PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PRAKTIK ABORSI YANG DISENGAJA OLEH DOKTER MENURUT HUKUM KESEHATAN
on
PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PRAKTIK ABORSI YANG DISENGAJA OLEH DOKTER MENURUT HUKUM KESEHATAN
Made Sintya Wahyu Wulan Astari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email:[email protected]
I Nyoman Bagiastra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i03.p12
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menelaah mengenai kepastian hukum bagi para dokter apabila melakukan praktik aborsi yang disengaja serta mengkaji mengenai perkara pada Putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018/PN.Plg. Dalam mengkaji artikel ini, digunakan metode penelitian hukum normatif yang kemudian berfokus pada kajian tertulis berupa data primer yang diantaranya peraturan perundang-undangan, teori hukum dan beberapa hasil karya ilmiah dari para sarjana. Hasil riset menunjukkan bahwa aborsi dapat dilakukan apabila memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri yakni dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang bewenang dan apabila aborsi dilakukan berlandaskan alasan medis. Namun dewasa ini, banyak dokter yang justru turut membantu melakukan aborsi dengan berlandaskan kejahatan atau hasil hubungan bukan suami isteri. Maka, dokter tersebut telah melanggar Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sesuai dengan putusan Hakim dalam perkara tersebut, dokter yang melakukan aborsi sebagai tindak pidana kriminal dijatuhkan pidana kurungan selama 4 tahun penjara dan pencabutan izin praktik Terdakwa sebagai dokter sebagaimana izin praktik Nomor 456/IDP/845/DPMPTSP-PKK/2017.
Kata Kunci: Aborsi, Sengaja, Penegakan Hukum, Dokter
ABSTRACT
The purpose of this study was to examine the legal certainty for doctors when practicing intentional abortion and to examine the case in Decision Number 1106/Pid.Sus/2018/PN.Plg. In reviewing this article, a normative legal research method was used which then focuses on written studies in the form of primary data, including legislation, legal theory and several scientific works from scholars. The results of the research indicated that abortion can be carried out if it meets the requirements set by the Minister, namely carried out by authorized health workers and if the abortion is carried out for medical reasons. But lately, many doctors actually help in carrying out abortions based on crime or the result of non-marital relationships. Accordingly, the doctor has violated Article 77A of the Republic of Indonesia Law Number 35 of 2014 concerning Amendments to Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection. Article 53 paragraph (1) of the Criminal Code and can be punished in accordance with the provisions of the applicable law. In accordance with the judge's decision in this case, the doctor who carried out an abortion as a criminal offense was sentenced to 4 years in prison and revocation of the Defendant's practice permit as a doctor as stated in the practice permit Number 456/IDP/845/DPMPTSP-PKK/2017.
Keywords: Abortion, On Purpose, Law Enforcement, Doctor
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang Masalah
-
Aborsi adalah suatu perbuatan yang dianggap tabu dan masih kontroversial di Indonesia. Dengan istilah lain, aborsi kerap disebut dengan Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah penguguran janin yang dilakukan dengan kesadaran atau sengaja. Aborstus provocatus dibagi menjadi abortus provocatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus medicinalis yaitu pengguguran janin yang dilakukan karena adanya indikasi medis dan dapat merupakan tindakan yang legal.1 Hal yang dimaksud disini, aborsi dilakukan karena bayi yang tengah dikandung akan memiliki penyakit atau dapat membahayakan bagi sang ibu apabila tetap dibiarkan. Lain halnya dengan abortus provocatus criminalis dimana aborsi golongan ini dilakukan secara sengaja dengan melawan regulasi yang ada. Dengan kata lain, kandungan tersebut digugurkan karena merupakan hasil dari perbuatan zina atau hubungan persetubuhan antara dua orang yang tidak dalam ikatan pernikahan. Istilah abortus memiliki definisi yang amat luas. Seperti yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary, istilah abortion mengandung pemahaman: “The spontaneous or artificially induced expulsion of an embryo or featus. As used in legal context refers to induced abortion” yakni, “keguguran yang berupa keluarnya embrio atau fetus semata-mata bukan karena terjadi secara alami (spontan), tapi juga karena disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.”2
Polemik mengenai aborsi kerap kali dibahas di Indonesia dan semakin gencar lantaran didukung dengan berbagai kasus kasus yang ada. Walaupun aborsi merupakan perbuatan yang tabu, namun perbuatan aborsi sendiri mengandung banyak pro dan kontra tergantung dengan sudut pandang mereka tentang adanya Hak Asasi Manusia.3 Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM) ditegaskan dalam pasal 9 yakni “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Dimana bahwasanya setiap manusia dianugerahi hak mutlak yang tidak dapat dilanggar dan bersifat hakiki yaitu salah satunya berupa hak untuk memperoleh kehidupan.
Maraknya kasus aborsi di Indonesia membuat aborsi terdengar seperti hal yang bukan rahasia lagi. Dalam beberapa kasus perkara aborsi pada remaja dapat terjadi karena beberapa aspek, seperti adanya kemajuan teknologi yang menyebabkan perubahan gaya hidup namun tidak disertai dengan pengetahuan yang mumpuni mengenai kesehatan reproduksi. Kurangnya
perhatian dari orang tua, pengaruh dari lingkungan sekitar, pengaruh obat obatan terlarang bahkan hingga menonton video porno saat dibawah umur menjadi faktor anak anak melanggar norma susila dan norma agama.4 Realitanya, edukasi tentang reproduksi serta kehamilan pada usia dini yang diperoleh dari sekolah atau kampus juga masih sangat minim. Tentu saja, hal ini akan berimbas pada sikap serta perilaku tidak bertanggung jawab apabila terjadi kehamilan terutama dalam kasus kehamilan pra nikah.
Menghadapi fase “denial” terhadap kenyataan pentingnya edukasi mengenai seks sedari dini telah berdampak pada terbentuknya keluarga yang tidak berkualitas, seperti orang tua yang belum mapan dan siap mental, menjadi ibu sekaligus sebagai single parent, atau bahkan kematian bersama antara ibu dan anak saat melahirkan.5 Regulasi yang mengatur tentang tindak aborsi telah diatur dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Namun, banyak oknum yang tidak sadar akan regulasi yang sudah membahas secara lengkap mengenai larangan aborsi dan pengecualiannya, serta penjatuhan pidana terhadap pihak pihak yang bersangkutan dalam tindak aborsi tersebut.
Selain karena melakukan zina, kehamilan yang tak diinginkan dapat juga terjadi karena dilakukannya pemerkosaan. Apabila dilihat dari dampaknya, korban pemerkosaan yang berujung pada kehamilan menghadapi dampak yang lebih berat dan kompleks. Dampak yang akan dihadapi oleh korban yaitu dampak psikologis yang menyebabkan trauma dan tekanan mental. Selain itu juga ada dampak sosial, dimana pandangan masyarakat terhadap kedudukan anak setelah lahir dan bagi para korban permerkosaan, apabila bayi dalam kandungannya lahir, bayi tersebut akan menambah derita batinnya karena selalu mengingatkan korban dengan kejadian yang menimpanya. Oleh karena itu, kebanyakan korban pemerkosaan yang menyebabkan kehamilan mengambil langkah untuk menjalankan aborsi. Namun berbeda halnya bagi sebagian orang yang kontra terhadap tindakan aborsi. Mereka menganggap bahwa siapapun memiliki hak untuk hidup, sekaligus dengan bayi yang ada dalam rahim korban perkosaan sekalipun. Karena timbul pro dan kontra mengenai tindakan aborsi terhadap korban perkosaan maka diberi pelindungan hukum untuk korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan untuk dapat melakukan tindakan aborsi.6 Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan(UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan) pada pasal 75 ayat (2) huruf b dimana disebutkan “kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.”7
Kontribusi aparat penegak hukum dalam menangani kasus pengguguran kandungan terhadap korban perkosaan sangat berpengaruh dalam penyelesaiannya dilihat dari cakupan permasalahannya. Terdapat perselisihan antara dua konflik yang harus diperhitungkan dalam kasus ini, yakni hak untuk hidup yang dimiliki si janin karena dinilai tidak bersalah atau hak perempuan sebagai korban untuk melangsungkan hidupnya tanpa trauma maupun tekanan sosial. Maka, untuk mengetahui apakah seorang perempuan yang hamil akibat perkosaan dan melakukan tindakan abortus provocatus dapat dibenarkan atau tidak, dilihat dari faktor mana yang lebih diutamakan. Dalam pemberian sanksi berupa pidana pun bukan hanya berdasarkan apa yang sudah ditetapkan dalam undang-undang saja, namun juga mengamati dari motif perbuatan yang dilakukan.8
Namun apabila aborsi dilakukan terhadap seseorang yang hamil karena seks bebas bukan termasuk dalam aborsi yang legal. Contohnya, negara di Eropa Barat menjatuhkan hukuman terhadap tindakan aborsi kecuali atas rujukan atau indikasi medis. Sama halnya dengan Amerika yang melarang tindakan aborsi apabila dilakukan selain oleh dokter sesuai dengan prosedur. Berbeda dengan Jepang, di negara ini mengizinkan aborsi tanpa pembatasan tertentu. Sedangkan di Jerman Barat, aborsi dapat dibenarkan apabila mendapatkan izin dari si wanita dan atas anjuran dokter serta dalam usia kandungan maksimal 3 bulan.9 Untuk di Indonesia sendiri, tindakan aborsi dapat dilakukan apabila terjadi bukan karena kehendak si ibu dengan syarat tertentu. Hal ini dapat dikarenakan, si ibu merupakan korban dari kasus pemerkosaan atau janin yang dikandung oleh ibu tersebut mengalami keguguran sehingga membahayakan kedua belah pihak, antara ibu maupun janin tersebut. Aborsi hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki keahlian khusus dan sudah memiliki sertifikat. Dalam menjalankan tugasnya, seorang dokter harus menjaga kualitas dan etika tenaga medis yang diarahkan dengan suatu pedoman berupa etika profesi dokter yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia(KODEKI). KODEKI adalah suatu peraturan yang menjadi standar ataupun tolak ukur dalam menjalankan profesi sebagai dokter agar tidak menyimpang dari kewajiban yang seharusnya.10 Terdapat enam taraf yang harus dimiliki seorang dokter dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan KODEKI yaitu altruism, responsibilitas, idealism profesi, akuntabilitas terhadap pasien, intregitas ilmiah dan intregitas social.11
Tapi dalam kenyataannya masih banyak dokter nakal yang demi mendapatkan materi melanggar kode etik yang berlaku dan melakukan tindakan aborsi kriminal. Hal ini dapat digolongkan sebagai hidden crime karena
dilakukan oleh seorang yang tidak memiliki wewenang untuk itu.12 Meski sudah ditetapkannya regulasi yang mengatur tentang penjatuhan pidana mengenai tindakan aborsi, tetap saja ada tenaga medis yang melakukan atau membantu pelaksanaan praktik perbuatan illegal tersebut. Mirisnya, di Indonesia terungkap fakta bahwa tingginya angka aborsi illegal hingga mencapai dua juta kasus setiap tahunnya. Terlebih, 30 persen dari kasus tersebut dilakukan oleh anak dibawah umur dan hubungan pra nikah walaupun angka tersebut bukan jumlah pasti karena kasus aborsi seringkali ditutupi oleh pelaku hingga oleh Negara karena aborsi dianggap sebagai aib sosial.13
Seperti halnya yang terjadi dalam perkara pada putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018/Pn.Plg dimana terjadi suatu tindak aborsi oleh seorang dokter tanpa mengindahkan KODEKI yang seharusnya. Kronologi dari kasus ini yakni Nurmiyati sebagai pasien terdakwa mendatangi dr. Wim Ghazali pada Selasa, 5 Desember 2017 pukul 18.00 WIB bertempat di ruang praktik di Yayasan dr. Muhammad Ali Lantai 2 Palembang. Nurmiyati datang dalam keadaan hamil dan ingin menggugurkan kandungannya dan mereka sepakat untuk melakukan aborsi dengan tarif sebesar Rp. 2.300.000,-. Terdakwa melakukan aborsi dengan memberikan obat dalam dosis besar dan menyuntikkan cairan dalam jumlah besar ke pada pasien terdakwa. Obat yang sudah dikonsumsi pasien terdakwa dalam proses menggugurkan kandungan yakni Cytosol Mosoprostol sebanyak sembilan butir, Formuno sebanyak tiga butir, Dasabion sebanyak tiga butir beserta vitamin Neurotonic sebanyak dua suntikan. Keesokan harinya, pada Rabu, 6 Desember 2017 Nurmiyati kembali datang ke tempat praktik terdakwa dan menyampaikan bahwa darah yang keluar masih sedikit dan bukan gumpalan darah. Kemudian, terdakwa memeriksa kandungan Nurmiyati dan memastikan bahwa janin yang ada dalam kandungan Nurmiyati masih ada. Lalu ketika terdakwa ingin menyuntikkan kembali vitamin Neurotonic, anggota kepolisian datang dan menggagalkan aksi terdakwa serta membawa terdakwa dan pasien Nurmiyati.
Dalam peristiwa tersebut penulis tertarik untuk menganalisis mengenai pertimbangan hakim mengenai perbuatan yang dilakukan oleh dokter dalam perkara pada putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018.PN.Plg dan mengaitkan dengan teori hukum yang relevan. Untuk itu dalam penulisan artikel ini, hal yang lebih dulu dianalisis yakni mengenai hukum positif yang berlaku dan mengatur tentang aborsi yang terjadi di Indonesia serta pemidanaannya.
Sebagai bahan perbandingan keaslian dalam penelitian ini, terdapat dua penelitian yang identik dengan penelitian ini namun terdapat perbedaan dalam aspek pembahasan. Adapun penelitian yang dimaksud, yang pertama penelitian yang dilakukan oleh Naomi Amadea Tumbaleka dan Edward Hadjon yang mengangkat judul “Legalitas Aborsi Dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. Titik fokus bahasan yakni pada acuan Undang-Undang yang digunakan yaitu dititikberatkan pada hak asasi manusia
internasional yang berlaku di negara lain. Kemudian, yang kedua, penelitian yang dilakukan oleh Putu Mas Ayu Cendana Wangi dan Sagung Putri Purwani yang mengangkat judul “Pengecualian Larangan Aborsi Bagi Korban Perkosaan Sebagai Jaminan Hak-Hak Reproduksi”. Penelitian ini berfokus pada bahasan perkosaan merupakan alasan pengecualian pidana dalam pertanggungjawaban tindakan aborsi. Sedangkan, dalam penelitian yang penulis lakukan berfokus mengenai bagaimana hukum positif yang mengatur tentang aborsi yang terjadi di Indonesia dan pemidanaannya serta bagaimana analisis sudut pandang hakim dalam pengambilan keputusan dikaitkan dengan ketentuan dan teori hukum yang relevan berdasarkan perkara dalam putusan tersebut. Maka dari perbedaan tersebut, penulis mengangkat judul “Penjatuhan Pidana Terhadap Praktik Aborsi Yang Disengaja Oleh Dokter Menurut Hukum Kesehatan”
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana pengaturan serta pemidanaan mengenai tindakan aborsi menurut hukum positif di Indonesia?
-
2. Bagaimana analisis pertimbangan hakim terhadap dokter yang melakukan tindak pidana aborsi sesuai dengan perkara pada putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018.PN.Plg?
-
1.3. Tujuan Penelitian
Maksud dari ditulisnya artikel ini yaitu untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana regulasi-regulasi yang berlaku di Indonesia mengenai aborsi dan penjatuhan pidana yang berikan terhadap dokter yang melakukan aborsi secara melawan hukum serta pertimbangan hakim dalam putusan mengenai perkara yang serupa.
-
II. Metode Penelitian
2.Metode Penelitian
Metode yang digunakan digunakan untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan topik yang diangkat yaitu metode hukum normatif. Penelitian ini berfokus pada data-data primer seperti peraturan perundangan, teori hukum serta karya ilmiah dari para sarjana. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam jurnal ini yakni pendeketan Perundang-Undangan atau dapat disebut dengan Statute Approach. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara meninjau dan meneliti peraturan perundangan yang bertautan dengan problematika hukum. Dimana terjadi norma konflik dalam pengaturan kasus aborsi karena adanya perselisihan antara aturan khusus yakni UU No 36 Tahun 2009 dan UU RI No 35 Tahun 2014 dengan aturan umum yaitu KUHP. Sumber hukum yang menjadi sumber data primer berdasarkan ketentuan perundang-undangan yaitu KUHP dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta sumber hukum sekunder yakni buku, jurnal nasional, website resmi, serta hasil penelitian lainnya.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Mengenai Tindakan Aborsi Menurut Hukum Positif di Indonesia
Membahas mengenai aborsi, hal ini sudah menjadi rahasia umum dan bukan hal yang asing lagi untuk diperdebatkan. Kasusnya pun kerap dilakukan secara illegal dan terjadi dimana-mana. Menurut Rahmi Yuningsih, selaku Peneliti Muda Kepakaran Kesehatan Masyarakat, beliau mendefinisikan aborsi sebagai perbuatan atau proses medis untuk mengakhiri kehamilan atau biasa disebut terminasi kehamilan. Yang kemudian dalam hal ini dilakukan dengan metode bedah maupun obat obatan karena merupakan kehamilan yang tidak direncanakan.14 Kebanyakan perempuan yang melalukan terminasi terhadap kehamilannya dengan jalan aborsi akan memilih untuk menggunakan tenaga yang tidak cakap serta tidak memiliki izin dalam mengambil tindakan tersebut. Hal ini disebabkan oleh faktor biaya yang dikenakan apabila melakukan tindakan aborsi oleh seorang dokter yang professional akan sangat mahal dibanding dengan dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki sertifikat dalam bidang ini. Aturan yang mengatur mengenai kasus aborsi ini ditetapkan dalam beberapa ketentuan, yaitu KUHP dan UU Kesehatan.
Dalam KUHP, pasal mengenai aborsi ditegaskan dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 yang secara detail menyebutkan bahwa:
Pasal 346: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 347:
-
(1) “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
-
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Pasal 348:
-
(1) “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
-
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Pasal 349: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
Didalam KUHP telah dijelaskan secara tegas tentang pelarangan tindakan aborsi tanpa adanya pengecualian serta akan dikenakan sanksi berupa pemidanaan terhadap pelaku dan juga pihak pihak yang membantu. Terdapat pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan untuk eksekutornya. Dalam ketentuan pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349 pun dijelaskan tidak
ada perlindungan hukum sama sekali terhadap pelaku aborsi dan pihak-pihak yang terlibat. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 346, akan dijatuhkan hukuman maksimal empat tahun penjara apabila seorang perempuan dengan sengaja menyuruh pihak lain menggugurkan kandungannya. Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 347 dan Pasal 348, penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang sebagai pelaku tindak aborsi tidak atau dengan persetujuan si wanita dipidana lima tahun enam bulan atau sampai dengan lima belas tahun. Dilanjutkan pada ketentuan Pasal 348 apabila seorang dokter membantu melakukan suatu tindakan aborsi maka pidana yang dijatuhkan pidana sesuai dengan Pasal 346, 347 dan 348 dengan ditambah dengan sepertiganya serta pencabutan hak dalam melakukan praktik atau pencaharian. Masing-masing dari pasal ini menyatakan perbuatan aborsi ialah perbuatan terlarang bagi siapapun tanpa terkecuali dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi berupa hukuman penjara. Serta point pasal-pasal tersebut juga menyatakan bahwa hukuman yang diberikan bukan semata-mata dijatuhkan kepada si perempuan, melainkan juga pihak pihak yang terlibat membantu kelangsungan tindakan.15
Dengan hal ini, lama pemidanaan dokter yang terlibat dalam tindak aborsi ini disesuaikan dengan kondisi si wanita. Apabila dokter membantu melakukan tindak aborsi tanpa persetujuan si wanita maka dikenakan pidana dua belas tahun penjara ditambah dengan sepertiga hukuman menurut Pasal 347 KUHP dan pencabutan hak dalam menjalankan pencaharian. Kemudian apabila dokter membantu melakukan tindak aborsi tanpa persetujuan si wanita yang kemudian menyebabkan wanita tersebut meninggal maka dikenakan pidana lima belas tahun penjara ditambah dengan sepertiga hukuman menurut Pasal 347 KUHP dan pencabutan hak dalam menjalankan pencaharian. Selanjutnya, jika dokter membantu melakukan tindak aborsi dengan persetujuan si wanita maka dikenakan pidana lima tahun enam bulan penjara ditambah dengan sepertiga hukuman menurut Pasal 348 KUHP dan pencabutan hak dalam menjalankan pencaharian, namun apabila dari tindakan tersebut menyebabkan wanita tersebut meninggal maka diberikan sanksi tujuh tahun kurungan ditambah dengan sepertiga hukuman menurut Pasal 348 KUHP dan pencabutan hak dalam menjalankan pencaharian.
Sedikit berbeda dengan KUHP yang melarang tindakan aborsi, terdapat sedikit kelonggaran dalam melakukan tindakan aborsi menurut UU Kesehatan.16 Aborsi dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 75 sampai dengan 77 dengan ketentuan yakni:
Pasal 75:
-
(1) “Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
-
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
-
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
-
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 76: “Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
-
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
-
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
-
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
-
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
-
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.”
Pasal 77: “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sama halnya dengan KUHP, UU No 36 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa tindak aborsi merupakan tindakan terlarang sesuai dengan dalam pasal 75 ayat (1). Tetapi, didalam Undang-Undang yang sama dikatakan bahwa terhadap pengecualian apabila melakukan suatu tindakan aborsi, yatu pada pasal 75 ayat (2). Dikatakan pengecualian apabila adanya indikasi medis serta hamil karena kasus pemerkosaan. Maka, dilihat dari kelonggaran yang disebutkan dalam Pasal 76 huruf b, bahwa aborsi boleh dilangsungkan tetapi hanya tenaga kesehatan yang berwenang serta sudah bersertifikat dan sesuai dengan KODEKI atau Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Selaras dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur tentang tindak pidana aborsi. Dalam undang-undang ini, tindak pidana aborsi diatur dalam dua pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 77A ayat (1). Pasal 45A menyebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”. Kemudian Pasal 77A ayat (1) menyebutkan “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Sama halnya dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tindak pidana aborsi dalam undang-undang ini dilarang kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Namun, jika aborsi dilakukan dengan alasan sebaliknya, maka akan dijatuhi pidana kurungan paling lama sepuluh tahun dengan denda paling banyak satu miliar rupiah.
Adanya perbedaan terhadap KUHP dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan juga Undang-Undang RI No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebabkan terjadinya konflik norma dalam penyelesaian kasus aborsi. Maka dari itu, diberlakukan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang mana terjadi perselisihan antara aturan khusus dan aturan umum kemudian akan digunakan aturan yang lebih mengkhusus atau spesifik. Diantara kedua pengaturan tersebut, UU Kesehatan dan UU RI lebih mengatur secara spesifik tentang larangan aborsi sehingga aturan mengenai aborsi dalam KUHP akan dikalahkan dengan UU No 36 Tahun 2009 mengenai Kesehatan dan juga UU RI No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.17
-
3.2. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Dokter Yang Melakukan Tindak Pidana Aborsi Sesuai Perkara Pada Putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018.PN.Plg
Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kesehatan sepantasnya sudah cakap dan ahli dibidang kesehatan dengan dibuktikan dengan memiliki sertifikat dari lembaga pendidikan. Profesi dokter haruslah betul-betul mampu untuk mengusahakan kepentingan masyarakat akan terciptanya pelayanan kesehatan yang aman dan terjamin.18 Walaupun sudah dijabarkan mengenai pihak yang berwenang melakukan tindakan aborsi dalam undang-undang, tetapi tetap saja masih ada praktik aborsi illegal yang beroperasi oleh para tenaga kesehatan. Sangat disayangkan karena kewajiban tenaga kesehatan adalah untuk bekerja menurut standar operasional yang sesuai dengan etika profesi dan kemudian memiliki hak untuk tidak melaksanakan suatu tidakan medis karena tidak bertepatan dengan prosedur yang sudah ditentukan dan harus dipertanggungjawabkan.19 Seperti yang terjadi pada perkara Putusan Nomor 1106/Pid.Sus.PN.Plg, terdakwa yakni dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni Warak yang berusia 75 tahun berkebangsaan Indonesia melakukan tindak pidana aborsi dengan melanggar KODEKI di ruang praktiknya yang bertempat di Yayasan Dr. Muhammad Ali Lantai 2 Jalan Sudirman No. 102 Palembang terhadap Nurmiyati yang berusia 23 tahun yang merupakan seorang Mahasiswi.
Hal ini bermula terdakwa yaitu dr. Wim Ghazali mencoba melakukan kejahatan dengan melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU RI No. 35 Tahun 2015 Pasal 45A. Pada hari Selasa, 5 Desember 2017 pasien terdakwa yakni Nurmiyati Alias Mia Binti Jhon Hendri datang ke ruang praktik dr. Wim Ghazali dan mengatakan ingin menggugurkan kandungannya. Terdakwa menyanggupi permintaan Nurmiyati dengan tarif sebesar Rp.2.300.000,-. Setelah sepakat, Terdakwa mengecek kondisi kandungan serta kesehatan dari Nurmiyati.
Berdasarkan pernyataan Nurmiyati, kandungan pasien saat itu berusia satu bulan dan menurut Terdakwa kandungan Nurmiyati dapat digugurkan dengan diberikan suntikan. Nurmiyati merasa tidak keberatan kemudian Terdakwa menyuntikkan vitamin Neurotonic sebanyak dua kali dibagian pantat sebelah kiri dan kanan. Selain suntikan, Terdakwa juga memberikan obat kepada pasien yaitu Cytosol Misoprostol sebanyak 9 butir Formuno sebanyak tiga butir, Dasabion sebanyak tiga butir. Terdakwa mengatakan bahwa dengan suntikan dan obat obatan dapat mengeluarkan gumpalan darah atau janin melalui alat kelamin Nurmiyati. Keesokan harinya, Nurmiyati kembali datang ke ruang praktik Terdakwa dikarenakan belum adanya gumpalan darah yang keluar setelah meminum obat yang diberikan. Lalu, Terdakwa memeriksa kandungan Nurmiyati dan memang benar bahwa janin tersebut masih ada. Kemudian Terdakwa berniat menyuntikkan kembali vitamin Neurotonic namun digagalkan oleh anggota kepolisian yang datang dan langsung mengamankan Terdakwa dan Nurmiyati serta barang bukti ke Polda Sumatera Selatan untuk Pemeriksaan lebih lanjut.
Barang bukti yang diamankan berupa :
-
- 30 kotak obat merk Cytosol Misoprostol dengan isi 30 tablet tiap kotak;
-
- 10 kapsul Cytosol Misoprostol;
-
- 1 kotak merk Invitec yang berisi 13 jarum suntik;
-
- 1 set alat kedokteran sprila kid dari bahan stenlis;
-
- 41 botol Oksitoksin ampoule;
-
- 3 kotak obat merk Sporentik;
-
- 1 bungkus kapsul kosong;
-
- 2 botol cairan Neurotropic yang telah dipakai;
-
- 1 botol merk Benedon yang telah dipakai;
-
- 1 botol merk Recodryl yang telah dipakai;
-
- 1 jarum suntik yang sudah dipakai
-
- 2 lembar rekam medis / kartu berobat atas nama Nurmayati dan Angga
-
- 1 lembar asli Surat Ijin Praktik Walikota Palembang Nomor: 456/IPD/845/DPMPTSP-PKK/2017.
Berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Apoteken Indonesia, yakni M. Asrul, menyatakan bahwa obat Cytosol Misoprostol merupakan obat tukak lambung yang termasuk kategori obat keras yang digunakan untuk sakit maag dan tidak boleh dikonsumsi Ibu hamil karna dapat menyebabkan terjadinya keguguran meskipun hanya dengan satu tablet. Keterangan tersebut sejalan dengan pendapat dr. H. M. Zailani, Sp.OG yang menyatakan efek samping dari obat ini yakni perasaan demam, menggigil, nyeri perut hebat, pendarahan, sesak nafas berat, dan keguguran apabila dikonsumsi oleh ibu hamil muda. Penuntut umum telah mengajukan saksi dalam perkara ini sebanyak 4 orang yakni Daniel Nataldo Lubis, Beben Bentar Hery Sutrisno, S.IP, Ahli dr. H. M Zailani Sp. Og, dan saksi mahkota yakni Nurmiyati Alias Mia Binti Jhon Hendri. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif yakni Pasal 194 UU RI No 36 Tahun 2000 tentang Kesehatan Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP, Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP serta Pasal 349 KUHP Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP. Yang dalam hal ini, Majelis Hakim lebih condong untuk memilih dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP yang unsur-unsurnya
setiap orang, percobaan melakukan kejahatan berupa dengan sengaja, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Pertimbangan mengenai unsur dengan sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari untuk melakukan kejahatan dimana terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens yang dalam hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
-
1. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang
-
2. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tidak bias menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.
Dengan terpenuhinya ketiga unsur dari Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP maka terbuktilah terdakwa dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni Warak dalam dakwaan tersebut, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana percobaan melakukan aborsi dan dijatuhkan pidana penjara selama empat tahun. Majelis Hakim tidak menemukan hal yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, baik alasan pembenaran atau alasan pemaaf serta hal yang memberatkan yakni karena perbuatan terdakwa tidak sesuai dengan sumpah dan kode etik terdakwa sebagai seorang dokter. Perbuatan Terdakwa juga beresiko mengakibatkan keguguran dan beresiko tinggi mengakibatkan kematian. Selain dijatuhkan hukuman kurungan, Terdakwa juga dijatuhkan pidana tambahan berupa mencabur izin praktik Terdakwa sebagai dokter sebagaimana izin praktik Nomor 456/IPD/845/DPMPTSP-PKK/2017, tanggal 20 Juni 2017 tentang izin praktik dokter dan dokter gigi atas nama dr. Wim Ghazali yang ditandatangani dan dikeluarkan oleh atas nama Walikota Palembang Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu(Pidana Tambahan Pasal 10 huruf b KUHP).
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Aborsi merupakan suatu tindakan pengguguran kandungan dengan kesadaran yang disebabkan karena kehamilan yang tidak diinginkan. Abortus dibagi menjadi dua yaitu aborsi yang disebabkan karena membahayakan nyawa antara ibu dan anak dengan adanya indikasi medis atau juga aborsi karena merupakan suatu tindakan criminal atau melawan hukum. Mengenai aborsi sendiri sudah diatur dalam regulasi yang sedang berjalan saat ini yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pada KUHP Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349 KUHP dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77 serta pada UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP Pasal 45A DAN 77A.. Dalam hal melakukan praktik aborsi yang ilegal atau aborsi yang disengaja dan dibantu oleh seorang dokter, maka pelaku dari praktik aborsi tersebut dapat dipidana sesuai dengan KUHP pada pasal 346, 347
serta 348 ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak dalam melakukan praktik dan juga pencaharian. Kasus serupa juga terjadi dalam perkara pada Putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018.PN.Plg yang mana terdakwa dr. Wim Ghazali melakukan tindak pidana aborsi tanpa mengindahkan kode etiknya dalam berprofesi sebagai dokter terhadap Nurmiyati di ruang praktiknya di Palembang. Terdakwa melanggar Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dan dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun dan pencabutan atas izin praktik sebagaimana izin praktik Nomor 456/IDP/845/DPMPTSP-PKK/2017.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hendrik. “Etika dan Hukum Kesehatan”. (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2012)
Indraswati, Dewi. Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Jurnal Ilmiah
Achmad, Angelina V. "Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Aborsi yang dilakukan oleh Dokter Menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan." Lex Crimen 4, No. 6 (2015): 5-15.
Afifah, Wiwik. "Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 9, No. 18 (2013): 93-109.
Darmawan, Ricky. "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP MALPRAKTIK DOKTER YANG MELAKUKAN ABORSI (STUDI PUTUSAN NO. 288/PID. SUS/2018/PN. NJK)." El-Iqthisadi: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum 2, No. 2 (2020): 15-32.
Fadila, Nur Fitri, Dedi Afandi, and Mohammad Tegar Indrayana. "Penerapan Nilai Kode Etik Kedokteran Indonesia pada Era Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Siak." PhD diss., Riau University 4, No 1 (2017): 1-13.
Noviariyani, Risa. "Tenaga Kesehatan yang Berwenang Melakukan Tindakan Aborsi Legal." Jurist-Diction 3, No. 5 (2020): 1905-1920.
Nugroho, Fandi Muhammad, Hari Wujoso, and Wahyu Dwi Atmoko. "Hubungan Pengetahuan Kode Etik Kedokteran Tentang Aborsi terhadap Sikap Mahasiswa Kedokteran Terhadap Aborsi." Smart Society Empowerment Journal 1, No. 1 (2021): 1-6.
Paramitha, Anak Agung Istri Pradnyani dan Swardhana, Gde Made. "LEGALISASI TINDAKAN ABORTUS AKIBAT PERKOSAAN INCEST DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ADAT." Kerha Desa: Journal Ilmu Hukum 8 No 9 (2020): 40-50.
Sembiring, Erwin, and Asan Petrus. "Pergaulan Bebas Yang Berakhir Dengan Tindakan Aborsi." Majalah Kedokteran Nusantara: The Journal of Medical School 52, No. 2 (2019): 84-88.
SULIHKHODIN, MOH ALFIN. "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK ABORSI DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri dan Kepolisian Resort Tulungagung)." PhD diss., IAIN Tulungagung, 2021.
Sylvana, Yana, Yohanes Firmansyah, and Hanna Wijaya. "Tindakan Aborsi dalam Aspek Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Medika Hutama 2, no. 02 Januari (2021): 509-517.
Tripiana, Putu Ayu Sega, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Tindak Pidana Aborsi Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana." Kertha Wicara: Jurnal Ilmu Hukum 7, No 4 (2018): 1-13.
Tumbelaka, Naomi Amadea, and Edward Thomas Lamury Hadjon. "LEGALITAS ABORSI DALAM HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7 No 12 (2019): 1-16.
Wangi, Putu Mas Ayu Cendana, and Sagung Putri ME Purwani. "PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 1, No 03 (2013): 1-5.
Wijayati, Mufliha. "Aborsi akibat kehamilan yang tak diinginkan (ktd): Kontestasi
Antara Pro-Live dan Pro-Choice." Analisis: Jurnal Studi Keislaman 15, No. 1
(2015): 43-62 Wiraditya, Gede Gilang Adi dan Suartha, I “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM |
Dewa Made. MALAPRAKTIK |
KEDOKTERAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN INDONESIA” Kertha Desa: Journal Ilmu Hukum 9 No.1 (2021): 55-68.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.03 Tahun 2022, hlm. 600-614
Discussion and feedback