu Perjanjian Atas Nama yang terlaksana di Indonesia jika ditinjau dari hukum yang berlaku dapat diketahui bahwa perjanjian tersebut dikatakan batal sejak semula. Selain akibat hukum yang ditimbulkan, dapat juga dilihat dari sudut pandang yaitu diharapkan juga agar seluruh pertanahan baik yang dimiliki sepenuhnya oleh negara maupun yang dimiliki sepenuhnya oleh perseorang yang ada di Indonesia dapat dipertahankan dan tidak diambil alih oleh pihak asing nantinya, jika hal tersebut tidak diawasi lebih lanjut serta tidak sinkron terhadap peraturan undang-undang yang berlaku di Indonesia tentu kedepannya ada celah bagi pihak asing untuk menguasai tanah yang ada di Indonesia. Kepada pemerintah dan para penegak hukum dalam penegakan hukum terkait perjanjian atas nama sekiranya dapat dibuatkan kepastian hukum yang mengaturnya secara tegas agar dalam keadaan yang akan datang dapat ditindaklanjuti secara maksimal, serta alangkah baiknya bilamana reforma agrariayang telah berjalan dan akan dilaksanakan nantinya diharapkan dapat pula meningkatkan ketertiban hukum serta dapat melihat persoalan-persoalan terkait perjanjian atas nama dalam hal jual-beli tanah dapat ditinjau secara obyektif.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Djamali, Abdoel. 2016. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Prakoso, Abintoro. 2018. Pengantar Hukum Indonesia. Surabaya: LaksBang PRESSindo.

Suwiryo, Broto. 2017. Hukum Ketenagakerjaan (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Asas Keadilan). Surabaya: LaksBang PRESSindo.

Jurnal :

Amborowati, Yulia. "Kekuatan Hukum Perjanjuan Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Belum Terdaftar." Al Qodiri : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan (2020).

Azhari, M. Edwin. "Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Dalam Kaitannya Dengan Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di Lombok." PhD diss., Fakultas Hukum UNISSULA, 2018

Bunga, Gandasari. "Akibat Hukum Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) Dalam Hal Penguasaan Dan Pemilikan Hak Atas Tanah Di Indonesia Oleh Warga Negara ASING." PhD diss., Universitas Diponegoro, 2016

Dharma, I., I. Nyoman Darmadha, and AA Ketut Sukranatha. "Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Nominee Dalam Kepemilikan Tanah Di Kabupaten Gianyar Oleh Orang Asing." Kertha Semaya 4, no. 01 (2016)

Hetharie, Yosia. "Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata." Sasi 25, no. 1 (2019)

Jastrawan, I. D. A. D., Dewa Agung Dharma, and I. Nyoman Suyatna. "Keabsahan Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) oleh Warga Negara Asing dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah di Indonesia." Jurnal Kertha Semaya 7 (2019)

Kindangen, Asari Putri. "Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Warga Negara Asing Yang Memiliki Hak Milik Atas Tanah Melalui Perjanjian Nominee Menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960." Lex Et Societatis 7, no. 2 (2019)

Pertiwi, Endah. "Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee Yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 6, no. 2 (2018)

Sancaya, I. Wayan Werasmana. "Kekuatan Mengikat Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah." Jurnal Magister Hukum Udayana 2, no. 3 (2013)

Wikantha, Anak Agung Bagus Maha. "Peran majelis pengawas dan kehormatan terhadap notaris yang membuat akta perjanjian nominee." Jurnal Cakrawala Hukum 8, no. 2 (2017)

Yusa, I. Gede, I. Dewa Gede Atmadja, Arya Utama, I. Made, Dedy Prianto, I. Made, Gede Prapta Wiguna, and I. Gede Tresna Pratama Wijaya. "Akibat Hukum Akta Perjanjian Nominee terhadap Pihak Ketiga." PhD diss., Udayana University, 2016

Artikel :

Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI. 2014. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 atas Perubahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.03 Tahun 2022, hlm.670-681