PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA CIPTA CERITA RAKYAT YANG DI ANGKAT MENJADI FILM
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYA CIPTA CERITA RAKYAT YANG DI ANGKAT MENJADI FILM
I Putu Eka Tresna Ardiawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i04.p9
ABSTRAK
Penulisan dari karya ilmiah ini bertujuan agar pembaca mengetahui perlindungan hukum bagi suatu karya cipta khususnya pada cerita rakyat yang ingin diangkat menjadi film dan mengetahui upaya izin yang dapat dilakukan dari hasil karya cerita rakyat yang dialih wujudkan dalam bentuk film untuk tujuan komersial. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yakni peraturan perundang-undangan ataupun data sekunder seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, artikel dengan adanya penambahan berbagai sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak dikaji di dalam penulisan ini. Hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa Pembuatan film dengan berdasarkan cerita rakyat sambil mencantumkan identitas penciptanya taklah tepat dikarena hak ciptaan terhadap folklore tergolong sebagai salah satu ekspresi budaya tradisional (EBT) juga dipunyai oleh negara, terdapat pada Pasal 38 UUHC yang menyatakan “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara”, berarti mengenai ini diurus dan diwakili kepada negara atau pemerintah daerah. Film tercantum didalam Pasal 40 huruf m tentang karya sinematografi dan pengubahan cerita rakyat ke dalam bentuk film terdapat pada pasal 40 huruf o yakni tranformasi atau modifikasi EBT. Hak cipta dengan ekspresi budaya tradisional terdapat suatu konsep yang berbeda seperti didalam hak cipta kepemilikannya yang menjadi hak individual sedangkan didalam ekspresi budaya tradisional dimana kepemilikannya bersifat hak komunal atau dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat.
Kata kunci: cerita rakyat, pencipta, budaya
ABSTRACT
The The writing of this scientific work aims to make the reader know how to protect the law for a copyrighted work, especially in folklore that wants to be made into a film and How is the permit effort that can be made from the work of folklore that is converted into film for commercial purposes. In this writing, the author uses normative legal research methods, namely legal research carried out by examining library materials, namely statutory regulations or secondary data such as books, scientific journals, theses, articles with the addition of various sources related to the problems to be studied in this paper. in this writing. The results of this study explain that making films based on folklore while including the identity of the creator is not appropriate because the copyright to folklore is classified as one of the traditional cultural expressions (EBT) also belongs to the state, contained in Article 38 UUHC which states "Copyright on expressions of traditional culture is held by the State”, meaning that this matter is managed and represented to the state or local government. Films are listed in Article 40 letter m regarding cinematographic works and converting folklore into film form contained in Article 40 letter o, namely the transformation or modification of EBT. Copyright with traditional cultural expressions, there is a different concept, such as in copyright ownership which is an individual right while in traditional cultural expressions where ownership is communal or collectively owned by indigenous peoples.
Keywords: folklore, creator, culture
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Hak Cipta ialah hak yang eksklusif dimana bahwasannya hak yang demikian ini memiliki hak ekonomi dan hak moral dari pemegang hak cipta atau penciptanya agar dapat mempergunakan hasil dari ide gagasan atau kreatifitas yang dibuat.1 Terbukti hal seperti ini dari langkanya PERDA tentang HKI juga sarana perlindungan untuk mengayomi para pemilik HKI didaerah.2 Isu hukum yang atraktif saat ini salah satunya ialah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang diproduksi oleh masyarakat tradisional. Menyebabkan menghilangnya kualitas nilai terhadap cerita rakyat Nusantara juga beranggapan bahwa cerita rakyat cuma sekedar cerita pengantar tidur.3 Dengan demikian, sangat dibutuhkannya suatu media untuk menyampaikan cerita rakyat nusantara yang efektif bagi masyarakat.4 Minimnya pengetahuan yang dipunyai oleh masyarakat adat mengakibatkankan ramai timbul kejadian klaim tentang EBT. Klaim tersebut dapat timbul karena perlindungan hukum terhadap EBT yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum dapat menyelamatkan EBT secara maksimal.5 Film pada UUHC terdapat dalam pasal 40 huruf m tentang karya sinematografi. Cerita rakyat mewujudkan salah satu dari hasil karya cipta yang diberi perlindungan oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yakni pada pasal 38 ayat (1). Cerita rakyat melambangkan model sastra yang menjelaskan tentang manusia beserta seluk beluknya ataupun kisah melalui lisan yang berlanjut terus menerus ke generasi seterusnya melalui tradisi tutur. Perlindungan hukum pada karya cerita rakyat sangat diperhatikan lantaran tidak jarang cerita rakyat yang diangkat ke dalam sebuah film. Dengan kreatifitas seseorang suatu karya cipta cerita rakyat dapat diubah atau dialihwujudkan menjadi bentuk film hal tersebut tercantum dalam pasal 40 huruf o yakni “terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional.” Hasil dari adaptasi cerita rakyat tersebut dilindungin didalam pasal 40 ayat (2) yang inti menjelaskan yakni “Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.”
Negara merupakan penguasa hak cipta dari cerita rakyat lantaran cerita rakyat menjadi salah satu komponen dari folklore dan cerita rakyat pada umumnya tidak diketahui siapa penciptanya karena cerita rakyat dipaparkan secara lisan dari generasi ke generasi.6 Lebih signifikan disebutkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
pada Pasal 10 yang mengategorikan tentang folklore dalam perihal pemegang Hak Cipta pada ayat (2).
“Negara memegang Hak Cipta atas folklor dari hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dogeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.”
Selepas itu pengertian undang-undang tersebut menyampaikan pengertian folklore sebagai gabungan ciptaan tradisional, baik itu oleh masyarakat ataupun perorangan dalam masyarakat yang memberitahukan identitas budaya dan sosialnya berdasarkan penopang makna-makna yang dituangkan atau dijalankan selaku turun menurun. Dalam melindungi budaya tradisional Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta masih terlihat jelas kelemahannya. Ini salah satu indikasi menyodorkan kontribusi kepada payahnya perlindungan budaya tradisional di Indonesia. Contoh cerita rakyat yang di angkat menjadi film salah satu nya ialah cerita rakyat “Malin Kundang” lahir dan berkembang didaerah Sumatera Barat.
Penafsiran cerita rakyat yang pada awamnya dipaparkan secara lisan mengakibatkan dapat berlangsungnya pemotongan dan/atau penambahan bagi cerita rakyat tersebut begitu dipaparkan. modifikasi atas makna dari cerita rakyat tersebut ketika dilanjutkan dari keturuan ke turuanan berikutnya maka tiap generasi akan memperluas makna dan juga nilai baru kedalamnya.7 Dalam kemajuan teknologi, cerita rakyat bukan hanya disuguhkan secara lisan lagi, namun juga sudah pernah dialih wujudkan kedalam wujud yang lebih menarik dan pastinya baru misalnya seperti dalam bentuk movie film dan sendratari. Tetapi juga kemajuan teknologi menguatkan pendayagunaan yang tidak valid terhadap cerita rakyat. Umpamanya pada waktu cerita rakyat dialih wujudkan kedalam wujud material lainnya untuk maksud komersial, namun tidak memasukan tempat cerita rakyat tersebut berasal. Dalam keadaan ini termasuk kedalam pengingkaran hak moral dari suatu ciptaan. Maka dalam mekanismenya, kewenangan tersebut dipaparkan dalam wujud pantangan buat memodifikasi, menyusutkan, atau mencacatkan karya cipta yang dapat merusak integritas daerah asal lahirnya cerita rakyat itu dan juga pemegang hak ciptanya. Hakikatnya ialah suatu ciptaan mesti tetap utuh sesuai dengan versi masyarakat pengemban atau daerah asalnya.8
Berdasarkan uraian dari penjelasan diatas, maka penulis memilih untuk mengambil sebuah judul karya ilmiah yakni “Perlindungan Hukum Terhadap Cerita Rakyat Yang Diangkat Menjadi Film” Ditinjau dari Penelitian sebelumnya yang mengangkat tentang “Perlindungan Hukum Karya Cipta Kumpulan Cerita Pendek Yang Dialih Wujudkan Dalam Bentuk Film Untuk Tujuan Komersial.” Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada fokus penelitiannya dimana penelitian ini berfokus pada karya cipta cerita rakyat sedangkan penelitian sebelumnya berfokus pada cerita pendek. Perbedaan selanjutnya dimana pada penelitian ini, cerita rakyat yang tidak diketahui benar siapa penciptanya maka hak moral dan hak ekonominya dilimpahkan kepada masyarakat pengemban cerita rakyat itu. Sedangkan pada cerita pendek diketahui benar penciptanya maka dari itu hak moral dan ekonomi diberikan kepada pencipta cerita pendek tersebut.
-
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dari itu penulis menemukan 2 pokok kesimpulan permasalahan yakni, sebagai berikut:
-
1. Dalam Undang-Undang Hak Cipta bagaimana perlindungan hukum terhadap cerita rakyat yang diangkat menjadi film?
-
2. Bagaimana sanksi hukum apabila sebuah cerita rakyat diadaptasi menjadi film tanpa izin masyarakat pengembannya?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan tentunya memiliki hubungan yang sangat erat dengan bagian pokok permasalahan yang akan dibahas, sehingga penulisan dari karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta tidak menyimpang dari rumusan masalah. Penulisan dari karya ilmiah ini bertujuan agar pembaca mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi suatu karya cipta khususnya pada cerita rakyat yang ingin diangkat menjadi film pada salah satu produser perfilman. Bagaimana usaha jalan keluar yang bisa diperbuat oleh pembuat kepada buatan ciptaan folklore yang bentuknya dialih wujudkan menjadi film demi tujuan komersial.
-
II. Metode Penelitian
Penyusunan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilaksanakan dengan upaya meneliti bahan pustaka yakni peraturan perundang-undangan ataupun data sekunder seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, artikel dengan adanya penambahan berbagai sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak dikaji di dalam penulisan ini.9 Dalam penyusunan karya ilmiah ini memerlukan pendekatan yang mengkaji dari peraturan perundang-undangan (the statue approach) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Hak Cipta dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak dikaji.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Perlindungan hukum terhadap cerita rakyat yang diangkat sebagai film dalam Undang-Undang Hak Cipta
Cerita rakyat strat didesain kedalam wujud lain yang makin atraktif walaupun malah sering menyurutkan komponen keabsahan cerita rakyat itu maka generasi milenial tak mengetahui edisi sejati dari cerita rakyat itu. Cerita rakyat termasuk kebagian dari ciptaan dalam aspek sastra. Kejelasan tentang menggunakan atau mengubah cerita rakyat kedalam bentuk film atau tontonan komersil tertuang pada Pasal 15 UUHC yang intinya yakni menjelaskan bahwasannya diperbolehkan memakai satu karya cipta selama tetap mencatatkan pemegang hak ciptanya atau daerah asal cerita rakyat itu lahir dengan prasyarat-prasyarat seperti yang tercantum dalam ketetapan pasal ini. Ada dua sarana perlindungan hukum yakni:10
-
1. Media perlindungan hukum preventif, dalam proteksi hukum preventif ini ialah subyek hukum disediakan keleluasaan buat memberi pendapatnya atau keberatannya sebelum ketentuan pemerintah mendapatkan wujud yang pasti. Dan maksudnya ialah untuk menghalang akan terbentuknya sengketa.
-
2. Kemudian media perlindungan hukum represif, dalam perlindungan hukum refesif bermaksud dapat menyelesaian sengketa. Perlindungan hukum ini akan diperbolehkan kala suatu sengketa atau problem berlangsung, maka bentuk perlindungan hukum ini bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Mengingat cerita rakyat adalah hak komunal dan bukan hak individu seperti yang dimiliki oleh hak cipta, mengapa demikian karena cerita rakyat tidak diketahui penciptanya seperti dasar nya hak cipta. Dengan kreatifitas seseorang suatu karya cipta cerita rakyat dapat diubah atau dialihwujudkan menjadi bentuk film hal tersebut tercantum dalam pasal 40 huruf o yakni “terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional.” Hasil dari adaptasi cerita rakyat tersebut dilindungi didalam pasal 40 ayat (2) dimana pada intinya menerangkan “Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.”Perwujudan mengenai sarana perlindungan preventif dapat dilihat dalam peraturan mengenai hak atas kekayaan intelektual, Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Pada hak cipta prinsip perlindungan hukumnya bersifat automatic protection dimana bahwasannya perlindungan hukum harus alokasikan tanpa mesti memenuhi formalitas khusus dan pelaksanaannya bersifat independence of protection dari eksitensi perlindungan negara asal ciptaan.11
Preservasi pengamanan folklore diberikan terhadap ciptaan asli tetapi tak mengatur bahwasannya ciptaan itu harus kreatif. Artinya ini satu ciptaan bisa dimulai pada satu pemahaman umum. Perlindungan kepada karya tradisional khususnya cerita rakyat bisa diperbuat dengan pengarsipan terhadap folklore yang terdapat di Indonesia. Tak kembali menanti pembukuan dari asosiasi masyarakat pengembannya (seperti ketentuan Pasal 35 UUHC yang lebih bersifat pasif menunggu penciptanya mendaftarkan ciptaannya) atau masyarakat pengembannya tempat cerita rakyat tersebut muncul dan berkembang. Dengan dicantumkannya hak cipta dalam daftar, maka dari itu untuk membuktikannya maka akan makin gampang. Pembenaran akan makin rumit dan membutuhkan jangka waktu lama terhadap karya cipta yang tiada didaftarkan. Oleh karena itu maka pendataan tidak bagian dari ketentuan untuk absahnya diakuinya satu ciptaan, namun sekedar untuk mengentengkan validasi dalam hal jika terdapat perselisihan hak cipta atau karya cipta.12 Pemerintah bersama pelopor-pelopor masyarakat daerah untuk bekerjasama agar dapat berfungsi langsung saat membukukan ekspresi budaya tradisional yang ada, lantas mewujudkannya kedalam bentuk artikel dan menyimpannya kedalam general list karya cipta dan menjadi komponen dari ekspresi budaya tradisional. Sehingga ciptaan tradisional di Indonesia mempunyai data, apabila suatu saat terdapat pelanggaran hukum, maka pemerintah bisa dengan tegas menunjukan bahwasanya Ekspresi budaya tradisional khususnya cerita rakyat tersebut milik warga Indonesia. Lantaran ekspresi budaya tradisional
condong dirasa sebagai suatu yang umum, maka didistribusikan terhadap siapa saja dan dipunyai bersama-sama santak tak dirasa penting oleh masyarakat adat tempat cekspresi budaya tradisional itu lahir untuk membukukannya sebagai salah satu hak cipta yang bersifat eksklusif. Cara lainnya dalam memberikan preservasi pengamanan kepada EBT atau cerita rakyat yakni dengan menurunkan batasan-batasan pada penggunaannya atau dikenal dengan penerapan asas fair use.13 Pemakaian dengan wajar atau fair use ialah penyerahan izin terhadap kelompok lain untuk memanfaatkan satu ekspresi budaya masyarakat demi tujuan yang berguna. Wujud dari pemakaian dengan wajar (fair use) bisa bersifat pemakaian untuk penulisan karya ilmiah, kepentingan penelitian, pendidikan. Pemakaian secara wajar (fair use) juga bermaksud untuk memberikan peluang pada pihak lainnya untuk memakai ekspresi budaya tradisional dengan tetap melihat hak dari masyarakat pengembannya atau pemegang hak ciptanya. Penerapan penggunaan secara wajar juga merupakan bagian untuk memberikan perlindungan kepada hak moral dari pemegang hak cipta seperti halnya yang tercantum didalam Pasal 24 UUHC. Ekspresi budaya tradisional khusunya cerita rakyat bisa dipakai oleh orang lain atau kelompok, akan tetapi hak moral dari pemegang hak cipta atau masyarakat pengembannya harus tetap diperhatikan pada keadaan ini negara atau tempat asal cerita rakyat itu lahir dianggap sebagai pengemban hak cipta atas ciptaan tersebut pada waktu dipergunakan, dipublikasikan untuk kepentingan komersil maupun non komersil.
Daerah atau tempat asal lahirnya ekspresi budaya tradisional khususnya cerita rakyat bisa digolongkan sebagai indikasi terciptanya satu cerita rakyat dikarenakan setiap-setiap daerah memiliki ciri khas beragam yang terkandung pada masing-masing cerita rakyatnya. Berkenaan pada pendayagunaan cerita rakyat untuk kebutuhan komersial bagi pihak film, memang seharusnya terlebih dahulu memperoleh izin dari negara selaku penguasa hak cipta terhadap EBT cerita rakyat dan juga daerah asal lahirnya cerita rakyat tersebut, tetapi sampai waktu ini masih belum terdapat aturan yang mengatur lebih dalam mengenai proses permohonan pengajuannya dan juga kepada siapa diajukan permohonan tersebut.
-
3.2 Sanksi Hukum Apabila Sebuah Cerita Rakyat Diadaptasi Menjadi Film Tanpa Izin Masyarakat Pengembannya
HKI (Hak kekayaan intelektual) disangkut pautkan kuat pada objek tidak berupa yang berdasarkan dari gagasan manusia yang dilindungi dan juga menggambarkan karya intelektual yang muncul dari rasa, cipta seseorang.14 Pengadaptasian suatu ciptaan cerita rakyat dalam bentuk film yang dilakukan tanpa adanya izin pencipta atau pemegaang Hak Cipta termasuk dalam sengketa Hak Cipta, karena dalam pengadaptasian suatu karya terdapat lisensi terlebih dahulu dimana tercantum dalam pasal 80 ayat (1) yaitu “Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).” Dengan kreatifitas seseorang suatu karya cipta cerita rakyat dapat diubah atau dialihwujudkan menjadi bentuk film
hal tersebut tercantum dalam pasal 40 huruf o yakni “terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional.” Hasil dari adaptasi cerita rakyat tersebut dilindungin didalam pasal 40 ayat (2) yang menyatakan “Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.” Mengingat tujuan perfilman adalah untuk komersil yaitu dalam pasal 8 yang mengatur tentang hak ekonomi menjelaskan bahwasannya “Hak ekonomi merupakan Pemegang Hak Cipta untuk atas Ciptaan. hak eksklusif Pencipta atau mendapatkan manfaat ekonomi.” Hal tersebut juga tertuang pada pasal 9 ayat (1) dimana intinya yakni “Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk meiakukan:
-
a. penerbitan Ciptaan;
-
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
-
c. penerjemahan Ciptaan;
-
d. pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
-
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
-
f. pertunjukanCiptaan;
-
g. Pengumuman Ciptaan;
-
h. Komunikasi Ciptaan; dan
-
i. penyewaan Ciptaan.”
Lalu pada ayat (2) menyatakan “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Maka dari itu agar mendapat hak ekonominya, pengadaptasian cerita rakyat menjadi film diharuskan memerlukan persetujuan dari Negara sebagai pemegang hak ciptanya atau masyarakat pengemban cerita rakyat tersebut.
Kegiatan pengadaptasian yang dilakukan tanpa sepengetahuan pencipta atau pemegang Hak Cipta tidak akan memberikan seseorang untuk melakukan hak ekonomi dari pencipta. Pengadaptasian cerita rakyat ke dalam bentuk film tanpa adanya persetujuan pencipta akan memicu terjadinya akibat hukum. Dimana kegiatan pengadaptasian tersebut jelas merugikan hak ekonomi maupun hak moral dari pencipta atau pemegang Hak Cipta.15 Kepemilikan hak atas folklore seperti yang disebutkan dalam pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta, yang selanjutnya disingkat UUHC, nomor 28 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, hal ini dimaksudkan guna mencegah segala bentuk eksploitasi atau pemanfaatan oleh pihak asing, tentunya kita sebagai masyarakat Indonesia khususnya sebagai masyarakat pengemban suatu cerita rakyat wajib memelihara dan melestarikan kebudayaan tradisional khusunya cerita rakyat yang dimana proses pendaftarannya belum ada pengaturannya. Dipejelasan pasal 38 juga dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan ekspresi budaya tradisional mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut : verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif.” Dapat dikatakan pemegang hak cipta suatu cerita rakyat atau bisa disebut juga legenda tersebut adalah negara disamping masyarakat pengembannya. Yang dimaksud dengan masyarakat pengemban yaitu lahirnya suatu cerita rakyat dalam suatu daerah maka masyarakat yang ada didaerah tersebut dikatakan sebagai masyarakat pengemban
cerita rakyat tersebut. Misalkan cerita layon sari yang kental dengan adat Bali dan dipercaya bahwa cerita rakyat tersebut lahir di Bali maka masyarakat yang ada di Bali itulah yang menjadi masyarakat pengembannya. Oleh karena itu untuk menjaga cerita rakyat dari oknum-oknum yang ingin mengubahnya untuk tujuan komersial yang juga dapat memberikan pengaruh pada aspek lainnya, jelas perlindungan terhadap cerita rakyat memiliki peran sangat penting. Tentu saja pegakan hukum merupakan satu sisi yang tidak boleh dilupakan.16
Di paparkan bahwasannya Undang-Undang Hak Cipta ini tidak hanya mengatur perlindungan kekayaan intelektual tetapi juga menjelaskan posisi negara dalam kepemilikan atas ekspresi budaya tradisional disamping masyarakat pengemban yang menjadi pengemban ceita rakyat itu, yang tau jelasnya asal-usul cerita rakyat tersebut. Dapat dilihat dari ketentuan UUHC melalui Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yaitu :
-
1. “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh negara
-
2. Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional seperti yang dimaksud oleh ayat (1).
-
3. Pengaturan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
-
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.”
Didalam pasal 9 ayat (2) dijelaskan bahwa “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Hak Cipta dengan Ekspresi budaya tradisional punya suatu pendirian yang beda dalam hal misalnya ekspresi budaya tradisional yang dimana kepemilikannya itu ialah hak komunal lain halnya dengan hak cipta dimana yang kepimilikannya merupakan hak individual.17 Selain itu, terdapat dalam bagian penjelasan pasal 38 dapat dilihat bahwa yang menjadi bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional adalah;
-
a. “Verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;
-
b. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;
-
c. gerak, mencakup antara lain, tarian;
-
d. teater mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
-
e. seni rupa baik yang berbentuk dua dimensi atau tiga dimensin yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti, kulit, kayu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan
-
f. upacara adat.”
Yang definisinya, hak eksklusif atas Ekspresi Budaya Tradisional dipegang oleh Negara. Sampai kapan hak eksklusif Ekspresi Budaya tradisional itu merekat, memandang yang wujudnya tak sama tepat dengan karya ciptaan pada dasarnya yan spesifik dalam penciptanya dan kepemilikannya. Dan Juga masa waktu perlindungan dari suatu karya cipta terhadap hak ciptanya dicantumkan dalam pasal 58 ayat (2), yakni seumur hidup ditambah 70 tahun sesudah pencipta meninggal. Susah dipraktekkan pada ekspresi budaya tradisional yang kurang jelas penciptanya siapa dan juga sudah hidup dalam masyarakat sejak zaman dulu kala.
Arif Samsudin mengemukakan bahwa EBT tak mengarah semata-mata untuk mendapatkan profit komersial sebagaimana halnya dalam hak cipta, tetapi sebagai media dalam beragama/kepercayaan dan kehidupan. Selama masih pada rencana pelestarian maka dari itu legal-legal pula jika suatu kelompok ataupun perorangan hendak mengeksploitasikan pendayagunaan EBT khususnya cerita rakyat agar makin diketahui luas. Dan kebalikannya, apabila disangkutpautkan pada keperuntungan hak, pendayagunaan EBT atau cerita rakyat secara umum, dan juga disertai dengan kegunaan perdagangan untuk pemakai secara perseorangan, bisa merusak harkat martabat adat setempat dan juga mudarat masyarakat pengemban yang dirasa sebagai pemegang hak cipta atas cerita rakyat atau EBT tersebut. Diamati dari kelemahan pada pasal 38 UUHC 2014 bisa dilengkapi dengan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang meskipun tak mengatur Ekspresi Budaya Tradisional begitu signifikan, tetapi strategi kebudayaan diusungkan dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan cuma bisa mengcover sedikit pada kelemahan didalam persoalan perlindungan cerita rakyat atau Ekspresi Budaya Tradisional pada perihal memelihara, menjaga, dan menginventarisasi. Akan tetapi tidaklah bisa untuk dijadikan sebagai opsi jalan keluar. Dibutuhkan adanya peraturan khusus yang berhubungan dengan perlindungan EBT selain rezim Hak Cipta, terutama mengenai pemegang hak cipta.18 Dalam pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan menjabarkan apa saja yang menjadi objek pemajuan kebudayaan, yaitu meliputi tradisi seni, manuskripsi, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, lisan, olahraga tradisional, permainan rakyat, dan bahasa. Dapat dilihat dari deskripsi EBT diatas, bahwa EBT bisa sebagai salah satu objek untuk pemajuan kebudayaan.
Kemudian sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pihak film jika tidak meminta izin untuk mengangkat cerita rakyat menjadi sebuah film terdapat pada Pasal 106 huruf b UUHC yang menyatakan “menarik dari peredaran dan menyita serta menyimpan sebagai alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait” hak terkait yang dimaksud yakni hak moral dan hak ekonomi. Jika terdapat pelanggaran pada hak ekonomi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) huruf i UUHC untuk penggunaan secara komersial maka dapat dipenjara paling lama satu
tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) hal ini tercantum dalam Pasal 113 UUHC. Permohonan izin menggunakan cerita rakyat menjadi sebuah film tidaklah mudah, seorang produser film harus meminta izin kepada negara selaku pemegang hak cipta dan juga memohon persetujuan terhadap masyarakat pengemban dari cerita rakyat tersebut. Produser film haruslah meminta izin sebelum menggunakan suatu cerita rakyat, dikarenakan tujuan dari film yang bersifat komersial dan juga menghasilkan keuntungan ekonomis untuk individu tersebut.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Suatu karya cipta cerita rakyat dapat diubah atau dialihwujudkan menjadi bentuk film hal tersebut tercantum dalam pasal 40 huruf o yakni “terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional.” Hasil dari adaptasi cerita rakyat tersebut dilindungi didalam pasal 40 ayat (2) yang menyatakan “Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.” Dimana telah dijelaskan bahwa melakukan pengadaptasian suatu karya merupakan hak ekonomi yang dimiliki pencipta dan jika seeorang tanpa izin melakukan pegadaptasian terhadap karyanya jelas melanggar hak ekonomi pencipta. Pada Pasal 9 ayat (2) menyatakan “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Maka dari itu agar mendapat hak ekonominya, pengadaptasian cerita rakyat menjadi film harus memperoleh persetujuan dari Negara sebagai pemegang hak ciptanya atau masyarakat pengemban cerita rakyat tersebut. Permohonan izin menggunakan cerita rakyat menjadi sebuah film tidaklah mudah, film harus meminta izin kepada negara selaku pemegang hak cipta dan juga meminta izin kepada masyarakat pengemban dari cerita rakyat tersebut melalui pemerintah daerah dan sebagainya. Film haruslah meminta izin sebelum menggunakan suatu cerita rakyat, dikarenakan tujuan dari film yang bersifat komersial dan juga menghasilkan keuntungan ekonomis untuk individu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jened, Rahmi, Hukum Hak Cipta, (Bandung, Citra Aditya Bakti 2014).
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitiaan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Rajawali Pers, 2018).
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012).
Artikel Ilmiah
Amini, Dinda Aulia. "Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Untuk Mewujudkan Perkembangan Ekonomi Kreatif Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan." PhD diss., Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2019.
Arsyad, Siti Naomi. "Analisis kedudukan negara sebagai pemegang hak cipta pada perlindungan ekspresi budaya tradisional ditinjau dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak cipta dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan." (2018).
Kurniawan, Adit. "Perlindungan Hukum Terhadap Folklore di Indonesia Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Internasional." PhD diss., Universitas Islam Riau, 2017.
Lestari, Sartika Nanda. "Perlindungan Hak Moral Pencipta Di Era Digital Di Indonesia." Diponegoro Private Law Review 4, no. 3 (2019).
Marsudi, Marsudi, and Herie Saksono. "Hak Kekayaan Intelektual sebagai Investasi Pembangunan Kota Baubau." Kainawa: Jurnal Pembangunan & Budaya 2, no. 2 (2020).
Oktaviani, Anita. "Peran desain komunikasi visual perancangan buku cerita bergambar mengangkat tokoh inspiratif dari dongen cerita rakyat." SKRIPSI-2019 (2019).
Paramisuari, Anak Agung Sinta, and Sagung Putri ME Purwani. "Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2019).
Pricillia, Luh Mas Putri, and I. Made Subawa. "Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin Pencipta di Media Sosial." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 11 (2018).
Soleha, Shafira Rizka. "Perancangan novel grafis cerita rakyat Cindelaras." SKRIPSI-2021 (2021).
Sumardani, Ni Made Rian Ayu, and I. Made Sarjana. "Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online." Jurnal Kertha Semaya 6, no. 3 (2018).
Tus, Desyanti Suka Asih K. "Perlindungan Hukum terhadap Keaslian Cerita Rakyat." Jurnal Magister Hukum Udayana 3, no. 3 (2014).
Vionita, Nora, "Perlindungan Hukum Karya Cipta Kumpulan Cerita Pendek Yang Dialih Wujudkan Dalam Bentuk Film Untuk Tujuan Komersial." Digital Repository Universitas Jember (2016).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4220)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 266 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5599).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6055).
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.04 Tahun 2022, hlm. 788-798
Discussion and feedback