PENGATURAN PIDANA DENDA TERHADAP KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
on
PENGATURAN PIDANA DENDA TERHADAP
KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
Gede Made Dananda Paramartha Susila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: danandaps.20@gmail.com
Anak Agung Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: oka_yudistira@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i02.15
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kompleksitas problematika pengaturan pidana denda bagi korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi serta memformulasikan pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi pada masa yang akan datang. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan konseptual serta pendekatan peraturan perundang-undangan. Bahwa hasil studi menunjukkan pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi belum mengakomodir mekanisme alternatif apabila harta benda korporasi yang telah disita dan dilelang untuk pembayaran pidana denda ternyata tidak setara atau tidak mencukupi daripada nilai pidana denda yang telah ditetapkan. Adapaun tindakan yang dapat dilakukan guna mengatasi problematika tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Pertama, dengan mengadopsi sistem sita aset berbasis nilai yang memungkinkan penentuan nilai hasil dan alat-alat kejahatan, dan kemudian melakukan penyitaan atau perampasan aset yang bernilai setara. Dengan demikian terdapat ruang untuk merampas harta benda kekayaan milik korporasi asalkan harta kekayaan tersebut bernilai sama dengan nilai denda yang harus dibayarkan oleh korporasi, sehingga negara tetap dapat memperoleh nilai denda sebagaimana yang telah ditetapkan kepada korporasi. Kedua, dengan menerapkan teori pertanggungjawaban pengganti, dimana teori tersebut memungkinkan untuk membebankan suatu pertanggungjawaban korporasi kepada kepada pengurus korporasi, termasuk pula terhadap pidana denda.
Kata Kunci: Pidana Denda, Korporasi, Sita Aset Berbasis Nilai.
ABSTRACT
This study aims to find out the complexity of the problem of criminal regulation of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes and conceptualize the criminal arrangement of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes in the future. The study applies normative legal research methods with a statutory and conceptual approach. The results of the study showed that the criminal arrangement of fines against corporations as perpetrators of corruption crimes has not accommodated alternative mechanisms if the property that has been auctioned for the payment of criminal fines turns out to be unequal or insufficient than the criminal value of the fine that has been set. There are many actions that can be done to overcome the problem can be done through 2 (two) ways. First, by adopting a value-based asset Confiscation system that allows the determination of the value of proceeds and tools of crime, and then confiscation or seizure of assets of equal value. Thus there is room to seize the property of the property of the corporation as long as the property is equal to the value of the fine to be paid by the corporation, so that state can still get the value of the fine as stipulated to the corporation. Second, by applying the vicarious liabillity theory, where the theory makes it possible to impose a corporate liability to the corporate board, including against criminal fines.
Key Words: Criminal Fine, Corporation, Value-Based Confiscation System
Tindak Pidana korupsi merupakan suatu perbuatan kriminal dan perbuatan terburuk dari penyimpangan harkat dan martabat manusia. Korupsi juga dapat mengancam keseimbangan masyarakat, nilai-nilai keadilan, melunturkan etika, dan menghambat asifikasi suatu negara hukum.1 Maraknya praktik korupsi dewasa ini menyingkap normalisasi kekejaman manusia dan proses-proses kebudayaan yang telah menjadikannya lebih kuat.
Melihat bahaya laten dari praktik korupsi, pemerintah Indonesia melalui berbagai instrumen telah menunjukan niatnya untuk memberantas tindak kejahatan ini. Setidaknya hal ini terbukti dengan pembaharuan hukum tindak pidana korupsi melalui pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut UU PTPK). Dibentuknya UU PTPK tersebut bertujuan untuk menggantikan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai sudah tidak lagi dapat mengakomodir antara kejahatan dengan mekanisme pemberantasan korupsi. UU PTPK hadir sebagai pembaharuan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.2
Salah satu bentuk pembaharuan hukum dalam UU PTPK yakni dengan diakomodirnya subjek hukum yaitu korporasi (rechtpersoon) selain daripada perseorangan (naturlijkpersoon). Bahwa UU PTPK mengonstruksikan suatu korporasi sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum ataupun bukan berbadan hukum (Pasal 1 Ayat (1) UU PTPK). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan perbuatan korupsi, suatu korporasi baru dianggap telah melakukan perbuatan tersebut apabila dilakukan oleh individu yang berkedudukan sebagai directing mind atau dilakukan oleh organ-organ korporasi guna memberi manfaat bagi korporasi tersebut. Terhadap perbuatan tersebut maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Mengingat korporasi sebagai sebuah artifical person yang barang tentu tidak dapat dipenjarakan selayaknya individu (naturlijkpersoon), maka jenis pidana pokok yang diberikan kepada korporasi hanya terbatas pada pidana denda.3 Hal tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK yang menyatakan bahwa pidna pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Konstruksi pidana denda dalam Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK tersebut pada hakikatnya memang ditujukan agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku korporasi, sebab korporasi diwajibkan untuk membayar denda senilai satu per tiga lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pelaku perseorangan (naturlijkpersoon). Meskipun demikian, konstruksi pemidanaan tersebut disisi lain justru tidak mengatur secara jelas
bagaimana alternatif pidana yang yang dapat dijatuhkan apabila aset yang dimiliki korporasi tidak dapat menutupi pembayaran denda tersebut.
Adanya rongga dalam pengaturan pidana denda tersebut sebenarnya telah disadari oleh pranata peradilan Mahkamah Agung. Hal tersebut ditunjukan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (untuk selanjutnya disebut PERMA 13 Tahun 2016), tepatnya pada Pasal 28 Ayat (3) yang pada pokoknya mengatur bahwa apabila korporasi tidak membayar denda maka harta benda korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda.
Dalam konteks Pasal 28 Ayat (3) PERMA 13 Tahun 2016 inilah pokok permasalahan tulisan ini terletak. Ketentuan a quo menyebut bahwa apabila korporasi tidak membayar denda dari jangka waktu yang telah diberikan semenjak putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), oleh karena demikian jaksa dapat menyita harta benda korporasi untuk dilelang guna pembayaran denda. Sayangnya, ketentuan tersebut disisi lain tidak memberikan alternatif lain apabila harta benda hasil sita yang telah dilelang ternyata tidak setara atau tidak mencukupi daripada nilai pidana denda yang telah ditetapkan.
Hadirnya ketentuan a quo sejatinya memang dapat menjadi pijakan dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi, termasuk mengenai mekanisme penjatuhkan pidana denda bagi korporasi.4 Namun sangat disayangkan bahwa ketentuan tersebut masih belum dapat menutupi kekosongan hukum didalam Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK secara menyeluruh. Tentu sangat dimungkinkan apabila memang secara nyata kekayaan korporasi yang didapat dari hasil korupsi tersebut masih belum mencukupi nilai denda yang harus dibayarkan atau korporasi memang secara sengaja menutup-nutupi harta kekayaannya dan menempatkan seluruh asetnya kepada pihak lain agar tidak dapat disita oleh negara.5
Hal inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menganalisis dan mengkaji permasalahan tersebut melalui penulisan jurnal ilmiah. Berkaitan dengan orisinalitas, penelitian yang disusun dalam jurnal ilmiah ini murni sebagai hasil pemikiran pribadi dari penulis. Namun benar adanya bahwa terdapat terdapat dua penelitian lain yang memilki isu serupa terutama mengenai pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Bahwa Penelitian oleh Munajat Instansasmita, Dr. Prija Djatmika, S.H., M.S., dan Dr. Ismail Navianto, S.H., M.H., tahun 2015 dengan judul “Eksekusi Pidana Denda Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi” pada dasarnya memiliki permasalahan serupa dengan jurnal ilmiah ini. Namun jurnal ilmiah tersebut bertumpu pada pendekatan perbandingan dengan sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon guna mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Disisi lain, dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan menawarkan penggunakan teori sita aset berbasis nilai dan penerapan teori pertannggungjawaban pengganti (vicarious liability) sebagai teori maupun doktrin yang dapat digunakan bagi penuntut umum atau
majelis hakim guna mengisi kekosongan norma terhadap pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang tidak mampu membayar pidana denda. Kemudian, terdapat pula penelitian oleh Adriene Mathilde tahun 2019 dengan judul “Analisis Terhadap Ekesusi Pidana Denda Dalam Tindak Pidana Korupsi Terhadap Korporasi (Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM)”. Bahwa penelitian tersebut menganalisa adanya kekosongan norma dalam pengaturan pidana denda bagi korporasi yang tidak dapat membayar pidana denda sehingga mengakibatkan eksekusi pidana denda terhadap terdakwa korporasi tersebut tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, jurnal ilmiah tersebut menggunakan metode pendekatan kasus (the case approach). Namun, penelitian tersebut tidak menjabarkan lebih lanjut metode yang dapat digunakan guna mengisi kekosongan norma terhadap korporasi yang tidak mampu membayar pidana denda. Sementara itu, dalam jurnal ilmiah ini, penulis menggunakan metode pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach), serta pendekatan futuristik (futuristic approach) guna memformulasikan pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, dalam jurnal ilmiah ini tidak akan mengulas suatu kasus dalam pembahasannya.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1.2.1. Bagaimanakah pengaturan pidana denda terhadap korporasi dalam UU PTPK dan PERMA 13/2016?
-
1.2.2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi diatur pada masa yang akan datang (ius constituendum)?
-
-
1.3. Tujuan
Adapun maskud dari penulisan jurnal ilmiah antara lain guna mengetahui kompleksitas problematika pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dewasa ini (ius constitutum) serta mengonsepsikan formulasi pidana denda bagi korporasi pada masa yang akan datang (ius constituendum).
Dengan adanya identifikasi kekosongan dalam suatu norma, maka metode penelitian dalam penulisan jurnal ilmiah Pengaturan Pidana Denda Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan meneliti hukum dalam kedudukannya sebagai norma. Dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis melakukan penelusuran terhadap bahan hukum dengan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) sebagai konsekuensi dari bentuk penelitian nromatif, metode pendekatan konseptual (conseptual approach), serta pendekatan futuristik (futuristic approach) guna mengonsepsikan jawaban dari permasalahan dalam jurmal ilmiah ini berdasarkan pandangan, pendapat, doktrin-doktrin, yang berkembang mengenai formulasi pidana denda terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi. Selanjutnya, penulis menggunakan metode telaah deskriptif dalam menganalisis bahan hukum dengan
memaparkan segenap data yang diperoleh dengan akurasi dan verifikasi penuh daripada bahan-bahan hukum untuk kemudian disusun konklusinya baik dengan pemahaman logika deduktif maupun induktif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Pidana Denda Terhadap Korporasi Dalam UU PTPK dan PERMA 13/2016
-
Realita telah menunjukan bahwa korporasi sering memperoleh manfaatdalam berbagai macam kejahatan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga sungguh rasional dan adil apabila suatu korporasi dapat mempertanggungjawabkan kejahatan yang dilakukan untuk dan atas kepentingannya. Pandangan ini mencadangkan doktrin “universitas deliquere non potest” yang bermakna bahwa suatu korporasi tidak mungkin untuk dipidana.6
Perkembangan korporasi sebagai suatu subjek dalam hukum pidana dilatarbelakangi dengan adanya doktrin societas delinquere non potest sebagai antítesis dari doktrin universitas deliquere non potest, yang mengonsepsikan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh korporasi dapat dimintai pertanggung jawabannya melalui pengurus korporasi (zorgplicht).7 Pada tahun 1881, doktrin societas delinquere non potest kemudian diterapkan dalam Wetboek van Straftrecht oleh pemerintah Hindia-Belanda, yang mana kemudian digunakan sebagai pedoman dalam membentuk KUHPidana Indonesia.8 Di Indonesia, pertanggungjawaban korporasi sebenarnya sudah diakomodir dalam Pasal 59 KUHP, namun ketentuan a quo hanya membebankan pertanggungjawaban korporasi kepada pengurusnya saja. Barulah kemudian pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur secara langsung melalui UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Saat ini lebih dari 100 undang-undang khusus di luar KUHPidana telah mendudukan korporasi sebagai subjek hukum, termasuk UU PTPK.
Lebih lanjut, setidaknya terdapat 5 (lima) doktrin dalam hukum pidana terkait pertanggungjawaban korporasi. Pertama, teori identifikasi, yakni perbuatan jahat dari korporasi dapat dicerminkan oleh seseorang dalam korporasi yang secara kedudukan memiliki posisi penting dan tinggi tinggi (directing mind) dari suatu korporasi.9Kedua, teori vicarious liability, dimana seseorag dibolehkan untuk bertanggug jawab terhadap perbuatan pidana orang lain atau yang sesungguhnya tidak dilakukan oleh dirinya.10 Apabila dikaitkan dalam konteks perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, oleh karena korporasi merupakan artificial person maka pengurus korporasilah yang bertanggungjawaban. Ketiga, teori delegasi, yakni korporasi dapat mempertanggungjawabkan perbuatan terhadap seseorang yang diberi delegasi oleh korporasi guna menjalankan kewenangan korporasi.11 Keempat, teori agregasi, yaitu
apabila kejahatan dilakukan oleh sejumlah organ korporasi yang dimana masing— masing dari organ tersebut memenuhi rumusan pasal yang sama dan tidak berdiri sendiri.12 Kelima, teori budaya kerja, yakni apabila keputusan dari korporasi tersebut membentuk suatu budaya kerja yang kemudian dapat dipertanggungjawabankan apabila perbuatan dari seseorang mempunyai dasar rasional bahwa korporasi telah mengizinkan atau memberi wewenang dari perbuatan tersebut.13
Selanjutnya dalam Pasal 20 UU PTPK mengatur pertanggungjawaban korporasi sebagai sebuah tindakan yang dilakukan dalam lingkungan korporasi atas dasar hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain baik secara sendiri atau bersama-sama. (Pasal 20 Ayat (2) UU PTPK). Kemudian, terhadap perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus korporasi maupun korporasi itu sendiri. (Pasal 20 Ayat (1) UU PTPK). Apabila diperhatikan secara sekilas ketentuan tersebut seolah-olah saling berhubungan. Namun, apabila dianalisa secara lebih mendalam, kedua ketentuan tersebut memanifestasikan dua teori yang berbeda. Bahwa Pasal 20 Ayat (1) menerapkan teori identifikasi, dengan menempatkan pihak yang berhak untuk dilakukannya penuntutan ialah pengurus maupun korporasi tu sendiri. Disisi lain, dalam Pasal 20 Ayat (2) menerapkan teori agregasi, dengan menempatkan bahwa perbuatan korporasi dicerminkan oleh organ-organ dari korporasi, tidak hanya oleh direksi selaku directing mind dari korporasi semata.14
Lebih lanjut, pengaturan pertanggungjawabaan pidana korporasi diatur pula melalui PERMA 13 Tahun 2016. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) PERMA 13 Tahun 2016, terdapat 3 (tiga) bentuk kesalahan dari suatu korporasi. Pertama, apabila perbuatan tersebut ternyata memberi keuntungan atau manfaat kepada korporasi. Kedua, apabila korporasi dengan sengaja memberi ruang bagi organnya dalam melakukan tindak pidana. Ketiga, apabila tidak ditemukannya suatu itikad dari korporasi dalam melakukan tindakan yang diperlukan guna mencegah terjadinya suatu tindak pidana terjadi di lingkungan korporasinya, termasuk memberikan teguran maupun sanksi terhadap perbuatan tersebut. Ketiga bentuk kesalahan tersebut bersifat alternatif, yang berarti korporasi sudah dapat bertanggung jawab apabila telah memenuhi salah satu bentuk diantara ketiga kemungkinan tersebut.15
Selanjutnya mengenai jenis hukuman/sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada latar belakang, UU PTPK mengatur bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi meliputi pidana denda saja, mengingat tidak mungkin untuk dilakukan pidana penjara terhadap subjek yang tidak berwujud (artificial persoon). Dengan kata lain, tidak ada mekanisme alternatif lainnya selain daripada denda itu sendiri.16
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK, yang mengonstruksikan pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.
Pengaturan pidana denda sebagaimana tersebut di atas kemudian diatur lebih lanjut didalam Pasal 28 PERMA 13/2016, yang menyebut bahwa:
Pasal 28 PERMA 13/2016
-
1) “Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut.
-
2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
-
3) Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda.”
Ketentuan tersebut menunjukan kesadaran Mahkamah Agung terhadap adanya suatu kekosongan norma yang selama ini belum diatur didalam UU PTPK. Adanya ketentuan tersebut telah memberi kepastian perihal jangka waktu yakni selama satu bulan dan dimungkinkan untuk diperpanjang apabila memang terdapat alasan yang kuat. Selain itu, aparat penegak hukum juga memiliki ruang untuk tetap dapat mengupayakan pembayaran uang denda terhadap korporasi yang tidak mampu atau bersedia untuk membayar uang denda sesuai dengan rentang waktu yang telah ditetapkan dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde). Upaya tersebut dilaksanakan dengan melakukan penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki oleh korporasi yang kemudian dilelang guna pembayaran denda. Namun, menjadi suatu pertanyaan, bagaimana jika nilai harta benda hasil sita yang telah dilelang ternyata tidak setara atau tidak mencukupi nilai daripada uang denda tersebut?
Keadaan tersebut tentu saja sangat mungkin dapat terjadi mengingat paradigma tindakan penyitaan yang saat ini dikonstruksikan di dalam ketentuan pada hukum formil nasional yang memang tidak ditujukan untuk kepentingan pemulihan nilai yang telah dicuri (recovery of stolen asset), melainkan lebih untuk kepentingan pembuktian tindak pidana.17Hal tersebut dapat ditinjau dari rumusan Pasal 1 angka 16 KUHAP yang mengonstruksikan penyitaan sebagai tindakan penyidik untuk mengambil alih benda milik pelaku tindak pidana guna kepentingan pembuktian. Terhadap objek sita, Pasal 39 ayat (1) KUHP mengatur perampasan dapat dilakukan hanya terhadap barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan yang diperoleh dari kejahatan (corpora delicti) atau sengaja dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti).18 Dalam arti lain, apabila tidak ditemukan adanya hubungan (link/nexus) antara kekayaan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, maka negara tidak dapat merampas harta kekayaan korporasi sebab tidak memenuhi standar beyond a reasonable doubt.19 Dengan demikian, aset korporasi yang telah disita tersebut tidak dapat dirampas untuk dilelang guna menutupi uang denda.
Batasan tentang barang atau harta benda yang dapat disita secara pidana tersebut tentu dapat menjadi titik kelemahan, sebab apabila akumulasi nilai dari aset-aset tersebut ternyata tidak setara dengan nilai denda, maka tentu pidana denda tersebut tidak dapat terbayarkan dengan optimal. Padahal bukan tidak mungkin korporasi memiliki kekayaan yang cukup banyak dibanding dengan penghasilan yang sah yang sebenarnya dapat dirampas untuk membayar pidana denda yang telah ditetapkan.20 Maka dari itu, dampak dari kerangka mekanisme eksekusi pidana denda melalui perampasan aset korporasi sebagaimana dimaksud di atas tentu dapat mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum sekaligus mengaburkan aspek kemanfaatan hukum dan aspek keadilan dalam hal penegakan hukum. Padahal kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan merupakan syarat mutlak yang harus diwujudkan dalam penegakan hukum.21
-
3.2. Pengaturan Pidana Denda Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Masa yang Akan Datang (Ius Constituendum)
Bahwa kelemahan peraturan pidana denda dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia in casu UU PTPK nampaknya belum diantisipasi dengan cermat melalui formulasi norma didalam PERMA 13/2016 yang tidak memberikan pengaturan lebih lanjut apabila nilai harta benda korporasi yang telah dilelang ternyata tidak setara atau ekuivalen dengan nilai daripada uang denda yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya di atas, adanya celah tersebut disebabkan oleh ambivalensi antara tujuan dengan formulasi perampasan aset sebagaimana diatur dalam UU PTPK dan PERMA 13/2016. Tindakan perampasan harta benda korporasi dengan tujuan agar negara tetap dapat memperoleh pembayaran denda oleh korporasi, disisi lain tidak didukung dengan penormaan sebagai substansi a quo yang justru membatasi aset yang dapat dirampas hanya terhadap benda yang berkaitan dengan kejatahan ebagai hasil atau sarana kejahatan (tainted asset) guna kepentingan pembuktian tindak pidana (property-based confiscation system). Oleh karena itu, formulasi pengaturan pidana denda saat ini belum dapat menjadi sarana pembalasan, penghapusan rasa bersalah, dan menjerakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Menghadapi problematika tersebut, Secara paradigmatik sesungguhnya terdapat beberapa konsep yang dapat diadopsi oleh sistem hukum di Indonesia untuk mengisi kekosongan norma (leetmen in het recht) terhadap pengaturan pidana denda melalui perampasan harta benda korporasi. Setidaknya terdapat 2 (dua) konsep yang menurut penulis dapat menjadi solusi terbaik dalam mengkomplementasikan pengaturan pidana denda secara optimal dan komperhensif.
-
3.2.1 Penerapan Sistem Sita Aset Berbasis Nilai
Model sita aset berbasis nilai (value-based confiscation system) merupakan suatu model penyitaan yang memungkinkan penentuan nilai hasil dan alat-alat kejahatan, dan kemudian melakukan penyitaan atau perampasan aset yang bernilai setara (an equivalent value). Secara teori, sistem sita aset berbasis nilai (value-based confiscation system) tidak memerlukan pembuktian apakah aset tersebut ada kaitan dengan tindak
pidana, melainkan hanya cukup dengan menetapkan berapa nilai denda yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, kemudian apabila tidak dibayar maka negara dapat merampas harta benda milik korporasi (baik yang diperoleh atau tidak diperoleh dari hasil tindak pidana) dengan nilai yang setara dengan besar denda tersebut.22 Dengan demikian, negara akan tetap memperoleh manfaat sebesar nilai denda yang harus dibayarkan oleh korporasi secara maksimal, serta disisi lain dapat menutup ruang korporasi untuk tidak membayar pidana denda sebagaimana yang telah ditetapkan.
Terhadap objek sita, melalui sistem sita aset berbasis nilai (value-based confiscation system), penuntut umum hanya perlu membuktikan 3 (tiga) hal, antara lain: Pertama, nilai keuntungan yang diperoleh dan/atau instrumen yang digunakan untuk tindak pidana. Kedua, hubungan kepemilikan antara subjek sita dengan aset yang dapat menggantikan (substitute asset) yang akan dijadikan objek sita. Hubungan ini dapat meliputi hubungan kepemilikan, baik murni milik subjek sita maupun bercampur dengan kepemilikan pihak lain. Ketiga, membuktikan nilai aset yang dapat menggantikan (substitute asset) sehingga dapat memenuhi setara dengan nilai hasil tindak pidana, termasuk nilai keuntungan atau manfaat, dan/atau nilai dari instrument (alat/sarana) yang digunakan untuk tindak pidana.23 Hal tersebut tentu lebih menguntungkan bagi penuntut umum apabila dibandingkan dengan sistem sita aset berbasis properti (property-based sytem) sebagaimana yang saat ini diformulasikan dalam UU PTPK dan PERMA 13/2016 yang memberikan limitasi bagi penuntut umum dalam melakukan perampasan terhadap objek sita guna menutupi pembayaran denda oleh korporasi.
Sistem sita berbasis nilai (value-based confication system) sebenarnya telah diakomodir dalam United Nations Covention against Corruption, 2003 (UNCAC) sebagaimana diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Covention against Corruption, 2003 (untuk selanjutnya disebut UNCAC 2003). Ketentuan mengenai model penyitaan berbasis nilai (valuebased confication system) dapat ditemukan dalam Pasal 31 UNCAC 2003 yang memberikan ruang terhadap kualifikasi atau jenis aset yang dapat disita atau dirampas secara luas. Bahwa melalui ketentuan pada Pasal 31 Ayat (1) UNCAC 2003 memberikan peluang untuk melakukan tindakan penyitaan yang tidak hanya berasal dari kejahatan, melainkan pula terhadap harta kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan. Adanya ketentuan tersebut mengakomodir bentuk penyitaan yang dapat dilakukan baik terhadap “hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan” sebagai bentuk penyitaan aset berbasis properti (value-based conficsation system), serta penyitaan terhadap “kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan” sebagai bentuk penyitaan melalui pendekatan sita aset berbasis nilai (value-based confiscation system).
Sistem sita aset berbasis nilai (value-based confiscation system) sesungguhnya telah diterapkan dalam pranata perundang-undangan nasional dewasa ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (untuk selanjutnya disebut UU 8/2010). Secara konseptual, baik UU PTPK maupun UU 8/2010 sama-sama mengakomodir pertanggungjawaban korporasi. Namun, letak pembedanya ialah didalam UU 8/2010 memuat peraturan perampasan aset bagi korporasi yang tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar denda secara lebih komperhensif. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 9 Ayat (1) UU 8/2010, yang menyebut bahwa: “apabila korporasi
tidak mampu membayar pidana denda, maka pidana denda tersebut dapat diganti dengan perampasan harta kekayaan korporasi atau pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang djatuhkan.”
Bahwa berdasarkan ketentuan a quo maka aparat penegak hukum memiliki pijakan untuk melaksanakan tindakan perampasan terhadap suatu aset korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan, terlepas apakah aset tersebut merupakan hasil dari tindak pidana atau bukan.24Hal yang perlu digarisbawahi disini adalah adanya frasa “yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan” menunjukan bahwa terlepas dari apakah harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak pidana atau bukan, penuntut umum memiliki ruang untuk merampas harta benda kekayaan milik korporasi atau personil penggndali korporasi asalkan harta kekayaan tersebut bernilai sama dengan nilai denda yang harus dibayarkan oleh korporasi.25
-
3.2.2 Penerapan Teori Pertanggungjawaban Pengganti
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya pada pokok pembahasan pertama di atas, bahwa penormaan pertanggungjawaban korporasi dalam perspektif UU PTPK mengadopsi teori identifikasi dengan meletakan pengurus korporasi sebagai pihak yang didakwa dan dituntut terhadap perilaku koruptif yang dilakukan oleh korporasinya. Terhadap tindak pidana oleh korporasi tersebut, UU PTPK juga menggunakan teori agregrasi yang mensyaratkan suatu perbuatan oleh korporasi tersebut harus dicerminkan oleh masing-masing organ dalam lingkungan korporasi tersebut. Pada kenyatannya dengan diadopsinya masing-masing teori tersebut di atas dalam penormaan UU PTPK memiliki suatu konsekuensi, sebab secara doktrinal kedua teori tersebut tidak membuka ruang alternatif terhadap pihak lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban selain korporasi sebagai suatu artificial person. Oleh karenanya, maka barang tentu tidak akan ada jalan keluar apabila harta benda hasil sita korporasi yang telah dilelang ternyata tidak setara atau tidak mencukupi nilai daripada uang denda. menghadapi problematika tersebut, sesungguhnya terdapat beberapa teori mengenai pertanggungjawaban korporasi lainnya yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
Bahwa aparat penegak hukum dapat melakukan pendekatan pertanggungjawaban korporasi berdasarkan teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Sutan Remy Sjahdeni melalui bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi” menyatakan bahwa “terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (rechtpersoon), maka orang lain dapat menanggung atau menggantikan pertanggungjawaban pidana yang tidak dilakukan oleh dirinya.” Lebih lanjut, yang dimaksud sebagai orang lain tersebut adalah “orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain” seperti direktur utama, komisaris, atau pemegang saham pengendali korporasi tersebut.26 Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Margjono Reksodiputro melalui makalahnya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi” mengemukakan bahwa dalam hal korporasi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana, maka pertanggungjawaban pidana dapat
diarahkan kepada pengurus korporasi, sebab pengurus korporasi merupakan pihak yang memiliki kendali penuh (directing mind) terhadap segala tindakan yang telah dilakukan oleh korporasi tersebut, termasuk terhadap tindakan yang dinyatakan sebagai tindak pidana. Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa pengurus tersebut dibebankan suatu pertanggungjawaban yang sesungguhnya dilakukan oleh orang lain.
Teori pertanggungjawaban pengganti pada awalnya adalah bentuk pertanggungjawaban yang hanya terdapat di dalam hukum keperdataan khususnya mengenai gatni rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan suatu kerusakan (damage). Kemudian, teori pertanggungjawaban pengganti mulai diadopsi dan digunakan dalam perkara pidana, meskipun tidak dapat dipungkiri sampai saat ini teori pertanggungjawaban pengganti dalam perkara pidana masih menjadi suatu perdebatan. 27Berdasarkan teori tersebut maka terhadap pertanggungjawaban korporasi dimungkinkan untuk dibebankan kepada pengurus korporasi, termasuk pula terhadap pidana denda. Meskipun pada dasarnya korporasi dan pengurus merupakan subjek hukum yang berbeda satu sama lain.
Peraturan perundang-undangan nasional yang dewasa ini mengadopsi teori pertanggungjawaban pengganti terhadap suatu korporasi adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal itu dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 15 UU 21/2007 mengatur sanski pidana terhadap suatu korporasi dipertanggungjawabkan kepada dua subjek hukum, yaitu kepada individu (dalam hal ini pengurus dari korporasi tersebut) dan sekaligus kepada korporasi itu sendiri. Terhadap pengurus dari korporasi tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana berupa pidana penjara serta pidana, sementara terhadap korporasi dijatuhi hukuman berupa pidana denda dengan nilai tiga kali lipat lebih besar. Kemudan, apabila denda tersebut tidak dibayarkan, dengan demikian maka pengurus korporasi tersebut dapat menjadi pihak yang dibebankan untuk menanggung hal tersebut melalui pidana pengganti berupa kurungan dengan jangka waktu maksmila selama 1 (satu) tahun.28
Pengaturan pidana denda terhadap korporasi diatur dalam ketentuan pada Pasal 20 Ayat (7) UU PTPK yang dikomplementasikan melalui Pasal 28 PERMA 13/2016 mengonstruksikan bahwa terhadap korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi hanya dapat dijatuhi hukuman berupa pidana denda dengan nominal maksimum satu pertiga. Lebih lanjut, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan uang denda tersebut belum dibayarkan, maka aparat penegak hukum dapat menyita harta benda milik korporasi untuk dilelang guna pembayaran denda. Namun kedua peraturan tersebut justru tidak memberi pengaturan apabila harta benda hasil sita yang telah dilelang guna pembayaran denda apabila ternyata tidak setara atau tidak mencukupi daripada nilai denda sebagaimana yang telah ditetapkan. Konstatasi tersebut merefleksikan bahwa terdapat kekosongan norma (leetmen in het recht) terhadap pengaturan pidana denda terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi, khususnya terhadap korporasi yang tidak dapat membayar pidana denda. Oleh karenanya, tindakan yang dapat dilakukan guna mengatasi problematika
tersebut dapat dilakukan dengan mereformulasi pengaturan denda bagi korporasi melalui penerapan sistem sita aset berbasis nilai yang memungkinkan penentuan nilai hasil dan alat-alat kejahatan, dan kemudian melakukan penyitaan atau perampasan aset yang bernilai setara. Dengan diadopsinya model sita aset berbasis nilai dapat membuka ruang dalam merampas harta benda kekayaan milik korporasi asalkan harta kekayaan tersebut bernilai sama dengan nilai denda yang harus dibayarkan oleh korporasi, sehingga negara tetap dapat memperoleh nilai denda sebagaimana yang telah ditetapkan kepad korporasi. Disisi lain, penerapan teori pertanggungjawaban pengganti juga dapat digunakan dalam formulasi pidana denda terhadap korporasi, sebab berdasarkan teori tersebut memungkinkan untuk membebankan suatu pertanggungjawaban korporasi kepada kepada pengurus korporasi, termasuk pula terhadap pidana denda. Dengan demikian, maka pengurus korporasi menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap pembayaran jika harta dari korporasi tidak cukup untuk memenuhi nominal denda sebagaimana telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mulyadi, Lilik. Model Ideal Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Jakaerta, Kencana, 2020), 87.
Priyantno, H. Dwija. Sistem Pertanggungjawban Pidana Korporasi Dalam Kebijakan Legislasi (Depok, Kencana, 2017), 115.
Waluyo, Bambang. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi dan Optimalisasi) (Jakarta, Sinar Grafika, 2016), 8.
Jurnal Ilmiah
Anjari, Warih. "Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana." EJournal Widya Yustisia 1, no. 2 (2018): 116-121.
Fatimah, Fines. "Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Indonesia." LAW REFORM 7, no. 2 (2012): 1-42.
Ginting, Sakeus. "Kebijakan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang." Jurnal Magister Hukum Udayana 1, no. 1 (2012): 44088.
Intansasmita, Munajat. “Eksekusi Pidana Denda Terhadap Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Magister Ilmu Hukum dan Kenotariatan (2015):1-24.
Nasution, Eva Syahfitri. "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang." Jurnal Mercatoria 8, no. 2 (2015): 132-144.
Panggabean, Mompang L. “Pertanggungjawbaan Korporasi dalam Hukum Pidana Kajian Putusan No.1405 K/Pid.Sus/2013.” Jurnal Dictum 12, no.1 (2017):3-24.
Putera, Hady Purnama. “Gagasan Penerapan Vicarious Liability Dalam Konsep KUHP Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak.” Jurnal Komunikasi Hukum 2, no.1 (2016):28-34.
Sagama, Suwardi. "Analisis Konsep Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan dalam Pengelolaan Lingkungan." Mazahib 15, no. 1 (2016): 20-41.
Suhariyanto, Budi. "Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Dalam Mengatasi Kendala Penanggulangan Tindak Pidana Korporasi (The Role Of Regulation Of The Supreme Court Number 13 Year 2016 In
Overcoming Obstacles Of Corporate Criminal Infringement)." Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 9, no. 1 (2018).
Supusepa, Reimon. "Problematika Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi." JURNAL BELO 4, no. 2 (2019): 134-144.
Susanti, Dwi Siska, Nadia Sarah, Nurindah Hilimi. “Korporasi Indonesia Melawan Korupsi: Strategi Pencegahan.” Jurnal Integritas 4, no.2 (2018):207-232.
Satria, Hariman. “Kesalahan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi” Jurnal Integritas 4, no.2 (2018): 25-53.
Wibisana, Andri G. "Kejahatan Lingkungan Oleh Korporasi: Mencari Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi Dan Pemimpin/Pengurus Korporasi Untuk Kejahatan Lingkungan Di Indonesia?." Jurnal Hukum & Pembangunan 46, no. 2 (2016): 149-195.
Internet
Hiariej, Eddy O.S. “Pidana Korupsi Korporasi” Kompas.id. 2018. URL: https://www.kompas.id/baca/opini/2018/11/01/pidana-korupsi-korporasi/. Diakses pada 15 Desember 2021.
NOV, “Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor,” Hukumonline.com, 2013, URL: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da8bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor?page=1 . Diakses pada 14 Desember 2021.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 386-398
Discussion and feedback