RELEVANSI ASAS ULTIMUM REMEDIUM TERHADAP PENYELESAIAN KASUS PENCABULAN ANAK DENGAN PELAKU ANAK
on
RELEVANSI ASAS ULTIMUM REMEDIUM TERHADAP
PENYELESAIAN KASUS PENCABULAN ANAK
DENGAN PELAKU ANAK
Ida Ayu Kade Febriyana Dharmayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: febriyanadharmayanti@gmail.com
Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: gmswar@yahoo.com
DOI: KW.2022.v11.i02.p14
ABSTRAK
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui pengaturan perihal anak sebagai pelaku tindak pidana utamanya dalam kasus pencabulan anak dengan pelaku anak, dan untuk mengetahui serta menganalisis relevansi asas ultimum remedium terhadap penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak. Metode penelitian hukum yuridis normatif ialah metode yang dipergunakan pada studi ini yang bertujuan untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran dengan cara pembuktian melalui kaidah hukum tertulis, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dibarengi juga dengan pengetahuan hukum yang mana penelitian dititik beratkan dengan meneliti bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam studi ini. Pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual adalah pendekatan yang relevan untuk dipergunakan pada peneitian ini, sehingga kedua pendekatan tersebutlah yang dipilih untuk digunakan sebagai penunjang penelitian ini. Hasil studi menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ialah dasar hukum yang sahih perihal sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku suatu tindak pidana. Asas ultimum remedium adalah asas yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak. Asas ini hanya dapat dipilih dan digunakan oleh penegak hukum untuk menjerat anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan anak apabila upaya awal yakni upaya diversi tidak dapat dijalankan.
Kata Kunci: Asas Ultimum Remedium, Pencabulan Anak, Pelaku Anak.
ABSTRACT
The objective of this study is to establish the regulation concerning children as perpetrators of child abuse cases, and to discover and examine the correlation between the principles of ultimum remedium to the settlement of child abuse cases with children as the perpetrators. The normative juridical law study procedure is the method used in this study which aims to obtain a truth by proving it through written rules, to be specific formed on the legislation and knowledge of the law in which the study is focused by examining the law materials used in this research. The statute approach and the conceptual approach are relevant approaches used in this study therefore these two approaches were chosen to be used to assist this study. The outcome of this study designate that Law no. 11 of 2012 that deal with the Juvenile Criminal Justice System is the law basic that regulates the punishment to the children as perpetrators of a crime. The principle of ultimum remedium is the relevant principle used as a final attempt in resolving a case of child abuse with children as perpetrator. This principle can only be chosen and used by law enforcers to pursue the cases of children as perpetrators of child maltreatment if the initial attempt, namely diversion efforts cannot be used.
Key Words: Ultimum Remedium Principle, Children Abuse, Child Perpetrators.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni pada Konsideran bagian b dinyatakan bahwa dalam diri setiap anak telah tertanam suatu harkat serta juga martabat yang menjadikan anak dapat disebut sebagai sebuah karunia dan amanah dari Tuhan kepada orang tua, bangsa, dan negara. Selanjutnya dalam bagian c konsideran UU Perlindungan Anak ini dinyatakan secara tersirat bahwa anak merupakan generasi pembawa pembaharuan yang mana nantinya akan menjadi generasi baru untuk meneruskan cita-cita bangsa dan juga dengan ciri, sifat khusus, dan peran strategisnya, eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang akan terjamin. Anak memiliki beberapa hak yang telah diakui dan dilindungi oleh berbagai konvensi internasional yang juga telah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan nasional.1 Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2015 hingga tahun 2019, yang menjadi salah satu kebijakan sebagai upaya untuk melakukan pembangunan terhadap perlindungan anak di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas anak yakni dengan program Indonesia Layak Anak. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkonfirmasi bahwasannya anak telah memperoleh apa yang menajdi haknya.2 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menjalin kerjasama dengan Badan Pusat Statistik pada tahun 2019 untuk mengembangkan suatu indeks yang diharapkan dapat menjadi barometer atau alat ukur tercapainya perlindungan terhadap anak baik untuk pemerintah pusat ataupun untuk pemerintah daerah, diantaranya yakni indeks mengenai perlindungan, pemenuhan hak, dan perlindungan khusus untuk anak.3
Negara melalui pemerintah telah berupaya untuk turut hadir dalam menjamin pemenuhan serta perlindungan hak anak. Akan tetapi dalam kenyataannya, kerap kali anak ditempatkan pada posisi paling rentan dan lemah serta paling dirugikan, misalnya hak untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya sering dibungkam, hingga yang lebih parahnya adalah kerap kali ditemukan suatu kasus yang memosisikan anak sebagai korban tindak pidana utamanya tindak pidana kekerasan yang secara tidak langsung merupakan pelanggaran pada hak-hak yang anak miliki. Berikut adalah data statistik pada bulan Januari tahun 2019 sampai dengan bulan Juni tahun 2020 yang disajikan dalam bentuk grafik mengenai jumlah kekerasan berdasarkan bentuk kekerasan yang dialami oleh anak sebagai korbannya.
Gambar 1. Jumlah Kekerasan Berdasarkan Bentuk Kekerasan yang Dialami oleh Anak Sebagai Korbannya pada bulan Januari tahun 2019 hingga bulan Juni tahun 2020.
Sumber: Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), Kementerian PPPA (Oktober 2020).4
Grafik di atas menunjukkan bahwa anak cenderung sering mengalami kekerasan yang mana kekerasan tersebut dapat digolongkan menjadi 5 jenis kekerasan yakni kekerasan psikis, kekerasan fisik, kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan tindak pidana perdagangan orang. Jika diperhatikan, dari kelima kekerasan tersebut, kasus kekerasan seksual adalah kasus kekerasan yang jumlahnya paling tinggi. Kekerasan seksual disini merupakan suatu tindakan tanpa adanya persetujuan dari korban, yang mana tindakan tersebut mengarah pada ajakan seksual dan dilakukan oleh individu lainnya terhadap anak dengan menggunakan cara-cara tertentu yang merupakan tindakan pemaksaan atau tindakan yang mengandung unsur pemaksaan terhadap anak tersebut seperti ancaman, bentakan, kekuasaan, dan lain sebagainya.5 Kekerasan seksual ini dilakukan terhadap anak oleh individu lainnya, artinya dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang menjadi pelaku dari kekerasan ini adalah individu lain yang mana individu lain disini dapat berarti orang dewasa atau teman sebaya si anak. Berikut disajikan data mengenai pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak usia 13 tahun hingga 17 tahun yang dilaporkan pada tahun 2018.
Gambar 2. Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2018
a =
1 E
o
o
a
Pαsαngαn∕Pαcαr
Keluarga
Dewasa dikenal
Teman, kelompok sebaya
Tidak dikenal
Pasangan/Pacar
Keluarga
Dewasa dikenal
Teman, kelompok sebaya
Tidak dikenal

■ Laki-laki BPerempuan
Sumber: SPNHAR (Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak Remaja) pada tahun 2018.6
Bersumber pada data di atas, dapat dilihat bahwasannya pada tahun 2018 persentase pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak didominasi oleh teman atau kelompok sebaya baik itu laki-laki maupun perempuan. Data tersebut memperlihatkan bahwasannya kekerasan seksual yang dialami anak sebagian besar dilakukan oleh anak juga, yang mana tentunya ada banyak sekali faktor yang menyebabkan atau yang melatarbelakangi tindakan yang diperbuat oleh anak tersebut. Faktor dari lingkungan di sekitar anak adalah satu dari beberapa faktor yang sangat mempengaruhi segala bentuk tindakan yang diperbuat oleh anak. Anak cenderung mempelajari segala hal yang ada di sekitarnya dan kemudian hal-hal tersebut ditiru oleh anak. Maka dari itu lingkungan sekitar anak haruslah sehat untuk membentuk tumbuh kembang anak menjadi pribadi yang baik pula nantinya.
Menilik beberapa kasus yang sudah pernah terjadi sebelumnya, banyak ditemukan adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku anak juga, artinya korban dan pelaku dari kasus kekerasan seksual ini ialah anak. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, anak ialah mereka yang memiliki umur kurang dari 18 tahun, termasuk pula anak yang tengah dikandung oleh ibunya. Kasus pencabulan adalah satu dari beberapa bentuk kekerasan seksual pada anak dengan pelaku anak, yang mana kasus ini marak ditemukan di Indonesia. Anak yang merupakan pelaku tindak pidana, pada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dikenal dengan sebutan anak yang berkonflik dengan hukum. Jika dilihat dari fenomena tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa anak belum memperoleh perlindungan yang memadai, baik itu anak dari sisi korban maupun pelaku. Hal tersebut jelas telah
melanggar hak anak, yang mana berdasarkan Konvensi Anak, terdapat beberapa kategori yang menjadi hak-hak anak, antara lain yaitu:7
-
1) Hak untuk kelangsungan hidup, yakni anak berhak untuk bertahan hidup dengan senantiasa menjaga dan melestarikan kehidupannya, memperoleh perawatan dan juga kesehatan dengan standar tertinggi.
-
2) Hak terhadap perlindungan, yakni anak berhak mendapat perlindungan atas tindak kekerasan, perbuatan diskriminasi, serta keterlantaran bagi anak sebatang kara yang tidak memiliki keluarga, atau yatim piatu, dan juga anak pengungsi atau anak-anak yang mengungsi dengan alas an apapun.
-
3) Hak untuk tumbuh berkembang, yakni anak berhak memperoleh segala bentuk pendidikan, dan untuk mengembangkan mental, fisik, spiritual, sosial politik, dan moral, anak memiliki hak atas standar hidup yang baik dan layak.
-
4) Hak untuk berpartisipasi, yakni anak berhak untuk menyatakan dan menyampaikan pendapat terhadap hal-hal yang memiliki pengaruh terdahap anak.
Fenomena kekerasan terhadap anak baik dengan pelaku orang dewasa atau dengan pelaku anak, merupakan fenomena yang telah melanggar hak anak utamanya hak untuk mendapat perlindungan. Dalam praktiknya, telah disusun dan dibentuk beberapa perundang-undangan untuk melakukan perlindungan pada anak, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem peradilan anak dibedakan dengan sistem peradilan untuk orang yang sudah cukup umur atau telah dewasa karena anak merupakan tunas muda yang notabene nantinya akan menjadi penerus bangsa maka dari itu perlu dibina dengan sebaik-baiknya. Gordon Bazemore menyampaikan pendapatnya bahwasannya pada sistem peradilan pidana anak, terdapat setidaknya 3 paradigma yakni paradigma pembinaan individual, paradigma retributif, dan restoratif, paradigma-paradigma inilah yang kemudian menjadikan tujuan dari sistem peradilan pidana anak ini tidaklah sama, yang mana disesuaikan dengan paradigma yang diakui atau dianut oleh masing-masing peradilan anak.8 Dalam sistem peradilan anak ini, proses pemberian keadilan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak yang juga menyangkut kepentingan dari anak tersebut.9
Sistem peradilan pidana umumnya mengenal adanya beberapa asas yakni asas teritorialitas, asas legalitas, asas universalitas, asas nasional aktif, asas nasional pasif, asas restorative justice, asas ultimum remedium, asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, dan lain sebagainya.10 Sistem peradilan pidana anak senantiasa mengupayakan adanya perlindungan pada anak, oleh sebab itu sistem peradilan pidana anak sangat mengedepankan adanya asas restorative justice. Asas yang menjunjung tinggi implementasi keadilan restoratif ini adalah salah satu bentuk solusi atau jalan keluar dari suatu perkara pidana yang mana pelaku, keluarga pelaku, korban, serta keluarga korban, termasuk juga pihak-pihak lainnya yang memiliki keterkaitan dengan perkara tersebut, sama-sama dilibatkan untuk mencari suatu solusi untuk menyelesaikan
perkara dengan kecenderungan untuk mengutamakan keadilan serta lebih menekankan rehabilitasi atau pemulihan kembali korban dan pelaku pada kondisi semula, dan bukan merupakan suatu pembalasan.11 Asas restorative justice ini pada sistem peradilan pidana anak diimplementasikan dengan upaya diversi yakni suatu bentuk upaya untuk menyelesaikan perkara anak berupa pengalihan pemidanaan, yang mana dalam peradilan anak proses pemidanaan dialihkan ke proses di luar peradilan pidana. Diversi ini menghendaki adanya upaya di luar peradilan pidana yang merupakan upaya utama dalam penyelesaian perkara yang melibatkan anak.12 Maka dari itu dalam hal ini asas ultimum remedium yakni pidana sebagai obat atau jalan terakhir yang ditempuh, juga dianut dalam sistem peradilan pidana. Penyelesaian kasus yang melibatkan anak memang sangat rentan, yang mana jika salah langkah dalam penyelesaian kasus ini akan sangat berisiko terhadap masa depan anak yang juga berkaitan dengan masa depan bangsa Indonesia.
Penelitian ini menggunakan beberapa State of The Art sebagai referensi dan juga sebagai bukti bahwasannya isu hukum dalam penelitian ini memiliki kebaharuan dan tidak mengandung plagiasi isu. State of The Art tersebut antara lain yaitu:
-
1. Jurnal dengan judul “ Asas Ultimum Remedium Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Rangka Perlindungan Anak” ditulis oleh Beby Suryani Fithri, dipublikasikan pada bulan Juni 2017 dalam Jurnal Mercatoria Vol. 10 No. 1. Jurnal ini membahas mengenai asas ultimum remedium pada instrument hukum internasional dan hukum nasional terkait dengan anak yang berkonflik dengan hukum.
-
2. Jurnal dengan judul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan dengan Pelaku Anak” ditulis oleh Heru Eko Wibowo dan Nur Rochaeti, dipublikasikan pada tahun 2015 dalam Jurnal Law Reform Vol. 11 No. 2. Pembahasan dalam jurnal ini yakni mengenai studi kasus sebuah putusan pidana sebagai tindak lanjut penanggulangan anak yang menjadi pelaku tindak pidana pencabulan pada saat ini dan di masa mendatang.
-
3. Jurnal dengan judul “Pelecehan Seksual antar Anak dalam Perspektif Hukum Pidana” ditulis oleh Ladin, dipublikasikan pada bulan November 2016 dalam Jurnal AHKAM Vol. 4 No. 2. Jurnal ini membahas mengenai perlindungan anak yang menjadi alat ukur kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang merupakan kewajiban semua pihak secara bersama-sama mengusahakan perlindungan terhadap anak.
Bertumpu pada penjabaran latar belakang penelitian, isu hukum yang selanjutnya diangkat sebagai rumusan masalah dalam studi ini antara lain yaitu:
-
1. Bagaimana pengaturan perihal anak sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus pencabulan anak?
-
2. Bagaimana relevansi asas ultimum remedium terhadap penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak jika upaya diversi yang mengedepankan asas restorative justice dalam kasus pencabulan anak dengan pelaku anak tidak tercapai?
Penelitian ini ditulis untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:
-
1. Untuk mengetahui pengaturan perihal anak sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus pencabulan anak.
-
2. Untuk mengetahui dan menganalisis relevansi asas ultimum remedium terhadap penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak jika upaya diversi yang mengedepankan asas restorative justice dalam kasus pencabulan anak dengan pelaku anak tidak tercapai.
Metode penelitian hukum yuridis normatif ialah metode yang dipergunakan pada studi ini yang bertujuan untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran dengan cara pembuktian melalui kaidah hukum tertulis, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dibarengi juga dengan pengetahuan hukum yang mana penelitian dititik beratkan dengan meneliti bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam studi ini. Metode hukum normatif dalam penelitian ini yakni mengkaji norma dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik dalam penelitian ini. Kajian tersebut berkaitan dengan apakah norma antar norma terindikasi bertentengan atau berkonflik, tumpang tindih, norma kabur, atau kekosongan norma. Pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual adalah pendekatan yang relevan untuk dipergunakan pada peneitian ini, sehingga kedua pendekatan tersebutlah yang dipilih untuk digunakan sebagai penunjang penelitian ini. Pendekatan ini dilakukan dengan mengaitkan pasal demi pasal pada perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan atau topik pada riset atau penelitian ini. Peraturan perundang-undangan adalah bahan hukum primer pada riset ini, sedangkan buku-buku, jurnal hukum, artikel, dan literatur atau bahan bacaan lainnya yang terkait dengan topik dalam riset ini dipergunakan sebagai bahan hukum sekunder pada riset ini. Studi ini menggunakan teknik pengumpulan data berdasarkan metode studi kepustakaan atau studi dokumen dengan menggunakan analisis kualitatif sebagai cara analisis kajiannya.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Perihal Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Kasus Pencabulan Anak dengan Pelaku Anak
-
3.1.1 Pengaturan Perihal Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
-
-
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan dasar hukum yang mengatur mengenai anak yang menjadi pelaku tindak pidana di Indonesia. Undang-undang ini dibentuk dengan tujuan untuk membedakan sistem peradilan yang ditempuh oleh anak dengan sistem peradilan yang ditempuh oleh orang yang telah cukup umur atau telah dewasa, yang mana undang-undang ini secara eksklusif mengatur perihal prosedur untuk menyelesaikan kasus anak yang berkonflik dengan hukum dimulai dari penyidikan hingga pembimbingan. Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada Pasal 1 Angka 2 dijabarkan bahwasannya anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku suatu tindak pidana, anak yang menjadi korban dari suatu tindak pidana, dan anak yang merupakan saksi dalam suatu tindak pidana, dapat disebut sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana pada Undang-Undang Perlindungan Anak disebut dengan sebutan anak yang berkonflik dengan hukum. Selanjutnya, pada Pasal 1 Angka 3 disebutkan bahwa yang disebut sebagai anak yang berkonflik dengan
hukum yakni mereka yang telah berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun yang mana anak tersebut dijatuhi dugaan bahwasannya tindakan yang diperbuat oleh anak tersebut termasuk ke dalam suatu tindak pidana. Perbedaan antara peradilan anak dengan peradilan lainnya yakni terletak pada kekhususan perkara yang ditangani, yang mana dalam peradilan anak hanya menangani kasus yang menyangkut mengenai perkara anak saja, namun fungsi peradilan anak selebihnya dapat dikatakan sama dengan peradilan lainnya.13
Anak belum sepenuhnya menyadari konsekuensi dari tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan dan anak juga belum matang dalam berpikir, oleh karenanya anak dan orang yang telah dewasa tidak bisa diperlakukan sama, karena jika anak diperlakukan selayaknya orang dewasa khususnya dalam sistem peradilan, ditakutkan adanya kecenderungan anak meniru tindakan-tindakan dari orang-orang dewasa yang ada di dekatnya dengan cepat.14 Adanya pembeda antara peradilan anak dengan peradilan untuk orang dewasa adalah karena anak wajib mendapat perlakuan khusus sebagai jaminan untuk pertumbuhan fisik dan mental yang sehat untuk masa depan anak, sehingga hakim wajib menelaah terlebih dahulu unsur-unsur kebenaran dalam perkara atau peristiwa yang diajukan kepadanya, yang mana hal ini sudah seharusnya dilakukan untuk memberikan suatu keadilan untuk semua pihak. Hal tersebut tentunya perlu untuk diwujudkan, maka dari itu tujuan dari peradilan anak bukan hanya menitikberatkan pada sanksi pidana saja, akan tetapi objek utama dari peradilan anak itu ialah terkait dengan perlindungan bagi masa depan anak.15 Hal ini didukung pula dengan pernyataan pada Penjelasan atas UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang mana pada Paragraf 8 dinyatakan bahwasannya perbedaan umur pada anak menjadi hal yang menentukan vonis hukuman atau sanksi pada anak, ini adalah suatu hal yang terkhusus untuk anak. Dalam hal ini, sanksi tindakan dikhususkan untuk anak yang belum berusia 12 tahun, namun jika anak telah berusia 12 tahun hingga usia 18 tahun maka anak itu dapat divonis dengan sanksi pidana dan/atau sanksi tindakan tergantung tindak pidana yang didiperbuat oleh anak tersebut. Dari pernyataan tersebut, maka sanksi yang diberikan untuk anak yang berkonflik dengan hukum yakni berupa sanksi pidana yaitu sanksi yang menganut unsur pembalasan yang mana pelanggar sengaja diberikan penderitaan, dan sanksi lainnya yaitu sanksi tindakan yang mana sanksi ini memiliki tujuan yang bersifat sosial yakni pelanggar wajib mendapatkan perlindungan, pembinaan, dan perawatan sebagai upaya rehabilitasi.16
Ketentuan mengenai sanksi pidana dan tindakan termaktub dengan tegas pada Bab V UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yakni pada Pasal 69 hingga Pasal 83. Sanksi pidana bagi anak yang diatur pada Pasal 71 Ayat (1) merupakan pidana pokok bagi anak yang mana pidana pokok tersebut terdiri dari 5 macam pidana diantaranya pidana peringatan, pidana bersyarat atau pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan di dalam lembaga, dan pidana penjara. Selanjutnya
mengenai pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan pemenuhan kewajiban adat oleh anak selaku pelaku tindak pidana terdapat pada Pasal 71 Ayat (2). Sedangkan mengenai sanksi tindakan terdapat pada Pasal 82 yang mana disebutkan bahwasannya tindakan-tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak antara lain yaitu pengembalian dan penyeraahan kepada orang tua/wali, perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) atau di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban untuk turut serta dalam pelatihan dan/atau pendidikan formal baik yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun oleh badan swasta, pencabutan atau penarikan SIM (surat izin mengemudi), dan/atau rehabilitasi pasca tindak pidana yang telah diperbuat. Dalam hal penjatuhan sanksi ini, dapat dilihat bahwa penjatuhan sanksi pidana merupakan implementasi dari asas ultimum remedium yang mana pidana dijadikan sebagai pilihan terakhir, sedangkan sanksi tindakan merupakan implementasi dari asas restorative justice yang mana dilakukan dengan proses diversi dan sanksi ini menjadi yang paling diupayakan dalam peradilan anak. Walaupun sanksi pidana digunakan sebagai obat terakhir, namun terdapat pengaturan perihal anak sebagai pelaku tindak pidana terkait dengan asas ultimum remedium yang tercantum pada beberapa instrument hukum baik hukum international maupun nasional. Adapun beberapa instrumen hukum internasional tersebut antara lain yaitu:17
-
1. Convention of The Right of The Child, dalam Pasal 37 konvensi ini diatur mengenai suatu keseragaman bahwasannya anak yang dapat memperoleh perlindungan khusus yaitu mereka yang memiliki umur kurang dari 18 tahun, dimana hal itu dilaksanakan dengan menempatkan sistem pemidanaan anak menjadi jalan atau upaya akhir yang dilakukan jika penyelesaian perkara anak harus dengan penjatuhan sanksi pidana, maka harus disediakan bantuan hukum serta fasilitas yang memadai untuk anak, dan juga tidak boleh menerapkan atau menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.
-
2. Pasal 46 The Riyadh Guidelines, menyatakan bahwa kebijakan masing-masing negara untuk menjadikan lembaga permasyarakatan sebagai pilihan terakhir dalam upaya untuk menanggulangi anak yang berkonflik dengan hukum dan pembinaan wajib dilakukan dalam rentang waktu yang relatif singkat, atau tidak berlarut-larut hngga menghabiskan waktu yang lama.
-
3. Pasal 16 Tokyo Rules, menyatakan bahwa sebagai bentuk pengurangan pembatasan kemerdekaan pelaku tindak pidana, maka upaya akhir yang dapat dan wajib dijalankan dengan mengesuaikan pada perundang-undangan yang telah berlaku secara sah adalah proses penahanan, hal ini juga merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya kepada masyarakat secara langsung.
-
4. Havana Rules, mengamanatkan bahwasannya pidana penjara adalah upaya akhir untuk menangani perkara pidana yang mana dalam hal ini anak menempati posisi sebagai pelaku atas perkara pidana tersebut, dan pemenjaraan ini dilakukan dalam rentang waktu yang singkat serta wajib dilakukan pembatasan khusus terhadap kasus yang tergolong kasus luar biasa.
-
5. Pasal 13 Beijing Rules, yakni Pasal 13 ini meyakini bahwa dalam rangka mengurangi dan menghindari bentuk pemidanaan dengan pidana penjara, maka diperlukan suatu gebrakan baru yang inovatif dan efektif agar anak .
Sedangkan beberapa instrumen hukum nasional mengenai asas ultimum remedium dalam penyelesaian permasalahan anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak berkonflik dengan hukum, di antaranya adalah:18
-
1. UU Nomor 23 Tahun 2002 junto UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 16 undang-undang ini merupakan ketentuan yang mempertegas bahwasannya penangkapan sampai dengan penjatuhan vonis atau pemidanaan pada sistem peradilan pidana anak harus dipahami serta dilgunakan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan kasus anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku tindak pidana.
-
2. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan pada Pasal 66 undang-undang ini pada intinya adalah menempatkan sistem peradilan pidana anak sebagai pilihan yang paling akhir untuk menangani perkara pidana anak yang mana hal ini adalah salah suatu bentuk upaya dalam memberikan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum.
-
3. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Hak-Hak Anak, dalam Pasal 37 Keppres ini negara diberikan amanah yakni untuk menyelesaikan dan memutus suatu sanksi pada perkara anak yang berkonflik dengan hukum wajib diselenggarakan dengan mekanisme yang efektif ramah, dan bentuk upaya perlindungan terhadap anak dilakukan dengan menempatkan suatu sistem pemidaan anak sebagai pilihan atau langkah akhir yang dijatuhkan terhadap anak yang terbukti bersalah.
-
4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 2 undang-undang ini mengamanatkan bahwasannya asas pada peradilan pidana anak salah satunya adalah asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, artinya asas ultimum remedium juga dapat kita temui pada undang-undang ini walaupun asas restorative justice tetap merupakan asas yang paling utama diupayakan.
Dasar hukum mengenai anak sebagai pelaku dalam kasus pencabulan dengan korban yang juga anak tidak diatur secara tegas dan terkhusus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Namun delik pencabulan dapat dijumpai pada KUHP yakni dalam Pasal 289 yang mana dinyatakan bahwa barang siapa yang telah melakukan kekerasan atau melakukan pengancaman kekerasan dengan memaksa orang lain berbuat cabul dan/atau membiarkan orang lain melakukan perbuatan cabul, maka tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tindakan penyerangan kehormatan kesusilaan dan dapat dipidana dengan pidana penjara terlama adalah 9 tahun. Delik dalam pasal ini menyebutkan frasa “barang siapa” yang mana artinya delik dalam KUHP ini tidak terkhusus hanya untuk orang dewasa saja namun juga dapat menjerat anak yang belum dewasa walaupun tidak disebutkan demikian. Pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya pada Pasal 7 Ayat (2) huruf a disebutkan bahwasannya perihal pidana penjara kurang dari tujuh tahun, maka diversi dapat dilaksanakan, sehingga apabila berpedoman pada Pasal 289 KUHP yang menyebutkan bahwa pelaku pencabulan dapat diancam dengan pidana penjara 9 tahun, maka anak yang merupakan pelaku pencabulan dapat ditahan namun dengan syarat si anak yang bersangkutan sudah berusia 14 tahun sampai dengan 18 tahun. Kemudian pada Pasal 64 UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwa menangkap, menahan, dan/atau memenjarakan
anak sebisa mungkin dihindari, kecuali dilakukan untuk menjadi suatu upaya akhir serta dilaksanakan dengan rentang waktu yang sesingkat-singkatnya, hal ini adalah bentuk upaya perlindungan yang terkhusus ditujukan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Artinya sanksi pidana diperuntukkan sebagai upaya akhir belaka jikalau diversi tidak bisa dijalankan. Berdasarkan hukum positif di Indonesia tersebut yakni KUHP, UU Sistem Peradilan Anak, dan UU Perlindungan Anak, dapat dilihat adanya keterkaitan satu sama lain yang selanjutnya memberikan suatu perlindungan hukum untuk setiap anak yang berkonflik atau berhadapan dengan hukum yakni dengan senantiasa mengedepankan upaya diversi terlebih dahulu, namun jika diversi tidak berhasil, barulah dipilih jalan terakhir yakni sanksi pidana dengan waktu yang singkat.19
Ultimum remedium merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Mr. Modderman yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Belanda, yang mana beliau menggunakan istilah ultimum remedium ini untuk menjawab pertanyaan dari Mr. Mckay yang merupakan anggota parlemen ketika itu, yang mengemukakan bahwasannya ia tidak berhasil dalam mendapatkan suatu dasar hukum yang berkaitan dengan diperlukannya penjatuhan suatu sanksi atau hukuman untuk seseorang yang melaksanakan suatu perbuatan yang merupakan pelanggaran berupa tindak pidana.20 Asas ultimum remedium adalah asas yang memiliki prinsip bahwa pidana merupakan upaya terakhir yang berguna untuk membenahi perilaku manusia yang menyimpang, yang mana juga untuk memberikan tekanan psikologis yakni sebagai sugesti untuk orang lain agar tidak terjerat kasus kejahatan yang sama.21 Tidak hanya pada tingkat formulasi berupa pemutusan dan penetapan suatu tindakan sebagai salah satu tindak pidana saja, asas ultimum remedium ini juga digunakan pada tingkat pengaplikasian yakni berupa penerapan hukum pidana terhadap suatu kejadian yang konkret atau nyata. Asas ultimum remedium memegang prinsip bahwa jika instrument hukum lain misalnya hukum perdata, hukum adat, atau hukum administrasi tidak efektif, barulah instrument hukum pidana yang digunakan dalam menyelesaikan atau mengadili suatu tindak pidana, namun jika instrument hukum lainnya selain hukum pidana masih efektif maka instrument hukum tersebut harus didahulukan.22 Jika berbicara mengenai relevansi asas ultimum remedium, perlu dilihat data konkrit mengenai penggunaan asas ini dalam praktiknya. Berikut disajikan data berupa grafik jumlah anak yang berkonflik dengan hukum beserta dengan penyelesaian perkaranya.
Gambar 3. Jumlah Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan Penyelesaian Perkara
Sumber: Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2013-2019.23
Grafik di atas menunjukkan bahwasannya dalam praktiknya ada 2 opsi sanksi yang bisa dikenakan untuk memvonis anak yang berkonflik dengan hukum yakni diversi dan putusan, yang mana putusan disini maksudnya anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi sanksi pidana. Jika sanksi yang dikenakan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana adalah diversi maka pengadilan yang memutus perkara tersebut akan mengeluarkan suatu putusan dalam bentuk penetapan diversi. Adapun contoh penetapan diversi yang dijatuhkan kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana antara lain yaitu Penetapan Nomor 27/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Dps yang dijatuhkan kepada anak pada perkara pidana penyalahgunaan narkotika. Penetapan ini menetapkan bahwa para pihak melaksanakan kesepakatan diversi dengan seluruhnya/sepenuhnya. Apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat kesepakatan diversi dalam penetapan ini, maka diversi dalam penetapan ini efektif untuk dijatuhkan kepada anak yang bersangkutan mengingat alur dan motif anak tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut. Penetapan diversi pada kasus pencabulan anak oleh anak masih sangat jarang ditemui karena kesepakatan diversi ini cukup sulit untuk diterapkan dan diterima oleh pihak korban. Diversi ini merupakan implementasi dari asas restorative justice yang mana asas ini penting untuk ditekankan dalam penjatuhan sanksi kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik itu kasus pencabulan anak maupun kasus atau perkara pidana lainnya yang melibatkan anak sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Berfokus pada kasus pencabulan anak dengan pelaku anak, tetap dikedepankan asas restorative justice walaupun akhir-akhir ini sedang gencar dukungan tuntutan ketegasan hukum terhadap kekerasan seksual, karena kembali lagi pada ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang mengatur bahwasannya sanksi pidana diperuntukkan sebagai upaya akhir belaka jikalau diversi tidak bisa dijalankan.
Dilihat dari data pada tabel di atas, penerapan sanksi pidana jauh lebih sedikit dari penerapan diversi, namun tetap saja sanksi pidana masih diterapkan sebagai suatu jalan untuk menyelesaikan perkara anak. Berikut disajikan tabel yang berisikan data mengenai kuantitas anak yang berkonflik dengan hukum periode tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 beserta lembaga pembinaannya.
-
23 Tanziha, ikeu, dkk, Op.Cit., 210.
Tabel 1. Kuantitas Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkumham, Periode Tahun 20152019.24
Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwasannya anak yang menjadi tahanan memiliki jumlah yang dapat dikatakan cukup banyak, yang mana pada tahun 2015 dari 3.576 anak menurut catatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, yang menjadi tahanan anak berjumlah 1.150 anak. Tahun 2016 anak berjumlah 2.308 sedangkan jumlah tahanan anak berjumlah 892, masih tergolong banyak. Selanjutnya pada tahun 2017 anak berjumlah 2.490 sedangkan jumlah tahanan anak yakni 985 anak. Tahun 2018 jumlah anak yakni 2.374 sedangkan jumlah tahanan anak yakni mencapai 950 anak, dan pada tahun 2019 anak menurut catatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham berjumlah 1.829 anak sedangkan jumlah tahanan anak yakni 702 anak. Data dalam tabel di atas menunjukkan adanya lonjakan yang cukup signifikan di tahun 2019 yang mana perbandingan jumlah anak dan jumlah tahanan anak di tahun 2019 sangat kecil yakni dari 1.829 anak, hanya 1.127 anak saja yang bukan merupakan tahanan anak. Namun pada tahun 2019, jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, jumlah tahanan anak cenderung pengalami pengurangan. Oleh sebab itu maka asas ultimum remedium disini masih relevan untuk digunakan dalam perkara anak secara umum. Hal ini karena tindak pidana dapat diperbuat oleh siapapun, maka dari itu mereka yang melakukan perbuatan yang tergolong sebagai suatu tindak pidana, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah berlaku di masyarakat, wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sanksi pidana tidak mengenal latar belakang dari individu tersebut, jika ia melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam hukum positif, maka ia dapat dikenai sanksi pidana.25
Bertumpu pada data dalam tabel di atas, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana relevansi asas ultimum remedium terhadap penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak? Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwasannya peraturan perundang-undangan yang secara gamblang dan tegas menyebutkan mengenai sanksi untuk anak yang merupakan pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak hingga saat ini masih belum ada, maka dari itu ketentuan dalam KUHP-lah yang digunakan yakni sanksinya adalah pidana penjara maksimal 9
tahun. Pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak tepatnya dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a disebutkan bahwasannya perihal pidana penjara kurang dari tujuh tahun, maka diversi dapat dilaksanakan, sehingga apabila berpedoman pada Pasal 289 KUHP yang mana anak sebagai pelaku pencabulan dapat diancam dan ditahan dengan pidana penjara 9 tahun namun dengan syarat si anak tersebut sudah menginjak usia 14 tahun hingga usia 18 tahun. Akan tetapi kembali lagi pada Undang-Undang Perlindungan Anak yang mana dinyatakan dengan tegas bahwasannya sanksi pidana hanya digunakan sebagai upaya terakhir jika diversi tidak bisa dijalankan. Maka dari itu dalam hal penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak harus mengedepankan dan mengupayakan diversi terlebih dahulu. Jika upaya diversi tidak dapat berjalan dengan efektif, dan oleh hakim dalam persidangan anak dinyatakan terbukti bersalah, maka didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang masih diakui secara sah, sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada anak tersebut.26
Kesimpulan dari penjelasan di atas yakni bahwa asas ultimum remedium relevan digunakan dalam penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak. Pemberian hukuman atau sanksi pidana ini adalah upaya akhir oleh hakim atau penegak hukum yang berwenang terhadap anak dalam menanggulangi maraknya kasus pencabulan anak dengan pelaku yang juga masih anak-anak, sedangkan penanggulangan awal yang wajib diupayakan dalam penyelesaian kasus ini adalah dengan upaya diversi seperti yang sudah diatur dengan tegas pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.27 Pengadilan yang menangani kasus pencabulan anak dengan pelaku anak ini perlu berhati-hati ketika memberikan vonis sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tersebut, yang mana hakim perlu memilih dan memilah sanksi mana yang paling tepat dijatuhkan kepada anak tersebut.28 Pemberian sanksi pada anak baik itu sanksi tindakan yang merupakan implementasi dari upaya diversi maupun sanksi pidana merupakan bentuk penjatuhan hukuman dalam perkara pidana anak dengan tujuan yang edukatif atau mendidik.29 Asas ultimum remedium pada peradilan pidana anak dapat disebut sebagai upaya untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum yang mana anak mendapat perhatian khusus sehingga sanksi pidana dijadikan sebagai obat atau jalan terakhir dalam peradilan anak dan juga sanksi pidana disini tidak boleh bersifat memberatkan serta wajib dengan jangka waktu yang singkat. Penjatuhan asas ultimum remedium pada anak sebagai pelaku tindak pidana seharusnya mengacu pula kepada suatu asas yakni asas kepentingan terbaik bagi anak, sehingga kepentingan terbaik untuk anak harus diutamakan dalam segala bentuk tindakan yang berhubungan dengan anak.30
4. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan dasar hukum yang mengatur mengenai anak yang menjadi pelaku tindak
pidana di Indonesia. Berdasarkan hukum positif di Indonesia tersebut yakni KUHP, UU Sistem Peradilan Anak, serta UU Perlindungan Anak, dapat dilihat adanya keterkaitan satu sama lain yang selanjutnya memberikan suatu perlindungan hukum untuk setiap anak yang berkonflik atau berhadapan dengan hukum yakni dengan senantiasa mengedepankan upaya diversi terlebih dahulu, namun jika diversi tidak berhasil, barulah dipilih jalan terakhir yakni sanksi pidana dengan waktu yang singkat.
Asas ultimum remedium relevan digunakan dalam penyelesaian kasus pencabulan anak dengan pelaku anak. Pemberian hukuman atau sanksi pidana ini adalah upaya akhir yang bisa digunakan oleh hakim atau penegak hukum yang berwenang terhadap anak dalam menanggulangi maraknya kasus pencabulan anak dengan pelaku yang juga masih anak-anak, sedangkan penanggulangan awal yang wajib diupayakan dalam penyelesaian kasus ini adalah dengan upaya diversi sebagaimana telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA. Dalam peradilan anak, bentuk perlindungan yang diberikan untuk anak yang berkonflik dengan hukum salah satunya ialah dengan menerapkan asas ultimum remedium sehingga sanksi pidana dijadikan sebagai obat atau jalan terakhir dalam peradilan anak dan juga sanksi pidana disini tidak boleh bersifat memberatkan serta wajib dengan jangka waktu yang singkat. Rekomendasi berupa saran yang dapat penulis berikan yakni asas ultimum remedium hendaknya digunakan jika upaya diversi tidak efektif untuk diterapkan. Ketika menjatuhkan vonis berupa sanksi pada anak yang berkonflik dengan hukum sudah sewajarnya wajib mengutamakan dan mengedepankan perlindungan anak agar anak yang berkonflik dengan hukum ini kelak bisa tumbuh menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga ia tidak harus berhadapan lagi dengan hukum di masa mendatang. Penjatuhan sanksi atau hukuman hendaknya memberikan edukasi kepada anak yang berkonflik dengan hukum, bukan semata-mata untuk tujuan pembalasan dari tindakan yang diperbuat oleh si anak. Maka dari itu, hakim dan semua perangkat yang berwenang atas hal tersebut harus memahami betul makna yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang SPPA. Selain itu, hal yang harus diperhatikan oleh semua pihak terutama keluarga adalah perlunya menjaga kondisi lingkungan sekitar anak agar anak tidak terjerumus dalam perbuatan atau tindakan yang mendorong terjadinya tindak pidana anak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Maylasari, Ika, dkk. Indeks Perlindungan Anak (IPA), Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA), Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) Indonesia. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA, 2020.
Syamsuddin, Rahman, and Ismail Aris. Merajut Hukum di Indonesia. Mitra Wacana Media, 2014.
Tanziha, I., dkk. Profil Anak Indonesia 2020. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), 2020.
Jurnal
Annisa, Febrina. "Penegakkan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Dalam Konsep Restorative Justice." ADIL: Jurnal Hukum 7, no. 2 (2016): 202-211.
Fithri, Beby Suryani. "Asas Ultimum Remedium Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Rangka Perlindungan Anak." Jurnal Mercatoria 10, no. 1 (2017): 74-88.
Hidaya, Wahab Aznul. "Penerapan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." JUSTISI 5, no. 2 (2019): 84-96.
Ladin. Pelecehan Seksual Antar Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana. Jurnal AHKAM 4, no. 2 (2016): 289-304.
Lalungkan, Martha. "Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." Lex Crimen 4, no. 1 (2015): 5-14.
Munajah, Munajah. "Upaya Diversi Dalam Proses Peradilan Pidana Anak Indonesia." Al-Adl: Jurnal Hukum 7, no. 14 (2015): 28-34.
Purnomo, Bambang, and Gunarto Gunarto. "Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Polres Tegal)." Jurnal Hukum Khaira Ummah 13, no. 1 (2018): 45-52.
Rahmawati, Nur Ainiyah. "Hukum Pidana Indonesia: Ultimum Remedium Atau Primum Remedium." Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan Kejahatan 2, no. 1 (2013): 39-44.
Sampurna, Agil Widiyas, and Suteki Suteki. "Penyidikan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual oleh Penyidik Unit Ppa Satuan Reskrim Berbasis Keadilan Restoratif di Kabupaten Kendal." Law Reform 12, no. 1: 145-167.
Wibowo, Heru Eko, and Nur Rochaeti. "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan Dengan Pelaku Anak." Law Reform 11, no. 2 (2015): 216-229.
Widodo, Guntarto. "Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 6, no. 1 (2016): 58-82.
Zahra, Afni, dan RB Sularto. “Dasar Penerapan Ultimum Remedium Dalam Rangka Perlindungan Anak Pecandu Narkotika.” Reformasi Hukum 13, no. 1 (2017): 1827.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Jurnal Kertha Wicara Vol. 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 371-385
Discussion and feedback