AKIBAT HUKUM PAJAK GANDA DITINJAU DARI PRINSIP PAJAK INTERNASIONAL
on
AKIBAT HUKUM PAJAK GANDA DITINJAU DARI PRINSIP PAJAK INTERNASIONAL
Byosvansca Abigail Rachellien Tucunan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
I Gde Putra Ariana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI: KW.2022.v11.i03.p19
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji pengaturan mengenai akibat hukum pajak ganda ditinjau dari Prinsip Hukum Internasional serta bagaimana solusi penghindaran pajak berganda internasional. Adapun jenis penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, serta pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang dipergunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan yang dikumpulkan dianalisa menggunakan metode analisis deskriptif yang dilakukan dengan studi dokumen lalu melakukan pengumpulan bahan yang relevan untuk kemudian dianalisis kontennya secara menyeluruh. Hasil penelitian adalah akibat hukum dari pajak ganda berdasarkan prinsip permanent establishment, BUT sebagai WP akan membayarkan pajak kepada negara asalnya sebagai negara domisili. Tata cara penghindaran pajak internasional dilakukan dengan du acara yaitu cara unilateral, cara bilateral, serta cara multilateral serta menggunakan metode pengurangan pajak dan metode pembebasan atau metode pengecualian.
Kata Kunci: Akibat Hukum, Pajak Berganda Internasional, Prinsip Hukum Internasional
ABSTRACT
This study aims to analyze and examine the regulation regarding the legal consequences of double taxation in terms of International Law Principles and how to solve international double taxation avoidance. The type of research used is normative legal research. By using a statutory approach, as well as a conceptual approach. Sources of legal materials used are primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The collected materials were analyzed using a descriptive analysis method which was carried out by document study and then collecting relevant materials and then analyzing the content thoroughly. The results of the study are the legal consequences of double taxation based on the principle of permanent establishment, BUT as a taxpayer will pay taxes to the country of origin as the domicile country. The procedure for international tax avoidance is carried out by means of the event, namely the unilateral method, the bilateral method, and the multilateral method as well as using the tax reduction method and the exemption or exclusion method.
Key Words: Legal Consequences, International Double Taxation, International Law Principles
-
1. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Posisi Indonesia yang menjadi bagian masyarakat Internasional mewajibkan Indonesia dalam membangun hubungan dengan Negara lainnya. Hal ini agar memberi ruang dalam pengadaan transaksi lintas batas, dengan memberikan keuntungan serta memperbolehkan asing melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Nantinya hasil dari
kegiatan tersebut yang dilakukan dalam negeri, merupaka pajak bagi Indonesia.1 Melihat adanya prinsip keadilan dalam hukum internasional. Dengan penjelasan, barangsiapa ikut dalam membangun suatu negara serta menikmati hasil perekonomian memiliki kewajiban dalam memikul beban dalam hal ini pajak. Terkait pajak, berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (UU PH), pada intinya menyatakan pajak adalah kontribusi yang wajib diberikan kepada negara yang terutang oleh badan, pribadi serta bentuk usaha tetap (BUT) yang memiliki sifat memaksa atau sebagai Wajib Pajak (WP). Kontribusi yang di dapatkan, digunakan untuk pelaksanaan pembangunan karena pajak adalah sumber pendapatan negara dalam membiayai seluruh pengeluaran serta memiliki fungsi sebagai fungsi stabilitas, anggaran dan redistribusi pendapatan.2
Kemudian istilah pajak secara harafiah dari perspektif hukum internasional gabungan kesepahaman Negara di Eropa Barat serta Anglo Saxon dibagi menjadi 3 (tiga) yakni:
-
1. Hukum Pajak Internasional atau International Tax Law
Ketentuan pajak yang berlandaskan hukum antar Negara serta negara di dunia menerimanya menjadi aturan umum serta menjadi pedoman negara yang ingin melakukan perjanjian;
-
2. Hukum Pajak Luar Negeri atau Foreign Tax Law
Kumpulan peraturan perundang-undangan serta peraturan pajak dari negara-negara yang menjadi masyarakat Internasional;
-
3. Hukum Pajak Nasional yang terdapat pengaturan Hukum Pajak Luar Negeri atau National External Tax Law didalamnya.
Produk hukum pajak nasional yang memiliki akibat hukum hingga luar batas Negara karena adanya entitas asing, seperti sumber pajak yang ada di luar negeri.3
Berdasarkan Theory Benefit of Taxation, pemajakan secara Internasional yang dilakukan oleh 2 (dua) negara seperti Indonesia sebagai Negara sumber dengan Negara lain sebagai Negara penghasil di dasari hubungan economic attachment serta menerapkan 2 (dua) prinsip di dasari connecting factor di antara lain:
-
1. Azas Sumber atau Source Principle
Disini negara memiliki hak mengenakan pajak kepada subjek hukum (badan atau individu) di dasari economic attachment yakni penghasilan di negara tersebut;
-
2. Azas Residensi atau Residence Principle
Disini negara memiliki hak mengkenakan pajak kepada subjek hukum (badan atau individu) di dasari economic attachment yakni domisili, kewarganegaraan, residensi, tempat kedudukan, tempat pendirian.4
Perihal yurisdiksi perpajakan di Indonesia, Indonesia menerapkan 2 (dua) azas yakni azas domisili serta azas sumber. Secara implisit, azas domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU PH, yang pada intinya menyatakan pribadi yang tinggal di dalam Indonesia serta badan usaha yang memiliki kedudukan di Indonesia, mengikuti syarat-syarat dalam UU PH, salah satunya mereka termasuk subjek pajak dalam negeri. Kemudian untuk azas sumber termaktub pada Pasal 2 ayat (4) UU PH yang pada intinya sepanjang mempunyai hubungan ekonomi bersama Indonesia, melakukan kegiatannya melewati BUT ataupun mendapatkan penghasilan dari Indonesia, di sebut sebagai subjek pajak luar negeri. Jaja Sakari berpendapat implementasi azas sumber memiliki penjelasan konsekuensi yang logis.5 Pada saat BUT mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia, disini sumber penghasilan BUT berasal dari Indonesia itu sendiri serta BUT hak dan kewajibannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.6
Terdapat potensi masalah yang akan timbul dalam pemungutan pajak yakni adanya pemungutan pajak berganda Internasional. Didasari BUT yang berkewarganegaraan asing, kemudian negaranya menganut prinsip universalitas. Pada prinsip tersebut, memiliki unsur negara asal memiliki kewenangan untuk mendapatkan pajak penghasilan dimanapun warga negaranya berada. Prinsip ini biasa disebut azas kebangsaan.7 Menimbang Indonesia didasari oleh azas sumber, yang mewajibkan membayar pajaknya ke Indonesia. Sehingga adanya dua negara yang membebankan terhadap BUT sebagai WP yang sama atau disebut sebagai pajak berganda internasional atau international double taxation.8
Penelitian jurnal ini merupakan suatu tulisan yang baru. Penulis disini membandingkan 2 (dua) penulisan jurnal sebagai tolak ukur orisinil. Untuk yang pertama jurnal yang ditulis oleh Putrida Sihombing dari Universitas Hasanuddin di tahun 2020 dengan judul “Tax Treaty Dengan Azas Source Jurisdiction Sebagai Bentuk Legalisasi Dwikewarganegaraan di Indonesia: Studi Kasus Tax Treaty Indonesia Dengan Amerika Serikat.” Untuk jurnal kedua, merupakan karya dari Anthony Tiono dari Universitas Petra di tahun 2013 dengan judul “Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.” Perbedaan terhadap penelitian penulis, penulis mengangkat akibat hukum pajak ganda terhadap BUT sebagai WP.
Terkait hal tersebut, pada saat pemungutan pajak terhadap satu WP akan di pastikan membebankannya, di dasari pada tidak dapat mengelola hasil dari kerjanya secara maksimal disebabkan di bebani oleh pengenaan pajak dari dua negara. Berdasarkan penjabaran di atas, perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengatasi pengenaan pajak berganda.
-
1 .2 Rumusan Masalah
Di dalam penelitian ini, dapat dirumuskan beberapa masalah, yakni:
-
1. Bagaimana akibat hukum pajak ganda ditinjau dari Prinsip Pajak Internasional?
-
2. Bagaimana solusi penghindaran pajak berganda Internasional?
-
1 .3 Tujuan Penulisan
Tujuan Penelitian ini yakni untuk memahami akibat hukum pembebanan pajak ganda terhadap WP ditinjau dari Prinsip Pajak Internasional. Kemudian juga untuk mengetahui solusi yang dapat diberikan terhadap WP yang dikenakan pajak berganda Internasional.
-
II . Metode Penelitian
-
2. Metode Penelitian
Yuridis Normatif adalah metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan serta bahan sekunder.9 Dalam penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif. Jenis-jenis pendekatan yang digunakan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konseptuan (conceptual approach). Penelitian ini mengacu terhadap telaah konseptual serta peraturan terkait kasus yang dibahas. Kemudian Bahan Hukum yang diteliti yakni:
-
1. Bahan Hukum Primer
Peraturan perundang-undangan terkait yakni UU PH;
-
2. Bahan Hukum Sekunder
Meneliti dari literasi seperti buku atau jurnal;
-
3. Bahan Hukum Tersier
Meneliti dari KBBI, Internet atau kamus hukum.
Bahan yang telah dikumpulkan, di Analisa menggunakan Teknik metode analisis deskriptif, disajikan secara deskriptif kemudian di Analisa agar mendapatkan gambaran dengan cermat.10
-
III . Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Akibat Hukum Pajak Ganda Ditinjau dari Prinsip Pajak Internasional
Suatu usaha yang sifatnya internasional serta melewati batas dari yurisdiksi perpajakan batas wilayah suatu negara akan menimbulkan terjadinya pajak ganda. Disini pengenaan pajak ganda pasti akan berdampak dengan bertambahnya pajak yang harus dibayarkan dari WP. Pada praktiknya, konflik pengenaan pajak dikarenakan perbedaan azas-azas pengenaan pajak yang dianut oleh tiap-tiap negara yang terkait. Salah satunya adalah BUT yang mempunyai hubungan ekonomi dengan Indonesia, disini penghasilan BUT bersumber di Indonesia itu sendiri serta hak dan kewajibannya disetarakan beserta subjek pajak lainnya.11 Pengertian BUT termaktub dalam Article 5 United Nations Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries 2017 (UN Model) yakni, “Permanent establishment for the purposes of this convention, the term ‘permanent establishment’ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or party carried on.”
Pengaturan BUT di Indonesia sebagai salah satu subjek pajak, termaktub dalam Pasal 2 ayat (1a) UU PH yakni, “Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakukan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.” Kemudian dalam Pasal 2 ayat (5) UU PH menyatakan “Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. Tempat kedudukan manajemen; b. Cabang perusahaan; c. Kantor Perwakilan; d. Gedung Kantor; e. Pabrik bengkel; f. Gudang; g. Ruang untuk promosi dan penjualan; h. Pertambangan dan penggalian sumber alam; i. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; j. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; k. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; l. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; m. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; n. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan o. Komputer, agen, elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.”
Perihal ruang lingkupnya, BUT dikenakan pajak yang berbasik pada territorial.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
-
1. Ruang lingkup sumber penghasilan dari BUT hanya berdasarkan dari tempat BUT tersebut melakukan kegiatan atau menjalankan kegiatan usaha;
-
2. Eliminasi rumusan penghasilan luar Indonesia;
-
3. Adanya pembatasan dalam pemberian kredit pajak luar negeri tertuju pada WP Dalam Negeri.12
Berdasarkan penjabaran di atas, dasar BUT dikenakan pajak yang berbasis pada teritorialnya hanya terbatas dimana penghasilannya didapatkan dalam hal ini sumber penghasilannya ada di Indonesia.13 Ditinjau dari bentuknya, dapat dikualifikasikan dalam 4 (empat) tipe yakni:
-
1. BUT Aktivitas
BUT yang kegiatan usahanya menjalankan berupa penawaran jasa atau furnishing of services. Untuk jangka waktunya sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) huruf e UU PH. Contoh: proyek konstruksi, proyek perakitan, konsultan, atau instalasi.
-
2. BUT Asuransi
BUT yang kegiatan usahanya di bidang asuransi, dalam hal ini untuk tingkat risikonya dilakukan langsung di Indonesia.
-
3. BUT Keagenan
BUT yang kegiatan usahanya tidak langsung, melainkan dilakukan oleh perantara perusahaan lain yang berposisi sebagai agen yang tidak bebas atau dependent agent. Perusahaan agen melakukan seluruh usaha dengan bekerja baik seluruh atau keseluruhan untuk perusahaan yang berada di luar negeri.
-
4. BUT Fasilitas Fisik
BUT yang fasilitas fisik tempat kegiatannya usaha ada di Indonesia. Contoh: Gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain.14
Terhadap pengenaan pajak ganda secara internasional pada BUT, disebabkan prinsip yang dijadikan pedoman tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Perbedaan prinsip menyebabkan terjadinya konflik yurisdiksi satu negara bersama negara lain. Hal-hal yang mendasari tersebut didasari oleh 3 (tiga) konflik yurisdiksi, yakni:
-
a. Konflik karena melihat ketidaksamaan pengertian dari “sumber penghasilan” Pengenaan pajak ganda, di dasari oleh dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan yang didapatkan dari wilayahnya. Terhadap WP akan berdampak, penghasilan akan dikenai pajak yang sama di 2 (dua) negara yang berbeda.
-
b. Konflik karena melihat ketidaksamaan pengertian dari “penduduk”
Pribadi atau badan yang sedang berada di negara lain, dapat dianggap sebagai penduduk oleh 2 (dua) negara. Karena menganggap sebagai penduduknya, maka dia sebagai WP akan dikenakan pajak sebanyak 2 (dua) kali, didasari perbedaan definitive kedua negara tersebut berada.
-
c. Konflik karena ketidaksamaan penerapan azas yang dianut.
Terdapat dua azas dalam hukum internasional yakni azas sumber dengan azas domisiili. Negara yang menerapkan azas sumber, melihat pengenaan pajak terhadap penghasilan harus berdasarkan darimana penghasilan itu didapatkan. Kemudian, negara yang menerapkan azas domisili, melihat pengenaan pajak terhadap penghasilan harus berdasarkan darimana WP berasal. Dengan analogi perbedaan pemahaman dari territorial income principle dengan world wide income principle.15
Terhadap adanya dualism azas yang berlaku terhadap pengenaan pajak BUT, di dalam hukum pajak internasiional dikenal prinsip pendirian tetap atau betribestatteprinzip yang diatur dalam UN Model. Prinsip pendirian tetap adalah prinsip pemberlakuan pengenaan pajak yang memberi hak yang utama terhadap negara luar berada dimana WP melakukan kegiatan usaha, sehingga dalam pengenaan atas penghasilan tidak dikenakan dimana dia mendapatkannya. Pada dasarnya, prinsip ini berlaku untuk melakukan pembatasan atas pemajakan dari negara asal. Negara asing dapat mendapatkan kewenangan untuk mengenakan pajak usaha dengan diberlakukannya pendirian tetap itu sendiri. Di dukung keberadaan traktat pajak, dimana salah satu definisi pendirian tetap adalah unsur yang menjadi penentu dalam perspektif hukum pajak internasional.16 Pemberlakuan prinsip universalitas juga sejalan dari pengertian prinsip pendirian tetap di dalam hukum pajak internasional. Prinsip universalitas memberi kewenangan pada negara dalam pengenaan pajak terhadap keseluruhan penghasilan yang didapatkan WP tanpa melihat pengenaan daerah dia memperolehnya.17 Tidak ada ketentuan yang jelas jika hanya melihat dari
negara masing-masing untuk akibat hukumnya. Namun jika ditinjau dari prinsip hukum internasional yakni BUT sebagai WP akan membayarkan pajaknya kepada negara asalnya sebagai negara domisili.
-
3.2 Solusi Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Bahwasanya pada saat dikenakan pajak berganda oleh kedua negara, memiliki akibat bertambahnya beban ekonomi bagi WP serta mobilitas global sumber daya ekonomi terhambat. Adanya pengenaan pajak ganda dapat dihindari melalui berbagai saluran-saluran hukum yang telah ditentukan dengan tetap memperhatikan azas-azas hukum pembayaran pajak, karena setiap prinsip yang di anut tiap negara memiliki pemahaman yang berbeda.18 Cara penghindaran terjadinya pajak ganda yakni:
-
a. Cara Unilateral atau sepihak
Memasukan aturan dalam menghindari pajak ganda di dalam peraturan perundang-undangan suatu negara diikuti dengan prosedur yang jjelas. Aturannya berisikan pengaturan mengenai badan atau masyarakat internasional yang ditetapkan langsung secara sepihak oleh Negara itu sendiri. Cara unilateral sebagai bentuk kedaulatan serta menunjukkan kewibawaan suatu Negara dalam secara mandiri mengatur masalah pemungutan pajak di dalam undang-undang.19 Bahwasan hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang biasa dalam ruang lingkup Internasional, seperti aturan tidak mengenakan pajak bagi para wakil diplomatic, atau wakil organisasi Internasional. Syarat diberlakukannya cara unilateral, mewajibkan adanya timbal balik atau reciprocity. Negara yang melakukan cara tersebut akan memberi pembebasan, dengan catatan negara yang terkait akan memberikan pembebasan pembebanan pembayaran pajak terhadap WP negaranya atas syarat yang sama. Salah satu negara tidak memenuhi syarat reciprocity, maka pembebasan tidak akan diberikan. Keuntungan dilakukan cara unilateral terhadap penghindaran pajak berganda internasional yakni pembuatan aturan relatif mudah. Didukung tidak adanya ketergantungan yang melibatkan negara lain. Keuntungan dari cara tersebut, implementasinya mudah karena hanya mengikuti ketentuan undang-undang nasional. Kerugian cara tersebut, pada saat WP memiliki kependudukan rangkap (dual residence).20 Disini aspek pajak ganda internasional tak dapat diatur secara sepihak dikarenakan adanya WP memiliki kewajiban di negara lainnya.
-
b. Cara Bilateral atau antara dua negara
Disini dua negara melakukan suatu perjanjian khusus untuk mencegah terjadinya pajak ganda seperti agreement atau convention.21 Disini adanya kesepakatan pembuatan perundangan antar negara yang memiliki kepentingan. Cara ini merupakan jalan tengah dari persingungan pajak domestik kedua negara. Ketika sudah terjadinya kesepakatan, perjanjian tersebut menjadi aturan yang harus diikuti negara yang mengikatkan dirinya
melalui ratifikasi serta menempatkan perjanjian tersebut menjadi bagian legislative domestik.22 Dengan hierarki lex specialis dari aturan perpajakan domestic. Nomenklatur cara ini dalam menghindari pajak ganda terdapat dalam P3B atau Penghindaran Pajak Berganda. Menurut Gunadi, P3B adalah rekonsiliasi undang-undang dari dua negara yang memiliki perbedaan, terkhusus pembagian hak pemajakan.23 Dengan analogi, terdapat dua aturan yang dapat dipilih. Untuk pertama, satu negara memiliki hak kewenangan untuk memajaki sehingga pajak ganda tidak akan terjadi atau kedua melihat dari substansi yang disepakati dalam perjanjiannya sendiri. Contoh salah satu negara akan mendapatkan porsi haknya masing-masing seperti mendapatkan jenis penghasilan WP dalam kondisi tertentu akan menjadi hak satu negara dan negara lainnya akan mendapatkan keuntungan dalam pembebanan pembayaran pajak impor dari negara mendapatkan hak pembebanan pembayaran pajak ke WP negaranya. Disini adanya win-win solution dari kedua negara dalam kewenangan untuk memajaki, sehingga WP dalam hal ini BUT tidak diberatkan. (ada referensi atau kita anggap bahasa sendiri)
-
c. Cara Multilateral atau antara beberapa negara
Disini beberapa negara secara serempak melakukan perjanjian. Dengan tujuan adanya porsi pembagian hak-hak pembebanan pembayaran pajak di antara negara yang mengikatkan dalam perjanjian tersebut. Cara ini dilakukan untuk melakukan pencegahan penyelundupan pajak serta adanya dorongan dilakukan perdagangan serta negara yang ingin melakukan penanaman modal.24 Cara ini dilakukan di suatu tempat yang dihadiri beberapa negara yang mengikatkan dengan melakukan perundingan yang beragendakan pembahasan penghindaran pajak ganda internasional. Sudah pernah dilakukan pada tahun 1961 yang melahirkan Konvensi Wina. Dalam konvensi tersebut, mengatur pembebasan perwakilan negara yang di tempatkan di negara lain dari pemajakan. Pejabat perwakilan diplomatik, konsuler serta pejabat lain dari negara asing diberi kebebasan dalam pembayaran pajak.
Berdasarkan cara-cara penghindaran dari pajak berganda internasional dilakukan dengan beberapa metode yakni:
-
a. Metode pengurangan pajak atau tax credit
Metode ini dilakukan dengan tiga metode, pertama menggunakan metode pengurangan secara penuh atau full tax credit method. Penghitungannya, objek pajak adalah penghasilan luar negeri, serta diikutkan dalam penghitungan besaran penghasilan kena pajak. Disini pajak yang dibayarkan di luar negeri terhadap penghasilan WP di luar negeri akan dikurangkan secara keseluruhan sehingga hanya membayarkan pajak domisilinya. Kedua yakni metode pengurangan pajak terbatas atau ordinary tax credit method, Metode ini adalah gabungan penghasilan yang didapatkan oleh WP di luar negeri serta dalam negeri. Disini pajak penghasilan WP yang ada di luar negeri akan dikurangi dengan pajak penghasilannya yang ada di luar negeri. Sehingga adanya besar
pajak, tidak akan melebihi beban pembayaran pajak yang ada dalam ketentuan pajak domestik. Metode ketiga atau terakhir yakni metode pengurangan pajak terbatas yang dihitung per negara atau per country limitation tax credit method. Memiliki kesamaan dengan yang kedua, namun menjadi pembeda dalam penerapan maksimum kredit dalam penghitungan pajak WP yang ada di luar negeri yang boleh dikurangkan. Penghasilan yang didapatkan WP akan dijumlah terlebih dahulu secara kumulatif, kemudian setelah didapatkan hasil per negara, maksimum kredit pajak luar negeri akan dihitung berapa yang bisa maksimal dibayarkan oleh WP.25
-
b. Metode pembebasan atau pengecualian
Metode ini baru bisa dilakukan jika negara pemegang yurisdiksi pembebanan pemajakan domisili mau melepaskan hak pajaknya terhadap WP negaranya serta mengakui hak eksklusif dari negara sumber untuk membebankan pajak pada WP-nya. Hal yang termasuk pembebasan yakni subjek, obyek serta pajak WP sendiri. Pada metode ini memiliki kemiripan dalam cara unilateral serta multilateral dikarenakan yang termasuk subjek adalah diplomat, anggota konsuler serta yang termasuk bagian organisasi internasional. Sesuai hukum internasional, yang disebutkan tadi mendapatkan privilege (hak istimewa) terhadap pemajakan. Metode seperti gabungan antara unilateral dengan multilateral, dikarenakan hampir dilakukan oleh negara secara serempak dan para negara mendapatkan reciprocity. Pada pembebasan objek, dalam penghitungan pembayaran pajak tidak memasukkan penghasilan yang didapatkan WP dalam negeri. Sehingga di dalam negara sumber, tidak dimasukkan dalam perhitungan total pembayaran pajak dari WP. Terakhir yakni pembebasan pajak. Pada prinsipnya, untuk keperluan pajak dan adanya penerapan berapa pajak dibayarkan pengaruh profesif tetap dipertahankan dan dibebaskan dari pajak domestik.26
Dari berbagai cara serta metode untuk mengurangi dan mencegah risiko terjadinya pajak berganda akan kembali lagi dari setiap negara yang menerapkan perpajakan terutama disini Indonesia. Karena akan melihat azas dan keuntungan mana yang lebih menguntungkan mereka.
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Pada hukum internasional terdapat prinsip keadilan. Dengan penjelasan, siapa pun yang ikut dalam membangun di suatu negara serta menikmati hasil perekonomian memiliki kewajiban dalam memikul beban dalam hal ini pajak. Kemudian akibat hukum terhadap pajak ganda ditinjau dari prinsip hukum internasional, diberlakukan prinsip universalitas yang sejalan bersama prinsip pendirian tetap dalam hukum pajak internasional. Bahwasannya di dalam prinsip ini memberi kewenangan pada negara dalam pembebanan pembayaran pajak tanpa melihat dimana penghasilannya diperoleh. Sehingga azas negara domisili akan
dibelakukan daripada azas negara sumber. Solusi diberikan agar tidak membingungkan WP dalam hal ini BUT dalam pembayaran pajak ganda, diberlakukan berbagai cara seta metode. Cara dapat digunakan adalah cara unilateral, cara bilateral dan cara multilateral. Metode yang digunakan yakni metode pengurangan pajak dan metode pembebasan atau pengecualian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, (Jakarta, Kencana Prenada 2010).
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, “Penelitian Hukum Normatif” (Jakarta, Raja Grafindo 2005).
Jurnal Ilmiah:
Ahmadi, Wiratni. "Perjanjian Pajak Berganda (Tax Treaty) Dalam Kaitannya Dengan Transaksi Internasional." Jurnal Hukum Pro Justitia 25, no. 4 (2007).
Anisah, Anisah. "Kajian Pajak Terhadap Dua Bentuk Badan Usaha." Eksis: Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Bisnis 7, No. 1 (2017).
Hasim, Mega Puspawati, FX Joko Priyono, and Nabitatus Sa'adah. "Karakter Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information Dan Implikasinya Pasca Program Tax Amnesty Di Indonesia." Diponegoro Law Journal 7, no. 4 (2018).
Inkiriwang, Kevin G. "Perspektif Hukum Terhadap Upaya Penghindaran Pajak oleh Suatu Badan Usaha." Lex et Societatis 5, no. 4 (2017).
Iqbal, Muhamad. "Implementasi Efektifitas Azas Oportunitas di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan Umum." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 9, no. 1 (2018).
Mason, Ruth. "The transformation of international tax." American Journal of International Law 114, no. 3 (2020).
Prabu, Alexander, Arief Destyanto, Atalya Debora, Catur Joko Santoso, and Angga Maulana. "Kedaulatan Hukum Pajak Internasional di Indonesia." Jurnal IKAMAKUM1, no. 01 (2021).
Ratnasari, Ayu, and Ricky Bima Sanjaya. "Upaya Pemungutan Pajak Terhadap Netflix yang Masih Belum Berbadan Usaha Tetap." DIVERSI: Jurnal Hukum 6, no. 2 (2020).
Saleh, Reza. "Penghindaran Pajak Berganda Secara Unilateral Terhadap Pengenaan Pajak Penghasilan Capital Gains Dihubungkan Dengan Ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Secara Bilateral." Eqien: Jurnal Ekonomi dan Bisnis 1, no. 2 (2012).
Santoso, Muhammad Rifky. "Substansi dan Formal Bentuk Usaha Tetap (BUT) Pada Strategi Pengurangan Pajak." Ekonomikawan: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan20, no. 1 (2020).
Sihombing, Putrida Sihombing. "Tax Treaty Dengan Azas Source Jurisdiction Sebagai Bentuk Legalisasi Dwikewarganegaraan di Indonesia: Studi Kasus Tax Treaty Indonesia Dengan Amerika Serikat." Jurnal Legislatif (2020).
Stiglitz, Joseph E. "In Praise of Frank Ramsey's Contribution to the Theory of Taxation." The Economic Journal 125, no. 583 (2015).
Syahmin, A.K., and Muhamad Rasyid, “The Model Prevention on Double Taxation Agreement in Perspective of International Trade.” In Sriwijaya Law Conference, vol.2, no.2 (2016).
Tiono, Anthony, and Raden Arja Sadjiarto. "Penentuan Beneficial Owner Untuk Mencegah Penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda." Tax & Accounting Review 3, no. 2 (2013).
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan, No. 36 Tahun 2008, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia 4893, Sekretariat Negara, Jakarta.
United Nations Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries 2017
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No.03 Tahun 2022 hlm. 682-693
Discussion and feedback