LARANGAN POLIGAMI OLEH DESA ADAT

TENGANAN PAGRINGSINGAN DALAM PERSPEKTIF PLURALISME HUKUM

Tania Octora Setiady, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Pasek Pramana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i07.p3

ABSTRAK

Penulisan dalam artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang perspektif hukum Desa Adat Tenganan Pagringsingan terhadap eksistensi perkawinan poligami. Selain itu juga untuk mengetahui dan menganalisis tentang keabsahan larangan poligami sebagaimana diatur dalam Awig Awig Desa Adat Tenganan Pagringsingan ditinjau dari perspektif pluralisme hukum. Jenis penelitian normatif adalah metode yang digunakan dalam artikel ini dimana pendekatannya berdasarkan pendekatan perundang undangan dan pendekatan konseptual yang kemudian dianalisis dengan teknik kualitatif. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa poligami sejatinya diperbolehkan di Indonesia berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi hal itu bertolak belakang dengan aturan adat Desa Tenganan, Karangasem, Bali yang melarang perbuatan poligami bagi penduduk desa setempat. Namun apabila dilihat dari perpektif pluaralisme hukum, aturan Adat Desa Tenganan ini sah dalam hukum nasional Indonesia dikarenakan aturan adat ini termasuk dalam pluralisme hukum yang kuat serta tidak menyimpang dari tujuan utama hukum yaitu dapat berdampingan dengan dinamika serta paradigma masyarakatnya.

Kata Kunci: Hukum, Kebudayaan, Poligami, Desa Adat, Hukum Adat.

ABSTRACT

The aims of writing this article to find out and analyze the legal perspective of the Tenganan Pagringsingan Traditional Village on the existence of polygamous marriages. In addition, to find out and analyze the validity of the prohibition on polygamy as regulated in the Awig Awig Traditional Village of Tenganan Pagringsingan from the perspective of legal pluralism. The writing method used in this article is normative research wich used statutory approach and conceptual approach then analyzed with qualitative techniques. The results of this study, it is known that polygamy is actually allowed in Indonesia based on Act No. 1 of 1974 concerning Marriage. However, this is contrary to the customary rules of Tenganan Village, Karangasem, Bali which prohibits polygamy for local villagers. However, when seeing from the perspective of legal pluralism, the customary rules of Tenganan Village are valid in Indonesian national law because these customary rules are included in strong legal pluralism and do not deviate from the main purpose of the law, which is to coexist with the dynamics and paradigms of the community.

Key Words: Law, Culture, Polygamy, Traditional Village, Customary Law.

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan salah satu mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang selalu hidup secara berdampingan. Manusia akan selalu dibutuhkan dan membutuhukan

orang lain dalam kehidupannya karena itulah manusia disebut sebagai mahluk sosial. Selain itu pada umumnya manusia membutuhkan pasangan untuk hidup secara berdampingan dan meneruskan keturunannya. Hal itu lah yang menyebabkan manusia melakukan perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami istri untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Namun terdapat satu dari sekian banyak jenis perkawinan yang selalu menjadi perdebatan ditengah masyarakat yaitu poligami. Dikutip dari KBBI, Poligami ialah suatu perkawinan oleh seorang suami/isteri yang melakukan perkawinan diwaktu yang bersamaann dengan lebih dari satu orang pasangan. Hal ini justru bertolak belakang dengan definisi perkawinan berdasarkan Undang Undang No.1 Tahun 1974. Apabila diamati dari perspektif sejarah Islam, poligami hanya dilakukan dalam situasi yang mendesak saja yang dilakukan guna menyelamatkan martabat perempuan yang saat itu sedang terancam dikarenakan perang dan tidak dilakukan karena faktor biologis seperti kekurangan dari pihak wanita. Contohnya tidak dapat memilik anak, pihak wanita terdapat cacat fisik dan masih banyak lagi. Namun banyaknya pemikiran masyarakat yang masih menyimpang dari tujuan utama dilakukannya poligami serta adanya kesalahan praktik dari tujuan sebenarnya dari poligami, menimbulkan kesan terhadap poligami bahwa hal ini merupakan suatu hal yang buruk dan merugikan satu pihak yaitu perempuan serta hanya untuk memuaskan dari satu pihak saja yaitu mempelai pria. Pada praktiknya di masyarakat, karena berbagai alasan, banyak terjadi kejadian tentang seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, diantaranya karena seorang istri tidak menghasilkan keturunan, si istri belum mempunyai anak laki laki, ataupun karena faktor lainnya, sehingga terjadi poligami.2

Di Indonesia, suatu perkawinan poligami sendiri diatur dalam Undang Undang tentang perkawinan yang dimana pihak laki laki memiliki peluang untuk berpoligami apabila telah disetujui oleh pihak yang bersangkutan asal memenuhi syarat syarat yang sudah tercantum dalam undang undang perkawinan. Pada pasal 4 ayat (2) Undang Undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”.3

Namun terdapat perbedaan aturan hukum terhadap poligami dilihat dari perpektif hukumnya. Dari sudut pandang hukum positif di Indonesia melihat memang perbuatan poligami dapat dilakukan, namun berbeda dengan Aturan Hukum Adat pada Desa Tenganan, Bali. Desa Tenganan ialah satu dari sekian banyak desa di Bali yang hingga saat ini tetap memegang teguh tradisi serta kebudayaan leluhur atau nenek moyangnya. Dilihat dari perspektif hukum adatnya, Desa Tenganan melarang keras penduduknya melakukan poligami. Pada awalnya aturan tersebut bersifat tidak tertulis dan menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun menurun. Namun seiring berjalannya waktu, ketentuan tersebut juga ditulis dalam awig awig desa. Apabila

masyarakat Desa Tenganan melanggar aturan tersebut, maka akan mendapatkan sanksi adatnya, dan bahkan masyarakat Desa Tenganan yang melakukan poligami beresiko dikucilkan oleh penduduk setempat. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan aturan terhadap poligami di Indonesia dilihat dari perspektif hukumnya. Hal ini justru menimbulkan bermacam macam pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat terhadap bagaimana perkembangan eksistensi hukum adat itu sendiri, serta praktek yang terus berjalan ditengah masyarakat. Apakah hukum adat dari desa adat ini tetap dapat digunakan dalam mengatur serta menyelesaikan permasalahan yang muncul ditengah masyarakat hukum adat. Sedangkan Indonesia juga memiliki pedoman hukum berasal dari hukum positif yang dimana telah dibuat oleh lembaga berwenang untuk membuat undang undang serta kelompok aturan yang lainnya. Diantara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.4

Dari berbagai macam penelitian, masih banyak penulisan artikel yang membahas tentang poligami. Hal tersebut menunjukan bahwa poligami masih saja menjadi perdebatan karena banyaknya masyarakat salah mengartikan makna dari poligami sehingga banyak pihak yang dirugikan. Salah satu contohnya yaitu pada tulisan “Sanksi Adat Perkawinan Poligami Di Desa Pakraman Pegringsingan , Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem” karya Pande Putu Toya yang menjelaskan bahwa di Desa Pagringsingan memiliki suatu aturan adat yang melarang masyarakatnya melakukan poligami dengan bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pihak laki laki maupun perempuan.5 Namun dilihat dari dasar hukum Indoensia yang memperbolehkan perkawinan poligami, jelas hal ini menujukan adanya ketidaksinkoranan antara aturan adat dengan hukum nasional. Maka dari itu, penulis ingin mengkaji tentang bagaimanakah larangan poligami oleh Desa Adat tenganan dalam penerapannya serta kedudukannya dalam hukum nasional.

Setelah penjelasan di atas, penulis mencoba menganalisa bagaimanakah aturan hukum adat di Desa Tenganan melarang perbuatan poligami serta menjelaskan kedudukan hukum adat Desa Tenganan dengan hukum positif di Indonesia dengan tulisan yang berjudul “Larangan Poligami Oleh Desa Adat Tenganan Dalam Perspektif Pluralisme Hukum”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Tersimpulkan dari uraian pada latar belakang yang telah dijelaskan, maka dari itu dapat ditarik dua permasalahan hukum, yaitu :

  • 1.    Bagaimanakah perspektif hukum Desa Adat Tenganan Pagringsingan terhadap eksistensi perkawinan poligami?

  • 2.    Bagaimanakah keabsahan tentang larangan poligami sebagaimana diatur dalam Awig Awig Desa Adat Tenganan Pagringsingan ditinjau dari perspektif pluralisme hukum?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel yang berjudul “Larangan Poligami Oleh Desa Adat Pagringsingan Dalam Perspektif Pluralisme Hukum” ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang perspektif hukum Desa Adat Tenganan Pagringsingan terhadap eksistensi perkawinan poligami serta untuk mengetahui dan menganlisis tentang keabsahan larangan poligami sebagaimana diatur dalam Hukum Desa Adat Tenganan Pagringsingan ditinjau dari perspektif pluralisme hukum.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis hukum normatif merupakan metode yang diambil dalam artikel ini. Adapun alasan pemilihan metode penelitian normatif, dikarenakan permasalahan hukum yang dikaji didalam artikel ini ialah menyangkut dualisme hukum mengenai aturan terkait poligami di Indonesia. Pada penulisan ini terdapat dua pendekatan yang dilakukan, yakni pendekatan perundang undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dikumpulkan dengan teknik studi dokumen dan secara keseluruhan dianalisis menggunakan teknik kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Eksistensi perkawinan poligami dalam perspektif hukum Desa Adat

Tenganan Pagringsingan

Perkawinan pada dasarnya dilakukan antara pria dan wanita yang mengikat janji lahir batin untuk mendapatkan kesejahteraan. Menurut pendapat para ahli, salah satunya Soedharyo Saimin pria dan wanita melangsungkan perkawinan guna untuk kepentingan materil yaitu membentuk keluarga namun harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Berpedoman pada Undang Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan ialah perjanjian suci yang dilangsungkan oleh dua orang pria dan wanita yang memiliki satu tujuan yakni mewujudkan rumah tangga yang sejahtera. Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik.7 Secara universal, ada beberapa jenis dari perkawinan yaitu antara lain perkawinan eugenis, perkawinan periodik, perkawinan percobaan, perkawinan persekutuan dan yang selalu menjadi perdebatan ditengah masyarakat adalah perkawinan Poligami.

Dilansir berdasarkan situs KBBI, perkawinan yang terjadi ketika dalam waktu yang bersamaan dilakukan oleh satu pihak yang dimana mengawini tidak hanya satu orang adalah definisi dari perkawinan poligami. Gagasan aturan perkawinan istri lebih dari satu pada Indonesia ini berpedoman dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dilihat berdasarkan hukum yang mengatur serta prakteknya, pengaturan ini tentu

bertentangan dengan asas perkawinan monogami sebagaimana diatur pada pasal 3 ayat (1) undang-undang perkawinan, yang secara tegas mengatur bahwa sejatinya apabila melangsungkan perkawinan seseorang pria selayaknya menikah hanya dengan satu istri. Begitu juga pada pihak perempuan. Tetapi dasar hukum tersebut dapat dikatakan tidak tegas mengingat hal tersebut dilanjutan menggunakan pernyataan yang berbeda. Pada Pasal 3 ayat (2) Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.”8 Hal ini membuktikan perkawinan poligami dapat dilakukan oleh pihak pria apabila telah mendapatkan persetujuan dari pihak istri.

Namun berbeda halnya dengan aturan Adat Desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem, Bali yang dimana melarang adanya perkawinan poligami bagi masyarakatnya. Desa ini terbagi atas dua daerah yaitu Desa Pegringsingan dan Dauh Tukad. Desa tradisional yang mempunyai luas wilayah 9,52 km² dan dihuni oleh 4.627 jiwa (2016) ini merupakah satu dari ratusan Desa Bali Aga yang telah dikenal masyarakat hingga berbagai manca negara dunia dengan keunikanya sendiri yang salah satunya masyarakatnya masih mempertahankan adat serta tradisi yang diwariskan nenek moyangnya hingga sekarang ini. Salah satu daya tarik yang dimiliki desa ini adalah kultur budaya masyarakat Desa Tenganan yang diikat oleh karang desa (wilayah desa), awig awig desa (sistem aturan desa dan sistem pelaksanaannya), dan Pura Kahyangan Tiga (tiga tempat persembahyangan bagi para warga desa adat).9 Idealisme masyarakat adat ini tetap dijunjung tinggi ditengan pengaruh perkembangan zaman pada era globalisasi ini dalam melindungi dan juga menerapkan kebudayaan yang didasari atas niat bersama segenap masyarakatnya. Jika dikualifikasikan, sanksi adat dalam hukum adat di Bali menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa digolongkan menjadi tiga yang dikenal dengan sebutan tri danda, yaitu arta danda, jiwa danda, dan sangaskara danda.10

Penjelasan dari Arta danda adalah kumpulan dari suatu sanksi berupa memberi imbalan menggunakan uang atau dengan menggantikan barang , contohnya denda berupa barang atau diganti dengan uang, penahanan hewan hasil ternak, diambil alih tempatnya secara paksa serta merampas harta yang dimiliki secara paksa, dan harus melayani seluruh anggota banjar yang ada di Desa Pakraman. Selanjutnya ada Sangaskara danda, yaitu saksi yang dilakukan dengan melaksanakan upacara tertentu guna memiliki tujuan mengembalikan keseimbangan magis yang berdasarkan kepercayaan umat hindu seperti kewajiban untuk melaksanakan upacara keagamaan yang bersifat spiritual. Terakhir ada jiwa danda merupakan sebuah sanksi yang bersifat kejam serta dapat mengakibatkan suatu penderitaan terhadap pelaku seperti dengan

dibunuh, dipotong bagian tubuhnya misalkan tangan, di tengglamkan kedalam laut, wajib kerja secara berkala sebagai cara penebusan untuk mengganti kesalahannya, dicabut sebagai warga desa adat, dihukum keliling desa dan yang lain lain.

Desa Adat Tenganan Pegringsingan ini melarang adanya tindakan poligami bukanlah tanpa sebuah alasan. Aturan ini ialah tradisi yang dilakukan oleh nenek moyangnya yang kemudian dilanjutkan secara turun menurun dengan bertujuan untuk menjaga kesetaraan gender antara pria dan wanita serta menjaga keseimbangan terhadap pandangan hidup yang berdasarkan konsep dualistis. Masyarakat Hindu khususnya di Bali sudah sejak lama mewarisi sebuah filosofi kehidupan yang berdasarkan konsep dualistis “rwa bhineda” yang artinya terdapat beberapa pengakuan abadi yang bertolak belakang dan memenuhi kehidupan manusia, contohnya seperti gelap dan terang, kaya dan miskin, bersih dan kotor, serta masih banyak lagi. Mengingat hal itu maka kepercayaan tersebut harus dijaga keseimbangannya. Aturan adat ini juga bertujuan untuk menghindari perlakuan tidak adil atau diskriminasi tanpa tiada hentinya menimpa kaum wanita yang dilakukan oleh kaum adam. Selain tu desa Tenganan Pegringsingan ini memiliki sistem pemerintahan adat yang disebut dengan “ulu apad”. Artinya Ulu-apad adalah mendaki tangga sampai ke ujung.11 Dalam sistem pemerintahan tradisional ini pengangkatan perangkat desa dan pemimpin desa adat dilakukan secara bergilir berdasarkan urutan perkawinan krama adat (sistem rangking).12 Terdapat dua aturan terhadap struktur kepemimpinan di desa ini , yaitu secara aturan dinas dan aturan adat. Persayaratan guna menjadi seorang pemimpin di Desa Tenganan ini tidak memandang bulu dan bisa berasal dari golongan manapun dari lapisan masyarakat adatnya. Berdasarkan aturan adat desa ini, terdapat tiga lembaga yang memiliki wewenang untuk memimpin desanya. Pertama, haruslah sekelompok krama desa yang terdiri dari sepasang suami dan istri yang telah melangsungkan perkawinan dimana keduanya adalah warga asli Tenganan. Dilihat dari minimnya penduduk desa ini, sulit untuk mencapai puluhan kelompok krama desa dan saat ini kelompok krama desa adat ini masih terbilang sedikit. Selanjutnya ada bumi pulangan , yang tidak lain ialah mantan anggota krama desa yang melanggar aturan syarat menjadi krama desa. Persayratan yang terakhir ada krama bumi, merupakan keseluruhan lapisan masyarakat desa yang dalam keadaan cacat fisik. Apabila warga desa ini memiliki kekurangan fisik (cacat), maka mereka tidak diperizinkan bergabung dalam jajaran krama desa. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota legislatif desa, yaitu sebagai berikut; yaitu suami istri asli Tenganan, tidak boleh poligami, akan gugur bila salah satu meninggal, kesalahan yang tidak bisa dimaafkan, kesalahan dua kali dalam hal yang sama.13

Telah dijelaskan dalam hukum adat desa ini, bahwa apabila masyarakat tersebut berkedudukan sebagai krama desa, maka perkawinan poligami dipantangkan karena sistem ulu apad yang mewajibkan mereka turut serta dalam jajaran krama desa haruslah “bulu angkep” artinya sepasang dari seorang suami dan seorang istri seutuhnya. Hal ini

diatur dalam paos (pasal) 57 awig awig desa adat.14 Aturan Desa Adat Tenganan Pagringsingan secara tegas menyatakan bahwa masyarakatnya dilarang keras melakukan poligami. Hal itu ditunjukan dengan adanya sanksi adat yang diberikan bagi masyarakat yang melakukan poligami, yang dimana status krama desanya akan gugur apabila melakukan poligami tanpa ada pembicaraan sama sekali atau dengan istilah Bali “ngemaduang”, yang kemudian akan dikeluarkan dari desa. Namun maksud dari dikeluarkan ini bukanlah dikeluarkan dari desa seutuhnya, namun orang tersebut akan masuk pada krama gumi pulangan yang merupakan warga lapisan kedua di Desa Tenganan yang tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan desa. Hal ini berlaku untuk pihak laki laki saja. Selain itu aturan ini juga bertujuan untuk menghindari perbuatan laki laki yang bisa saja ingin melangsungkan perkawinan lagi walaupun telah memiliki keturunan sekalipun. Sebaliknya, mempelai perempuan tidak memiliki hak di Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan seperti hak untuk ngayah dan jika ada aktivitas masyarakat, haknya hanya dimiliki oleh istri yang pertama dan dengan adanya sanksi adat ini, keseimbangan masyarakat dapat dikembalikan.15 Sanksi ini ditujukan untuk menghilangkan hak tertentu pada perempuan yang telah melanggar larangan poligami didesa ini. Selain itu, dikarenakan tradisi larangan poligami yang masih kuat dari desa ini, masyarakat yang melanggar aturan tersebut akan dikucilkan oleh warga sekitar. Masyarakat desa tenganan yang tidak memiliki hak hak layaknya masyarakat Desa Tenganan lainnya akibat melanggar aturan tentang poligami ini ibaratkan manusia yang lumpuh dan tidak berdaya.

Menurut pandangan masyarakat, poligami dilarang keras bagi siapa saja yang ada dalam masyarakat desa tersebut. Bagi masyarakat yang ingin menikah, haruslah siap secara mental. Poligami juga dilarang untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan pria dan wanita sehingga tidak ada perbuatan berunsur ketidakadilan terhadap pihak perempuan dalam praktek perkawinan poligami. Keputusan ini diadopsi untuk mempertahankan pernikahan monogami di Desa Pakraman. Dengan adanya awig awig Desa Adat Pegringsingan, masyarakat desa dapat menjaga kearifan lokal dan nilai-nilai budaya khususnya dalam perkawinan monogami, tanpa terpengaruh oleh waktu dan budaya di luar desa.

  • 3.2    Eksistensi Hukum Larangan Poligami Sebagaimana Diatur Dalam Awig Awig Desa Adat Tenganan Pagringsingan Berdasarkan Hukum Nasional

Poligami selalu menjadi perbincangan hangat yang tidak pernah berujung apabila diperdebatkan. Disatu sisi dalam pihak pro, masyarakat membenarkan perkawinan poligami dengan berbagai alasan seperti kepentingan keagamaan. Namun dari pihak kontra, masyarakat beranggapan bahwa perkawinan poligami adalah suatu perlakuan yang tidak adil yang hanya menitik beratkan masalah hanya pada pihak perempuan. Dalam praktiknya dimayarakat memang kebanyakan perkawinan poligami terjadi akibat faktor biologis atau kekurangan dari pihak perempuan. Hal itu menunjukan

memang adanya terjadi diskriminasi gender dalam perkawinan jenis ini. Namun perkawinan poligami telah diatur dalam hukum nasional di Indonesia tepatnya pada Undang Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tepatnya pada Pasal 4 ayat (2), apabila dari pihak perempuan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, jika tubuhnya memiliki ketidaksempurnaan atau cacat, dan jika seorang wanita tidak dapat menghasilkan keturunan untuknya, maka pria itu memiliki peluang besar untuk berpoligami. Dari aturan tersebut dapat terlihat jelas bahwa undang undang perkawinan dalam hukum positif di Indonesia mengandung suatu diskriminasi. Terlihat jelas pada pasal tersebut yang memperizinkan perkawinan poligami, namun hanya menitik beratkan sumber masalah hanya kepada pihak wanita. Lalu bagaimana dengan pihak laki lakinya ? Adapun beberapa ketentuan wajib yang harus terpenuhi oleh seorang pria apabila ingin berpoligami. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) bahwa laki laki dapat mengusulkan surat permohonan terhadap pengadilan, seperti yang dijelaksan dalam pernyataan Pasal 4 ayat (1) ,harus dengan adanya dipenuhi ketentuan tertentu,yaitu persetujuan istri, jaminan suami harus menyanggupi untuk menafkahi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya di masa depan, dan terakhir, setelah menikah, suami bersikap selayaknya terhadap istrinya tanpa penecualian, dan kemudian kepada anak-anaknya.

Diluar dari undang undang perkawinan, hukum islam juga berperan dalam pengaturan poligami di Indonesia, tepatnya pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merajuk pada Pasal 52, menjelaskan bahwa apabila seseorang melakukan perkawinan dengan lebih dari satu orang, maka hal itu berpeluang dapat dilakukan namun sebatas hanya sampai empat orang isteri. Yang kedua, memiliki istri tidak hanya satu, alhasil seorang suami harus menyanggupi untuk berlaku adil terhadap keluarganya kelak. Yang ketiga, jika ketentuan pertama yang dinyatakan dalam ayat kedua tidak dapat dilakukan, maka pihak suami tidak diperizinkan melakukan perkawinan tersebut. Dilihat dari peraturan-peraturan yang ada tentang poligami, maka peraturan di desa adat Tenganan sangat berbeda dengan sumber hukum perkawinan Indonesia, yaitu Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1991,kompilasi Hukum Islam (KHI). Perbedaan common law inilah yang menyebabkan konflik hukum muncul ketika common law bertentangan dengan dasar hukum Indonesia, yaitu hukum domestik. Namun, hal ini bukanlah hal baru, mengingat ideologi Negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan suku serta budaya yang berbeda ditiap daerahnya, dan seringkali terdapat perbedaan aturan untuk banyak hal yang berhubungan dengan kepercayaan masing masing suku dan kebiasaan adat yang berbeda, dan kondisi tersebut bukanlah hal baru bagi pluralisme hukum Indonesia.

Pluralisme hukum pada Indonesia juga mempunyai tujuan dan cita cita guna mempersatukan banyak sekali macam budaya dan keadilan bagi masyarakat Indonesia. Pluralisme hukum yg substansial menyebutkan bahwa terdapat dua atau lebih sistem kontrol sosial pada satu daerah masyarakat, atau menjadi situasi dimana terdapat banyaknya tatanan aturan bermasyarakat yang ada, namun memiliki fungsi yang berdampingan pada daerah kehidupan sosial yang sama, atau situasi dimana terdapat banyak sistem aturan yang berinteraksi pada kehidupan, atau beberapa sistem atau forum hukum yang bekerja secara paralel pada suatu gerombolan masyarakat. Keberagaman ini berasal dari satu bendera, karena keberagaman ini memiliki peran besar di Indonesia, mengingat Indonesia tumbuh dengan bermacam macam agama,

suku serta ras. Menurut beberapa ahli, seperti Griffitsh, terdapat dua hal yang membedakan jenis pluralism, antara lain pluralisme hukum kuat dan lemah. Pluralisme hukum lemah disamakan dengan pluralisme hukum, yang mengakui keberadaan sistem hukum lain yang ada di masyarakat lebih tinggi dari hukum negara, meskipun hukum negara justru lebih rendah dari hukum negara. Di sisi lain, pluralisme hukum kuat adalah kenyataan bahwa tidak ada tatanan yang menggambarkan hukum mana yang lebih kuat, dan hukum mana yang lemah, karena ada beberapa tatanan hukum dalam suatu kelompok sosial yang berada pada posisi yang sama dengan hukum nasional.

Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan - aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).16 Golongan pluralisme hukum kuat juga termasuk dalam konsep medan sosial semi-otonom yang dikemukakan oleh Moore pada tahun 1978 mengenai kemampuan kelompok sosial untuk menciptakan mekanisme pengaturan diri yang melibatkan paksaan pentaatannya. Penerangan aturan dipandang menurut perspektif antropologis adalah suatu kegiatan menurut kebudayaan yg mempunyai manfaat menjadi tempat berpengendalian, atau menjadi indera penjaga keteraturan sosial pada rakyat aturan adat. Hukum seharusnya dipelajari guna sebagai bagian dari integral yang bersumber dari kebudayaan secara menyeluruh, tidak hanya semata mata hanya satu institusi otonom yang terpisah dari sekumpulan macam tradisi yang ada, maka dari itu untuk mengerti bagaimanakah eksistensi hukum yang berperan dalam wujud komposisi masyarakat, sepatutnya ditelusuri serta dianalisis bagaimana kehidupan sosial serta budaya masyarakat tersebut secara utuh dan menyeluruh. Dari penjelasan jenis pluralisme ini dapat dikatakan bahwa larangan perkawinan poligami ini tergolong dalam jenis pluralisme hukum yang kuat.

Dari perspektif pluralisme hukum, suatu perbedaan aturan hukum merupakan hal yang sering terjadi. Meskipun dalam aturan perkawinan poligami ini terdapat lebih dari satu hukum. Di Indonesia sendiri suatu konsep atau pemikiran pluralisme hukum seharusnya tidak dilihat dengan adanya pembagian antara hukum negara dengan hukum rakyat, contohnya hukum adat, hukum agama, dan hukum asing. Namun harus mengkondisikan hukum secara secara satu keharmonisan sebagai relasi interaktif yang memiliki peran penting antara satu dengan lainnya. Hal ini juga bertujuan untuk menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan, dengan memperhatikan tujuan pembuatan aturan larangan poligami di desa adat Tenganan, yang sama sekali tidak bertentangan dengan ideologi negara Indonesia. Ini sebenarnya menciptakan kemungkinan komunitas otonom yang mengelola dan memecahkan masalah mereka sendiri. Jika suatu masyarakat dapat menyelesaikan suatu masalah sendiri, negara harus mendukung pemecahannya agar tujuan hukum itu sejalan dengan paradigma dan dinamika masyarakatnya sendiri. Disebutkan pula bahwa aturan adat poligami di desa adat Tenganan, terdapat keterkaitan dengan Undang Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, dalam hal ini tindakan didiskriminasi tidak diperbolehkan. Penjelasan ini secara jelas tersirat dalam Pasal 3, yang mengungkapkan bahwa siapapun memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hak asasi serta kebebasan manusiawi, tanpa adanya perbuatan tidak adil. Kemudian dilanjutkan pada Pasal 4. Siapapun berhak

untuk hidup bebas dari penyiksaan, kebebasan dalam pemikiran serta hati nurani pribadi, bebas untuk memilih keyakinan dan agama, bebas tanpa adanya perbudakan, dan hak untuk pengakuan pribadi. Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, aturan poligami menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Salah satu hal yang perlu diapresiasi adalah konsistensi dari masyarakat desa ini dalam hal mempertahankan tradisi dari nenek moyang mereka untuk tetap menjaga kesetaraan antara pria dan wanita dalam sebuah perkawinan yang dimana diwujudkan dengan menerapkan sanksi adat. Dari sisi lain, pihak perempuan memiliki hak bebas dari segala macam perlakuan yang bersifat merendahkan martabat dari pihak pria.

Eksistensi hukum adat juga dapat dikaitkan UUDNRI 1945. Merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.17 Kesimpulannya adalah bahwa sejatinya hukum adat diciptakan tidak hanya untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adat saja, namun hukum adat juga dapat berperan sebagai perlindungan dalam ketidakadilan hukum yang terdapat pada hukum positif di Indonesia. Dalam perkembangannya, konsep dari pluralisme seharusnya tidak hanya mengunggulkan atau mendahulukan dikotomi antara sistem hukum kerakyatan di satu pihak dengan sistem hukum nasional di pihak lain, serta hukum agama di pihak lain. Pada tahap perkembangannya sekarang, persepsi pluralisme hukum harus menitikberatkan pada interaksi dan koeksistensi berbagai sistem hukum yang berperan serta berpengaruh berjalannya norma, prosedur dan institusi hukum dalam masyarakat. Dilihat dari perspektif legal pluralism, tatanan adat desa Tenganan yang mengatur tentang poligami, tentu diakui dan berlaku dalam hukum positif di Indonesia. Meskipun ditinjau dari dua perspektif peraturan tersebut berbeda, namun Awig Awig di Desa Adat Tenganan masih berpegang teguh serta konsisten dengan ideologi negara dan tidak menyimpang dari tujuan utama hukum yaitu sejalan dengan paradigma dan dinamika masyarakat itu sendiri. Apalagi kekuatan bangsa dan kehidupan berbangsa tidak akan merosot selama semua undang-undang yang telah ditetapkan masih berpegang teguh serta melaksanakan asas-asas hukum yang bersifat mempersatukan bangsa dan menjadi dasar kesadaran hukum bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Bhineka Tunggal Ika harus menjadi asas hukum nasional terpenting dalam gerakan reformasi hukum. Di samping itu, pembangunan hukum yang ada di setiap daerah harus ditempatkan dalam kerangka negara Indonesia tunggal dengan menerapkan strategi pembangunan hukum semu-responsif untuk menciptakan hukum daerah yang konsisten dengan life law, namun tetap memenuhi unsur kepastian, keadilan dan keuntungan hukum. Untuk memperkuat perkembangan hukum yang terjadi di setiap daerah, kebijakan hukum nasional lebih baik memprioritaskan pembangunan hukum adat sebagai salah satu prioritas dalam gerakan reformasi hukum. Konsekuensinya, pengembangan hukum lokal harus mengarah pada

penciptaan hukum lokal yang "berkoordinasi" untuk menyelaraskan atau menyelaraskan hukum nasional yang ada.

  • IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Berdasarkan aturan Adat Desa Tenganan Pegringsingan, poligami sejatinya dilarang keras terhadap masyarakatnya desa setempat dikarenakan sistem ulu-apad yang mengharuskan mereka sepasang suami istri utuhlah yang dapat berperan dalam jajaran krama desa guna untuk menjaga keseimbangan martabat antara masyarakat desa serta melindungi pihak perempuan dari tindakan diskriminasi. Selain itu larangan poligami juga ditegakkan demi menjaga keseimbangan serta kesetaraan kedudukan yang terjadi diantara laki laki dan perempuan. Tentu aturan yang dinyatakan tersebut dapat dikatakan berlawanan bertolak belakang dengan dasar hukum perkawinan di Indonesia yang memperbolehkan poligami dengan memenuhi ketentuan sesuai yang disebutkan. Dilihat dari perpektif pluaralisme hukum, aturan Adat Desa Tenganan ini sah dalam hukum nasional Indonesia dikarenakan aturan adat ini termasuk dalam pluralisme hukum yang kuat serta tidak menyimpang dari tujuan utama hukum yaitu yang selaras dengan paradigma dan dinamika masyarakatnya. Dilihat dari sudut yang berbeda aturan Desa Adat Tenganan ini terbukti melindungi pihak perempuan dari unsur unsur diskriminasi yang terdapat dalam dasar hukum perkawinan di Indonesia. Selain itu tujuan dari diciptakan aturan tersebut juga tidak bertentangan dengan ideologi Negara Indonesia. Adapun faktor pendukungnya, apabila dikaitkan dengan dasar hukum positif, hukum adat juga diakui eksistensinya dalam sistem hukum NKRI yang berlandaskan pada Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.

Daftar Pustaka

Buku

Jamaluddin, Nanda Amalia. Buku Ajar Hukum Perkawinan, Unimal Press, Jakarta, Cetakan Pertama, (2016).

Sujaya, I Made. “Perkawinan Terlarang: Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno”. Yayasan Bali Sruti,(2015).

Jurnal Ilmiah

Latupuno, Barzah, “PENYELESAIAN PERKAWINAN YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN PERKAWINANMELALUI ISBATH NIKAH”. Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4 (2019): 959-967.

Kharisma Nanda Sattwika, Diah Gayatri Sudibya, Ni Made Puspasutari Ujianti, “PENYEDIAAN KARANG MEMADU BAGI WARGA YANG BERPOLIGAMI DI DESA ADAT PENGLIPURAN KABUPATEN BANGLI.” Jurnal Intepretasi Hukum Vol.1, No.1 (2020): 72-76

Saputra, Ridho. Eryandi Pratama, Vrita Sari Prihastoro, “KEBERADAAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA.” Fakultas Hukum Universitas Jambi (2020).

Pande Putu Toya Wisuda, Ni Nyoman Puteri, Ulio. “SANKSI ADAT PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA PAKRAMANAN PEGRINGSINGAN , DESA TENGANAN, KECAMATAN MANGGIS, KABUPATEN KARANGASEM”. Widya Duta,vol 2 No. 2. 2020

Pande Dwi Sinar Maheni, Bandiyah, AA. Sg. Mirah Mahaswari Jayanthi. “Strategi Eksistensi Kepemimpinan Adat Ulu Apad Desa Tenganan Pegringsingan.”E-Jurnal Universitas Udayana,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, (2020): 1.

Dewi Sucitawathi,Ni Luh Yulyana Dewi, I Wayan Joniarta. “Responsivitas Kebijakan Lokal dalam Menghadapi Dinamika Sosial di Desa Tradisional Bali AGA: Kasus DesaTenganan Pegringsingan, Karangasem Bali.” DINAMIKA GOVERNANCE: JURNAL ILMU ADMINISTRASI NEGARA. (2019) Vol. 9. Hal.140.

Santoso, “HAKEKAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN, HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol 7, No 2 (2016).

Kristiono, Natal. POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN BALI”. Integralistik, No.2/Th. XXVIII/2017

Darmawijaya, Edi. “POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”. Internasional Journal of Child and Gender Studies. Vol. 1, No. 1, Maret 2015

Suryatni, Luh. “Pluralisme Hukum dalam Perpektif Antropologi Hukum”. JURNAL MITRA MANAJEMEN. Vol 5, No 2. (2013)

M. Ridho Saputra, Eryandi Pratama, Vita Sari Prihastoro. “KEBERADAAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”. Fakultas Hukum Universitas Jambi.(2020).

Internet

Sujaya, “Tradisi Unik Tenganan Pegringsingan: Berpoligami Dilarang, Ceraipun Dpantangkan”. http://balisaja.com - Bernas dan khas Bali (diakses pada 20 Desember 2021,Pukul 15.36).

Peraturan Perundang Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974, No. 3019. Sekretariat Negara. Jakarta.

Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 7 Tahun 2022, hlm. 1442 -1453