Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga dengan Alat Biokomposter Sederhana
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 11, Nomor 1, bulan April, 2023
Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga dengan Alat Biokomposter Sederhana
Composting Household Organic Waste with A Simple Biocomposter
I Made Merta Wiryawan, Ida Ayu Gede Bintang Madrini*, Sumiyati
Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia
*email: [email protected]
Abstrak
Sampah rumah tangga dapat diolah menjadi kompos. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan komposisi campuran yang baik antara sampah rumah tangga dan sekam padi yang menghasilkan kualitas kompos sesuai SNI dan menentukan biokomposter mana yang paling cepat menghasilkan kompos. Untuk menghasilkan kompos, sampah rumah tangga ditambahkan sekam padi untuk menentukan perbandingan komposisi bahan yang terbaik dan untuk mencapai standar Indonesia dalam bahan kompos yaitu SNI 197030-2004. Perbandingan sampah rumah tangga dan sekam padi untuk A1, A2, dan A3 berturut-turut adalah (1:0), (1:1) dan (1:2). Proses pengomposan dilakukan selama 60 hari dan menggunakan dua model biokomposter yang berbeda yaitu biokomposter termodifikasi dan biokomposter lama. Suhu, pH dan kadar air diukur setiap hari sedangkan bahan organik, konduktivitas listrik (EC) dan rasio C/N diukur pada awal pengomposan dan pada akhir pengomposan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu akhir dan pH akhir pada semua biokomposer tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Untuk kadar air terbaik dihasilkan dengan perlakuan A1 (1:0) pada masing-masing bio komposter. Komposisi campuran terbaik dihasilkan pada rasio A1 (1:0) karena limbah rumah tangga yang diperoleh atau bahan baku awal telah memenuhi rasio C/N bahan baku kompos yaitu 45,81. Semua biokomposer memiliki kemampuan menghasilkan kompos dalam waktu 60 hari. Semua bio komposter mencapai suhu termofilik pada hari ke 25 dan semua bio komposter mengalami penurunan suhu pada hari ke 45, karena penambahan air setiap 7 hari selama proses pengomposan.
Kata kunci: sampah rumah tangga, sekam padi, biokomposter, kompos
Abstract
Household waste can be processed into compost. The purpose of this research is to obtain a good mix composition between household waste and rice hulls that produce compost quality according to SNI and determine which biocomposter produces the fastest compost. In order to produce compost, the household waste was added with rice hulls to determine the best material composition ratio and to achieve Indonesian standar in compost material i.e SNI 19-7030-2004. The comparison between household waste and rice hulls for A1, A2, and A3 is (1:0), (1:1) and (1:2) respectively. The composting process was carried out for 60 days and used two different biocomposter models, namely modified biocomposter and old biocomposter. Temperature, pH and water content were measured daily while organic matter, electrical conductivity (EC) and C/N ratio were measured at the beginning of composting and at the end of composting. The results showed that the final temperature and final pH in all bio composters did not show a significant difference. For the best water content produced by treatment A1 (1:0) on each bio composter. The best composition of the mixture produced in the ratio A1 (1:0) because the household waste obtained or the initial raw material has met the C/N ratio of compost raw materials, which is 45.81. All biocomposters have the ability of producing compost within 60 days. All bio composters reached a thermophilic temperature on day 25 and all bio composters run into a decrease in temperature on day 45, due to the addition of water every 7 days during the composting process.
Keywords: household waste, rice hull, biocomposter, compost.
PENDAHULUAN
Daerah perkotaan berpenduduk padat merupakan penghasil sampah yang sangat tinggi. Dengan demikian, permasalahan sampah harus segera mendapatkan penanganan dari berbagai pihak. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Surakusumah (2008), menyatakan bahwa pada tahun 2000,
penduduk sebanyak 8.389.443 jiwa di kota Jakarta, dapat menghasilkan sampah sejumlah 25.700 m3. Sedangkan jika hanya mengandalkan upaya pengolahan sampah dari pemerintah setempat, hal ini akan menyebabkan semakin banyaknya volume sampah pada TPA yang berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar. Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga salah satunya yaitu sampah organik.
Sampah organik ini sangat baik digunakan sebagai pupuk organik dan media tanam karena hasil penguraian dari sampah organik akan menjadi materi yang kaya akan unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan (Subandriyo et al., 2012). Jika sampah organik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan dengan baik maka dalam 1 bulan akan terjadi reduksi sampah sebesar 30 kg/KK/bulan, hal ini akan dapat mengurangi penumpukan sampah di TPA (Surjandari et al., 2009). Untuk mengatasi penumpukan sampah organik di skala rumah tangga dan TPA perlu adanya penanganan lebih lanjut terhadap sampah pada sumbernya yaitu pengolahan sampah di rumah tangga. Pengolahan sampah rumah tangga yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan pengomposan sampah dalam sekala rumah tangga menggunakan biokomposter, mengingat luas lahan yang sempit.
Keranjang biokomposter dapat dijadikan alternatif untuk melakukan pengomposan skala kecil di rumah tangga. Pada penelitian sebelumnya telah dirancang keranjang bikomposter sederhana. Pada keranjang bikomposter yang telah dirancang sebelumnya oleh Madrini (2018) masih terdapat kekurangan, sehingga dibutuhkan modifikasi untuk memperbaiki kinerja dari komposter tersebut. Adapun kekurangan yang dimaksud yang ada pada keranjang biokomposter yang sudah dirancang tersebut yaitu kerangka tidak kokoh untuk menampung bahan baku kompos, tidak ada alas pada bagian bawah sehingga bahan kompos menyentuh tanah, jaring yang digunakan memiliki lubang yang besar sehingga tidak dapat menampung air secara lama. Menurut KBBI, modifikasi merupakan cara untuk mengubah bentuk sebuah barang tanpa menghilangkan fungsi aslinya serta menampilkan bentuk yang baru atau berbeda dari yang aslinya.
Berdasarkan uraian diatas maka pada pengomposan yang dilakukan akan menggunakan sampah rumah tangga sebagai bahan baku sumber nitrogen dan penambahan sekam padi untuk mengatur unsur karbon pada kompos. Penambahan sekam padi pada penelitian ini dikarenakan sekam padi merupakan bahan yang banyak ditemukan di daerah penulis yaitu Banjar Dukuh Belong, Desa Baturiti Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Selain itu sekam padi memiliki kandungan nitrogen sebesar 0,230,32% (Ajay, 2012). Pada penelitian ini pengomposan menggunakan 2 alat biokomposter sederhana yang berbeda. Pengujian kinerja biokomposter dilakukan dengan mencari perbandingan (C/N) rasio, electrical conductivity (EC), derajat keasaman (pH), kadar bahan organik (OM) dan kadar air (KA) dari kompos yang dibuat dengan biokomposter tersebut supaya dapat memenuhi standar pengomposan SNI 19-7030-2004.
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium perbengkelan dan rekayasa alat dan ergonomi teknik pertanian dan biosistem, Universitas Udayana. Sedangkan pengujian dilakukan di laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Pengambilan bahan baku sampah rumah tangga (SRT) bertempat di Banjar Kori Nuansa Barat, Lingkungan Taman Griya, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung sebanyak 30 kepala keluarga (KK) dan pengambilan sekam padi (SP) bertempat di penggilingan padi Desa Adat Dukuh Belong, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai dari Februari 2021 sampai dengan bulan April 2021.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan baku yang digunakan yaitu sampah organik rumah tangga sebanyak 250 kg dan sekam padi sebanyak 200 kg. SRT terdiri dari sisa-sisa dapur, dedaunan, sampah canang kering, rumput yang telah dipotong, kertas dan sampah organik lainnya. Alat yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 model biokomposter berbeda yaitu biokomposter modifikasi (BM) dengan dimensi t = 60 cm, d = 55 cm, v = 142.477,5 cm3 dan biokomposter lama (BL) dengan dimensi t = 46 cm, d = 57 cm, v = 117.321,39 cm3. Masing-masing biokomposter sebanyak 6, buah total biokomposter sebanyak 12 buah. Alat ukur lainnya seperti pH meter, termometer digital, timbangan digital, mesin pencacah sampah organik, pisau, sekop, terpal, ember besar ukuran 50 liter dan sarung tangan
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengggunakan 2 perbandinga bahan baku antara SRT dan sekam padi (SP). Perlakuan penelitian dibagi menjadi 3 perlakuan yaitu A1 (1 : 0) SRT 32 kg tanpa campuran SP, A2 (1 : 1) SRT 16 kg dengan SP 16 kg dan A3 (1 : 2) SRT 10,6 kg dengan SP 21,3 kg. Semua perlakuan tersebut akan dilaksanakan sebanyak 2 ulangan pada biokomposter modifikasi (BM) dan biokomposter lama (BL). Setelah dilakukan perbandingan campuran kemudian masing-masing biokomposter diukur berat untuk mendapatkan campuran kadar air sebanyak 65% dari berat kompos bersih. Pengukuran penelitian dilaksanakan menjadi 2 tahap yaitu pengukuran setiap hari dilapangan dan pengukuran di laboratorium pada awal dan diakhir selama proses pengomposan. Pengukuran dilapangan meliputi pengukuran suhu, tingkat keasaman (pH), kadar air (KA) dan rendemen. Pengukuran di laboratorium
yaitu kadar C dan N, electrical conduktivity (EC), pH, bahan organik (OM), kadar air (KA) yang dilaksanakan pada awal pengomposan dan akhir pengomposan. Untuk proses pengukuran dilakukan melalui 2 tahap yaitu pengamatan setiap hari dan pengamatan di awal dan akhir pengomposan. Parameter yang diamati diawal dan diakhir pengomposan akan dilakukan di laboratorium Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.
Metode Analisis
Analisis data yang digunakan pada hasil penelitian ini adalah uji Independent sampel t-test dengan t-Test: (Two-Sample Assuming Equal Variances) diasumsikan varian sama atau t-Test: (Two-Sample Assuming Unequal Variances) jika varian berbeda untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati. Varian dikatakan sama didasarkan atas pencampuran masing-masing bahan dengan perbandingan sampah rumah tangga (1:0, 1:1
dan 1:2) yang digunakan untuk 2 biokomposter. Sebelum dilakukan uji t-test akan dilakukan uji kesamaan varian menggunakan uji F-tes untuk menentukan apakah varian sama atau tidak. Menurut (Pranata et al., 2021) apabila harga t hitung lebih kecil t tabel dapat disimpulkan bawah H0 diterima dan Ha ditolak begitupula sebaliknya. Apabila nilai P- value lebih < 0,05 maka terdapat perbedaan signifikan, begitupula sebaliknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Bahan Baku Pada Sampah Organik RT dan Sekam Padi
Berdasarkan hasil analisis keragaman data Karakteristik masing-masing bahan baku pada penelitian ini berupa sampah RT dan sekam padi. Bahan-bahan tersebut memiliki kriteria seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter awal bahan baku
Parameter |
Sampah RT |
Sekam Padi |
pH |
6,1 |
5,3 |
Kadar air (%) |
45% |
40% |
Bahan Organik (%) |
29% |
23,9% |
Kadar Karbon (%) |
25,2% |
30,41% |
Kadar Nitrogen (%) |
0,55% |
0,37% |
C/N Rasio (%) |
45,81 |
82,18 |
Parameter fisik sampah RT dan sekam padi menjadi acuan awal dalam pengomposan. Pada Tabel 1 kadar air bahan baku SRT dan SP masing-masing sebesar 45% dan 40% yang berarti kering. Kadar air optimum untuk pengomposan aerobik berkisar antara 50% -60% (Budiarta et al., 2017), maka dari itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan air setiap 7 hari sekali disertai dengan pengadukan. C/N rasio SRT memiliki nilai 45,81 sedangkan SP memiliki nilai rasio C/N 82.81. Pada Tabel 1 baik C/N rasio pada SRT dan SP belum memenuhi syarat awal C/N rasio yaitu 20-40.
Kandungan Bahan Perbandingan A1, A2 dan A3 Dengan Campuran Sampah RT dan Sekam Padi di Awal Pengomposan
Dari hasil pengukuran parameter awal pengomposan didapatkan sampah RT memiliki kandungan C/N yang relatif rendah, maka dari itu akan ditambahkan bahan campuran sekam padi yang memiliki C/N rasio tinggi untuk mendapatkan hasil yang memenuhi setandar pengomposan SNI-19-7030-2004. Dari
Tabel 2. Kandungan Awal Pada Biokomposter Modifikasi Dan Biokomposter Lama
Biokomposter Modifikasi (BM) Biokomposter Lama (BL)
Parameter |
A1 |
A2 |
A3 |
Parameter |
A1 |
A2 |
A3 |
pH |
6,1 |
60 |
5,8 |
pH |
6,0 |
5,9 |
5,8 |
KA (%) |
40% |
60% |
60% |
KA (%) |
50% |
60% |
70% |
OM (%) |
30% |
28,3 % |
30% |
OM (%) |
26% |
25% |
28,80 % |
C (%) |
25,2 % |
35,87 % |
37,6 % |
C (%) |
27,71 % |
36,5 % |
37,98 % |
N (%) |
0,55 % |
0,61% |
0,63 % |
N (%) |
0,58 % |
0,60% |
0,62 % |
C/N (%) |
45,81 % |
58,67 % |
59,68 % |
C/N (%) |
47,77% |
60,83% |
61,25 % |
Tabel 2 dapat dilihat bahwa kedua biokomposter memiliki nilai pH sudah mendekati syarat awal pengomposan. Adapun SNI tingkat keasaman yang terdapat pada proses pengomposan yaitu 6,80 - 7,49 (SNI 19-7030-2004). Kadar air di dua biokomposter pada perlakuan A1 masih kurang dari syarat pengomposan yaitu sebesar 65%. Sedangkan untuk
perlakuan A2 dan A3 di dua biokomposter sudah mendekati syarat pengomposan yaitu 65%. Perlakuan A1 C/N rasio untuk BM dan BL sudah mendekati standar dengan nilai 45,81% pada BM dan 47,77% pada BL. Mikroorganisme membutuhkan kadar nitrogen yang berguna untuk memelihara dan pembentukan sel tubuh.
«■■MM»A1 B1
^^^nA2 B1
^^^^^^A3 B1
^^^^^^ suhu ling
Gambar 1. Grafik Suhu Pada Kompos Biokomposter Modifikasi.
^^^^^MA1 B1
^^^^^*A2 B1
^^^^^MA3 B1
^^^^^* suhu ling
Bahan organik akan cepat terurai apabila terdapat kandungan nitrogen tinggi, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Widarti et al., 2015).
Suhu Proses Pengomposan
Suhu dalam proses pengomposan diamati setiap hari pada jam 9 pagi dengan menggunakan alat termometer digital. Hasil pengamatan suhu kedua biokomposter dapat diihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukan kenaikan suhu pengomposan dimulai dari hari ke 3.
Suhu BM pada hari ke 3 sebesar 30,3 oC – 30,5 oC, sedangkan suhu BL memiliki rentang suhu lebih kecil yaitu sebesar 30 oC. Pada rentang waktu 7 hari selama proses pengomposan akan dilakukan pengadukan dan penambahan air sebesar 65% dari berat kompos, hal tersebut akan menyebabkan penurunan suhu di hari ke 7 seperti pada Gambar 1 dan Gambar 2. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses dekomposisi akibat kandungan kadar air dengan ativitas mikroorganisme pengurai. Suhu maksimal kedua biokomposter terjadi pada hari ke-25. Suhu BM di perlakuan A1, A2, A3 memiliki rentang suhu maksimal sebesar 40,6 oC,
40,5 oC, 40,5 oC dan suhu BL di perlakuan A1, A2, A3 memiliki rentang suhu maksimal sebesar 40 oC, 40 oC dan 39,8 oC. Hal ini menunjukan bahwa kedua biokomposter dan semua perlakuan dalam proses pengomposan belum mampu mencapai proses termofilik 45 oC (I. A. G. B. Madrini & Sulastri, 2019). Tidak mampunya mencapai suhu termofilik disebabkan penambahan air dan pembalikan pada hari ke-7 selama proses pengomposan. Setelah mengalami fase termofilik dan fase mesofilik, selanjutnya mengalami fase pematangan kompos yang ditandai dengan penurunan suhu yang dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 grafik biokomposter yaitu pada hari ke-43, hal ini menandakan perkembangbiakan mikroorganisme menurun dan berkurangnya bahan organik yang
dapat diurai oleh mikroorganisme sehingga panas dan proses pengomposan juga berkurang dan suhu mengalami penurunan hingga mencapai suhu lingkungan SNI (23oC - 29oC). Pada hari ke-42 di kedua biokomposter mengalami sedikit kenaikan karena pengaruh penambahan air yang menyebabkan mikroorganisme tetap aktif dalam proses pengomposan. Perlakuan yang paling cepat mencapai suhu lingkungan pada BM adalah perlakuan A3 pada hari ke-47 dengan suhu 28,5oC dan perkaluan tercepat mendekati suhu lingkungan di BL adalah perlakuan A3 di hari ke-45 dengan suhu 28,4oC. Suhu akhir dari BM dalam ketiga perlakuan yaitu A1 sebesar 28oC, A2 sebesar 28oC, A3 sebesar 28oC dan BL dalam ketiga perlakuan yaitu A1 sebesar 26,5 oC, A2 sebesar 27 oC, A3 sebesar 27 oC.
Tabel 3. Hasil Analisis Data Suhu Dengan Menggunakan Independent T-Test
Perbandingan Antar Perlakuan |
T-Stat |
T Critical two tail |
Signifikan/ Tidak Signifikan |
(T-Hitung) |
(t∝/2) | ||
A1 BM X A2 BM |
0,53 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A3 BM |
0,55 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A3 BM |
0,01 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BL X A2 BL |
12,7 |
1,98 |
Signifikan |
A1 BL X A3 BL |
12,8 |
1,98 |
Signifikan |
A2 BL X A3 BL |
0,24 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A1 BL |
1,61 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A2 BL |
1,48 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A3 BL |
17,2 |
1,98 |
Signifikan |
A2 BM X A1 BL |
0,99 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A2 BL |
1,01 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A3 BL |
17,2 |
1,98 |
Signifikan |
A3 BM X A1 BL |
0,96 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM X A2 BL |
0,90 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM X A3 BL |
1,20 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
Tabel 3 menunjukkan hasil pada perlakuan A1 BL x A2 BL, A1 BL x A3 BL, A1 BM x A3 BL dan A2 BM x A3 BL mendapatkan hasil signifikan karena perlakuan A1 sampah RT sendiri menghasilkan suhu yang lebih tinggi daripada perlakuan A2 dan A3 pada semua perlakuan. Untuk perlakuan A2 BM x A3 BL mendapatkan hasil signifikan, hal tersebut dikarenakan campuran yang mengandung sekam padi lebih banyak tidak bisa mengikat air dengan baik (cepat kering) sehingga perkembangan
mikroorgansme terbatas. Perbandingan lainnya mendapatkan hasil tidak signifikan karena seluruh perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata suhu selama proses pengomposan.
Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pengukuran pH pada penelitian ini
dilakukan setiap hari menggunakan alat pH meter digital. Pada awal pengomposan pH semua perlakuan sudah standar. Diminggu ke-2 pH kedua biokomposter pada semua perlakuan mengalami kenaikan. Kenaikan pH BM diperlakuan A1 = 7,64, A2 = 7,60 dan A3 = 7,64. Untuk pH BL diperlakuan A1 = 7,60, A2 = 7,63 dan A3 = 7,56. Peningkatan pH yang terjadi menandakan dekomposisi nitrogen oleh bakteri untuk menghasilkan amonia. Apabila sudah terjadi pembentukan amonia, maka pH akan meningkat menjadi basa, menurut (Baharudin (2009). Dari semua gambar grafik diatas terlihat bahwa nilai pH pada semua perlakuan mengalami penurunan dan didapatkan hasil akhir pada BM diperbandingan A1 = 7,05, A2 = 7,05, A3 = 7,05 dan BL diperbandingan A1= 7,03, A2 = 7,02 dan A3 = 7,02.
7,70
7,60
7,50
7,40
7,30
7,20
7,10
7,00
6,90
6,80
6,70
—♦—A1 B1
—■—A2 B1
—⅛-A3 B1
12
3
45 minggu
678
Gambar 3. Grafik pH pada Kompos Biokomposter Modifikasi
S
7,70
7,60
7,50
7,40
7,30
7,20
7,10
7,00
6,90
6,80
6,70
—•—A1 B1
—■—A2 B1
—⅛-A3 B1
12
345678 minggu
Gambar 4. Grafik pH Pada Kompos Biokomposter Lama
Tabel 4. Hasil Analisis Data pH dengan Menggunakan Independent T-Test
Perbandingan antar perlakuan |
t-stat |
T Critical two tail (t∝/2) |
Signifikan/tidak signifikan |
t-hitung | |||
A1 BM x A2 BM |
0,28 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM x A3 BM |
0,42 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM x A3 BM |
0,15 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BL x A2 BL |
-0,68 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BL x A3 BL |
0,37 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BL x A3 BL |
0,43 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM x A1 BL |
0,80 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM x A2 BL |
0,74 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM x A3 BL |
1,18 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM x A2 BL |
0,47 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM x A3 BL |
0,92 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM x A3 BL |
0,74 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM x A2 BL |
0,30 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
Hasil akhir tersebut sudah memenuhi SNI pengomposan yaitu (6,80 - 7,49). Penurunan pH tersebut karena perubahan bahan organik menjadi asam organik yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (Sundari et al., 2014).
Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari menggunakan alat moisture digital dalam proses pengomposan selama 60 hari. Perubahan kadar air dalam proses pengomposan di semua biokomposter dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 berikut
Gambar 5. Grafik Kadar Air Biokomposter Modifikasi
55,00
50,00
X©
∙⅛ 45,00
40,00
Λ
35,00
30,00
25,00
12345678 minggu
Gambar 6. Grafik Kadar Air Biokomposter Lama.
Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6, masing-masing perlakuan menunjukan adanya penurunan. Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari menggunakan alat moisture digital. Setelah 7 hari akan dilakukan penambahan air 65% dari berat kompos dan dilakukan pengadukan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah berkurangnya kadar air tumpukan kompos selama proses pengomposan (Kurnia et al., 2017). Dapat dilihat pada gambar 5 dan 6, awal proses pengomposan kedua biokomposter di masing-masing perlakuan
mengalami penurunan pada minggu ke-2. BM memiliki kadar air dengan rentang 48,91% – 50,91% dan BL memiliki kadar air dengan rentang 46,34% – 48,64%. Terjadinya perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan jaring dari BM memiliki ukuran lobang lebih kecil dibandingkan jaring BM. Sedangkan perbedaan penurunan kadar air dalam perlakuan perbandingan disebabkan oleh bahan baku kompos, yang berarti perbandingan A1 dapat mengikat air lebih baik dibandingkan perbandingan A2 dan A3.
Tabel 5. Hasil analisis data KA dengan menggunakan independent t-test
Perbandingan Antar Perlakuan |
T-Stat |
T Critical two tail |
Signifikan/ Tidak Signifikan |
T-Hitung |
(t∝/2) | ||
A1 BM X A2 BM |
-28 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A3 BM |
1,60 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A3 BM |
1,80 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BL X A2 BL |
-67 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BL X A3 BL |
1,02 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BL X A3 BL |
1,67 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A1 BL |
2,47 |
1,98 |
Signifikan |
A1 BM X A2 BL |
1,72 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A1 BM X A3 BL |
3,53 |
1,98 |
Signifikan |
A2 BM X A1 BL |
0,63 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A2 BL |
1,91 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A2 BM X A3 BL |
3,62 |
1,98 |
Signifikan |
A3 BM X A1 BL |
0,17 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM X A2 BL |
0,17 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
A3 BM X A3 BL |
1,91 |
1,98 |
Tidak Signifikan |
Penurunan kadar air dalam proses pengomposan disebabkan oleh kenaikan suhu yang menghasilkan uap air menjadi gas. Penurunan ini terus berlangsung selama proses pengomposan dan hasil akhir BM dengan rentang 36,56 – 39,35% dan BL dengan rentang 34,67 – 36,18%. Menurut SNI kadar air kompos tidak boleh melebihi 50%. Untuk kadar air yang paling baik dalam perbandingan campuran dihasilkan oleh perbandingan A1 pada masing-masing biokomposter. Sedangkan kadar air paling rendah disemua biokomposter terdapat pada perbandingan A3, hal ini menunjukan bahwa perbandingan A3 tidak dapat mengikat air dengan baik.
Berdasarkan hasil analisis t-test KA, didapatkan hasil bahwa terdapat 3 perbandingan yang signifikan.
Perbandingan yang pertama yaitu antara A1 BM x A1 BL signifikan karena perbedaan biokomposter. Perbandingan A1 BM x A3 BL dan A2 BM x A3 BL mendapatkan hasil signifikan karena pengaruh campuran bahan A1BM dan A2BM lebih mengikat air dibandingkan dengan A3 BL. Perbandingan perlakuan yang lainnya mendapatkan hasil tidak signifikan karena tidak terdapat perbedaan nyata terhadap perlakuan yang dibandingkan.
Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara berat awal dan berat akhir suatu bahan. Budiarta (2017) Rendemen menggunakan satuan persen (%). Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil rendemen seperti Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran rendemen
Perlakuan |
Berat Awal (kg) |
Berat Akhir (kg) |
Rendemen (%) |
A1 BM |
32,55 kg |
21,55 kg |
33,79 % |
A2 BM |
26,65 kg |
12,10 kg |
54,59 % |
A3 BM |
24,85 kg |
9,45 kg |
61,97 % |
A1 BL |
31,10 kg |
19,25 kg |
38,10 % |
A2 BL |
23,35 kg |
10,35 kg |
55,67 % |
A3 BL |
23,70 kg |
9,20 kg |
61,18 % |
Pada Tabel 6, berat awal bahan baku kompos pada masing – masing perlakuan sebesar 32 kg. Karena volume wadah atau biokomposter tidak mencukupi untuk menampung pada perlakuan A2 dan A3 sehingga volume yang bisa ditampung berbeda-beda seperti pada tabel 6. Setelah melalu proses pengomposan selama 60 hari, terjadi penyusutan yang cukup signifikan. Dari semua perbandingan bahan menunjukan bahwa perbandingan A1
menghasilkan penurunan rendemen yang paling sedikit dan perlakuan perbandingan A3 menghasilkan penurunan rendemen yang sangat banyak. Hasil akhir pengukuran rendemen pada semua biokomposter didapatkan bahwa, BM emiliki hasil akhir yang lebih besar karena pengaruh wadah jaring untuk pengomposan memiliki lubang yang lebih kecil dibandingkan wadah jaring dari BL. Hasil penelitian yang dilakukan Krisnawan (2018)
menunjukkan kadar air paling rendah menghasilkan rendemen paling sedikit, sedangkan nilai rendemen tertinggi diperoleh dengan kadar air paling tinggi. Elektrical Conduktivity (EC) |
Elektrical conduktifity yang di ukur merupakan konsentrasi ion – ion yang terlarut dalam air nutrisi. Nilai elektrical conduktivity pada masing – masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel dibawah |
Tabel 7. Kandungan EC Kompos | |
Biokomposter Modifikasi |
Biokomposter Lama |
Perlakuan EC (ms/m) |
Perlakuan EC (ms/m) |
A1 345,5 |
A1 351 |
A2 395 |
A2 451 |
A3 513 |
A3 391,5 |
Pada Tabel 7 terdapat kandungan EC pada kedua biokomposter di semua perbandingan memiliki nilai yang berbeda-beda, dapat dilihat pada Tabel EC yang paling kecil pada semua biokomposter terdapat pada perlakuan A1, sedangkan nilai EC terbesar terdapat pada perlakuan A3 di BM dan A2 di BL. Perbedaan tersebut terjadi karena nutrisi pada kompos mempunyai tingkat kepekatan yang berbeda, selain itu hal yang mempengaruhi perbedaan tersebut |
adalah karena didalam kompos terdapat mikroorganisme pengurai senyawa-senyawa yang terkandung pada kompos sehingga terjadi perubahan EC pada setiap perlakuan (Cavins et al., 2000) Kadar Bahan Organik Kadar organik yang terkandung pada kompos sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pertumbuhan sebagai nutrisi tanaman. |
Tabel 8. Nilai akhir kandungan bahan organik kompos | |
Biokomposter Modifikasi |
Biokomposter Lama |
Perlakuan Kadar Organik % |
Perlakuan Kadar Organik % |
A1 29,25 % |
A1 27,3% |
A2 29% |
A2 29,15% |
A3 27,45% |
A3 27,0% |
Pada Tabel 8 BM mempunyai kandungan bahan organik berkisaran antara 27,45 % - 29,25%, sedangkan BL mempunyai kandungan bahan organik berkisaran antara 27,0% - 29,15%, sehingga semua biokomposter dan semua perlakuan sudah sesuai dengan SNI pengomposan yaitu berkisaran 27% -58%. Dalam penilaian bobot terbaik, perbandingan yang paling baik adalah perbandingan yang menghasilkan nilai yang berada ditengah-tengah antara nilai SNI pengomposan. Jadi bahan organik yang terbaik terletak pada perlakuan A1 biokomposter modifikasi. Hal tersebut menunjkan bahwa perbandingan antara sekam padi dengan SRT
berpengaruh terhadap proses pengomposan, sedangkan perlakuan terendah di semua biokomposter terletak pada perlakuan A3. Biokomposter modifikasi perlakuan A3 sebesar 27,45% dan biokomposter lama perlakuan A3 sebesar 27,0%.
Kadar Karbon dan Nitrogen
Kandungan karbon (C-organik) merupakan salah satu parameter yang menentukan kematangan kompos, dimana ketersediaan unsur karbon dibutuhkan untuk proses dekomposisi bahan organik kompos (Fadel, 2020).
Tabel 9. Kadar Karbon dan Nitrogen
Biokomposter Modifikasi |
Biokomposter Lama | ||||
Perlakuan |
Karbon % |
Nitrogen % |
Perlakuan |
Karbon % |
Nitrogen % |
A1 |
23,21 |
1,26 |
A1 |
25,32 |
1,32 |
A2 |
22,14 |
1,22 |
A2 |
27,78 |
1,40 |
A3 |
31,21 |
1,60 |
A3 |
31,97 |
1,60 |
Berdasarkan Tabel 9, kandungan akhir unsur karbon yang terendah di BM terjadi pada perlakuan A2 dan unsur karbon terendah di BL terdapat pada perlakuan A1. Hal tersebut membuktikan bahwa dari
pengukuran kandungan awal perlakuan yang memiliki lebih sedikit campuran sekam memiliki kandungan karbon yang baik, sedangkan kandungan karbon yang tertinggi terdapat pada perlakuan A3 di
semua perlakuan. Menurut SNI 19- 7030-2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan karbon berkisar antara 9,8 – 32 %. Sehingga semua perlakuan A1, A2 dan A3 memiliki kandungan karbon yang sesuai dengan SNI. Setelah dilakukan penilaian bobot yang terbaik sesuai dengan SNI pengomposan, didapatkan perbandingan A2 yang terbaik, karena memiliki kandungan yang berada ditengah-tengah antara 9,8 - 32 sesuai SNI pengomposan, sedangkan pengukuran kandungan nitrogen pada BM unsur nitrogen paling tinggi terjadi pada perlakuan A3= 1,60% dan kandungan nitrogen terrendah terjadi pada perlakuan A2= 1,22%. Untuk biokomposter lama kandungan nitrogen paling tinggi terjadi pada perlakuan A3= 1,60% dan kandungan
nitrogen terendah terjadi pada perlakuan A1= 1,32 %. Berdasarkan SNI 19-7030-2004, kematangan kompos mempunyai kandungan nitrogen minimal 0,40%, sehingga dapat dilihat kandungan nitrogen dari semua biokomposter sudah memenuhi dalam standar pengomposan. Dalam penilaian bobot, kandungan nitrogen yang terbaik terletak pada perbandingan A2.
C/N Rasio
Nilai ratio C/N merupakan faktor penting pada pengomposan. Tujuan dari pengomposan adalah untuk menurunkan kadar C/N yang tinggi menjadi rendah hingga sama dengan kadar C/N tanah.
Tabel 10. Peerhitungan C/N rasio akhir
Biokomposter Modifikasi |
Biokomposter Lama | ||
Perlakuan |
Rasio C/N |
Perlakuan |
Rasio C/N |
A1 |
18,33 |
A1 |
19,10 |
A2 |
18,87 |
A2 |
19,73 |
A3 |
19,44 |
A3 |
19,96 |
Berdasarkan Tabel 10 BM, perlakuan A3 mengandung nilai rasio C/N yang tertinggi yaitu sebesar 19,44, dan kandungan C/N rasio terendah terlihat pada perlakuan A1 sebesar 18,33. Sedanglan BL menunjukan kadar C/N rasio yang tertinggi terdapat pada perlakuan A3 sebesar 19,96 dan kandungan C/N terendah terjadi pada perlakuan A1 sebesar 19,10. Perlakuan A1 memiliki kandungan C/N rasio terendah karena dari pengukuran awal C/N rasio sudah mendekati standar SNI C/N rasio yaitu sebesar 10-20%. Perlakuan A3 memiliki kandungan C/N rasio yang tinggi karena kandungan C/N rasio pada sekam padi yang tinggi, hal tersebut menyebabkan hasil akhir di semua perlakuan A3 memiliki kandungan C/N rasio tinggi. Berdasarkan kedua tabel diatas menunjukan C/N rasio diakhir pengomposan sudah mengalami penurunan, hal ini
menunjukan bahwa selama proses pengomposan akan terjadi perubahan rasio C/N dikarenakan unsur karbon dan nitrogen yang terkandung dalam bahan organik kompos telah terurai (Pane et al., 2014). Menurut SNI 19-7030- 2004, kompos yang telah matang mempunyai kandungan C/N ratio sebesar 1020, secara keseluruhan semua perlakuan sudah memenuhi standar SNI. Setelah dilakukan penilaian bobot terbaik antra perlakuan didapatkan hasil A1 biokomposter modifikasi memilili hasil yang terbaik.
Hasil Analisis Kualitas Kompos dengan SNI
Efek penambahan sekam padi terhadap sampah rumah tangga dalam pengomposan selama 2 bulan pada beberapa parameter seperti terlihat pada Tabel 11. Hasil akhir pengomposan dibandingkan dengan setandar pengomposan SNI 19-7030-2004.
Tabel 11. Perbandingan kompos biokomposter modifikasi dengan SNI
Perbandingan SNI
Perlakuan |
Suhu |
pH |
KA % |
OM % |
C-organik % |
Nitrogen % |
C/N rasio |
(230– 290) |
6,80-7,49 |
Max. 50 |
27-58 |
9,80-32 |
Min. 0,40 |
10-20 | |
A1 BM |
28 |
7 |
31,4 |
29 |
23,21 |
1,26 |
18,33 |
A2 BM |
28 |
7 |
29,5 |
29,25 |
22,14 |
1,22 |
18,97 |
A3 BM |
28 |
7 |
29,6 |
27,45 |
31,21 |
1,60 |
19,44 |
A1 BL |
28 |
7 |
28,7 |
27,3 |
25,32 |
1,32 |
19,10 |
A2 BL |
28 |
7 |
29 |
29,25 |
27,78 |
1,32 |
19,73 |
A3 BL |
28 |
7 |
27,8 |
29,15 |
31,97 |
1,60 |
19,96 |
Dari Tabel 11 dapat dilihat kompos yang dihasilkan untuk kedua biokomposter sudah memenuhi kriteria ke dalam SNI 19-7030-2004. Untuk kadar air yang paling baik dihasilkan oleh perlakuan A1 pada masing-masing biokomposter. Perbedaan ini dikarenakan komposisi perbandingan campuran bahan perlakuan A1 dapat mengikat air sangat baik sehingga menyebabkan tidak terlalu banyak kehilangan air. Kandungan C/N rasio yang paling bagus pada BM di perlakuan A1 sebesar 18,33% dan BL perlakuan A1 sebesar 19,10%. Hal ini dikarenakan dari pengukuran awal C/N rasio SRT memiliki kandungan C/N lebih rendah disbanding sekam padi. Hal tersebut menyebabkan jika sampah rumah tangga dicampur dengan sekam padi akan menyebabkan kandungan C/N rasio semakin bertambah seingga untuk perlakuan A2 dan A3 menyebabkan memiliki nilai C/N rasio yang lebih tinggi dibandingan perlakuan A1.
KESIMPULAN
Komposisi kompos yang paling baik dihasilkan pada perbandingan A1 (sampah RT tanpa campuran), karena bahan baku sampah RT sudah memenuhi syarat C/N rasio dari awal hingga akhir pengomposan. Semua biokomposter mampu menghasilkan kompos dalam rentang waktu 60 hari. Semua biokomposter mencapai suhu termofilik pada hari ke 25 dan semua biokomposter mengalami penurunan suhu pada hari ke-45, karena penambahan air setiap 7 hari selama proses pengomposan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajay, K. 2012. Properties and Industrial Applications Of Rice Husk: A Review. Department Of Ceramic Engineering, Indian Institute Of Technology. Varanasi, India
Bsn. 2004. Sni 19-7030-2004 Tentang Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. File:///C:/Users/Jamcom/Downloads/Documen ts/Spesifikasi-Kompos-Sni.Pdf
BPS Kabupaten Badung. 2020. Kabupaten Badung Dalam Angka 2021 (CV. Bhineka Karya (Cetakan) (ed.); edisi 1). BPS Kabupten Badung.
Budiarta, I. W., Sumiyati, & Setiyo, Y. 2017. Pengaruh Saluran Aerasi pada Pengomposan Berbahan Baku Jerami The Effect of Aeration Channels on Rise Straw Composting Abstrak. Jurnal Beta, 5(1), 68–75.
https://doi.org/http://ojs.unud.ac.id/index.php/b eta
Cavins, T. J., Gibson, J. L., Whipker, B. E., & Fonteno, W. C. 2000. pH and EC Meters - Tools for Substrate Analysis. December, 1–4.
Fadel, I. 2020. Pengaruh Penambahan Em-4 Terhadap Pengomposan Dan Kualitas Kompos Kotoran Gajah. Universitas Udayana.
Krisnawan, K. A., Tika, I. W., & Madrini, I. A. G. B. 2018. Analisis Dinamika Suhu pada Proses Pengomposan Jerami dicampur Kotoran Ayam dengan Perlakuan Kadar Air Analysis of Temperature Dynamic on Composting Process of Rice Straw Mixed Chicken Manure with Moisture Content Treatment Abstrak. Jurnal Beta, 6(1), 25–32.
Kurnia, V. C., Sumiyati, S., Samudro, G., Lingkungan, T., Teknik, F., Diponegoro, U., Teknik, L., & Universitas, L. 2017. Pengaruh Kadar Air Terhadap Hasil Pengomposan Sampah. Jurnal Teknik Mesin, 06, 58–62.
Madrini, I. A. B., & Sulastri, N. N. 2018. Dinamika Suhu Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga dengan Keranjang Bio Komposter. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 7(1), 204.
https://doi.org/10.24843/jbeta.2019.v07.i01.p1 1
Madrini, I. A. G. B., & Sulastri, N. N. 2019. Dinamika Suhu Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga dengan Keranjang Bio Komposter Dinamic Temperature of Organic Household Garbage Composting using Bio Composter Basket. Jurnal Beta, 7(1), 204–207.
Pane, M. A., Damanik, M. M. B., & Sitorus, B. 2014. Pemberian Bahan Organik Kompos Jerami Padi dan Abu Sekam Padi dalam Memperbaiki Sifat Kimian Tanah Ultisol Serta Pertumbuhan Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroteknologi, 2(2337), 1426–1432.
Pranata, I. K. A., Madrini, I. A. G. B., & Tika, I. W. 2021. Efek Penambahan Kotoran Sapi terhadap Kualitas Kompos pada Pengomposan Batang Pisang. Jurnal Beta (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 10(1), 95–104.
Subandriyo, S., Anggoro, D. D., & Hadiyanto, H. 2012. Optimasi Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga Menggunakan Kombinasi Aktivator Em4 Dan Mol Terhadap Rasio C/N. Jurnal Ilmu Lingkungan, 10(2), 70.
https://doi.org/10.14710/jil.10.2.70-75
Sundari, I., Maruf, W. F., & Eko Nurcahaya. 2014. Pengaruh Penggunaan Bioaktivator Em4 Dan Penambahan Tepung Ikan Terhadap Spesifikasi
Pupuk Organik Cair Rumput Laut Gracilaria Sp. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(1), 88–94.
https://doi.org/http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp Pengaruh
Surakusumah, W. 2008. Permasalahan Sampah Kota Bandung dan Alternatif Solusinya. Universitas Pendidikan Indonesia, 1–35.
Http://File.Upi.Edu/Direktori/FPMIPA/JUR._ Pend._Biologi/197212031999031-
Wahyu_Surakusumah/Permasalahan_Sampah_ Kota_Bandung_Dan_Alternatif_Solusinya.Pdf
Surjandari, I., Hidayatno, A., & Supriatna, A. 2009.
Model Dinamis Pengelolaan Sampah Untuk Mengurangi Beban Penumpukan. Model Dinamis Pengelolaan Sampah Untuk Mengurangi Beban Penumpukan, 11(2), 134– 147. https://doi.org/10.9744/jti.11.2.PP.134–
147
Widarti, B. N., Wardhini, W. K., & Sarwono, E. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Jurnal Integritas Proses, 5(2), 75–80. Https://Doi.Org/Http://Jurnal.Untirta.Ac.Id/Ind ex.Php/Jip
133
Discussion and feedback