PERLINDUNGAN HUKUM ANAK PENYANDANG

DISABILITAS SEBAGAI KURIR NARKOTIKA MELALUI
UPAYA DIVERSI DALAM PERADILAN PIDANA ANAK

Ketut Dama Arioka , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

A.A.Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI: KW.2022.v11.i03.p15

ABSTRAK

Tujuan daripada studi ini untuk meneliti Pertanggungjawaban pidana serta bentuk perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas yang terlibat dalam pengedaran narkotika sebagai kurir dalam sistem peradilan anak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang mengutamakan hukum, doktrin, asas dan prinsip sebagai bahan primer dalam mendukung kerangka berfikir penulis. Hasil Penelitian yakni bahwa dalam upaya diversi terhadap anak penyandang disabilitas melalui proses yang hampir sama dengan yang dilalui oleh anak lainnya yang berhadapan dengan hukum, dengan tetap memperhatikan hak-hak khusus yang dimiliki oleh penyandang disabilitas. Hal ini tidak terlepas dari Anak penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan yang akan berpengaruh terhadap kecakapan dan kemampuan yang berbeda dari orang normal.

Kata Kunci : Narkotika , Penyandang Disabilitas , Anak

ABSTRACT

The purpose of this study was to examine criminal liability and forms of legal protection for children with disabilities who are involved in drug trafficking as couriers in the juvenile justice system. This study used a normative legal research method, which prioritizes law, doctrine, principles and principles as the primary material in supporting the author's framework of thinking. The results of the study indicated that in diversion efforts for children with disabilities go through a process that is almost the same as that of other children in conflict with the law, while taking into account the special rights of persons with disabilities. This is inseparable from children with disabilities who have limitations that will affect skills and abilities that are different from normal people.

Keywords: Narcotics, Persons with Disabilities, Children

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Kasus penyandang disabilitas sebagai kurir narkoba yang terjadi pada Desember 2017 yang melibatkan dua orang penyandang difabel asal Provinsi Aceh diamankan Direktorat Narkoba Polda Jambi sebagai kurir narkoba jenis sabu. Dalam menjalankan aksinya, kedua pelaku penyandang difabel tersebut menyembunyikan sabu tersebut di tongkat dan paha miliknya untuk diselundupkan ke Kabupaten Bungo, Jambi dengan upah Rp10 juta. Melihat dari kasus tersebut bahwa tidak menutup kemungkinan seorang penyandang disabilitas dimanfaatkan sebagai kurir

narkotika, tidak terkecuali memanfaatkan anak penyandang disabilitas sebagai kurir narkotika. Berdasarkan data Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat, menyebutkan, jumlahnya anak yang dijadikan kurir narkoba selama 2017 sekitar 22 kasus anak yang menjadi kurir narkoba. Peredaran narkotika yang dilakukan oleh jaringan nasional ataupun internasional yang menjadikan anak sebagai kurir narkotika menjadi suatu permasalahan yang harus menjadi perhatian pada saat ini. Pendistribusian narkoba yang melibatkan anak menjadi kurir dijadikan sebagai cara mengelabui aparat penegak hukum oleh para bandar untuk memperlancar dan mempermudah distribusi narkoba ke tangan konsumennya. Perlu dipahami dalam mengambil keputusan seorang anak mempunyai pemikiran yang tidak sama dengan orang dewasa, seorang anak sangat mudah terbujuk oleh iming-iming keuntungan dari seseorang oleh sebab itu anak sangat rentan dimanfaatkan atau di eksploitasi dalam hal negatif salah satunya menjadi kurir narkoba. Kondisi ini membuat sepatutnya posisi anak yang menjadi kurir narkoba tidak sebagai pelaku melainkan sebagai korban. Hal ini didasarkan pada perbedaan cara pengambilan keputusan oleh seorang anak dengan pengambilan keputusan yang diambil orang dewasa dalam melakukan suatu perbuatan.

Anak sebagai individu yang rentan menjadi korban kekerasan, kejahatan ataupun eksploitasi berhak memperoleh perlindungan, perlindungan ini meliputi juga perlindungan hukum yang dapat melindungi dan menjamin hak-hak bagi setiap anak perlindungan hukum kepada seorang anak tidak hanya melindungi anak sebagai saksi maupun korban, perlindungan hukum juga tetap diberikan kepada anak sebagai pelaku kejahatan. Perbuatan yang dilakukan seorang anak yang dilakukan tanpa memikirkan dampak serta konsekuensi yang dapat ditimbulkan langsung ataupun tidak langsung. Hal ini membuat seorang anak dengan mudah terjerumus dalam melakukan suatu tindak pidana sehingga membuat anak dapat dijatuhi Pasal yang berkaitan dengan kejahatan apa yang telah di perbuatnya.

Berkembangnnya modus operandi peredaran narkotika yang menggunakan anak sebagai kurir. Hal ini membuat Anak dengan keterbatasan fisik, mental,intelektual, dan sensorik baik yang diperoleh akibat kecelakaan ataupun didapat semenjak lahir atau lebih dikenal sebagai anak penyandang disabilitas. Masyarakat umum lebih mengenal disabilitas sebagai cacat diartikan sebagai seorang individu yang kehilangan struktur maupun anggota tubuh baik yang diakibatkan kecelakaan maupun penyakit seperti kelumpuhan , kehilangan anggota kaki, maupun kerusakan atau kehilangan anggota tubuh lainnya yang membuat seseorang tersebut memiliki keterbatasan dalam beraktifitas.1 Anak penyandang disabilitas menjadi sangat rentan menjadi korban eksploitasi dan dimanfaatkan untuk berbuat kejahatan oleh orang disekitarnya tidak terkecuali dalam hal menjadi kurir narkoba. Oleh sebab itu anak penyandang disabilitas perlu mendapat perlindungan secara khusus untuk menjamin setiap hak yang dimilikinya, perlindungan terhadap setiap hak penyandang disabilitas secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut dengan UU Disabilitas).

Pemidanaan terhadap anak yang menjadi kurir narkoba dianggap bukan sebagai jalan keluar utama. Penahanan yang ditujukan kepada anak dalam kepentingan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dianggap bertentangan

dengan prinsip juvenile justice enforcement.2 seharusnya untuk menghindarkan anak dari dampak negatif dapat mengesampingkan pemidanaan dengan mengutamakan upaya diversi. Apabila tindakan yang dilakukan diancam kurang dari tujuh tahun dan tidak sebagai pengulangan dari suatu tindak pidana, maka berhak mendapat upaya diversi sebagai perlakuan khusus bagi pelaku anak dibawah umur. Hukum restoratif yang merupakan landasan dari konsep diversi dimana anak didorong untuk bertanggung jawab dan memahami tindakan yang mereka lakukan. Penerapan restorative justice diharapkan mampu menjadi solusi dalam menangani isu-isu dan kritik kepada proses peradilan pidana anak dalam tidak memberikan peluang agar dapat menghapus konflik antara korban, pelaku dan masyarakat yang akan berdampak pada perasaan ketidakberdayaan yang dapat dirasakan yang diakibatkan oleh tindak pidana yang harus ditangani untuk proses penyembuhan. Keadilan restorative menginginkan agar pelaku wajib secara penuh bertanggung jawab agar pelaku bisa menyadari kesalahannya.3

Indonesia mempunyai Undang-Undangan yang secara khusus mengatur tentang narkotika yaitu Undang-undang Nomer 35 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU narkotika). Agar dapat mewujudkan penerapan pemidanaan terhadap anak yang bersifat melindungi dan membina terhadap pelaku anak dibawah umur umur maka, Perkara yang melibatkan anak sebagai tersangka harus ditangani oleh aparat penegak hukum dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Anak penyandang disabilitas memiliki hak yang diatur sebagaimana terdapat pada UU Disabilitas, oleh sebab itu dalam menangani perkara hak anak penyandang disabilitas harus dijamin dan dihormati oleh aparat penegak hukum.

Sebagai perbandingan orisinalitas pada penelitian ini , penulis uraikan beberapa penelitian terdahulu dengan judul penelitian yang identik namun terdapat perbedaan dalam segi pembahasan. Penelitian yang dimaksud, penelitian yang dilakukan oleh Gusti Agung Darna Dewi yang mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anank Penyandang Disabilitas Yang Mengedarkan Narkotika Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia”.4 Titik fokus bahasan yakni mengenai hak dari seorang anak penyandang disabilitas yang berhadap dengan hukum sebagai pengedar narkotika di Indonesia serta kelemahan dari sistem peradilan anak bagi penyandang disabilitas di Indonesia pasca pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan, pada penelitian yang penulis lakukan berfokus mengenai bagaimana Pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas yang menjadi kurir narkotika dalam hukum di Indonesia serta bagaimana sistem peradilan pidana anak melindungi anak penyandang disabilitas sebagai kurir narkotika, mengingat berdasarkan penelitian di atas belum ada yang mengkaji

permasalahan tersebut selain itu terdapat kekosongan norma yang tidak secara khusus mengatur apabila seorang anak penyandang disabilitas terlibat sebagai kurir narkotika. Beranjak dari hal tersebut, maka disini penulis mengangkat judul “Perlindungan Hukum Anak Penyandang Disabilitas Sebagai Kurir Narkotika Melalui Upaya Diversi Dalam Peradilan Pidana Anak”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1    Bagaimana Pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas yang menjadi kurir narkotika dalam hukum di Indonesia?

  • 2    Bagaimana Sistem peradilan pidana anak melindungi anak penyandang disabilitas sebagai kurir narkotika?

  • 1.3 . Tujuan Penulisan

Studi Ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Pertanggungjawaban pidana anak penyandang disabilitas sebagai kurir dalam peredaran narkotika serta bentuk upaya sistem peradilan pidana anak dalam memberikan perlindungan hukum kepada anak penyandang disabilitas sebagai kurir narkotika.

II.Metode Penelitian

  • 2.    Metode Penelitian

Jurnal ini temasuk sebagai jurnal penelitian normatif ini menelaah permasalahan norma kosong terkiat hak anak penyandang disabilitas yang tidak diatur secara khusus diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak serta tidak adanya aturan khusus dalam proses beracara bagi penyandang disabilitas. Metode penelitian hukum normatif yakni metode yang menekankan pada hukum, doktrin, asas dan prinsip sebagai bahan primer dalam mendukung kerangka berfikir penulis. Penyusunan jurnal ini menggunakan pendekanan perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis serta konsepsual.5 Data primer yang digunakan yakni peraturan perundang-undangan terkait dengan pokok bahasan, sedangkan untuk bahan data sekunder meliputi literatur berupa jurnal, buku, maupun sumber bacaan lain.6

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pertanggungjawaban Pidana Anak Penyandang Disabilitas sebagai Kurir Narkotika Dalam Hukum di Indonesia

Konvensi hak anak menjelaskan bahwa anak merupakan setiap orang belum berusia 18 tahun, akan tetapi pengertian tersebut dapat dikecualikan apabila terdapat ketentuan dari undang-undang yang berkaitan dengan batas usia anak yang mengatur ketentuan batas umur menyatakan bahwa usia dewasa seseorang dapat diraih lebih awal. Dalam ketentuan batas usia anak dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia memiliki perbedaan dalam pengaturan batas usia anak, dalam hal ini pada keadaan tertentu untuk menentukan batas usia anak dapat menggunakan undang-undang yang sesuai dengan kondisi. Disabilitas adalah keterbatasan atau

ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sebagaimana kebanyakan orang lakukan, yang diakibatkan penurunan kemampuan. Dalam masyarakat masih banyak yang mengartikan disabilitas seperti manusia yang tidak memiliki kesempurnaan baik itu dalam fisik maupun mental. Definisi disabilitas dapat dibagi menjadi dua yakni

  • a.    Impairment, penyimpangan baik dalam psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis.

  • b.    Disability atau handicap (cacat atau ketidakmampuan), didefinisikan sebagai ketidakberdayaan dalam menjalankan sebuah kegiatan tertentu selayaknya orang lain pada umumnya sebagai akibat dari kondisi impairment tersebut.7 Kecacatan dapat diakibatkan dari beberapa faktor yaitu :

  • a.    Cacat yang di peroleh, dalam hal ini cacat disebabkan oleh kecelakaan, akibat penyakit serta akibat perang.

  • b.    Cacat bawaan, dalam hal ini cacat disebabkan oleh kelainan dalam organ-organ pada saat kehamilan, akibat kekurangan gizi serta akibat serangan virus

Setiap orang berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi tidak terkecuali ketika berhadapan dengan hukum. Untuk menjamin hak tersebut maka secara khusus diatur dalam Pasal 7 Deklarasi HAM, serta diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian setiap orang berhak mendapat perlakuan yang serupa dihadapan hukum, termasuk didalamnya hak anak penyandang disabilitas ketika bermasalah dengan hukum. Anak yang terlibat sebagai kurir narkotika atau orang yang bertugas mengirimkan barang yang diberikan bandar kepada konsumen dalam pengedaran narkotika dalam pandangan hukum tetaplah mempunyai kedudukan yang sama dan memiliki hak agar mendapatkan perlindungan secara khusus atas hak-hak anak penyandang disabilitas tersebut apabila anak tengah berhadapan dalam hukum. Setiap orang selaku subjek hukum mempunyai kewenangan dalam hukum, akan tetapi tidak semua cakap ( berwenang ) untuk melakukan perbuatan hukum.8 Kewenangan Penyandang disabilitas diakui menjadi subjek hukum yang mempunyai kapasitas hukum yang serupa seperti kebanyakan orang serta berhak mendapatkan keleluasaan yang berkaitan dengan bantuan yang mungkin dibutuhkan ketika melakukan kapasitas hukumnya. Hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Ketentuan konvensi tersebut diadaptasi kedalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang disabilitas yang mana menegaskan penyandang disabilitas merupakan subjek hukum seperti yang dimiliki orang lain pada umumnya ketika melakukan tindakan hukum. Dapat diartikan bahwa dalam ketentuan tersebut menegaskan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai subjek hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Narkotika merupakan zat-zat (obat) yang mampu membuat perubahan dan penurunan kesadaran atau pembiusan serta dapat menimbulkan ketergantungan yang terbagi kedalam beberapa golongan. UU Narkotika menjadi dasar hukum formil bagi

Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai aparat penegak hukum yang bertugas mengawasi dan memberantas penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan pemidanaan kepada anak masih menjadi perdebatan, karena mempunyai konsekuensi yang besar yang menyangkut perilaku ataupun stigma dalam masyarakat yang akan berdampak pada anak. Kurir merupakan seseorang yang memperoleh tugas untuk mengirim sesuatau berupa barang sesuai dengan lokasi yang diinstruksikan dari pemberi mandat. disebut. Juvenile delinquency adalah tindak pidana yang mengambarkan tingkah laku kenakalan anak yang jika perilaku tersebut dilakukan orang dewasa merupakan suatu kejahatan.9

Sanksi pidana kepada anak yang menjadi kurir narkotika tidak disebukan secara tegas pada UU Narkotika, tetapi anak sebagai kurir yang mengantarkan narkotika dapat diancam menggunakan beberapa Pasal yang ditentukan pada ketentuan UU Narkotika, dengan tetap mengutamakan ketentuan yang terdapat dalam UU SPPA. Anak yang menjadi pengantar narkotika dalam hal agar perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana harus terdapat unsur kesalahan yang dapat berupa kesengajaan (dolus/opzet) atau berupa unsur kelalaian (kulpa). Seorang anak dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan melihat mulai dari usia serta kondisi mental atau kejiwaan pelaku serta sebagai salah satu yang dikaitkan dengan unsur dalam pertanggungjawaban pidana. Dalam hal umur anak, dapat dimintai pertanggung jawaban pidana agar bisa dibawa ke persidangan yaitu minimal 12 tahun hingga 18 tahun.

Sanksi pidana sendiri baru bisa diberikan apabila usia anak telah mencapai 14 tahun, apabila anak berusia 12 tahun sampai 13 tahun hanya bisa dikenakan sanksi tindakan. Sedangkan jika tindak pidana melibatkan anak yang umurnya dibawah 12 tahun maka aparat terkait akan mengambil ketetapan agar dapat dikembalikannya anak tersebut kepada orang tua atau wali serta anak itu akan mendapat pembinaan oleh lembaga yang menangani kesejahteraan sosial selama 6 (enam bulan) sebagaimana dalam ketentuan yang diatur dalam UU SPPA. Untuk membuktikan terdakwa anak melanggar ketentuan Pasal 112 UU Nakotika, maka harus terpenuhi dua unsur penting yaitu: kekuasaan atas suatu benda dan adanya kemauan untuk memiliki benda tersebut. Rumusan Pasal 112 tersebut menjadi terbukti apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi, akan tetapi apabila si terdakwa atau tersangka tidak mengetahui mengapa dirinya kedapatan membawa narkotika serta apabila tersangka atau terdakwa tidak memiliki niatan untuk menguasai atau memiliki narkotika tersebut maka pelaku tidak terbukti melanggar rumusan Pasal 112 UU Narkotika. Untuk membuktikan apakah anak itu tidak mengetahui apa-apa tentang perbuatanya maka kemudian dapat dibuktikan ketika persidangan dan hakim yang akan memutuskan apakah anak itu terbukti bersalah atau tidak. Selain Pasal 112 UU Narkotika, Pengedar Narkotika umumnya dapat dijatuhi sanksi pidana yang terdapat pada Pasal 114 UU Narkotika.

Peradilan anak muncul setelah terbentuknya Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak. Undang-Undang itu memuat tentang tata cara persidangan serta penjatuhan hukuman terhadap terdakwa yang melibatkan anak. Pengadilan anak sendiri mencakup berbagai kegiatan pemerikasaan serta pemutusan perkara yang

memiliki kaitan dengan kebutuhan anak. Dalam perkembangannya, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak digantikan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tujuan dari UU SPPA adalah agar dapat menciptakan peradilan yang dapat melindungi hak dan kepentingan utama bagi anak ketika tengah berhadapan dengan hukum. Penanganan kepada anak sebagai kurir yang mengedarkan narkotika haruslah adil dan proposional dengan mempertimbangkan faktor lain diluar faktor hukum seperti faktor lingkungan serta status sosial anak, hal ini bertujuan untuk mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak tersebut. Pertanggung jawaban pidana dalam menangani kasus anak penyandang disabilitas yang terlibat sebagai kurir narkotika harus mengutamakan upaya diversi sebagai salah satu jalan keluar terbaik. Dalam UU SPPA dijelaskan diversi ialah penyelesaian perkara yang melibatkan anak dengan tujuan mengesampingkan proses peradilan pidana dengan mengupayakannya prosesnya ke luar peradilan.10 Dalam menangani kasus tersebut upaya diversi dimaksudkan agar anak terhindar dari stigmanisasi sebagai akibat dari proses peradilan. Stigma sosial merupakan cap negatif yang tertuju pada seseorang yang dianggap negatif atau buruk karena mempunyai watak tercela, seperti bekas narapidana. Dampak stigma sosial terhadap anak tentu akan sangat mengkhawatirkan terhadap psikis serta perkembangan anak yang mendapat stigma sosial. Stigma terbagi kedalam lima jenis yaitu, label atau cap, deskriminasi, prasangka, stereotip, dan pengucilan.11

  • 3.2    Sistem peradilan pidana anak dalam melindungi anak penyandang disabilitas sebagai kurir narkotika

Anak penyandang disabilitas ditengah ketidakmampuan mereka untuk menghadapi keadaan sering kali menjadi korban eksploitasi dan dimanfaatkan untuk melakukan berbagai tindakan yang melanggar hukum dengan keadaan keterpaksaan ataupun didorong faktor ketidaktahuan oleh sebab itu jika terbukti melakukan tindak pidana maka mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ketentuan tertentu yang ada dalam Undang-Undang. UU SPPA berusaha menyediakan perlindungan ketika anak sedang berhadapan dengan hukum. Dengan pendekatan menggunakan untuk melaksanakan upaya diversi. Keadilan restoratif menghadirkan solusi terbaik untuk penyelesaian terhadap kasus kejahatan dengan mengutamakan masalah sentral dari kejahatan tersebut. Keadilan Restoratif merupakan suatu gagasan keadilan yang didasari pada persetujuan yang terjadi anatara korban dan pelaku serta pihak lain yang terkait persoalan tindak pidana, agar dapat menemukan jalan keluar dengan tujuan dapat mengembalikan keadaan seperti sebelum tindak pidana dilakukan. 12 Bentuk keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak salah satunya adalah reparative board atau youth panel, merupakan penyelesaian perkara anak yang melakukan tindak pidana dengan melibatkan aparat penegak hukum, korban, pelaku,moderator dan masyarakat dengan melakukan

musyawarah untuk menentukan sanksi terhadap pelaku dan ganti rugi kepada korban.13

Sistem peradilan pidana mengembangkan konsep diversi untum memenuhi hak untuk memperoleh keadilan bagi seorang anak ketika berhadapan dengan hukum Diversi sendiri merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari proses peradilan dengan cara mengupayakan proses penyelesaian perkara keluar jalur peradilan untuk menghindarkan anak dari dampak negatif yang mungkin muncul dari proses persidangan.14 Untuk menjalankan pelaksanaan dari diversi aparat penegak hukum diberikan wewenang yang berhubungan dengan anak, agar dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan mengesampingkan proses peradilan dan mengutamakan diversi. Upaya diversi dapat dilakukan dengan dipertemukanya pihak yang terkait yaitu korban dengan pelaku atau pihak lain yang berkaitan. Dalam upaya pelaksanaan diversi apabila memungkinkan penyerahan atau pengembalian anak kepada masyarakat dengan diberi bermacam-macam kegiatan pelayanan sosial. Anak yang terlibat sebagai kurir narkotika patut diketahui perkara yang melibatkan anak sebagai kurir dalam mengirim narkotika tersebut masih menjadi pertanyaan siapakah yang menjadi korban atau pelaku, yang terlibat dalam perkara ini. Oleh karena itu menurut penulis kedudukan anak tersebut tidak hanya sebagai pelaku saja tetapi juga bisa dikategorikan juga sebagai korban sehingga pelaku berhak mendapat diversi. Kesepakatan diversi yang harus mendapat pesetujuan dari para pihak yang berkaitan dapat dikecualikan apabila berupa tindak pidana tanpa korban.15

Diversi harus dilaksanakan disetiap jenjang proses peradilan anak dalam hal ini, diversi dapat dilaksanakan maulai dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Posisi tersangka dalam upaya diversi berada pada posisi tawar yang lemah, hal ini dikarenakan pelaksanaan diversi harus melihat kesediaan dari korban apabila korban menolak, maka diversi tidak dapat dilaksanakan.16 Asas kewajiban umum kepolisian mengatur kewajiban kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban pada lingkungan masyarakat. Aparat kepolisian memiliki kewenangan diskresi, kewenangan diskresi berarti aparat kepolisian agar dapat bertindak berlandaskan pada penilaian pribadi yang mengutamakan keyakinan yang didasari kewajiban hukum untuk melindungi kepentingan umum. Tahap penyidikan merupakan kontak pertama yang terjadi antara aparat kepolisian dengan anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana.17 Tahapan penyidikan ini dimaksudkan untuk mencari serta menentukan suatu kejadian yang diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan anak. Setelah tindak pidana diadukan atau dilaporkan penyidik, peyidikan terhadap perkara anak harus terlebih

dahulu meminta pertimbangan kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Apabila diperlukan Penyidik diperbolehkan meminta pertimbangan kepada tenaga ahli yang dibutuhkan. Bapas dalam jangka waktu tiga hari setelah permintaan penyidik diterima harus menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan kepada penyidik.

Penyidikan terhadap perkara anak harus diupayakan dilakukan oleh penyidik wanita, namun apa bila diperlukan dapat di bantu oleh polisi pria. Penyidik dalam melakukan penyidikan kepada anak yang diduga melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU SPPA yaitu penyidik yang telah berpengalaman serta sudah melaksanakan pelatihan mengenai tata cara peradilan anak serta memiliki perhatian,minat ,dedikasi dan mengerti permasalah anak. Penyidikan hanya bisa dilaksanakan apabila pelaku sudah berada pada usia 12 tahun akan tetapi belum berumur 18 tahun. Apabila suatu tindak pidana yang pelakunya adalah seorang anak yang usianya belum menginjak usia 12 tahun maka, penyidik akan membuat ketetapan agar menyerahkan anak ke orang tua atau wali serta akan diikutkan kedalam program pembinaan, pembimbingan dan pendidikan yang akan dilaksanakan di instansi pemerintahan. Penyidikan kepada anak dilaksanakan oleh penyidik berdasarkan kepada surat keputusan kepala kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Sehingga penyidikan kepada anak tidak dapat dilaksanakan oleh penyidik umum, hal ini dikecualikan apabila tidak terdapat penyidik anak pada tenpat tersebut. Penyidik dalam melaksanakan penyidikan kepada anak harus dilaksanakan dengan suasana kekeluargaan. Oleh karena itu dalam melakukan pemeriksaan kepada anak penyidik tidak menggunakan seragam dinas.Tahapan penyidikan dalam sistem peradilan pidana dapat mengupayakan diversi dengan mewajibkan penyidik dalam jangka waktu satu minggu sesudah proses penyidikan dilaksanakan harus mengusahakan upaya diversi. Pelaksanaan diversi dapat dilaksanakan apabila tercapai kesepakan antara korban dan pelaku agar dilaksanakan proses diversi. Dalam jangka waktu 30 hari setelah dimulainya diversi, pihak terkait akan melangsungkan proses musyawarah penyelesaian perkara.Apabila tercapai kesepakan antara pihak terkait yang membuat berhasilnya upaya diversi maka akan dibuatkan berita acara beserta hasil kesepakatan diversi oleh penyidik yang selanjutnya akan dibuat penetapan oleh ketua pengadilan negeri setelah menerima berkas dari penyidik. Sedangkan jika gagal tercapai kesepakan antara pihak terkait yang membuat upaya diversi gagal maka proses penyidikan akan dilanjutkan kembali oleh penyidik, serta penyidik perkara tersebut akan dilimpahkan ke penuntut umum.

Terhadap tindak pidana yang pelakunya adalah seorang anak penyandang disabilitas upaya diversi dilakukan melalui tahapan yang sama dengan yang dilalui oleh anak lainnya dengan tetap memperhatikan hak-hak yang khusus dimiliki oleh penyandang disabilitas. Proses penegakan hukum terhadap penyandang disabilitas belum secara maksimal menjamin hak-hak yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, dimana itu mengakibatkan belum mampunya hukum merealisasikan hak atas peradilan yang adil. Belum terpenuhinya secara maksimal hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya yang meliputi mendapatkan bantuan secara maksimal seperti, tidak secara penuh didampingi oleh pendamping yang membantu anak penyandang disabilitas apabila kesulitan ataupun tidak dapat berbahasa Indonesia. Pemeriksaan terhadap anak penyandang disabilitas di beberapa daerah belum sepenuhnya memahami masalah anak penyandang disabilitas.Aparat penegak hukum harus mempunyai pemahaman serta kemampuan untuk memahami keperluan khusus dipunyai oleh anak penyandang disabilitas.

IV.Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Kesimpulan

Anak dalam mengambil keputusan mempunyai pemikiran yang tidak sama dengan orang dewasa oleh karena itu seorang anak sangat mudah terbujuk oleh iming-iming keuntungan dari seseorang. Anak penyandang disabilitas yang mempunyai keterbatasan dari anak-anak lain seusianya menjadi sangat rentan dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan salah satunya dijadikan kurir narkotika. Perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum harus berlandaskan pada Keadilan restorative yaitu menghadirkan solusi terbaik untuk penyelesaian terhadap kasus kejahatan dengan mengutamakan masalah sentral dari kejahatan tersebut. Diversi sebagai upaya terbaik dalam menyelesaikan perkara yang melibatkan anak. Dalam UU SPPA dijelaskan diversi ialah penyelesaian perkara yang melibatkan anak dengan tujuan mengesampingkan proses peradilan pidana dengan mengupayakannya prosesnya ke luar peradilan. Penyidikan terhadap perkara anak harus diupayakan dilakukan oleh penyidik wanita, namun apa bila diperlukan dapat di bantu oleh polisi pria. Penyidik dalam melakukan penyidikan kepada anak yangdiduga melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU SPPA yaitu penyidik yang telah berpengalaman serta sudah melaksanakan pelatihan mengenai tata cara peradilan anak serta memiliki perhatian,minat ,dedikasi dan mengerti permasalah anak.

Posisi tersangka dalam upaya diversi berada pada posisi tawar yang lemah, hal ini dikarenakan pelaksanaan diversi harus melihat kesediaan dari korban apabila korban menolak, maka diversi tidak dapat dilaksanakan. Aparat kepolisian memiliki kewenangan diskresi, kewenangan diskresi berarti aparat kepolisian agar dapat bertindak berlandaskan pada penilaian pribadi yang mengutamakan keyakinan yang didasari kewajiban hukum untuk melindungi kepentingan umum. Untuk menjalankan pelaksanaan dari diversi aparat penegak hukum diberikan wewenang yang berhubungan dengan anak, agar dapat menyelesaikan perkara tersebut dengan mengesampingkan proses peradilan dan mengutamakan diversi. Upaya diversi dapat dilakukan dengan dipertemukanya pihak yang terkait yaitu korban dengan pelaku atau pihak lain yang berkaitan. Dalam upaya pelaksanaan diversi apabila memungkinkan penyerahan atau pengembalian anak kepada masyarakat dengan diberi bermacam-macam kegiatan pelayanan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Susanti, Dyah Ochtorina. Penelitian Hukum. 2015.,( Surabaya: Sinar Grafika, 2015).

ND, Mukti Fajar dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya.(Graha Ilmu, 2013).

Jurnal:

Amdani, Yusi. "Konsep Restorative Justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencurian oleh anak berbasis hukum islam dan adat Aceh." AL-'ADALAH 13, no. 1 (2016): 81-76.

Afandi, Fachrizal. "Problematika Pelaksanaan Diversi dalam Penyidikan Pidana dengan Pelaku Anak di Kepolisian Resort Malang." Arena Hukum 8, no. 1 (2016).

Ananda, Fiska. "Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana." Jurnal Daulat Hukum 1, no. 1 (2018).

Candra, Septa. "Restorative Justice: suatu tinjauan terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 2 (2013).

Dewi, Gusti Agung"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYANDANG DISABILITAS YANG MENGEDARKAN NARKOTIKA DALAM SISTEM PERADILAN ANAK DI INDONESIA."2018 : 6.

Mianita, Hilda, Mayanisa Nurjannah, M. Fahas Bullah, and Satria Wicaksana. "DAMPAK STIGMATISASI TERHADAP KELUARGA NARAPIDANA DI LINGKUNGAN SEKOLAH (STUDI KASUS DI SMA PGRI PEKANBARU).(2020).

NIM, WELBURGA ARISKA VIENSIANIKA TENING. "IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES DALAM HAL PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BAGI KAUM PENYANDANG DISABILITAS (STUDI KASUS DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TANJUNGPURA)." Jurnal Fatwa Hukum 3, no. 2.(2020)

Priamsari, Rr Putri A. "Mencari hukum yang berkeadilan bagi anak melalui diversi." Perspektif Hukum 18, no. 2 (2019).

Raharjo, Trisno, and Laras Astuti. "Konsep Diversi Terhadap Anak Penyandang Disabilitas Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." Jurnal Media Hukum 24, no. 2 (2017):

Wahyudi, Setya. "Penegakan peradilan pidana anak dengan pendekatan hukum progresif dalam rangka perlindungan anak." Jurnal Dinamika Hukum 9, no. 1 (2009).

Windajani, Imma Indra Dewi. "Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perdata Orang yang Tidak Cakap Hukum di Kabupaten Sleman." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 20, no. 3 (2008).

Wahyuni, Sry, and Helfira Citra. "Pelaksanaan Diversi dalam Penyelesaian Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Polres Sijunjung." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 4, no. 1 (2018).

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Skripsi :

Anjar, Rukmiati. "ANALISIS KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY) dan STRATEGI MENGATASINYA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Multikasus di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1

Sampung dan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 6 Ponorogo)." PhD diss., Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2018.

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.03 Tahun 2022, hlm. 637-648