AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN BEA MATERAI BEKAS
on
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGGUNAAN BEA MATERAI BEKAS
I Gusti Ayu Anggitha Putri Pramesti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Ketut Suardita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i03.p9
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami mengenai akibat hukum yang ditimbulkan apabila seseorang menggunakan dan/atau menjual bea materai bekas kepada pihak lain serta bagaimana keabsahan dari sebuah dokumen hukum apabila menggunakan bea materai bekas. Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Hasil studi ini ialah akibat dari penggunaan bea materai bekas yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dan secara sadar meminta dan/atau memperjualbelikan materai bekas dengan cara menghilangkan bukti penggunaannya yaitu ciri, tanda, cap dan tanda tangan yang terdapat dalam materai tersebut maka dijatuhi hukuman sanksi penjara serta denda sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata penggunaan materai bekas dalam sebuah dokumen hukum tidak mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah di mata hukum serta tidak menjadi jaminan sah atau tidaknya sebuah dokumen hukum dalam hal ini surat perjanjian. Namun, surat perjanjian tersebut dianggap tidak dapat memenuhi unsur untuk dikatakan sebagai sebuah alat bukti di muka Pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
Kata Kunci: Bea Materai, Penyalahgunaan, Dokumen Hukum
ABSTRACT
The purpose of this study aims to find out and understand the legal consequences that arise when someone uses and/or sells used stamp duty to other parties and how the validity of a legal document when using used stamp duty is used. This study uses a normative juridical research method with a statute approach. The results of this study are consequences about utilize used stamp duty which is carried out intentionally by someone and consciously asks for and/or trades used stamp duty by eliminating evidence, namely the characteristics, signs, stamps and signatures contained in the stamp duty, which is then sentenced to imprisonment. as well as fines as regulated in the Criminal Code and the Law of the Republic of Indonesia Number 10 of 2020 concerning Stamp Duty. Based on the Civil Code, by utilized used stamp duty in a legal document does not conduce the agreement being invalid in legally and being not a legal guarantee whether valid or not as a legal document in this case is a letter of agreement. However, the agreement letter is considered unable to fulfill the elements to be said as evidence before the Court as regulated in Law Number 10 of 2020 concerning Stamp Duty.
Keywords: Stamp Duty, Misappropriate, Legal Document
Dalam tatanan kehidupan sehari-hari di masyarakat, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan penggunaan bea materai. Bea materai diartikan sebagai sebuah pajak
atas sebuah dokumen yang terutang pada saat dokumen tersebut dilakukan penanda tanganan oleh pihak yang memiliki kepentingan, atau dapat diberikan kepada pihak lain apabila dibuat oleh 1 (satu) pihak saja.1 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, LNRI Tahun 2020 Nomor 240, TLNRI Nomor 6571 (untuk selanjutnya disebut UU Bea Materai) menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai sebuah pajak atas dokumen. Dokumen sendiri diartikan dengan sebuah tulisan yang dilakukan baik dalam kertas ataupun elektronik dan dalam bentuk lainnya yang dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti. Sedangkan yang dimaksud dengan materai ialah “sebuah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik dan bentuk-bentuk lainnya yang memiliki ciri dan unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan untuk digunakan membayar pajak atas dokumen.”2
Dokumen yang diwajibkan menggunakan bea materai berdasarkan pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal, LNRI Tahun 2000 Nomor 51, TLNRI Nomor 3950 yang dikenakan Bea Materai yaitu “surat perjanjian dan surat-surat lain yang difungsikan sebagai alat pembuktian terhadap perbuatan, kenyataan, ataupun keadaan yang bersifat perdata; akta notaris termasuk salinannya; akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk juga dalam hal ini rangkap-rangkapnya; surat yang memuat sejumlah uang; surat berharga seperti wesel, promes dan askep; dan dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan”. Selanjutnya, merujuk pada hal tersebut berdasarkan pada pasal 4 UU Bea Materai menjelaskan bahwa bea materai pada setiap dokumen dikenakan atas 1 (satu) kali dan dokumen-dokumen tersebut berdasarkan pada Pasal 5 UU Bea Materai dikenakan dengan tarif baku bea materai sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Secara umum masyarakat memahami mengenai arti dari penggunaan bea materai adalah sebagai sebuah benda yang difungsikan untuk mengetahui (tanda) sah atau tidak sahnya sebuah surat perjanjian atau dokumen berdasarkan hukum.3 Sehingga, secara garis besar keseluruhan dari dokumen-dokumen yang dibuat oleh masyarakat atau warga negara baik perjanjian dibawah tangan seperti perjanjian jual beli atau perjanjian kerjasama pasti membubuhi atau menempelkan bea materai di dalamnya. Hal tersebut dilakukan dikarenakan pemahaman dari masyarakat yang beranggapan bahwa bea materai adalah sebuah segel penjamin sah atau tidak sahnya sebuah perjanjian atau dokumen. Oleh karena hal tersebut, lazimnya masyarakat Indonesia menggunakan bea materai layaknya sebuah budaya yang dilakukan saat pengurusan berkas-berkas ataupun surat berharganya.4 Sahnya sebuah dokumen menurut masyarakat diukur dari bea materai tersebut, maka tentu tidak sedikit dari
masyarakat yang beranggapan bahwa menggunakan lebih banyak materai maka surat perjanjian dan/atau dokumen semakin dianggap sah di mata hukum.
Berdasarkan pada pemahaman tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa masyarakat masih beranggapan bea materai merupakan sebuah keharusan melainkan bukan kewajiban, yang mana pada dasarnya tidak adanya bea materai dalam sebuah perjanjian tidak menjamin bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak sah berdasarkan hukum.5 Melainkan, hanya mengurangi unsur sebagai sebuah alat bukti dalam sebuah Peradilan semata. Berdasarkan pada peraturan yang termuat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) secara jelas mengatur dan menjelaskan mengenai hal tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa perjanjian dapat dianggap sah walaupun tidak menggunakan bea materai di dalamya, karena sah atau tidaknya sebuah perjanjian tidak hanya dinilai dari penggunaan bea materai semata.6 Hal tersebut karena sesungguhnya, pajak yang dalam hal ini bea materai secara umum dapat diartikan sebagai fungsi kemanfaatan karena perannya sebagai salah satu sumber pendapatan oleh kas negara dalam APBN, sehingga apabila diartikan tentunya pelaksanaan dari hak dan kewajiban masyarakat haruslah seimbang mengingat materai tersebut adalah sebuah carik atau label yang ditempel dengan tujuan untuk membayar pajak atas dokumen.
Dikarenakan pada pemahaman masyarakat yang belum memahami secara pasti mengenai arti dan fungsi sesungguhnya dari penggunaan bea materai dan kecendrungan dari segelintir masyarakat yang masih menganggap sepele mengenai penggunaan bea materai. Sehingga banyak tindakan-tindakan dari beberapa masyarakat yang menyalahi aturan dalam penggunaan bea materai, yang mana berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan melalui media online Internet, penulis menemukan fakta bahwa terdapat kasus yang dilakukan oleh beberapa orang dengan cara menjual materai bekas yang telah sebelumnya digunakan lalu diperjual belikan untuk digunakan kembali. Materai-materai bekas tersebut sengaja dibeli dan dibersihkan (rekondisi) agar seolah baru sehingga dapat dipasarkan kembali. Tidak tanggung-tanggung dalam kasus tersebut ditemukan sejumlah 2.169 (dua ribu seratus enam puluh sembilan) materai dengan nominal Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) yang telah dibersihkan, serta 650 (enam ratus lima puluh) materai dengan nominal Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) dan 600 (enam ratus) dengan nominal Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah) yang telah digunakan.7
Penggunaan materai bekas yang dilakukan oleh segelintir orang tersebut tentunya dapat memberikan dampak kerugian yang besar terhadap Negara, hal ini dikarenakan bea materai termasuk ke dalam jenis pajak langsung yang diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, LNRI Tahun 2020 Nomor 240, TLNRI Nomor 6571 dan merupakan salah satu sumber dari pendapatan Negara. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 2 ayat (2) huruf a UU Bea Materai yang menjelaskan bahwa “pengaturan bea materai bertujuan
untuk memaksimalkan penerimaan Negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri”. Sehingga apabila penggunaan bea materai dapat berjalan dengan sebaik-baiknya tentunya asas-asas dari pengaturan penggunaan bea materai dapat terlaksana sebagaimana semestinya, yaitu untuk keadilan; kepastian hukum; kesederhanaan; dan kemanfaatan (Pasal 1 ayat (1) UU Bea Materai). Hampir keseluruhan proyek dari pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah selalu diinformasikan bahwa proyek tersebut dibangun dan dibiayai oleh iuran pajak yang telah dipungut dari masyarakat. Maka dapat ditafsirkan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam rangka pembangunan pada taraf nasional tergantung daripada ketaatan masyarakat dalam membayar pajak, yang mana salah satunya dengan memenuhi kewajiban pembayaran pajak bea materai atas dokumen-dokumen tertentu yang memenuhi unsur untuk penggunaan materai seperti surat-surat berharga yang dapat digunakan sebagai alat bukti.8
Selanjutnya, penulis melakukan peninjauan terhadap beberapa jurnal yang memiliki kesamaan dalam hal penggunaan dasar hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai yang perbedaannya terletak dalam rumusan masalah, tujuan penelitian, serta hasil penelitiannya, antara lain yaitu karya dari Indra Gunawan Suwarno dengan judul Tinjauan Yuridis Fungsi Bea Materai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)9 dan karya yang dibuat oleh Elsa Ibrani dengan judul Tinjauan Yuridis Mengenai Fungsi Bea Materai Dalam Surat Perjanjian Yang Digunakan Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan.10
Atas uraian tersebut diatas, maka penulis mengkaji beberapa permasalahan yang dapat dibahas lebih lanjut, antara lain :
-
1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap penggunaan bea materai bekas?
-
2. Bagaimana keabsahan dari dokumen hukum yang menggunakan bea materai bekas?
Sebagaimana termuat dalam latar belakang serta rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan ini ialah :
-
1. Untuk mengetahui serta memahami mengenai bagaimana akibat hukum yang dapat ditimbulkan terhadap penggunaan bea materai bekas.
-
2. Untuk memahami secara mendalam mengenai bagaimana keabsahan dari dokumen hukum yang menggunakan bea materai bekas.
Penelitian jurnal ini dilakukan berdasarkan metode penelitian yuridis normatif, yang mana normatif penelitian dikaji berdasarkan pada asas hukum positif, dan mengambil konsep norma serta kaidah hukum sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Perundang-Undangan atau law in books.11 Pendekatan yang dilakukan pada jurnal ini menggunakan pendekatan berdasar pada statute approach atau perundang-undangan. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menggunakan beberapa bahan hukum sebagai pedoman dalam penulisan antara lain bahan hukum primer dan sekunder yang diolah dan diinterpretasikan secara deskriptif analistis.
Akibat hukum diartikan sebagai sebuah perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun hal lainnya yang diatur oleh hukum dan dianggap sebagai akibat dari hukum atas tindakan tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum baik dilakukan secara legal ataupun ilegal akan memiliki dampak yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Sehingga akibat hukum dapat diartikan sebagai seluruh akibat dari perbuatan-perbuatan berdasarkan hukum yang dilakukan dari subjek terhadap objek dan terjadi oleh peristiwa tertentu yang dianggap sebagai akibat hukum.12
Mengacu pada akibat hukum tersebut, apabila merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya yang mana terdapat kasus mengenai penyalahgunaan bea materai dengan merekondisi materai bekas untuk diperjualbelikan kembali. Sehingga apabila merujuk pada peraturan mengenai Bea Materai itu sendiri sebagaimana diatur dalam UU Bea Materai yang menjelaskan bahwa materai ialah “label atau carik dalam bentuk tempel yang digunakan untuk mebayar pajak atas dokumen”. Bea Materai selanjutnya diartikan sebagai sebuah label yang dikeluarkan oleh Negara dengan tujuan untuk digunakan dalam pembayaran pajak atas dokumen. Secara umum bea materai tidak hanya dalam bentuk carik atau label yang ditempelkan, namun juga dapat berbentuk elektronik atau lain sebagainya yang tentunya harus telah disahkan oleh Pemerintah.
Apabila melihat mengenai fungsinya penggunaan bea materai tersebut, bila dilihat pada sejarah penggunaan materai di Indonesia yang mulai digunakan sejak tahun 1987 pada saat Indonesia masih dalam penjajahan oleh negara Belanda. Bea materai pada saat tersebut didasarkan atas perbuatan yang dilakukan dengan persetujuan dan dicantumkan di dalam surat akta yang disebut dengan “De Heffing Van Recht Kleinnegel” dan diubah pada tahun 1885 dengan “Ordonantie op de heffinf van het legel recht ini Nederhlands Indie”. Negara Belanda sendiri menyebut bea materai dengan sebutan stamp duty, yang dianggap sebagai pajak dalam kertas yang bersegel. Daftar mengenai materai di Belanda termuat dalam Add MSS 38330, fo 94 pada tanggal 11 Maret 1723. Materai di Negara Belanda awal mulanya digunakan karena Belanda membutuhkan dana yang sangat besar jumlahnya untuk membiayai peperangan yang terjadi terhadap negara Spanyol, sehingga lembaran dari kertas-kertas yang
dikeluarkan oleh Belanda tersebut dibubuhi materai atas saran dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya.13
Atas pemahaman mengenai materai di Negara Belanda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa materai merupakan alat pengganti uang yang digunakan oleh Negara Belanda. Pemahaman tersebut sama halnya dengan fungsi materai di Indonesia yang digunakan sebagai sebuah alat pembayaran pajak atas dokumen. Pajak sendiri umumnya memiliki banyak peran dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, yang mana utamanya digunakan sebagai sumber pendapatan negara. Pendapatan negara sendiri dari segi objek dapat diartikan sebagai sebuah keuangan negara, maka keuangan negara dalam hal perpajakan dapat dimaksudkan mengenai segala hak dan kewajiban yang dinilai dengan uang baik dari segi fiscal, barang maupun moneter.14 Sehingga, apabila merujuk pada kasus yang terjadi mengenai penjualan bea materai bekas maka dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan tindakan melawan hukum (ilegal) yang berakibat pada kerugian negara dalam pendapatan negara melalui pemungutan pajak bea materai.15 Hal tersebut dikarenakan bea materai sendiri adalah sebuah alat pembayaran atas pajak dokumen atau dengan kata lain pengganti uang dalam pembayaran pajak atas dokumen tersebut. Sehingga, tentu bea materai bekas dapat dikatakan sebagai sebuah pemalsuan yang sangat merugikan negara dengan cara merekondisi materai tersebut agar seolah seperti baru.
Oleh karena bea materai merupakan alat pengganti uang dalam pembayaran pajak atas dokumen maka pihak yang memiliki hak untuk memungut bea materai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 Tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum Dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian, BNRI 2021 Nomor 1109 (utk selanjutnya disebut PP No. 134/PMK.03/2021) ialah pihak yang memiliki kewajiban untuk memungut biaya pajak atas dokumen tertentu kepada pihak yang terhutang dan memiliki kepentingan. Selanjutnya, pihak yang memiliki kewajiban untuk memungut bea materai tersebut, wajib menyetorkan kepada Kantor Direktorat Jendral Pajak (DJP) untuk digunakan sebagai kas negara. Sedangkan, pembuat materai dalam bentuk lain berdasarkan peraturan tersebut dijelaskan bahwa adalah “orang atau perseorangan dan/atau badan, baik tidak berbentuk badan hukum ataupun berbentuk badan hukum yang membuat materai dalam bentuk lain”.16 Selanjutnya, pembayaran bea materai yang terhutang pada dokumen sebagaimana termuat dalam Pasal 3 PP No. 134/PMK.03/2021 ialah dengan menggunakan materai atau SSP (Surat Setoran Pajak) dan penggunaannya berdasarkan Pasal 4 ayat (1) tersebut dilakukan dengan
membubuhkan materai yang sah serta belum pernah dipakai atau digunakan untuk pembayaran bea materai atas suatu dokumen.17 Sehingga berdasarkan hal tersebut, dapat sangat jelas diartikan bahwa penggunaan bea materai bekas menyalahi aturan sebagaimana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pada PP No. 134/PMK.03/2021.
Mengenai permsalahan terkait bea materai bekas yang telah direkondisi lalu diperjual belikan kembali tersebut, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PP No. 134/PMK.03/2021 bea materai yang dianggap sah adalah bea materai yang belum pernah digunakan. Selanjutnya, menimbang pada Pasal 26 huruf a, b dan c UU Bea Materai yang menjelaskan bahwa apabila seseorang dengan sengaja menghilangkan tanda dari penggunaan bea materai untuk digunakan kembali ataupun meminta pihak lain memakainya baik dengan menjual ataupun lainnya, yang mengansumsikan bea materai tersebut baru maka akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 260 ayat (1) dan (2) KUHP menyatakan secara jelas bahwa “seseorang baik badan maupun perorangan, yang menghilangkan cap atau ciri penggunaannya untuk memungkinkan digunakan kembali pada materai Pemerintah Indonesia yang telah dipakai ataupun dengan tujuan untuk menyuruh orang lain memakai secara sengaja baik dengan cara memperjualbelikan ataupun merekomendasikan, seolah-olah materai tersebut belum pernah digunakan dengan cara menghapuskan ciri atau tanda berupa tanda tangan maupun cap saat dipakainya serta memiliki persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia materai yang seluruh bukti penggunaannya sengaja dihilangkan, dengan tujuan seolah-olah materai tersebut belum dipakai maka diancam dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah)”.
Atas dasar ketentuan sanski tersebut diatas, apabila mengarah pada aspek jual beli sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orang dalam kasus yang telah di uraikan pada latar belakang penulisan ini, maka hukum dapat mengikat kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan pada Pasal 1313 KUHPerdata. Hal tersebut dikarenakan tindakan jual beli bea materai bekas tersebut bila pembelian didasarkan atas kesadaran bahwa bea materai tersebut telah direkondisi maka tindakan jual beli tersebut dapat dikatakan berdasar pada persetujuan. Persetujuan ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang baik itu lebih dari 1 (satu) orang dengan cara mengikatkan dirinya dengan kesepakatan serta tujuan dan/atau maksud yang sama kepada pihak lain. Menurut pendapat dari Wirjono Prodjodikoro bahwa pengertian dari perjanjian ialah sebagai ikatan hukum antara para pihak yang terlibat mengenai harta maupun benda atau hal lainnya yang dilakukan untuk tujuan tertentu dan menuntut pelaksanaan dari janji tersebut.18
Sehingga berdasarkan makna dari persetujuan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa apabila pembeli mengetahui mengenai bea materai bekas yang telah direkondisi dan diperjual belikan kembali namun tetap membelinya, maka tentulah tindakan pembeli tersebut juda dapat dikualifikasikan sebagai tindakan melawan
hukum dan apa yang telah dilakukan oleh penjual yang memperjualbelikan bea materai bekas dengan sengaja untuk direkondisikan lalu diperjual belikan kembali sebagaimana di uraikan sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana, dan dapat dijatuhi sanksi penjara serta denda sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan. Selanjutnya, bila ditinjau dari prespektif hukum positif di Indonesia maka perbuatan ilegal tersebut dapat dikategorikan disebabkan oleh faktor kesadaran hukum di masyarakat, sehingga masyarakat secara umum menyalah tafsirkan mengenai fungsi penggunaan bea materai itu sendiri. Sehingga timbul tindakan ilegal dan/atau melawan hukum dengan melakukan penjualan dan/atau penggunaan bea materai bekas.19 Bila ditinjuau mengenai fungsi pajak itu sendiri, yang mana dalam hal ini bea materai termasuk dalam jenis pajak atas dokumen maka tentu fungsi-fungsi pajak itu sendiri tidak berjalan dengan optimal.
Secara umum berdasarkan pada pengertian yang termuat dalam UU Bea Materai yang menjelaskan bahwa bea materai adalah sebuah pajak yang dikenakan atas surat dan/atau dokumen, melainkan bukan sebagai bentuk kepastian hukum sah atau tidak sahnya sebuah dokumen. Sehingga, apabila ditinjau dari pengertian mengenai bea materai tersebut sebagai pajak, maka dapat diartikan bahwa bea materai merupakan sebuah iuran terhadap negara dari masyarakat yang dipungut berdasarkan pada paksaan oleh yang terhutang terhadap wajib pajak dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang, serta tidak memberikan prestasi kembali secara langsung yang difungsikan dalam membiayai segala pengeluaran umum Negara dalam menjalankan roda pemerintahan atau disebut Public Investment.20 Selanjutnya, berdasarkan pada Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pajak serta pungutan lain yang dilakukan berdasarkan paksaan untuk keperluan negara dan diatur dengan berdasarkan pada undang-undang”.
Definisi mengenai pajak tersebut, memiliki perbedaan terhadap kaitan antara bea materai dan sah atau tidaknya sebuah dokumen ataupun perjanjian, dikarenakan bea materai hanyalah sebuah “pajak atas dokumen”.21 Sehingga dalam setiap transaksi jual beli dengan penerbitan dokumen legalitas, yang umumnya dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yakni penjual dan juga pembeli maka penerbitan dokumen tersebut perlu penggunaan bea materai di dalamnya. Hal tersebut dikarenakan fungsi materai sebagai pembebanan pajak atas dokumen yang diterbitkan. Sehingga dalam penerbitan dokumen yang bermaterai secara tidak langsung masyarakat juga telah berperan serta dalam membantu kelanjutan kehidupan bernegara dalam roda pemerintahan.22
Apabila terdapat penyalahgunaan bea materai dengan menggunakan bea materai bekas (dengan cara menhilangkan cap, tanda tangan, ciri beserta tandanya dengan
sengaja) terhadap surat perjanjian atau dokumen, tentunya materai tersebut dianggap tidak sah atau batal demi hukum berdasarkan pada ketentuan pidana sebagaimana termuat dalam Pasal 260 ayat (1) dan (2) KUHP. Sedangkan, berdasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata menerangkan bahwa sebuah perjanjian dan/atau perikatan tidak dianggap batal atau tidak sah walaupun tidak membubuhi materai di dalamnya, karena berdasarkan pasal tersebut tidak mengatur secara mutlak mengenai penggunaan bea materai. Namun, apabila ditinjau berdasarkan pada Objek dari Bea Materai dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Bea Materai yang menyebutkan bahwa “bea materai dikenakan atas suatu dokumen yang memaparkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan”. Maka tentu sepatutnya segala dokumen yang bersifat keperdataan perlu membubuhi bea materai di dalamnya, sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti di pengadilan.
Dokumen-dokumen yang dimaksudkan tersebut adalah “Surat perjanjian, keterangan, pernyataan, dan surat-surat lainnya yang sejenis beserta rangkap-rangkapnya; Akta Notaris beserta Salinan, grosse, dan juga kutipannya; Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) beserta salinan dan juga kutipannya; Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun; Dokumen transaksi surat berharga (termasuk transaksi kontrak berjangka beserta nama dan dalam bentuk lainnya); Dokumen lelang seperti risalah, minuta, salinan dan grosse; Dokumen yang menyebutkan sejumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), yang menjelaskan tentang penerimaan uang, beserta pengakuan bahwa utang seluruh dan/atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan; Dokumen-dokumen lain yang diatur oleh Peraturan Pemerintah”.
Berdasarkan pada pemaparan yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa dalam sebuah surat perjanjian penggunaan bea materai ataupun tidak, tidak menjamin sah atau tidak sahnya sebuah perjanjian dan/atau perikatan. Namun, surat dan/atau dokumen tersebut dapat dianggap tidak sah apabila digunakan sebagai alat bukti di dalam Pengadilan. Pada ranah praktek hukum perdata, konsep mengenai batal demi hukum dikenal di dalam konteks hukum perjanjian, yang mana berdasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa diperlukan 4 (empat) syarat dari sahnya sebuah perjanjian yaitu antara lain : “Kesepakatan para pihak (syarat subjektif); Kecakapan hukum untuk membuat suatu perjanjian (syarat subjektif); Mengenai suatu hal tertentu (syarat objektif); dan Berdasarkan sebab yang halal (syarat objektif)”. Apabila beberapa persyaratan objektif dari perjanjian tidak terlaksana maka perjanjian tersebut dianggap tidaklah sah dan dianggap batal demi hukum, namun hal ini tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Sehingga, dalam hal ini hakim diwajibkan memberikan pernyataan menengenai kepastian bahwa tidak adanya suatu perjanjian dan/atau perikatan setelah para pihak yang terlibat di dalamnya mengajukan gugatan terhadap keabsahan perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas hukum dalam hukum perdata yang berlaku yaitu hakim bersifat menunggu, sebagaimana termuat dalam Pasal 118 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan Pasal 142 RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten). 23
Terpenuhinya seluruh unsur perjanjian dan/atau perikatan tersebut tidak memberikan kepastian bahwa tidak akan menimbulkan permasalahan hukum pada
-
23 Santosa, Fajar. "Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara." MAKSIGAMA 18, no. 1 (2015).
suatu waktu tertentu. Permasalahan yang dimaksudkan tersebut berkaitan dengan surat perjanjian yang telah ditanda tangani namun tidak membubuhi materai di dalamnya, yang mana pada umumnya masyarakat dalam melakukan pengurusan surat perjanjian pasti selalu menyertakan materai di dalamnya. Hal ini dikarenakan bahwa pengertian masyarakat terhadap keabsahan dari sebuah surat perjanjian diukur pada penggunaan materai yang ditempelkan pada surat perjanjian atau dokumen-dokumen hukum penting lainnya, sehingga masyarakat menggunakan materai sebagai indikator terkait sah atau tidak sahnya dari surat perjanjian.24 Pada konsep dari legalitas “sebuah produk hukum, suatu dokumen hukum baik berupa putusan pengadilan, perjanjian atau kontrak serta peraturan, dan dokumen-dokumen lain yang dibuat lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif dapat dikatakan tidak sah (batal demi hukum)”. Dikarenakan, peradilan mempunyai peranan penting yang strategis terhadap melakukan penelitian terkait berbagai dokumen hukum tersebut.25 Pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dengan pembuktian secara yuridis, hal ini dikarenakan tujuan dari pembuktian adalah “untuk mengatur mengenai hubungan hukum antara kedua belah pihak, setelahnya hakim hanya tinggal menjatuhkan Putusan yang didasarkan pada pembuktian”. Dalam KUHPerdata dikenal dua alat bukti yaitu alat bukti berupa akta dan bukan akta26
Apabila menarik garis pada apa yang termuat dalam Pasal 3 UU Bea Materai yang menyatakan bahwa “bea materai dikenakan atas dokumen yang menerangkan suatu kejadian bersifat perdata dan/atau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan”. Sehingga apabila disimpulkan maka dalam dokumen hukum yang bersifat perdata tidak menyertakan bea materai di dalamnya maka sebagai sebuah alat bukti dan/atau pembuktian dokumen tersebut dianggap tidak sah di Pengadilan. Namun, apabila ditinjau dari syarat sahnya sebuah perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dianggap sah selama memenuhi unsur sahnya sebuah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, namun tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap. (berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2020 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Selanjutnya, bila mengacu pada permasalahan mengenai penjualan bea materai bekas yang ciri penggunaanya sengaja dihilangkan maka dapat berakibat pada ketidaksahannya materai tersebut dalam pembiayaan pajak atas dokumen kepada negara dan dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum apabila pihak yang menggunakannya secara sadar dan mengetahui mengenai hal tersebut. Maka dokumen yang dibubuhi oleh materai bekas dapat menjadi batal demi hukum atas tindakan melawan hukum (ilegal) oleh pihak yang melakukannya.
Selanjutnya, pada fungsi bea materai sebagai pajak maka peran serta dari seluruh lapisan masyarakat perlu ditingkatkan. Hal tersebut dikarenakan dana pembiayaan negara hampir seluruhnya bersumber dari bidang perpajakan, sehingga pelaksanakan kewajiban pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pembayaran Bea Materai
sebagai pajak atas dokumen-dokumen yang digunakan.27 Penggunaan bea materai juga sangatlah penting yang dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti di Pengadilan.
Akibat hukum yang dapat ditumbulkan dalam penjualan bea materai bekas ialah sanksi baik penjara ataupun denda sebagaimana diatur dalam UU Bea Materai serta yang tercantum dalam Pasal 260 KUHP. Sehingga dalam hal ini penyalahgunaan dari bea materai bekas berdasarkan pada asas hukum positif dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum (illegal). Selanjutnya, terkait keabsahan dokumen hukum yang menggunakan bea materai bekas yang sengaja dan secara sadar dihilangkan tanda dari penggunaannya baik berupa tanda tangan serta ciri lainnya maka berdasarkan pada UU Bea Materai dianggap tidak sah karena tidak memenuhi sahnya sebuah dokumen hukum yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan. Namun apabila ditinjau berdasarkan pada KUHPerdata menggunakan atau tidak menggunakan bea materai tidak mempengaruhi sah atau tidak sahnya sebuah perjanjian, selama perjanjian tersebut tidak digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan. Sehingga, dapat disimpukan bahwa penggunaan bea materai bekas dilarang dan sebaiknya tidak dilakukan karena hal tersebut merupakan sebuah tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan sebuah dokumen atau surat berharga tersebut batal demi hukum. Sehingga pembubuhan bea materai yang sah (belum pernah digunakan) perlu dilakukan karna apabila tidak tentunya dapat mengakibatkan masalah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Azis, Ziski. Perpanjangan Teori dan Kasus (Medan, CV. Medenatera, 2016).
Dr. Amiruddin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tjandra, W. Riawan. Hukum Keuangan Negara (Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2014).
Tansuria, Billy Ivan. Bea Materai Pajak Atas Dokumen Di Indonesia (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013), 7.
JURNAL HUKUM
Arief, Sofyan. "Penggunaan Bea Materai Yang Benar Dalam Rangka Sempurnanya Akta Autentik." Jurnal Humanity 7, no. 1 (2011).
Ariyanti, Evie Rachmawati Nur. "Tinjauan Yuridis Terhadap Bea Meterai Di
Indonesia." ADIL: Jurnal Hukum 11, no. 1 (2020).
Arifki, Nindi Achid. "Penyelesaian Kerugian pada Pendapatan Negara melalui Pengungkapan Ketidakbenaran (Suatu Kajian Hukum Doktrinal dalam Sistem Perpajakan)." Jurnal Suara Hukum 1, no. 1 (2019): 91-104.
Armono, Yudhi Widyo, and Andika Teo Setyawan. "Peranan Materai Dalam Keabsahan Perjanjian." Justicia Journal 10, no. 1 (2021): 62-70.
Dalimunthe, Dermina. "Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw)." Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan 3, no. 1 (2017): 12-29.
NIM, ELSA IBRANI. "Tinjauan Yuridis Mengenai Fungsi Bea Materai Dalam Surat Perjanjian Yang Digunakan Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Di Pengadilan." Jurnal Fatwa Hukum 4.
Pamungkas, Aditya Anggi. "Tinjauan Yuridis Fungsi Bea Materai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian." Jurnal Repertorium 4, no. 2 (2017).
Pratama, Kelvin Adytia, Muhammad Amirulloh, and Somawijaya Somawijaya. "Tanggung Jawab Atas Penjualan Meterai Palsu Pada Platform Marketplace Digital Tokopedia." Jurnal Suara Keadilan 21, no. 2 (2020): 157-169.
Santosa, Fajar. "Penerapan Konsep Batal Demi Hukum Di Peradilan Pidana, Perdata Dan Tata Usaha Negara." MAKSIGAMA 18, no. 1 (2015).
Santoso, Lukman. "Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Tanpa Bea Materai." Istinbath: Jurnal Hukum 14, no. 1 (2017): 131-147.
Sehudin, Ahmad, and Winanto Winanto. "Tinjauan Yuridis Fungsi Bea Materai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian." Prosiding Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Hukum (2021).
Suwarno, Indra Gunawan, and Imam Haryanto. "Tinjauan Yuridis Fungsi Bea Materai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)." JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 8, no. 2 (2021): 342-347.
Tuanaya, Siti Nurdiyah Fauza. "Fungsi Bea Meterai Dalam Surat Perjanjian." Notarius 13, no. 2: 879-889.
Tumilaar, Mega. "Fungsi Meterai Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Surat Perjanjian." Lex Privatum 3, no. 1 (2015).
Wartanaya, Komang Kusdi, and Nyoman A. Martana. "Kekuatan Yuridis Meterai Dalam Surat Perjanjian." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2013).
INTERNET
Direktorat Jendral Perbendaharaan, “Bea Materai”, URL:
https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/informasi-
umum/publikasi-kemenkeu/bea-meterai.html, diakses pada tanggal 7 Januari 2022.
Majalah Pajak, “Bea Materai Dulu dan Kini”, URL : https://majalahpajak.net/bea-meterai-dulu-dan-kini/, diakses tanggal 10 Januari 2022.
Suara.com, “Jual Materai Bekas Hingga Palsu, Komplotan Ini Raup Uang Ratusan Juta”, URL : https://www.suara.com/news/2019/08/21/062151/jual-materai-bekas-hingga-, diakses pada tanggal 7 Januari 2022.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Materai, LNRI 2020 Nomor 240, TLNRI Nomor 6571
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai, LNRI 2000 Nomor 51, TLNRI Nomor 3950
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 Tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum Dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian, BNRI 2021 Nomor 1109
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 561-573
Discussion and feedback