MEKANISME PENGUNDURAN DIRI SUATU NEGARA DARI KEANGGOTAAN ORGANISASI INTERNASIONAL (STUDI KASUS: BRITAIN EXIT)
on
MEKANISME PENGUNDURAN DIRI SUATU NEGARA DARI KEANGGOTAAN ORGANISASI INTERNASIONAL (STUDI KASUS: BRITAIN EXIT)
Reynaldi Pratama Sisco, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i03.p10
ABSTRAK
Penelitian dalam artikel ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan pengunduran diri keanggotaan suatu negara dalam organisasi regional seperti ASEAN dan EU menurut hukum internasional, serta untuk mengetahui mekanisme pengunduran diri keanggotaan Britania Raya dari EU (Brexit). Melalui jenis penelitian yuridis normatif dengan analisis deskriptif kualitatif memberikan hasil bahwa perbandingan pengaturan pengunduran diri antara ASEAN dengan EU dapat dilihat dari instrumen pokoknya yang mana ASEAN Charter tidak mengatur tentang pengunduran diri negara anggotanya, sedangkan EU dalam Lisbon Treaty telah secara ekspilisit mengatur hal tersebut. Sementara itu, upaya Brexit tidak dapat dikatakan berjalan lancar karena dalam Lisbon Treaty tepatnya Pasal 50 dicantumkan mengenai syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh pihak yang ingin menarik diri dari keanggotaan EU.
Kata Kunci: ASEAN, European Union, Pengunduran diri, Brexit.
ABSTRACT
The study in this article aims to analyze membership withdrawal agreement of a country in regional organizations, such as ASEAN and the EU by international law, and to learn about the withdrawal mechanism of the United Kingdom from the EU (Brexit). Through the normatizing judical research with qualitative descriptive analysis it shows that the withdrawal agreements comparison between ASEAN and the EU can be seen from its elective instruments, which ASEAN Charter doesn’t arrange the withdrawal of its member state, whereas the EU in Lisbon Treaty explicity arranged it. However, Brexit’s effort was not successful, since chapter 50 in Lisbon Treaty specifically stated the obligatory requirements for those who wish to withdraw from EU membership.
Keywords: ASEAN, European Union, Withdrawal, Brexit.
Salah satu ciri-ciri adanya hubungan kerja sama antarnegara adalah pembentukan suatu organisasi baik dalam lingkup bilateral, regional, maupun multilateral. Association of Southeast Asian Nations (selanjutnya disebut ASEAN) dan European Union (selanjutnya disebut EU) adalah dua dari banyaknya organisasi yang memiliki pengaruh penting dalam perkembangan perekonomian negara-negara anggota. Dua organisasi tersebut dapat dikatakan memiliki proses intergrasi yang menjanjikan di dunia. Baik ASEAN maupun EU memiliki komitmen yang sama untuk membangun stabilitas dan kesejahteraan dan menghadapi tantangan globalisasi. Kerja sama antara kedua organisasi tersebut
merupakan respon terhadap terjadinya pergeseran persamaan kekuatan di Asia dan adanya perubahan ekonomi di Eropa, yang diinisasi pada tahun 1970an oleh ASEAN. Hubungan kerja sama antara ASEAN dan EU tentu membawa dampak positif khususnya di bidang pembangunan bagi negara-negara anggota ASEAN.
Berhasilnya hubungan kerjasama antar organisasi regional tentu memiliki perbedaan dalam organisasi itu sendiri baik dari segi struktur maupun kelembagaannya. ASEAN apabila dibandingkan dengan EU pada dasarnya memiliki banyak perbedaan yang cukup mencolok. Dari segi struktur, EU telah memiliki bidang masing-masing sesuai dengan fungsinya, sedangkan ASEAN strukturnya belum memiliki spesialisasi masing-masing. Tidak hanya itu, dari sifat kelembagaan EU cenderung berintegrasi tertutup yang mana EU tidak memberikan kebebasan kepada negara anggotanya untuk mengadakan perjanjian di luar EU, berbeda dengan ASEAN yang berintegrasi terbuka dengan memberikan kebebasan kepada negara anggotanya untuk mengadakan perjanjian tanpa intervensi diluar kerangka ASEAN. Melihat perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua organisasi diatas memiliki pengaturan yang berbeda termasuk dalam proses pengunduran diri negara anggotanya. Seperti halnya dalam kasus Brexit, EU memiliki proses atau mekanismenya sendiri yang harus dilalui oleh negara anggota yang bersangkutan, dan dalam hal ini adalah Britania Raya.
Pertengahan tahun 2016, hampir semua media di seluruh dunia fokus kepada referendum mengenai status keanggotaan Inggris di EU. Kasus ini menyebabkan terjadinya perpecahan masyarakat Inggris menjadi dua golongan yang mana golongan pertama menyerukan bahwa Inggris harus tetap menjadi anggota EU, dan golongan lainnya menyerukan agar Inggris menghentikan kerjasama dan keluar dari keanggotaan EU. Dalam politiknya, golongan-golongan masyarakat Inggris di wakili oleh partai-partai politik seperti partai konservatif yang diwakili oleh Boris Johnson yang berkampanye agar Inggris keluar dari EU. Sedangkan golongan buruh yang ikut berkampanye diwakili oleh Jeremy Corbyn yang memiliki tujuan berbeda dengan partai konservatif. Pembentukan EU diawali karena situasi negara-negara Eropa setelah perang dunia II selesai, yang mana para pemimpin dan warga Eropa berkesimpulan bahwa setelah perang yang terjadi selama satu abad sudah seharusnya merencanakan dan membangun struktur negara yang baru dengan tujuan mencegah timbulnya perang baru di masa depan. Pembangunan struktur baru tersebut diawali dengan pendirian European Coal and Steel Community (selanjutnya disebut ECSC) yang dibentuk pada tahun 1951, kemudian European Atomic Energy Community (selanjutnya disebut EURATOM) pada tahun 1957, serta European Economic Community (EEC). Selanjutnya pada tahun 1967 ketiga institusi diatas digabungkan menjadi European Community (EC) melalui kesepakatan Merger Treaty. Akhirnya tahun 1992 secara resmi dibentuk European Union atau Uni Eropa sebagai langkah besar dari perjanjian Maastricht (Maastricht Treaty).
EU adalah sebuah organisasi regional yang mana negara-negara anggotanya memberikan sebagian kedaulatannya, serta sebagai entitas yang memiliki karakteristik tersendiri dari segi wilayah, kontrol, otoritas nasional maupun ekstra nasional, dan pengakuan yang tidak dapat ditiru oleh negara di belahan dunia lain. Pengakuan EU sebagai organisasi regional termasyur akhirnya pudar seiring dengan keluarnya Britain Raya (Inggris) dari keanggotaan EU. Inggris memutuskan untuk hengkang dari keanggotaan EU pada tanggal 23 Juni 2016
yang dikenal dengan sebutan Britanian Exit (Brexit).1 Melihat sejarahnya, diketahui bahwa Inggris bergabung dengan EU sejak tahun 1973, namun ternyata banyak pihak menginginkan agar Britania Raya keluar dari keanggotaan EU dengan melakukan referendum tahun 1975. Setelah dilakukannya referendum, hasilnya justru dimenangkan oleh pihak yang masih ingin bergabung dengan EU. Hal tersebut semakin melegitimasi kebijakan Inggris agar tetap bergabung dengan EU.2 Akhirnya pada tahun 2015 sejalan dengan kemenangan partai Konservatif dalam pemilihan umum 2015, dilakukan negosiasi kembali yang lebih menguntungkan Britania Raya.3 Hasilnya adalah disepakatinya pembatasan mengenai tunjangan kerja bagi imigran baru serta status untuk Britania Raya yang bersifat istimewa pada EU yang diumumkan pada Februari tahun 2016. Kebijakan tersebut ternyata belum dapat diterapkan sebelum adanya persetujuan dari pihak komisi Eropa serta Dewan Eropa. Hingga akhirnya referendum yang kembali dilakukan memberikan hasil bahwa pada tanggal 24 Juni 2016, sebanyak 51.9% suara menginginkan bahwa Britania Raya untuk keluar dari EU, sedangkan sebanyak 48.1% suara mendukung untuk Britania Raya agar bisa bergabung dalam Uni Eropa.4
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mendalami lebih jauh mengenai pengaturan pengunduran diri suatu negara anggota dalam organisasi internasional termasuk mekanisme pengunduran diri yang dilakukan oleh Britania Raya atau lazim dikenal dengan Brexit dalam keanggotaan EU melalui judul artikel ini yaitu “Mekanisme Pengunduran Diri Suatu Negara Dari Keanggotaan Organisasi Internasional (Studi Kasus: Britain Exit)”. Adapun state of the art pada tulisan ini bisa ditunjukan pada banyaknya pembaharuan dan mengisi kekosongan dari tulisan-tulisan sebelumnya yang sudah dibuat oleh mahasiswa atau pengamat hukum. Sebagai penyanding yakni tulisan yang dibuat oleh Savitri dan Dhea Oina yang berjudul Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Pengunduran Diri Negara Anggota Dari Keanggotaan Organisasi Internasional. Studi Kasus Pengunduran Diri Negara Amerika Serikat Dari UNESCO Tahun 2017. Pada tulisan tersebut menjelaskan bagaimana tinjauan hukum mengenai pengunduran diri suatu Negara dari organisasi internasional, tetapi tidak menjurus mengenai mekanisme serta penegakannya. Dari tulisan ini masyarakat, mahasiswa, dan pengamat hukum bisa menambah wawasan dan menambah bahan bacaan dari bagaimana mekanisme yang digunakan pada suatu negara mengundurkan diri dari suatu keanggotaan organisasi internasional.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, timbulah rumusan masalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah pengaturan pengunduran diri keanggotaan suatu negara dalam organisasi regional seperti ASEAN dan EU menurut hukum internasional?
-
2. Bagaimanakah mekanisme pengunduran diri Britania Raya dari keanggotaan EU?
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis pengaturan pengunduran diri keanggotaan suatu negara dalam organisasi regional seperti ASEAN dan EU menurut hukum internasional sertamengetahui mekanisme pengunduran diri keanggotaan Britania Raya dari EU.
Metode penelitian pada tulisan ini adalah jenis penelitian yuridis normatif serta menggunakan penelitian pustaka yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.5 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undang (statute approach) dengan menganalisa beberapa regulasi internasional yang berhubungan dengan permasalahan dalam artikel ini, serta pendekatan konseptual (conceptual approach) yang dilakukan dengan berpusat pada pandangan-pandangan dan doktrin terkait dengan permasalahan hukum yang sedang dibahas. Data yang digunakan merupakan data sekunder dengan sumber bahan hukum primer. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Konvensi Wina tahun 1969, Lisbon Treaty, dan ASEAN Charter yang membahas mengenai perjanjian internasional serta pengaturan pengunduran diri pada masing-masing organisasi regional.
Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini adalah jurnal-jurnal dan buku maupun artikel yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang dibahas. Selanjutnya bahan hukum tersier yang digunakan meliputi bahan yang memberikan tambahan mengenai penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, serta Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menganalisa kerangka normatif berdasarkan bahan hukum yang digunakan. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif dengan dianalisis secara kualitatif yakni menyajikan hasil penelitian dalam bentuk data (bukan berupa angka). Metode ini digunakan untuk penjelasan data yang digunakan seperti penjelasan mengenai peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian serta data studi kepustakaan (literature) yakni berkaitan dengan permasalahan pada tulisan ini.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pengaturan Pengunduran Diri Keanggotaan Suatu Negara Dalam Organisasi Regional Menurut Hukum Internasional
ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus tahun 1987 adalah organisasi internasional yang sifatnya regional terletak di bagian Asia Tenggara yakni beranggotakan Negara Singapura, Indonesia, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Vietnam, Brunei Darusalam, Kamboja, dan Filiphina.6 Sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki peran penting untuk perkembangan beberapa negara di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara yang notabene merupakan negara berkembang. Meskipun lingkup ASEAN hanya sebagai organisasi regional, namun sama halnya
dengan organisasi internasional yang lainnya, ASEAN mempunyai ASEAN Charter sebagai instrumen pokok (constituent instrument) yang mencantumkan tentang mekanisme, struktur, keanggotaan, tujuan dan maksud organisasi, penyelesaian sengketa, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, landasan utama dibentuknya ASEAN adalah komitmen untuk berkontribusi atau berpartisipasi dalam perdamaian serta stabilitas wilayah di Asia Tenggara dan bertekad untuk mengatasi adanya perbedaan pada latar belakang sejarah, agama, serta politik. Pada prinsipnya, negara-negara anggota ASEAN memiliki persamaan yaitu berdiri sebagai negara berkembang yang dibebani dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat secara signifikan. Adapun tujuan pendirian ASEAN adalah:
-
a. “Mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengembangan kebudayaan, dan kemajuan sosial di kawasan Asia Tenggara melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan agar memperkokoh landasan sebuah masyarakat negara Asia Tenggara yang damai dan sejahtera.
-
b. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan cara menghormati keadilan dan tertib hukum dalam hubungan antarnegara di kawasan Asia Tenggara dan memenuhi prinsip-prinsip piagam PBB.
-
c. Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu satu sama lain dalam masalah kepentingan bersama baik dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, maupun administrasi.
-
d. Untuk saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana latihan dan penelitian di bidang pendidikan profesional, teknik, serta administrasi.
-
e. Untuk bekerja sama secara lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan pertanian serta industri, perluasan perdagangan komoditi internasional, perbaikan sarana pengangkutan dan komunikasi serta peningkatan taraf hidup rakyat.”7
Sekretaris Jenderal ASEAN masih memiliki posisi dan kewenangan yang lemah sehingga menyebabkan seringnya terjadi hambatan dalam pelaksanaan kewenangan hukum ASEAN karena prinsip kedaulatan negara yang dianut oleh sebagian besar negara anggota terbilang cukup kuat. Begitu pula dalam masalah pengunduran diri negara anggota, ASEAN belum memiliki pengaturan tentang hal tersebut. Dalam ASEAN Charter, pengaturan terkait pengunduran diri atau pengakhiran keanggotaan ASEAN belum ditentukan. “Membership” sebagai
bagian dari ASEAN Charter tepatnya pada Chapter III mengandung 3 Pasal yang mana Pasal-pasal tersebut terdiri dari Pasal 1 menyatakan tentang spesifikasi nama sepuluh negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN, pada Pasal 5 menyatakan tentang kewajiban yang dimiliki oleh negara-negara anggota serta Pasal 6 menjelaskan tentang penerimaan anggota baru yang selanjutnya ditentukan oleh ASEAN Coordinating Council.
Kemudian Pasal 6 ayat (4) menyatakan bahwa negara yang akan diterima ke dalam ASEAN melalui penandatanganan instrument charter untuk aksesi. Bagian “Membership” hanya menjelaskan tentang tiga pasal diatas, tanpa mengatur masalah pengunduran diri suatu negara dari keanggotaan ASEAN. Pada proses pembuatan ASEAN Charter para negara anggota tidak ada yang mengungkit masalah pengunduran diri, namun diakhir pembuatan ASEAN Charter, sempat
disinggung mengenai sanksi apabila ada negara yang melakukan pelanggaran terhadap ASEAN Charter. Akhirnya Kamboja melalui perdana menterinya menyatakan bahwa apabila ketentuan sanksi ingin dimasukkan dalam ASEAN Charter maka harus ada ketentuan tentang pengunduran diri negara anggota. Mendengar hal tersebut, para negara anggota memutuskan untuk tidak setuju apabila ketentuan pengunduran diri dimasukkan dalam ASEAN Charter karena para anggota berkomitmen untuk tidak berjalan ke arah tersebut. Dengan kata lain, tidak adanya ketentuan pengakhiran keanggotaan dalam ASEAN Charter menandakan bahwa organisasi ini didirikan dengan jangka waktu yang tidak memiliki batasan.
Ketentuan pengunduran diri bila ditinjau dari Konvensi Wina tahun 1969 tepatnya pada Pasal 54 mengandung makna bahwa pengunduran diri dari suatu perjanjian internasional dapat dilakukan bilamana pengaturan tersebut sudah diatur dalam instrumen pokok organisasi yang bersangkutan dalam hal ini adalah ASEAN Charter. Dalam Konvensi Wina 1969 juga menyebutkan bilamana dalam perjanjian internasional atau instrumen pokok tidak diatur tentang pengunduran diri negara anggota maka pengakhiran keanggotaan suatu negara dalam suatu organisasi tidak dapat dilakukan. Hal tersebut dapat dikecualikan apabila sebelumnya pihak yang bersangkutan telah menyatakan adanya kemungkinan pengunduran diri atau hak tentang pengunduran diri tersebut telah tersirat dalam perjanjian internasional dalam hal ini ASEAN Charter. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa negara anggota ASEAN tidak dapat melakukan pengunduran diri karena dalam instrumen pokoknya (ASEAN Charter) tidak dibahas tentang ketentuan-ketentuan pengakhiran keanggotaan.
Koalisi European Union (selanjutnya disebut EU) atau Uni Eropa diawali pada tahun 1951 ditandai oleh dibentuknya European Coal and Steel Communit (selanjutnya disebut ECSC) atau yang sering disebut dengan masyarakat batu bara dan baja Eropa. Kemudian pembentukan European Atomic Energy Community (selanjutnya disebut EURATOM) atau di Indonesia dikenal dengan Masyarakat Energi Atom Eropa pada tahun 1957 melalui kesepakatan Treaty of Rome dengan tujuan menampung sumber energi atom secara damai dan Masyarakat Ekonomi Eropa atau yang sering disebut European Economic Community (selanjutnya disebut EEC). Integrasi Uni Eropa tidak berhenti disana saja, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah menggabungkan ketiga institusi diatas membentuk European Communit (selanjutnya disebut EC) Masyarakat Eropa melalui kesepakatan Merger Treaty pada tahun 1967. Akhirnya pada tahun 1992 melalui perjanjian Maastricht (Maastricht Treaty) secara resmi dibentuk EU sebagai sebuah organisasi regional dimana para negara anggotanya menyerahkan sebagian kedaulatan negaranya.
EU beranggotakan 27 negara dan dihuni lebih dari 492 juta penduduk. Pada awalnya, pasca Perang Dunia II yaitu ketika anggota pendiri telah memutuskan untuk memilih strategi terbaik guna mencegah terjadinya permasalahan atau konflik yaitu melalui pengelolaan secara bersama-sama memproduksi batu bara dan baja yang merupakan 2 keperluan utama yang dibutuhkan saat berperang. Negara-negara yang terikat pada Uni Eropa memiliki serangkaian perjanjian yang telah mereka setujui serta sudah ditandatangani. Traktat tersebut harus disepakati oleh setiap Negara yang tergabung menjadi anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional atau melalui referendum. Rangkaian sejarah tersebut
lalu berubah menjadi sebuah komunitas regional besar yang saat ini populer dikenal dengan sebutan European Union (EU).8
Perkembangan EU yang semakin maju mampu menarik minat negara-negara lain di luar keanggotaan EU unruk bergabung dalam organisasi ini. Kemajuan pesat EU mendorong negara-negara maju seperti Denmark, Irlandia, Norwegia, serta Inggris yang mengajukan diri untuk bergabung ke dalam EU. Proses pengajuan diri negara-negara tersebut sempat dibumbui oleh penolakan Perancis yang tidak menginginkan Inggris bergabung dengan EU dengan alasan adanya peritiwa di masa lalu antara Inggris dan Perancis. Setelah kepemimpinan Pompidon di Perancis pada tahun 1973, akhirnya secara resmi Inggris bergabung ke dalam EU, disusul oleh Irlandia dan Denmark. Selanjutnya pada tahun 1981 disusul oleh Yunani, tahun 1986 disusul oleh Portugal dan Spanyol. Selanjutnya reunifikasi oleh Jerman tahun 1990 yang membawa masuk wilayah Jerman Timur. Pada tahun 1995, Austria, Finlandia. dan Swedia resmi bergabung dalam keanggotaan Uni Eropa. Tidak hanya itu, perluasan pada tahun 2004 membawa masuk negara-negara di Eropa Timur, seperti Republik Ceko, Siprus, Estonia, Lithuania Hongaria, Latvia, Malta, Slovenia, Polandia, dan Slowakia, serta tahun 2007 disusul oleh Rumania dan Bulgaria.9
Awal mulanya, ketentuan tentang pengunduran diri belum ada pada instrumen EU. Dimulai dari terbentuknya European Coal and Stel Community (selanjutnya disebut ECSC) melalui Treaty of Paris 1951, selanjutnya European Economic Community (selanjutnya disebut EEC) yang dibentuk Treaty of Rome, dan akhirnya pembentukan European Union (EU) yang dibentuk melalui Maastricht Treaty, sama sekali tidak ada membahas ketentuan mengenai pengunduran diri. Adapun beberapa alasannya yakni pertama, guna menghindari timbulnya pertanyaan tentang komitmen negara anggota terhadap pencapaian tujuan semua negara anggota. Ke-2 bilamana ada ketentuan tentang pengunduran diri maka hal ini akan menaikkan kemungkinan terjadinya pengunduran dirioleh negara anggota. Alasan terakhir, apabila mencantumkan ketentuan tentang pengunduran diri, maka hal tersebut akan menyebabkan adanya keharusan dalam menyediakan ketentuan tentang mekanisme maupun konsekuensi akibat terjadinya pengunduran diri.
Sesuai dengan ketiadaan ketentuan tentang pengunduran diri tersebut tidaklah suatu ketidaksengajaan. Hal tersebut dikarenakan EC maupun EU memang dibentuk dalam jangka waktu tak terbatas, serta melalui pemenuhan tujuan EC serta EU, agar ada pembaharuan mengenai komitmen guna menghasilkan landasan kerjasama yang lebih dekat di antara penduduk. Melalui ketiadaan pengaturan tentang pengunduran diri pada instrumen utama EU, ada perbedaan spekulasi tentang boleh tidaknya untuk dilakukan pengunduran diri. Adapun negara anggota yang secara tegas menyatakan mengenai pengunduran dirinya tetap bisa dilakukan dengan memberikan kedaulatan negara sebagai suatu alasan untuk dibolehkannya melakukan pengunduran diri.10 Hal tersebut langsung
dibantah oleh European Court of Justice (selanjutnya disebut ECJ) dengan pernyataan pada kasus Costa v. ENEL, bahwa: "By creating a Community Of unlimited duration, having its own institutions. its own personality, its own legallcapacity and capacity of representation on the international plane and, more particularly. real powers stemming from a limitation of sovereignty or a transfer of powers from the States to Community, the Member States have limited their sovereign rights and have thus created a bodv of law which binds both their nationals and themselves rhe transfer by the States from their domestic legal system to the Community legal system of the rights and obligations arising under the Treaty carries with it a Frmanent limitation Of their sovereign rights.”11
Berdasarkan pernyataan diatas, melalui pembentukan suatu perkumpulan dalam bentuk komunitas yang mempunyai batas waktu yang tidak dbatasi, serta memiliki kapasitas hukum dalam ruang lingkup global, sehingga dapat dikatakan adanya sebuah transfer kekuasaan yang berasal dari negara yang terlibat dalam komunitas tersebut, atau adanya suatu batasan dari kedaulatan negara anggota yang bergabung dalam komunitas tersebut. Selain itu, ECJ secara kentara memberikan pengakuan terhadap adanya kewajiban yang berasal dari pengadilan nasional agar dapat dikesampingkan regulasi nasional yang mereka miliki, termasuk hukum konstitusional yang telah mereka anut apabila bertentangan dengan hukum EC. Dengan kata lain, karena tidak adanya ketentuan tentang pengunduran diri tersebut, maka pengakhiran keanggotaan di EU atau EC tidak diperbolehkan. Hal tersebut mendapatkan pengecualian terhadap beberapa situasi yang mungkin terjadi. Pertama, apabila pada suatu negara lain secara dasar serta terus menerus melanggar ketentuan dalam perjanjian-perjanjian internasional EU. Kedua, bila institusi Eropa telah melakukan tindakan dengan ultra vires. Terakhir, bilamana suatu negara yang tergabung dalam anggota menghadapi kondisi dan situasi yang sulit dan luar biasa yang menyebabkan negara anggota yang tergabung dalam komunitas tersebut mengalami kesulitan untuk mematuhi kewajiban kontraktualnya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa terdapat hak untuk mengundurkan diri secara sepihak yang sifatnya diatur pada perjanjian internasional dengan tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan doktrin rebus sic siantibus. Pada umumnya, kasus pengunduran diri dalam EU sangat jarang terjadi, namun kasus pengunduran diri negara anggota pernah terjadi sekali yang dilakukan oleh Greenland walaupun kasus tersebut tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai pengakhiran keanggotaan dalam EU. Atas kasus pengunduran diri yang dilakukan oleh Greenland, akhirnya ketentuan tentang pengunduran diri negara anggota mulai dibahas agar dimasukkan pada instrumen pokok EU melalui pembentukan draft Treaty On Establishing As Constitution Of Europe. Usaha EU untuk menciptakan ketentuan mengenai pengunduran diri melalui draft Treaty On Establishing As Constitution Of Europe ternyata tidak membuahkan hasil, dikarenakan perjanjian tersebut tidak dapat diratifikasi oleh negara anggota EU.
Tidak berhenti sampai disitu, EU kembali membuat Lisbon Treaty sebagai perjanjian yang mengandung amandemen pada Treaty On European Union (Maastrict Treaty) yang diubah menjadi Treaty On The Functioning Of The European Union. Akhirnya ketentuan mengenai pengunduran diri anggota EU tercantum dalam Lisbon treaty tepatnya dalam Pasal 50. Terdapat beberapa alasan terkait EU memasukkan ketentuan pengunduran diri setelah sekian lama berdirinya EU.
Pertama, EU akan siap bilamana terdapat negara anggota yang ingin mengundurkan diri seiring dengan adanya kasus pengunduran diri yang pertama dilakukan Greenland. Kedua, suatu negara anggota tidak dapat dipaksa untuk tetap berkomitmen dalam EU apabila negara anggota tersebut sudah tidak ingin menghormati komitmennya. Ketiga, kesan EU yang tidak demokratis dapat dihilangkan dengan dimasukkannya ketentuan tentang pengunduran diri negara anggota. Sehingga dengan dimasukannya ketentuan pengakhiran keanggotaan negara anggota, dapat meminimalisasi pertentangan suatu negara untuk menyerahkan kedaulatannya kepada EU.
Saat kepemimpinan PM Harold Macmillan dari partai konservatif pada tahun 1961, ia membuat proposal yang diajukan agar bergabung dalam European Economic Community (EEC). Pengajuan tersebut ditolak oleh Charles Dee Gaulle yang saat itu menjabat sebagai presiden Perancis, dengan alasan masa lalu antara Perancis dan Inggris, serta kekhawatiran pihak Perancis apabila Inggris memengaruhi negara anggota lainnya untuk merubah konsensus yang telah menjadi kesepakatan dalam EEC. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan prinsip proteksi hasil pertanian yang berlawanan antara Inggris dan EEC, yang mana Inggris mengimpor hasil dari pertaniannya. Para petani di Eropa mendapatkan kebijakan istimewa oleh pemerintah setiap negaranya dengan menerapkan proteksi hasil pertanian mereka di pasar global sebab ongkos produksi relatif tinggi sedangkan penghasilannya berbanding terbalik.12 Drama penolakan Inggris oleh Perancis akhirnya menemui titik terang, yang mana saat kepemimpinan presiden George Popimdou sebagai pengganti Charles de Gaule akhirnya menerima pengajuan diri Inggris untuk bergabung dalam keanggotaan EC tepat tahun 1973. Disusul oleh Irlandia dan Denmark. Usaha Inggris agar bisa bergabung dengan EC ternyata mengakibatkan perpecahan di masyarakat Inggris yang menimbulkan adanya ketidaksetujuan dari parlemen sisi kanan hingga terjadinya pengunduran diri terhadap dua anggota kabinet yaitu Teddy Taylor dan Jasper Moore dari Partai Konservatif.13
Perpecahan tersebut mengakibatkan adanya dua kubu yang pro kontra atas keanggotaan Inggris di EC/EU. Adanya referendum Brexit dimulai sejak pidato PM David Cameron pada tahun 2013, yang mana ia berjanji apabila ia terpilih kembali dalam pemilu berikutnya maka ia akan menggelar referendum lagi. Akhirnya pemerintah Inggris melakukan referendum yang hasilnya justru dimenangkan oleh pihak yang masih ingin bergabung dengan EU. Hal tersebut semakin melegitimasi kebijakan Inggris agar tetap bergabung dengan EU. Referendum adalah suatu bentuk pemilihan yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam memilih guna menentukan nasib selanjutnya dari negara tersebut kedepannya.
Pro dan kontra antara pendukung brexit dan anti brexit menyebabkan terjadinya perang kampanye yang menghabiskan dana sekitar 9 juta poundsterling hanya untuk mencetak brosur mengenai kampaye dengan tujuan warga Inggris
memilih tetap untuk bergabung dengan EU. Perdana Menteri David Cameron sebagai perwakilan kubu tetap memberikan pendapat bahwa adanya Brexit dapat mendorong Inggris ke masa depan yang suram. Hal ini didasari atas analisis keuangan yang dilakukan oleh George Osbone yang menyebutkan bahwa Inggris akan menderita tekanan ekonomi karena adanya penurunan GDP sebesar 3,6%, inflasi yang akan meningkat sampai 2,3%, dan tingkat pengangguran yang semakin tinggi sebesar 1,6 % dengan jumlah penduduk 520.000 jiwa setelah dua tahun pasca Brexit. George Osbone menunjukkan data tersebut karena perekonomian Inggris akan terpuruk apabila Brexit dilakukan. Sementara itu, sayap yang pro brexit yang diwakili oleh mantan pejabat walikota Inggris yaitu Boris Johnson, yang menjelaskan bahwa dengan bergabung pada Brexit, Inggris akan bisa mengendalikan stabilitas mata uang nasional, mendapatkan kekuatan sebagai negara yang bisa berdiri mandiri, serta mampu mencapai masa depan ekonomi yang lebih baik. Pada dasarnya yaitu kubu pro Brexit selalu berpatokan pada keuntungan yang didapatkan oleh Inggris, sedangkan kelompok anti Brexit mempunyai pendapat yang berlawanan.14
Terdapat beberapa faktor yang membuat Inggris memutuskan untuk keluar dari EU. Faktor yang pertama yaitu pandangan state centric terhadap koalisi regional yang mana negara akan menjadi sumbu utama pada pembentukan serta pengelolaan strategi terhadap pemerintahan dan adanya kerjasama dengan pihak lainnya yang memperoleh kritik dari Inggris. State centric merupakan pandangan yang mengandung makna bahwa suatu bangsa atau pemerintah nasional menjadi pembuat dan menentukan keputusan utama serta memberikan setengah kewenangan kepada instirusi supranasional guna tercapainya tujuan kebijakan yang utama. Dalam hal EU yang menentukan keputusan atau aturan yang dilakukan dengan proses kesepakatan diantara Eksekutif negara yang tergabung dalam anggota komunitas brexit, hal tersebut mendapatkan kritik mengenai pandangan state centric yang menyatakan bawasannya Inggris tidak berkeinginan untuk melakukan penbuatan kebijakan yang ditentukan oleh para eksekutif negara dengan secara terperinci, namun hal tersebut untuk menentukan arah terhadap kebijakan yang tetap bisa dikendalikan oleh setiap negara yang berkepentingan.15 Pada sejarah koalisi wilayah Eropa, Inggris mempunyai hubungan kritis dengan EU dibuktikan dengan dilakukannya referendum keanggotaan Inggris di EU pada tanggal 6 Juni tahun 1975, sedangkan sebanyak 67,23% suara memilih untuk tetap bergabung dengan ECC.16
Faktor yang kedua yaitu karena adanya perjanjian Amsterdam yang dijadikan dasar hukum sahnya pihak Inggris agar perbatasan tetap terjaga secara mandiri. Inggris juga memutuskan agar memakai haknya untuk menjaga keamanan pelabuhan laut serta udara karena memercayai bahwa hal itu merupakan cara efektif untuk bisa mengatur imigran serta melawan kasus kriminalisasi antar negara. Selain itu, Inggris memberikan dua penolakan kepada Perjanjian Maastricht tahun 1992 yang mengandung tiga tujuan utama, yakni:
-
1. “pembentukan pasar tunggal Eropa melalui penggunaan mata uang tunggal;
-
2. pembentukan European Central Bank (ECB); dan
-
3. penyatuan kebijakan legislatip dan internal negara anggota.”
Sikap menolak yang dilakukan berhubungan dengan pemerintahan John Major sebagai partai yang Konservatif dan memiliki upaya guna meneruskan suatu kebijakan terhadap Perdana Menteri yang sebelumnya mengenai penolakan integrasi keuangan Uni Eropa melalui kebijakannya yaitu European Monetary Union (selanjutnya disebut EMU) yang terdapat pada Mastricht Treaty. Tidak hanya itu, penolakan kedua yang dilakukan Inggris adalah dengan tidak ikut menandatangani bab sosial dari perjanjian Maastricht yang terdapat dalam bagian tambahan yang dimana bab tersebut mengatur ketentuan mengenai hubungan buruh dan kesejahteraansosial di negara Uni Eropa.
Penolakan selanjutnya yang dilakukan oleh Inggris adalah dengan tidak berpartisipasi lagi dalam proses integrasi keuangan yang dibentuk pada masa EEC sampai EU. Inggris memberikan keputusan kontroversial dibawah kepemimpinan John Major dari Partai Konservatif untuk keluar dari ERM sebagai proses integrasi keuangan Eropa. Sebelum EMU terbentuk pada tahun 1992 yang disebabkan oleh krisis mata uang yang terjadi tahun 1992 hingga 1993 hingga mempertahankan penggunaan mata uang poundsterling. Penolakan selanjutnya muncul pada terbentuknya Perjanjian Maastricht atau sering disebut Treaty of European Union yang saat itu di bawah pimpinan Tony Blair yang berasal dari partai Buruh. Inggris tidak setuju dengan isi dari perjanjian tersebut yang menerapkan mata uang tunggal euro bertepat pada tanggal 1 Januari 1999 dengan dalil bahwa Inggris lebih menginginkan agar terjadi kerjasama secara sukarela antar negara namun tidak kerjasama yang mengarah kepada integrasi.17
Pada bulan Februari tahun 2016, melalui negosiasi antara Inggris dengan Uni Eropa akhirnya disepakati beberapa pembatasan terhadap tunjangan kerja yang akan diberikan kepada imigran yang baru serta pemberian status istimewa status istimewa bagi Britania Raya dalam EU. Kesepakatan baru yang dibentuk oleh Britania Raya pada dasarnya untuk membuat peraturan baru pada Uni Eropa dengan tujuan membatasi para pendatang untuk bepergian ke suatu negara yang sedang mengalami lonjakan kenaikan jumlah pendatang yang masif atau disebut dengan mekanisme "Rem Darurat". Selain itu, adapula mekanisme "kartu merah", yang dimana suatu negara EU dapat memberikan masukan terhadap aturan yang diberikan kepada Parlemen Eropa agar dilakukannya perubahan. Mekanisme tersebut berbeda dengan mekanisme veto, di mana aturan dalam mekanisme ini harus tetap dijalankan apabila Parlemen Eropa telah mengatasi permasalahan yang ada pada aturan tersebut.18 Kebijakan tersebut sebagai upaya dari negosiasi kedua pihak ternyata belum bisa diterapkan oleh Britania Raya sebelum diberikan persetujuan oleh komisi Eropa serta Dewan Eropa, sehingga pemerintah Inggris kembali melakukan referendum.
Referendum Brexit dilakukan pada Kamis 23 Juni tahun 2016, dengan tujuan untuk bisa diputuskan apakah Britania Raya harus meninggalkan keanggotaannya di EU atau tetap bisa tergabung dalam EU.19 Referendum tersebut dipilih oleh 30 juta orang, atau bisa diperkirakan sekitar 71,8% dari total warga Inggris yang dinyatakan mempunyai hak pilih di Britania Raya. Secara rinci warga Britania Raya yang memutuskan untuk memilih saat referendum totalnya berjumlah 33.577.342, dengan penjabaran suara sah sebanyak 33.551.9833serta suara tidak sah sebanyak kurang lebih 25.3599 dengan kata lain sebesar 51,9% suara memilih keluar dan sebesar 48,1% suara memilih bertahan dalam keanggotaan EU.20 Meskipun referendum brexit telah dilakukan, tetapi upaya Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa masih sangat panjang bahkan memerlukan waktu hingga 3,5 tahun. Menurut Lisbon Treaty tepatnya pada pasal 50, menyatakan bahwa negara yang termasuk anggota yang bergabung dan melakukan penarikan diri harus memastikan terbentuknya bebrapa perjanjian yang menandai adanya hubungan baru antara negara yang dimaksud dengan Uni Eropa. Seperti salah satu contohnya Inggris sebagai negara yang menarik diri agar wajib membentuk beberapa perjanjian dengan Uni Eropa yang berupa: “(a) Perjanjian penarikan diri dari Uni Eropa; (b) Perjanjian hubungan baru bersama Uni Eropa; dan (c) Perjanjian hubungan dagang baru dengan sejumlah negara non-EU (karena perjanjian EU bersama negara ketiga akan dihentikan bagi Inggris). Adapun masa pembentukan perjanjian ini akan dibatasi selama dua tahun atau lebih sesuai dengan kesepakatan dewan Eropa”.21
Setelah perjalanan panjang, akhirnya pada November 2018 kesepakatan Brexit yang telah ditandatangani oleh Inggris dan EU, namun mendapat penolakan beberapa parlemen pada Januari 2019 dengan suara 432 berbanding 202. Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 2019, parlemen masih melakukan penolakam dengan suara 391 berbanding 242 walaupun kesepakatan tersebut telah direvisi. Oleh sebab itu, May selaku Perdana Menteri berencana kembali melaksanakan voting ketiga yang diadakan pada bulan April tahun 2019. Meski demikian, dukungan terhadap parlemen saat itu tidak ada perubahan. Pilihan yang terdapat dalam proses Brexit masih tidak ada perubahan, yaitu “pertama, Inggris keluar tanpa kesepakatan; kedua, mendukung kesepakatan Brexit May; ketiga, memperpanjang tenggat lebih lama (untuk Pemilu ataupun referendum); serta keempat, membatalkan Brexit. Kesepakatan yang akan divoting oleh Parlemen Inggris merupakan kesepakatan Inggris-Uni Eropa yang menetapkan ketentuan mengenai keluarnya Inggris dari Uni Eropa, tetapi parlemen tidak akan memvoting Deklarasi Politik yang akan mengatur masa depan hubungan perdagangan Inggris dan Uni Eropa”.22
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam ASEAN Charter, pengaturan terkait pengunduran diri atau pengakhiran keanggotaan ASEAN belum ditentukan. “Membership” sebagai bagian dari ASEAN Charter pada Chapter III mengandung 3 Pasal, dan tidak adanya ketentuan pengakhiran keanggotaan dalam ASEAN Charter menandakan bahwa organisasi ini didirikan dengan jangka waktu yang tidak memiliki batasan. Ditinjau dari VCLT 1969 pada Pasal 54 secara tegas menyebutkan bahwa ketentuan pengunduran diri didasarkan pada instrumen pokok, dan ASEAN Charter yang sama sekali tidak menyingung mengenai mekanisme pengunduran diri negara anggotanya. Sementara dalam European Union yang awalnya tidak diatur mengenai pengunduran diri negara anggotanya, namun seiring dengan berjalannya waktu akhirnya dibentuk Lisbon Treaty yang sudah secara jelas mengatur mengenai mekanisme pengunduran diri suatu negara anggota dari EU. Sehingga perbandingan pengaturan pengunduran diri antara ASEAN dengan EU yang mana ASEAN Charter tidak mengatur hal tersebut, sedangkan EU dalam Lisbon Treaty telah secara ekspilisit mengatur mengenai mekanisme pengunduran diri negara anggotanya. Pada proses pengakhiran hubungan kerjasama antara Britania Raya dengan EU, upaya pengunduran diri oleh Inggris menempuh 3,5 tahun lamanya terhitung sejak dilakukannya referendum tahun 2015 hingga pertengahan 2019. Upaya Brexit tidak dapat dikatakan berjalan lancar karena dalam Lisbon Treaty tepatnya Pasal 50 dicantumkan mengenai syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh pihak yang ingin menarik diri dari keanggotaan EU. Hingga sampai saat ini Britania Raya mengakhiri keanggotaannya dalam EU secara sepihak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Forster, Anthony. EuroscepticismmIn Contemporary British Politic: Opposition To Europe In The British Conservative And Labour Parties Since 1945, London, Routledge, (2012).
Soekanto, Soerjono & Sri Mammudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, (2013)
Widdows, Kevin. The Unilateral Denunciation Of Treaties Containing No Denunciation Clause, British, Year Book Of International Law, (2012).
Vasbo, Sophie N. 2014. Economic Consequences of Brexit for The United Kingdom, United Kingdom, Copenhagen University, (2015).
JURNAL
Cini, Michele. “European Union Poltics”. Jurnal from Oxford University, New York. Volume 3 No. 1 (2013) : 55-65.
Goodwin, M. J. dan Heath, O.“The 2016 Referendum, Brexit And The Left Behind: An Aggregate-Level Analysis Of The Result.“ Political Quarterly, Vol. 87, No. 3, (2016) : 317-323
Kaukab, M. Elfan dan Wiji Yuwono. “Komunikasi Dalam Negosiasi Politik Brexit”. Jurnal Komunikasi & Bahasa, Volume 1, No 2, Desember (2020) : 98-107.
Kurniawati. “Inggris Dalam Uni Eropa: Keanggotaan Setengah Hati?”, Jurnal Sejarah Lontar, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember (2009) : 55-67.
Lestari, Indah Sri. “Penarikan Diri Inggris Dari Uni Eropa Tahun 2016”. eJournal Ilmu Hubungan - Internasional, Volume 5, Nomor 3, (2017) : 17-26.
Mangku, Dewa Gede Sudika, 2019. Pembentukan Asean Security Community (Asc) Di Kawasan Asia Tenggara. Jurnal Hukum Saraswati. Vol. 1 No. 2, 205-221
Marks, Gery, Et.Al. “European Integration From The 1980.” State Centric V. Multi-Level Governace. Journal Of Common Market Studies. Vol. 34, No. 3, (2016) : 1-12.
Oratmangun, Djauhari. “ASEAN Charter: A New Beginning For Southeast Asian Nations”. Jurnal hukum Internasional. Vol. 6, No. 2, Januari (2009) : 254 -265.
Portes, Jonathan. "Immigration after Brexit". National Institute Economic Review. Vol. 238, No. 1, ISSN 0027-9501, (2016) : 1-15.
Rezkyniine, Milla Shanthy Trilke Tulung, Stefanus Sampe, 2018. Analisis Kebijakan Luar Negeri: Studi Tentang Keluarnya Britania Raya Dari Uni Eropa Pada Tahun 2016, Jurnal Eksekutif, Vol 1, No 1, 1-10.
Sherin, Virginia, Hardi Alunaza SD, 2018. Pengaruh British Exit (Brexit) Terhadap Kebijakan Pemerintah Inggris Terkait Masalah Imigran. Intermestic: Journal of International Studies, Vol 2 No 2, 156-170.
Wendi, Alexander. “Contructing International Politics. International Security”, International Law Journal, Vol 20, No. 1, (2015) : 23-32.
Yunazwardi, Muhammad Iqbal, 2021, Narasi Anti-Imigran Dalam Krisis Pengungsi Eropa Tahun 2015 Sebagai Refleksi Atas Krisis Identitas Eropa, Dauliyah Journal, Vol. 6, No. 2, July, 313-341.
INTERNET
Saviar, Yulyan Maharta. 2017, “Mengapa Brexit?Faktor-Faktor Dibalik Penarikan Inggris Dari Keanggotaan Uni Eropa” diakses 25 Juli 2021, https://journal.unair.ac.id/JAHI@mengapa-brexit-article-11649-media-131-category-8.html.
Info Singkat. “Brexit Dan Upaya Antisipasi Indonesia”. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Vol. XI, No.07/I/Puslit/April/2019.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 574-587
Discussion and feedback