PERJANJIAN KAWIN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA HUKUM MASYARAKAT INDONESIA

I Gede Oka Cosmei Digo Permana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: okaacosmei@gmail.com

I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: pasekpramana@gmail.com

DOI : KW.2022.v11.i06.p17

ABSTRAK

Penulisan artikel ini memiliki tujuan untuk mempelajari dan mengkaji tentang budaya hukum dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan) serta untuk mempelajari dan mengkaji tentang kesesuaian perjanjian kawin yang terkandung dalam UU Perkawinan dan juga budaya hukum di Indonesia. Penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian hukum normatif yang mengkaji dan menganalisis dengan 2 (dua) jenis pendekatan yang meliputi pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh kesimpulan bahwa perjanjian kawin bukanlah termasuk budaya hukum yang dianut di Indonesia. Akan tetapi, perjanjian kawin dapat menjadi paradigma baru bagi budaya hukum di Indonesia untuk mencegah terjadinya perselisihan dikemudian hari ketika perkawinan tersebut berlangsung. Perjanjian perkawinan juga dapat menjadi jawaban untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya permasalahan rumah tangga berujung dengan perceraian. Perjanjian perkawinan memiliki tujuan yang baik sebagai tindakan preventif apabila terjadi perceraian yang dikarenakan jika dibuatnya perjanjian perkawinan akan mempermudah pembagian harta gono gini. Perjanjan perkawinan dapat memberikan kesempatan untuk calon pasangan suami dan istri untuk dapat memberikan pandangan atau kehendak yang ingin disampaikan tanpa merugikan satu sama yang lainnya. Dalam hal ini, perjanjian perkawinan juga dapat meminimalisir terjadinya problematika yang dimana nantinya berujung pada meja hijau di pengadilan yakni perceraian.

Kata Kunci: Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Budaya Hukum.

ABSTRACT

The purpose of this article is to study and examine the legal culture in Law No.1 of 1974 (hereinafter referred to as the Marriage Law) as well as to study and examine the suitability of the marriage agreement contained in the Marriage Law and also the legal culture. in Indonesia. This research can be classified into normative legal research that examines and analyzes with 2 (two) types of approaches which include the statutory and conceptual approach. Based on the results of the analysis, it is concluded that the marriage agreement is not part of the legal culture adopted in Indonesia. However, the marriage agreement can be a new paradigm for the legal culture in Indonesia to prevent disputes in the future when the marriage takes place. Marriage agreements can also be an answer to prevent or minimize the occurrence of household problems that end in divorce. The marriage agreement has a good purpose as a preventive measure in the event of a divorce because if a marriage agreement is made it will facilitate the distribution of assets. Marriage agreements can provide an opportunity for prospective husband and wife to be able to provide views or wishes to be conveyed without harming each other. In this case, the marriage agreement can also minimize the occurrence of problems which will eventually lead to a court trial, namely divorce.

Keywords: Marriage, Marriage Agreement, Legal Culture.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Sejatinya dalam benak setiap memiliki keinginan di dalam hidupnya untuk dapat hidup berdampingan, melalukan interaksi dan memiliki keturunan dan hal tersebut merupakan sebuah kodrat yang dimiliki oleh setiap manusia. Maka dari itu, manusia mengikatkan dirinya dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan diartikan sebagai ikatan suci atau komitmen emosional dan legal yang melibatkan laki-laki dan perempuan yang telah sepakat menjalin hubungan dalam jangka waktu yang lama dengan menggabungkan beberapa aspek. Aspek yang dimaksud dalam hal ini ialah aspek sosial ekonomi, tanggung jawab para pihak serta hubungan biologis.1 Perkawinan dilakukan atas dasar ketertarikan oleh dua pihak untuk hidup rumah tangga bersama-sama dan menciptakan rumah tangga harmonis, bahagia dan tentunya kekal abadi. Akan tetapi, realitanya perkawinan yang terjadi di dalam lingkup masyarakat kerap kali menimbulkan sebuah dinamika. Dinamika inilah yang dapat mempengaruhi perilaku hukum manusia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia membentuk sebuah regulasi hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penyatuan sistem kaidah hukum perkawinan dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan). 2

Berdasarkan UU Perkawinan, pengertian perkawinan telah terdapat ketentuannya dalam Pasal 1 dan dihubungkan dengan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut denan KHI) yang menyatakan bahwa pada dasarnya perkawinan diartikan sebagai sebuah jalinan lahir batin dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan tiada lain untuk membangun kekeluargaan atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta sebagai akad yang sangat kuat dalam mentaati perintah agama sebagai sebuah ibadah.3 Menurut Scholten, perkawinan merupakan suatu hubungan hukum yang dimiliki oleh para pihak yang dalam hal ini ingin hidup bersama dengan kekal yang dapat memperoleh pengakuan yang sah dari negara. Perkawinan sendiri dapat menimbulkan sebuah akibat hukum, maka dari itu kerap kali perkawinan diartikan sebagai sebuah peristiwa hukum. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa peristiwa ini dijadikan sebagai sebab dan kejadiaan yang nantinya menyebabkan sikap tindak dalam hukum dikatakan sebagai peristiwa hukum.Perkawinan yang dilakukan secara sah nantinya akan menimbulkan perisitiwa hukum yang memiliki akibat hukum tersebut.

Perkawinan juga tidak dilakukan semata-mata hanya ingin hidup bersama dalam jangka waktu panjang tetapi juga terdapat sebuah tujuan yang hendak diwujudkankan bersama-sama. Tujuan perkawinan sendiri secara jelas pada Pasal 1 UU Perkawinan. Hal inilah menjadi sebuah alasan bahwa setiap keluarga bisa

menemukan kebahagiaan dan jalinan perkawinan yang utuh serta berlangsung seumur hidup.

Dewasa ini, sangat banyak pasangan yang dihadangkan beberapa rintangan sehingga mengakibatkan terganggunya kebahagiaan dalam hubungan keluarga bahkan dalam beberapa persoalan sering kali berujung pada perceraian. Biasanya perceraian tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor yang meliputi: kesewenangan perilaku suami terhadap istrinya, adanya perselingkuhan hingga poligami yang tidak sehat, hak dan kewajiban yang tidak terpenuhi serta adanya kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Maka dari itu, salah satu langkah terbaik yang dapat ditempuh untuk menangani dari segala dinamika dan tantangan dalam suatu perkawinan ialah dengan membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian kawin tujuan yang baik sebagai Tindakan preventif apabila gerjadi perceraian, karena dengan dibuatnya Perjanjian Perkawinan akan mempermudah pembagian harta gono-gini.

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, mengatakan bahwa segala hal yang mengatur sebab akibat yang ditimbulkan dari adanya sebuah perkawinan dapat diartikan sebagai perjanjian perkawinan atau perjanjian pra nikah yang dalam hal ini juga berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki pasangan tersebut, perjanjian yang dibuat oleh pasangan yang ingin mengikatkan dirinya dapat dibuat sebelum ataupun saat perkawinan tersebut berlangsung. Sama halnya dengan Soetojo Prawirohamidjojo, Subekti juga berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dimaknai sebagai sebuah keterikatan hukum mengenai harta benda kekayaan yang dimiliki oleh calon pasangan yang akan menjalin rumah tangga yang dalam perjanjian tersebut telah sepakat untuk melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian tersebut. 4 Maka dari itu, perjanjian dalam perkawinan dapat dikatakan sebagai penghubung hukum yang akan berkaitan dengan janji kawin sebagai sebuah perjanjian sakral atau luhur yang dilangsungkan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Perjanjian perkawinan juga dapat dianggap sebagai sebuah pegangan bagi calon suami istri ketika nantinya rumah tangga mereka menimbulkan sebuah problematika atau salah satu pihak nantinya dalam hal pemenuhan hak serta kewajiban sebagai pasangan suami istri. Tidak hanya menjadi sebuah pegangan, perjanjian perkawinan juga kerap kali dijadikan sebagai sebuah landasan dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk melangsungkan perceraian.

Sejatinya di kalangan masyarakat Indonesia perjanjian perkawinan masih sangatlah tabu. Hal ini dikarenakan masih eratnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang memberikan kepercayaan lebih sehingga di rasa tidak memerlukan adanya sebuah perjanjian perkawinan. Padahal di Indonesia sendiri telah terdapat aturan hukum seperti Undang-Undang Perkawinan, Bulgelijk Wetboek (BW), dan KHI yang telah mengatur mengenai sistematika perjanjian perkawinan. Akan tetapi, realitanya perjanjian perkawinan antara suami istri sebelum berlangsungnya pernikahan masih sangat jarang ditemui termasuk dengan perjanjaian harta benda yang akan dibawa dari masing-masing pihak. Sesuai dengan penjelasan latar belakang diatas, maka penulis akan mengkaji serta mempelajari permasalahan tersebut melalui penulisan jurnal yang berjudul dengan “ Perjanjian Kawin Dalam Perspektif Budaya Hukum Masyarakat Indonesia.”

Penulisan artikel ilmiah ini merupakan murni dari ide dan gagasan yang dimiliki oleh penulis. Walaupun terdapat beberapa karya ilmiah yang sebelumnya hampir

memiliki persamaan dengan karya ilmiah ini akan tetapi berbeda fokus permasalahan yang dibahas dengan penulisan artikel ilmiah ini. Adapun karya tulis ilmiah yang yang memiliki keterkaitan dengan karya ilmiah ini antara lain, Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Sainul tahun 2018 dengan mengangkat pokok pembahasan “Konsep Perjanjian Perkawinan di Indonesia”. Kemudian Penelitian yang dilakukan oleh Hanafi Arief pada tahun 2017 dengan mengangkat pokok pembahasan “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di Indonesia)”. Tujuan dan maksud dari penulisan yang ditulis oleh penulis dengan karya tulis sebelumnya juga berbeda dengan penulisan karya tulis ilmiah ini. Tujuan daripada penulisan artikel ilmiah yang ingin dicapai oleh penulis dalam karya tulisan ini yakni untuk mempelajari dan mengkaji tentang budaya hukum dalam UU Perkawinan serta kesesuaian perjanjian kawin yang terkandung dalam UU Perkawinan dan budaya hukum di Indonesia.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dari pada latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah yang diangkat yakni:

  • 1.    Bagaimana budaya hukum yang terkandung dalam UU Perkawinan di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana perjanjian kawin bersesuaian dengan budaya hukum di

Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari artikel ini, antara lain sebagai berikut:

  • 1.    Untuk mengetahui dan mengkaji tentang budaya hukum dalam UU Perkawinan.

  • 2.    Untuk mengetahui dan mengkaji tentang kesesuaian perjanjian kawin yang terkandung dalam UU Perkawinan dan budaya hukum di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini tergolong jenis penelitian normatif. Adapun ciri penelitian hukum normatif yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini ialah dengan cara mengkaji dari regulasi hukum. Regulasi hukum ini dikaji dengan menggunakan konsep sebuah norma yang telah berlaku di dalam lingkup masyarakat dan telah menjadi sebuah dasar bagi setiap orang untuk berperilaku. Penelitian hukum normatif sendiri, dapat dikatakan sebagai penelitian hukum teoritis. Hal ini dikarenakan dalam penelitian hukum normatif tidak melakukan sebuah pengkajian mengenai pelaksanaan atau implementasi hukum.5 Mengenai jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini ialah 2 (dua) jenis pendekatan yang meliputi pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan yang dimaksud dalam hal ini ialah pendekatan dengan menggunakan sebuah legislasi dan regulasi di dalam mengkaji atau menganalisa norma hukum yang akan dibahas.6 Pendekatan konsep sendiri, pada dasarnya dapat merampung daripada pendekatan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pendekatan konsep berpijak

dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pandangan dan doktrin inilah nantinya dapat memberikan penjelasan mengenai ide atau gagasan yang diangkat melalui penjelasan hukum, konsepsi hukum serta asas hukum yang memiliki keterkaitan dengan problematika yang diangkat dalam penulisan artikel ini.7

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan artikel bersumber dari 3 (tiga) bahan yang meliputi: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang seluruhnya dikumpulkan dengan teknik studi dokumen. Seluruh bahan hukum tersebut dikumpulkan dan dianalisis dengan teknik kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Budaya Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Terkandung dalam UU Perkawinan

Pada hakikatnya manusia yang merupakan makhluk sosial tidak dapat melangsungkan kehidupannya sendiri. Manusia memiliki kodrat untuk hidup bersama-sama dengan sesama manusia untuk dapat memiliki keturunan dengan melangsungkan sebuah perkawinan.8 Perkawinan merupakan kebutuhan yang dimiliki oleh setiap manusia untuk dapat menjalin hubungan keluarga dan memiliki keluarga yang kekal dan abadi. Artinya hanya kematianlah yang dapat memutuskan perkawinan tersebut. Perkawinan juga dilakukan agar nantinya perkawinan tersebut berlangsung sesuai dengan tujuan perkawinan yang telah berlaku dalam ajaran agama dari para pihak yang mengikatkan dirinya dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku dilingkungan masyarakat. Sejatinya perkawinan merupakan pelaksanaan proses dari sebuah kodrat hidup manusia. Perkawinan menjadi salah satu peristiwa sakral yang dialami oleh pasangan atau para pihak yang ingin melangsungkan sebuah perkawinan. Hal ini dikarenakan, perkawinan merupakan proses yang melegalkan hubungan yang terjadi antara para pihak sebagai pasangan. Perkawinan tersebut nantinya akan melahirkan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 UU Perkawinan yang mengemukan bahwa perkawinan pada dasarnya merupakan sebuah jalinan secara lahir batin yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang memiliki tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) dengan bahagia dan kekal serta berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Imam al Ghazali juga berpendapat bahwa perkawinan dilangsungkan untuk memiliki keturunan, memenuhi kodrat sebagai seorang manusia, memenuhi panggilan agama sebagai salah satu ibadah umat beragama dikarenakan di Indonesia sendiri selama ini menempatkan agama beserta ajarannya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari implementasi kehidupan bermasyarakat. Sehingga perkawinan yang berlangsung dalam lingkup masyarakat di Indonesia tidak hanya sebuah peristiwa hukum semata melainkan ritual keagamaan dan membangun rumah tangga yang hidup harmonis.9 Maka atas dasar tersebut, perkawinan diharapkan dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip ataupun asas dari suatu perkawinan.

Mengenai asas dan prinsip yang terdapat dalam UU Perkawinan, tujuan perkawinan sendiri tiada lain untuk memiliki kehidupan kekeluargaan yang bahagia dan kekal. Hubungan yang terjadi antara pasangan perlu saling berbagi suka duka agar nantinya dapat mencapai kesejahteraan secara spiritual dan materiil. Dengan perkataan lain tujuan perkawinan yakni untuk memiliki keluarga yang hidup secara harmonis maka UU Perkawinan memiliki prinsip sebagai dasar yang dimana nantinya dapat mempersulit keinginan untuk berpisah dan bercerai yang dimana harus ada alasan yang jelas dan diselesaikan di pengadilan. Berdasarkan hal tersebut maka pada dasarnya tujuan perkawinan meliputi:10

  • 1.    Segi agama, perkawinan dilangsungkan dengan tujuan untuk menegakan syariat agama dan menjaga kesucian dari ajaran agamanya.

  • 2.    Dalam perkawinan terdapat beberapa tujuan, salah satu tujuan dari perkawinan ialah untuk melegalkan adanya hubungan secara intim yang dilakukan oleh pasangan calon suami istri.

  • 3.    Sahnya perkawinan, nantinya akan melahirkan keturunan yang sah di mata hukum dan tentunya akan diterima dalam lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan berdasarkan UU Perkawinan, apabila anak yang dihasilkan secara tidak sah dan tidak adanya sebuah ikatan perkawinan serta tanpa diketahui jelas ayah dari anak tersebut maka nantinya anak yang lahir tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya.

Perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang ingin bersama, pada dasarnya memiliki konsekuensi hukum yang memiliki peranan penting untuk bagi kehidupan para pihak yang telah melabuhkan dirinya dalam jalinan perkawinan. Mengenai konsekuensi hukum yang menjadi sebab akibat dari adanya sebuah perkawinan, maka sangat diperlukan sebuah perjanjian perkawinan yang dapat mengatur dari akibat adanya ikatan perkawinan ini. Akan tetapi, perjanjian perkawinan bukanlah budaya hukum yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia. Perjanjian perkawinan sebenarnya sering dilakukan oleh masyarakat barat dan masih sangat tabu untuk dilangsungkan oleh masyarakat di Indonesia. 11

Indonesia merupakan negara hukum, pada dasarnya telah mengatur segala hal mengenai perjanjian perkawinan di dalam beberapa regulasi hukum yang meliputi UU Perkawinan, KUH Perdata dan KHI. Akan tetapi, rumusan pengertian dan isi daripada perjanjian perkawinan itu sendiri belum diatur secara jelas dan tegas. Ketidakjelasan inilah yang kerap kali menimbulkan perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum. Maka dari itu, mengenai pengertian dan isi daripada perjanjian perkawinan sejatinya secara umum lebih mengarahkan dalam ketentuan yang telah diatur dalam Bab V tepatnya pada Pasal 29 UU Perkawinan yang menjelaskan beberapa poin yang meliputi:12

  • 1.    Perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama pada saat atau sebelum perkawinan dibuat dan nantinya perjanjian tersebut dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Dalam hal ini, perjanjian perkawinan ini

juga dapat berlaku bagi pihak lain selain calon pasangan suami istri yang memiliki kaitannya.

  • 2.    Perjanjian perkawinan dapat dikatakan tidak sah apabila dalam perjanjian tersebut melanggar beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut meliputi: hukum, agama dan kesusilaan.

  • 3.    Perjanjian tersebut dapat dikatakan berlaku sejak perkawinan dibuat dan disepakati bersama.

  • 4.    Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah, akan tetapi apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk merubah perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dapat dirubah tanpa merugikan semua pihak yang terikat dalam perjanjian perkawinan.

Dasar dalam perjanjian perkawinan sebenarnya menganut asas kebebasan dalam berkontrak dari para pihak yang akan menghendaki adanya kesepakatan selama perjanjian tersebut tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum sama dengan perjanjian pada umumnya. Kebebasan dalam berkontrak sendiri telah diatur dalam Pasal 1388 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwasannya: “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”13 Akan tetapi, dalam Pasal `1338 ayat (3) KUH Perdata telah memberikan antisipasi agar kekebasan tersebut masih dilandasi dengan asas itikad baik (good faith).

Dalam hal ini, berdasarkan ketentuan KUH Perdata juga mengatur mengenai suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila dalam perjanjian tersebut telah sesuai dengan ketentuan dari syarat sah nya suatu perjanjian yakni kata sepakat dan kecapakan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai perjanjian perkawinan umumnya diatur dalam ketentuan Pasal 139 KUH Perdata dengan Pasal 154 KUH Perdata. 14Pasal 139 KUH Perdata mengatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian perkawinan, para pihak yang dalam hal ini merupakan calon pasangan suami istri memiliki hak untuk mempersiapkan beberapa pernyimpangan dari aturan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan seperti contohnya di dalam penyatuan dari harta kekayaan. Mengenai penyatuan harta kekayaan tersebut dapat dilakukan ketika perjanjian yang dibuat tersebut tidak melanggar dari tata susila maupun tata tertib umum yang sebelumnya telah berlaku dilingkungan masyarakat.

Walaupun pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata telah mengatur mengenai perkawinan tetapi terdapat beberapa perbedaan perspektif yang meliputi:

  • 1.    Dalam Pasal 1 UU Perkawinan sendiri telah menegaskan pada pengertiannya bahwa perkawinan sebagai suatu jalinan secara lahir batin untuk

membangun ikatan berumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berbeda halnya dengan KUH Perdata, pada Pasal 26 mengatakan perkawinan hanya sebagai suatu hubungan keperdataan lain seperti hubungan antara penjual dengan pembeli, penyewa dengan penerima sewa dan sebagainya.

  • 2.    Terdapat perbedaan juga pada keabsahan perjanjian perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai keabsahaan perjanjian cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah sedangkan keabsahan perjanjian

perkawinan menurut KUHPer harus dilaksanakan dihadapan notaris.

  • 3.    Berdasarkan UU Perkawinan perjanjian perkawinan sudah berlaku dan terikat bagi pihak ketiga ketika terdapat klausul atau diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, sedangkan dalam KUH Perdata perjanjian perkawinan sudah berlaku dan dapat mengikat terhadap pihak jika sudah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

  • 3.2 Kesesuaian Perjanjian Kawin dengan Budaya Hukum Masyarakat Indonesia

Soerojo Wignjodipoero mengatakan dalam sistem perkawinan menganut urusan komunal. Perihal mencari pasangan, melangsungkan persetujuan ketika hendak hidup bersama, melakukan upacara perkawinan hingga mengatur sebab akibat yang ditimbulkan dari adanya perkawinan. Salah satu ciri khas sistem komunal yakni kebersamaan, maka prihal menjalani hubungan keluarga seperti rumah tangga selain urusan yang sangat pribadi akan menjadi sebuah urusan bersama.15 Setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan pasti memiliki keinginan untuk dapat memperoleh keharmonisan bagi diri sendiri maupun pasangan sendiri. Tetapi tidak dapat dipungkiri, setiap proses maupun perjalanan daripada setiap hubungan pastinya terkadang akan menimbulkan sebuah permasalahan ataupun dinamika yang tidak dapat kita tebak sebelumnya.

Salah satu tindakan preventif guna mengantisipasi terjadinya dinamika dalam perkawinan ialah dengan cara membuat perjanjian perkawinan. Dewasa ini, untuk membatasi timbulnya problematika dikemudian hari dalam hubungan suami istri, sebagian pasangan hendak memilih untuk membuat akta perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dijadikan sebagai rujukan untuk dapat mengetahui hak-hak atau kewajiban yang telah dikehendaki oleh para pihak yang sebelumnya telah membuat sebuah kesepakatan melalui perjanjian perkawinan. Menurut pendapat Gatot Supramono, perjanjian perkawinan merupakan sebuah ikatan atau kesepakatan yang dilakukan antara kedua belah pihak yakni suami dan istri terhadap suatu hal yang dimana kesepakatan tersebut akan memiliki kekuatan hukum jika dilakukan dengan beberapa syarat yang meliputi:16

  • 1.    Berlangsungnya perjanjian perkawinan sejatinya dapat dilakukan pada saat maupun sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan.

  • 2.    Perjanjian tersebut pada dasarnya dibuat secara tertulis. Dalam hal pengesahannya, nantinya perjanjian tersebut dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

  • 3.    Perjanjian perkawinan dapat berlaku dan mengikat bagi pihak selain calon suami istri sepanjang diperjanjikan.

Sama seperti pendapat Gatot Supramono, Abd. Rahman Ghazali dalam bukunya yang berjudul Fikih Munakahat menyatakan bahwasannya sebuah kesepakatan bersama yang disepakati oleh kedua calon pasangan suami dan istri pada saat atau sebelum perkawinan dilaksanakan dan para pihak berjanji akan mentaati apa yang

telah menjadi persetujuan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah dapat dikatakan sebagai sebuat arti dari perjanjian perkawinan. Akan tetapi, pada dasarnya perjanjian perkawinan belum termasuk ke dalam lembaga hukum yang terbiasa dilakukan di masyarakat yang terbiasa diimplementasikan dalam masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri pada saat ini masih sangat kental mengikuti adat ketimuran, yang artinya masih banyak kalangan masyarakat di Indonesia mengganggap bahwa perjanjian perkawinan masih menjadi persoalan yang sangat sensitif, tidak sesuai dengan budaya yang tumbuh dalam lingkup masyarakat sehingga kerap kali dianggap sangat materialistik. Banyak kalangan masyarakat di Indonesia juga menggangap bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan bahwa suami istri yang mangadakan perjanjian perkawinan tidak saling mencintai pasangan sepenuhnya.

Padahal, kenyataannya perjanjian perkawinan sendiri sejatinya dapat menjadi sebuah paradigma baru dalam budaya hukum masyarakat di Indonesia yang dapat memberikan arahan baru secara umum yang nantinya dapat ditanggapi oleh masyarakat terhadap gejala hukum.17 Artinya, walaupun sebenarnya perjanjian kawin bukanlah budaya hukum dari masyarakat Indonesia tetapi dapat dijadikan sebagai paradigma baru dalam budaya hukum masyarakat Indonesia untuk meminimalisir terjadinya dinamika dalam hubungan rumah tangga.

Melalui perjanjian perkawinan sebagai paradigma baru dalam hukum masyarakat di Indonesia nantinya pasangan suami dan istri sama-sama memiliki kesempatan untuk saling transparansi dalam segala hal yang ingin disepakati bersama seperti hak dan kewajiban dengan rasa satu rasa sama rasa. Dalam akultrasi budaya masyarakat komunal dan masyarakat individual perjanjian perkawinan merupakan salah satu bentuk dari akulturasi budaya masyarakat komunal dan masyarakat individual. Hal ini dikarenakan terdapat sebuah proses yang ditimbulkan dari adanya suatu perjanjian perkawinan dalam suatu lingkup masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal tersebut tersirat bahwasannya perjanjian perkawinan yang bukanlah budaya hukum masyarakat di Indonesia lambat laun dapat diterima dan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mencegah terjadinya perselisihan dalam hubungan rumah tangga dan bertambahnya angka perceraian di Indonesia tanpa menghilangkan unsur atau budaya hukum yang selama ini dianut oleh Indonesia.

Kasus perceraian di Indonesia kembali bertambah. Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% di bandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Melihat bertambahnya persentase angka dari adanya perceraian di Indonesia membuat sebagian orang memiliki keinginan untuk menerapkan perjanjian perkawinan sebagai sebuah komitmen untuk mengadakan hubungan bersama-sama dalam jangka waktu yang lama. Perjanjian perkawinan dapat diejawantahkan dalam budaya hukum masyarakat di Indonesia untuk menjawab semua kebutuhan hukum masyarakat yang dirasakan diperlukan sebagai pegangan bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Seyogyanya dalam perjanjian perkawinan nantinya melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terikat dalam perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam proses perkawinan akan memiliki konsekuensi hukum seperti persatuan harta yang didapat dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan dan perlindungan hukum merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai dasar bagi pihak yang tidak memiliki iktikad baik

untuk melanggar hukum perkawinan. Apabila nantinya timbul problematika pasangan suami istri, maka perjanjian perkawinan dapat menjadi dasar bagi masing-masing pihak untuk melaksanakan dan memberikan batas hak dan kewajiban diantara para pihak yang terlibat dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan juga menjadi jawaban terkait kekaburan peraturan mengenai keabsahan perkawinan itu sendiri. M. Rezfah Omar juga mengatakan bahwasannya perjanjian perkawinan dapat memberikan sebuah perlindungan perihal hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak jika nantinya terjadi permasalahan sehingga ingin berpisah dalam hubungan rumah tanga dan sengketa diantara keduanya untuk dapat menjadi acuan sebagai sebuah penyelesaian. 18

  • IV. Kesimpulan Sebagai Penutup

    4.    Kesimpulan

Perjanjian perkawinan bukanlah budaya hukum yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia melainkan budaya hukum barat. Walaupun bukan budaya hukum di Indonesia tetapi perjanjian perkawinan dapat menjadi paradigma baru bagi budaya hukum di Indonesia sebagai jawaban dari kebutuhan hukum yang selama ini dirasa sangat perlu untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan. Indonesia pada dasarnya juga telah mengatur mengenai perjanjian perkawinan dalam beberapa regulasinya yakni UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal, akan tetapi dalam regulasi tersebut belum mengatur secara tegas dan jelas mengenai pengertian perjanjian perkawinan sehingga kerap kali menimbulkan beberapa perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjan perkawinan dapat memberikan kesempatan untuk calon pasangan suami dan istri untuk dapat memberikan pandangan atau kehendak yang ingin disampaikan tanpa merugikan satu sama yang lainnya. Dalam hal ini, perjanjian perkawinan juga dapat meminimalisir terjadinya problematika yang nantinya berujung pada meja hijau dipengadilan yakni perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian, Cet ke-1, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004)

Dyah Ochtorina & A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 2014)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Pertama Media Group, 2009)

Jurnal Ilmiah

Ahmad Sainul, “Konsep Perjanjian Perkawinan di Indonesia”, Jurnal El- Qanuny, Vol.

4, No. 1, (2018)

Annisa Istroanty, Erwan Priambada, “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung”, Privat Law, Vol. 3, No. 2, (2015)

Itsnaatul Lathifah, “Pencatatan Perkawinan: Melacak Akar Budaya Hukum dan Respon Masyarakat Indonesia terhadap Pencatatan Perkawinan”, Al-Mazahib, Vol. 3, No. 1, (2015)

Hanafi Arief, “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif Di Indonesia)”, Al’Adi, Vol. 9, No. 2, (2017)

Komang Padma Patmala Adi, Suatra Putrawan, “Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Di Buat Setelah Perkawinan Berlangsung”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 01, No. 11, (2013)

Laurensius Arliman S, “Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata Internasional”, Jurnal Ilmiah Fakulas Hukum Universitas Udayana, Kertha Patrika, Vol. 39, No. 3, (2017)

Moh. Faizur Rohman, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan Terhadap Tujuan Perkawinan”, Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 7, No.1, (2017)

Muh. Sudirman Sese, “Budaya Hukum dan Implikasinya terhadap Pembangunan Hukum Nasional” Jurnal Hukum Diktum, Vol. 11, No. 2, (2013)

Nova Nurdiansyah, Afif Khalid & Faris Ali Sidqi, “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Perkawinan”, Universitas Islam Kalimantan, (2021)

Nurhadi, “Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan (Perkawinan) Di Tinjau Dari Maqashid Syariah”, UIR Law Review, Vol. 2, No. 2, (2018)

Oken Shahnaz Pramasantya, “Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 8, No. 2, (2017)

Sulikah Kualaria, “Perjanjian Perkawinan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perkawinan”, Jurnal Kenotariatan, Universitas Brawijaya, (2015) Tri Haryadi, “Pengalaman Suami dan Para Istri Pada Perkawinan Poligami ( Studi Fenomenologis Pada Sebuah Keluarga Poligami )”, Skripsi, Universitas Indonesia, (2019)

Masriani, Yulies Tiena. "Perjanjian Perkawinan dalam Pandangan Hukum Islam." Serat Acitya 2, no. 3 (2014)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401

Kompiliasi Hukum Islam

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No. 06 Tahun 2022, hlm. 1366-1376