PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMBERLAKUAN GACHA PADA GAME ONLINE
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMBERLAKUAN GACHA PADA GAME
ONLINE
Anak Agung Gede Brahma Aditya Pemayun, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i05.p13
ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pemain sebagai konsumen dan tanggung jawab perusahaan game online sebagai pelaku usaha terkait dengan pemberlakuan gacha pada game online Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemain game online sebagai konsumen mendapat perlindungan hukum untuk melindungi hak-haknya dalam melakukan gacha, dimana hal tersebut telah diatur oleh UUPK dan UU ITE. Perlindungan hukum juga dijamin oleh perusahaan game online dengan mencantumkan Terms of Service yang memuat klausula baku dan harus disetujui oleh pengguna. Perusahaan game online sebagai pelaku usaha berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia memiliki tanggung jawab secara perdata dan pidana terhadap konsumen terkait dengan pemberlakuan gacha pada game online. Tanggung jawab secara perdata perusahaan game online harus dilaksanakan oleh pelaku usaha dengan cara bertanggung jawab mengganti kerugian yang dialami konsumen sebagaimana diatur pada Pasal 19 UUPK. Tanggung jawab pelaku usaha secara pidana telah diatur dalam rumusan Pasal 61-63 UUPK berupa sanksi pidana penjara atau denda, dan hukuman tambahan. Pemerintah diharapkan mengawasi dan memperhatikan peredaran game online yang menerapkan gacha agar dikemudian hari tidak terjadi tindakan-tindakan yang merugikan pihak satu sama lain dan pemain game online sebaiknya terlebih dahulu membaca kontrak elektronik sebelum memainkan game online agar tidak mengalami kerugian karena telah mengeluarkan uang untuk membeli barang virtual secara gacha.
Kata Kunci : Kepastian Hukum, Perlindungan Konsumen, Game Online, Gacha.
ABSTRACT
This article aims to discover and analyse players’ legal protection as consumers, and the online game companies’ responsibilities related to gacha implementation on online games. This writing used a normative legal research method that focuses on statutory, conceptual, and analytical approaches. The study indicated that online game players, as consumers, get legal protection on their rights in gacha, which is regulated by UUPK and UU ITE. Legal protection is also guaranteed by online game companies by including Terms of Service which contains standard clauses and must be approved by the user. Online game companies under Indonesian applicable law have civil and criminal responsibilities to consumers related to gacha implementation. Online game companies’ civil liability must be responsibly carried out by businessmen to compensate any consumers’ losses as regulated in Article 19 of UUPK. The businessmen’s criminal responsibility is regulated in Articles 61-63 of UUPK formulation in the form of imprisonment or fines, and additional penalties. The government is expected to monitor and pay attention to online games circulation that apply gacha so that in the future there will be no harming actions and online game players should first read electronic contracts before playing the games, to avoid losses as they have spent money to buy virtual items via gacha mechanism.
Key Words: Legal Certainty, Consumer Protection, Online Games, Gacha.
Salah satu hak manusia adalah mendapatkan hiburan. Beberapa bentuk hiburan tersebut antara lain film, musik, olahraga, buku, dan permainan atau game. Perkembangan zaman dan teknologi menyebabkan permainan tradisional mulai ditinggalkan oleh beberapa orang yang beralih ke permainan modern atau yang lebih dikenal dengan video game. Video game menurut Merriam Webster adalah “an electronic game in which players control images on a video screen” atau bila diterjemahkan menjadi sebuah permainan dimana pemain mengendalikan gambar di layar video.1 Perbedaan permainan modern dan tradisional sangatlah mencolok, mulai dari cara bermain dan peralatan yang digunakan. Permainan tradisional bisa dimainkan dengan atau tanpa alat, sedangkan permainan modern memerlukan peralatan teknologi untuk bisa dimainkan2. Peralatan teknologi yang dimaksud antara lain kombinasi televisi dan konsol (Playstation, Xbox), dan Personal Computer (PC).
Seiring perkembangannya, video game yang pada awal mulanya hanya bisa dimainkan oleh orang dalam jumlah terbatas melalui perangkat sejenis kini dapat dimainkan bersama orang lain tanpa terhalang oleh perangkat, ruang, dan waktu yang dikenal dengan game online. Game online adalah permainan yang dapat dimainkan oleh banyak orang melalui jaringan internet. Sedangkan menurut Eddy Liem, internet game merupakan permainan yang dapat dimainkan secara daring via internet dengan menggunakan Personal Computer (PC) atau konsol seperti Playstation, Xbox, dan sejenisnya.3 Perkembangan game online pada sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan dimana salah satu faktornya adalah revolusi internet yang memungkinkan sebuah situs web menyediakan layanan streaming video, audio, dan interaksi pengguna yang mumpuni.4
Game Online terdiri dari tiga jenis yakni free to play, freemium dan premium. Free to play adalah permainan yang bisa dimainkan secara gratis tanpa syarat apa pun. Freemium adalah permainan yang bisa dimainkan secara gratis, namun berisi pembelian barang virtual. Premium adalah permainan yang hanya bisa dimainkan jika permainan dibeli terlebih dahulu. Terdapat dua jenis platform (perangkat) yang digunakan untuk memainkan game online, yaitu platform mobile yakni smartphone dan computer yakni personal computer, laptop, dan game console.
Sejalan dengan kepopuleran game online, maka jumlah pemain dan persaingan antar pemain juga tentu bertambah. Demi memenangkan dan mencapai tingkatan tertinggi, para pemain akan membeli barang virtual yang dijual dan ditawarkan dalam game online. Barang virtual tersebut mulai dari senjata, kostum, aksesoris, karakter game, dan lain-lain. Salah satu cara untuk mendapatkan barang virtual adalah dengan melakukan gacha.
Gacha/gachapon adalah mesin yang mengandalkan keberuntungan untuk mendapatkan kapsul berisi mainan secara acak tanpa mengetahui apa isi dalam kapsul tersebut. Hal tersebut kemudian diimplementasikan pada game online, sehingga pemain yang melakukan gacha akan mendapat karakter/item tertentu secara acak. Pemain akan diberikan dua pilihan, gratis sekali per hari atau membayar dengan uang sungguhan (in app purchase) menggunakan berbagai metode pembayaran. Dengan cara ini poin akan ditambahkan dan dikonversikan dalam game sebagai mata uang. Poin akan disimpan di media elektronik milik masing-masing pemain dan berkurang ketika digunakan. Setiap barang virtual juga memiliki persentase untuk didapatkan, yang diistilahkan sebagai micro-transaction.5
Beberapa perusahaan game online mulai menerapkan gacha yang tentunya menambah keuntungan bagi perusahaan game tersebut. Hal ini juga sejalan dengan barang-barang virtual yang ditawarkan melalui pembaruan game atau jika ada eventevent tertentu secara terbatas. Namun praktik ini lebih menimbulkan kerugian bagi pihak pemain karena mereka akan terus menghabiskan uang untuk mendapatkan barang-barang virtual yang dijual di game online tersebut. Seperti pada kasus yang terjadi di Jepang, dimana seorang pemuda berusia 25 tahun ditangkap atas tudingan mengancam karyawan perusahaan game Square Enix melalui email karena ia telah menghabiskan lebih dari 200.000 yen atau sekitar 25 juta rupiah untuk sebuah item di sebuah game namun tidak mendapatkan barang yang diinginkannya.6 kasus ini menunjukkan bahwa game yang seharusnya membuat pemain merasa senang dan terhibur justru membuat frustrasi akibat melakukan gacha secara terus menerus.
Mengingat bahwa sebagian besar game online memberlakukan gacha, maka penting rasanya untuk mengkaji bagaimana perlindungan hukum dan tanggung jawab perusahaan game online sebagai pelaku usaha terhadap konsumen yang dalam hal ini adalah pemain game online di Indonesia. Oleh karena itu penulis mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Pemberlakuan Gacha pada Game Online”. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan gacha, yakni berjudul “Pengaturan tindak Pidana Perjudian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Micro-Transaction pada Game Online” oleh Gede Darma Sannyasa dan I Ketut Mertha.7 Namun penelitian tersebut memiliki fokus kajian yang berbeda dengan penelitian ini, sehingga penelitian ini memiliki orisinalitas sendiri.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemain atas pemberlakuan gacha pada game online?
-
2. Bagaimana tanggung jawab perusahaan game online terhadap pemain terkait dengan pemberlakuan gacha pada game online?
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pemain terkait pemberlakuan gacha pada game online; dan untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab perusahaan game online terhadap pemain terkait dengan pemberlakuan gacha pada game online.
Penulisan jurnal ini mengaplikasikan metode penelitian hukum normatif, yakni jenis penelitian yang digunakan untuk mengkaji suatu norma dalam peraturan perundang-undangan yang telah dirumuskan secara jelas dan tidak multitafsir, apakah terdapat pertentangan norma atau apakah suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur suatu perbuatan hukum yang seharusnya diatur terlebih dahulu.8 Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep serta pendekatan analisis. Sumber bahan hukum meliputi bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan (UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016), bahan hukum sekunder yaitu pendapat para sarjana, buku, serta hasil karya ilmiah yang dipublikasikan, dan bahan hukum tersier yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data serta bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi melalui buku, peraturan perundang-undangan, artikel atau jurnal. Metode analisa dilakukan secara kualitatif yakni data serta bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk dianalisis dengan tetap berpegang pada bahan hukum yang terkait dengan penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni aspek yang dikaji berdasarkan pada aspek peraturan perundang-undangan.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Sistem gacha yang diimplementasikan dalam beberapa game online membuat permainan tersebut menjadi lebih menarik. Gacha menjadi salah satu cara bagi beberapa pemain yang ingin memperoleh sebuah pencapaian dalam game online, seperti meraih rank, item, character game, dan lain-lain. Namun, permasalahannya adalah para pemain tidak mengetahui apa yang akan mereka dapatkan setelah melakukan gacha karena gacha merupakan sistem yang mengandalkan keberuntungan pemainnya untuk mendapatkan barang-barang virtual tertentu. Tidak sedikit beberapa pemain yang mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan juta hanya untuk mendapatkan barang virtual yang diinginkan oleh masing-masing pemain, atau karena barang virtual tersebut dijual dalam event tertentu secara terbatas. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif kepada para pemain, tidak terkecuali orang dewasa, remaja maupun
anak-anak. Selain menimbulkan kecanduan pada pemainnya, beberapa game online menggunakan kurs mata uang yang berbeda dengan kurs mata uang para pemain berada, sehingga pemain mau tidak mau harus mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk melakukan gacha. Agar para pemain tetap melakukan gacha, perusahaan game online juga sering kali menjanjikan bahwa barang virtual tersebut akan didapatkan jika pemain melakukan gacha dalam jumlah tertentu. Hal ini tentu membuat pemain percaya dan terus menggunakan uang sungguhan untuk melakukan gacha hingga hasrat untuk mendapatkan barang virtual yang diinginkan dapat dipenuhi.
Secara teoritis perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum melalui perangkat hukum demi tercapainya suatu keadilan. Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai perlindungan terhadap subjek hukum, bersifat preventif atau represif dalam upaya penegakan hukum.9 Perlindungan hukum lebih lanjut dinyatakan oleh Setiono sebagai seluruh tindakan yang ditujukan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terhindar dari tindakan penguasa atau pihak lain yang sewenang-wenang didasarkan pada suatu hukum.10 Unsur-unsur dari perlindungan hukum adalah adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak warga negara, pengayoman terhadap warga negara oleh pemerintah, dan adanya sanksi berupa hukuman bagi setiap pihak yang melanggar. Perlindungan hukum berdasarkan sifatnya dapat bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).11
Perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha/produsen. Hubungan hukum merupakan interelasi antara subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban atau relevansi hukum dari akibat hukum.12 Jika dalam hubungan hukum tersebut konsumen dirugikan karena tidak terpenuhinya suatu kewajiban pelaku usaha maka di sinilah peran hukum perlindungan konsumen, dimana pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban.
Perlindungan konsumen didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 UUPK sebagai segala upaya agar perlindungan konsumen dijamin kepastian hukumnya. Perlindungan hukum kepada konsumen juga diinterpretasikan sebagai seperangkat peraturan yang dirumuskan oleh lembaga yang berwenang, bertujuan untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum konsumen dari berbagai hambatan atau sengketa yang diakibatkan pelaku usaha. Mengacu pada Pasal 1 angka 2 UUPK, konsumen merupakan seseorang yang menggunakan barang atau jasa untuk kepentingan pribadi maupun orang lain dan tidak diperjual-belikan.
Hak konsumen diberikan suatu perlindungan sebab konsumen dianggap berada pada posisi subordinat jika dibandingkan dengan pelaku usaha. Selain itu hak konsumen juga merupakan salah satu aspek yang perlu dilindungi dan wajib untuk diperhatikan pula oleh pelaku usaha yang memperdagangkan barang atau jasa secara offline maupun online. Melalui “A special message for the protection of consumer interest” atau
lebih dikenal dengan “Declaration of Consumer Right” yang pertama kali disampaikan oleh John F. Kennedy yang pada umumnya disebut dengan empat hak dasar konsumen meliputi:13
-
1. Hak mendapat/memperoleh keamanan (the right to safety).
-
2. Hak memilih (the right to choose).
-
3. Hak mendapat informasi (the right to informed).
-
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Hak tersebut kemudian ditambahkan oleh The International Organization Of Consumer Union (IOCU) yaitu hak mendapatkan pendidikan bagi konsumen; hak memperoleh ganti rugi; hak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.14 Hak-hak ini secara eksplisit juga diatur dalam Pasal 4 UUPK, yaitu:
-
a. kenyamanan, keamanan, dan keselamatan saat memakai produk;
-
b. memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;
-
c. informasi tentang kondisi dan jaminan barang/jasa secara benar, jelas, dan jujur;
-
d. menyampaikan dan didengarkan pendapat atau keluhan tentang barang atau jasa yang dipergunakan;
-
e. mendapat perlindungan, pembelaan dan penyelesaian perkara secara adil; f. memperoleh pembinaan dan pendidikan konsumen;
-
g. dilayani dan diperlakukan dengan jujur dan benar;
-
h. mendapat ganti rugi bila barang atau jasa tidak sesuai dengan kesepakatan; dan
-
i. hak-hak yang diatur di luar UUPK.
Uraian di atas menunjukkan bahwa UUPK mengakomodasi perlindungan hukum terhadap hak-hak pemain game online selaku konsumen di Indonesia. Hak tersebut melekat bagi siapapun yang berkedudukan sebagai konsumen sekaligus subjek hukum, yang juga harus dilindungi dan diawasi oleh pemerintah. Selain UUPK, pemain game online juga dilindungi secara hukum oleh UU No. 11 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk mencegah kerugian bagi konsumen, pelaku usaha yang memasarkan produk via sistem elektronik wajib memberikan informasi yang benar dan lengkap terkait syarat kontrak, produsen, dan produk sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 UU ITE. Para pihak juga dilarang dalam suatu transaksi elektronik menyebarkan informasi palsu dan menyesatkan yang menimbulkan kerugian konsumen, sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Jika dilanggar, Pasal 45 ayat (2) UU ITE mengatur ancaman pidana berupa penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 miliar.
Selain peraturan perundang-undangan, pemain game online juga dilindungi secara hukum oleh pihak perusahaan game online dengan mencantumkan Terms of Service (syarat dan ketentuan). Terms of service adalah pernyataan sepihak yang diimplementasikan sebagai aturan suatu layanan yang harus ditaati oleh pengguna sebelum atau saat layanan digunakan. Permintaan pengguna untuk menyetujui Terms
of Service bisa berbentuk pernyataan yang harus diklik/dicentang, atau pada link-website atau aplikasi. Pengguna juga harus menyetujui klausula baku yang dimuat dalam Terms of Service.15 Ketentuan mengenai klausula baku yang diatur dalam UUPK sendiri bertujuan agar konsumen disetarakan kedudukannya dengan pelaku usaha sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian. Perjanjian baku diartikan sebagai perjanjian yang ketentuannya bersifat baku, berbentuk formulir, dan tidak adanya kesempatan untuk berunding bagi pihak lain.16 Hal yang perlu dikhawatirkan ialah jika klausula baku tersebut mengandung klausula eksonerasi yang dicantumkan di website game atau saat game online pertama kali dimainkan. Klausula eksonerasi merupakan klausula yang dicantumkan dalam klausula baku atau perjanjian sepihak, dimana pelaku usaha mengecualikan kewajiban atau mengalihkan tanggung jawabnya. Terkait dengan hal tersebut, jika klausula baku suatu perjanjian pada game online mengandung klausula eksonerasi, maka perjanjian tersebut tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUPK. Sesuai Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) maka perjanjian tersebut batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikan kembali klausula baku yang bertentangan dengan UUPK.
Beberapa bentuk perlindungan hukum yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pemain game online di Indonesia mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah dan perusahaan game online. Walaupun begitu, kenyataannya gacha sendiri masih menimbulkan kerugian bagi pemainnya karena pada dasarnya gacha sendiri mengandalkan keberuntungan pemain untuk mendapatkan barang virtual yang diinginkan. Pernyataan ini diperkuat oleh Terms of Service yang mencantumkan bahwa perusahaan game online tidak menjamin secara tersirat maupun tersurat bahwa barang virtual yang akan didapatkan oleh pemain akurat. Artinya semua pemain yang melakukan gacha akan mendapatkan barang virtual, namun tidak semua barang virtual yang didapatkan akan sesuai dengan keinginan pemain. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUPK. Berikut penulis uraian beberapa ketentuan yang dilanggar oleh perusahaan game online:
-
1. Melanggar ketentuan Pasal 2, dimana walaupun pemain telah melakukan kewajiban dengan mengeluarkan sejumlah uang sehingga hak untuk memperoleh barang virtual yang diinginkan menjadi terabaikan. Pada asas keseimbangan, pemberian barang virtual secara acak sebagai imbas dari pemberlakuan gacha menyebabkan tersingkirnya kedudukan konsumen.
-
2. Melanggar ketentuan Pasal 4 huruf b, dimana gacha dapat dikategorikan pelanggaran hak pemain yang ingin memperoleh barang virtual yang dijual oleh perusahaan game online. Perusahaan menjual barang virtual, namun barang virtual tersebut diberikan secara acak kepada para pemain. Tindakan demikian menimbulkan kerugian dan ketidaknyamanan bagi konsumen.
-
3. Melanggar ketentuan Pasal 4 huruf c, dimana barang virtual yang dijual melalui gacha mengandalkan keberuntungan pemain dan iming-iming dari perusahaan game online. Hal ini merupakan wujud penyalahgunaan keadaan oleh perusahaan game online, sehingga pemain merasa informasi yang diberikan tidak benar, jelas, dan jujur.
-
4. Melanggar ketentuan Pasal 4 huruf h, dimana kompensasi baru akan diberikan jika terjadi masalah pada game online, misalnya gangguan pada server atau penutupan layanan.
Pelanggaran yang penulis uraikan di atas menunjukkan bahwa seharusnya peredaran game online yang menjual barang virtual melalui gacha diawasi oleh pemerintah sebab bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia. Namun, hingga saat ini masih banyak beredar di internet game online yang menerapkan gacha dengan jumlah pemain yang terus bertambah. Hal ini menyebabkan perlindungan hukum terhadap pemain game online menjadi kurang maksimal.
-
3.2. Tanggung Jawab Perusahaan Game Online Terhadap Pemain Terkait Dengan Pemberlakuan Gacha Pada Game Online
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu kewajiban untuk menanggung suatu hal yang dapat dipersalahkan, dituntut, dan diperkarakan. Tanggung jawab juga dapat diartikan sebagai kewajiban seseorang menanggung segala akibat perbuatan yang telah dilakukan baik terencana atau tidak terencana.17 Tanggung jawab hukum (legal responsibility) diartikan sebagai suatu keterikatan terhadap ketentuan hukum.18 Berkaitan dengan perlindungan konsumen, pelaku usaha tentu harus bertanggung jawab bila konsumen mengalami kerugian sebagai akibat dari penggunaan barang atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha.
Adapun pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UUPK didefinisikan sebagai orang perseorangan/badan usaha, berbentuk badan hukum/tidak, berkegiatan/didirikan di Indonesia baik secara mandiri/dengan perjanjian bersama menjalankan usaha di bidang perekonomian. Pada definisi tersebut terdapat frasa “melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.” Jika diselisik, perusahaan game online yang terdiri dari publisher dan/atau developer adalah pelaku usaha berbadan hukum yang usahanya dikendalikan di luar wilayah Indonesia. Perusahaan semata-mata memasarkan game secara global lewat situs-situs game, seperti Playstore, App Store, Steam, dan Official Website. Terkait dengan hal tersebut, untuk menentukan apakah perusahaan game online dapat dikatakan sebagai pelaku usaha juga dapat dilihat pada UU ITE Pasal 1 angka 21, Pasal 2, dan Pasal 9. Pada Pasal 1 angka 21 UU ITE mendefinisikan orang sebagai orang perseorangan, baik WNI, WNA, maupun badan hukum. Kemudian Pasal 2 UU ITE mengatur keberlakukan UU ITE bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik di Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia, dan/atau di luar dan merugikan kepentingan hukum Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 9 UU ITE mengatur “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.” Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut, maka publisher dan/atau developer yang termasuk dalam perusahaan game online dapat dikatakan sebagai pelaku usaha.
Publisher dan developer game sebenarnya tidak dapat disamakan. Developer adalah orang atau sekumpulan orang yang menciptakan game. Sedangkan publisher adalah perusahaan yang menunjang usaha developer game dalam membuat game dalam bentuk dana. Namun, tidak jarang suatu publisher memiliki divisi developer game sendiri dalam perusahaannya dan juga developer game membuat suatu game bermodalkan biaya sendiri.19
Berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha yakni perusahaan game online atas penjualan barang virtual melalui gacha memiliki 2 (dua) tanggung jawab, yakni secara perdata dan pidana. Tanggung jawab secara perdata pelaku usaha terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen menurut hukum perlindungan konsumen di Indonesia telah diatur pada KUHPer dan UUPK, dimana pada Pasal 1243 KUHPer mengatur bahwa “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.” Dikaitkan dengan tanggung jawab pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengganti kerugian konsumen yang diakibatkan karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian. Hal ini juga diatur pada Pasal 19 ayat (1) UUPK yang menentukan “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Ganti rugi tersebut diberikan kepada konsumen jika kesalahan tersebut diakibatkan dari pihak perusahaan game online. Jika perusahaan game online melakukan kesalahan, maka perusahaan game online wajib mengganti kerugian sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UUPK yang menentukan “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan (4) UUPK, pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi, namun tetap memungkinkan adanya tuntutan pidana bila terdapat bukti lebih lanjut. Kemudian, perlu diketahui terkait pemberian ganti rugi harus dibuktikan terlebih dahulu sesuai ketentuan Pasal 28 UUPK yang menyatakan bahwa “Beban pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, dikenal dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), dimana prinsip ini dapat diterima karena adil bagi seseorang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian pihak korban.20 Dengan kata lain, tidak adil bila pihak yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita pihak lain. Begitu pula terhadap perusahaan game online, apabila dapat membuktikan kesalahan yang dituntut oleh pihak konsumen dan ternyata tidak terdapat unsur kesalahan, maka pihak pelaku usaha (perusahaan game online) dapat dibebaskan dari beban tanggung jawab jika terjadi kerugian yang dialami oleh pemain game online. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (5) UUPK yang menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
Selain tanggung jawab secara perdata, pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab secara pidana. Hal ini berdasarkan Pasal 19 ayat (4) UUPK, dimana walaupun pelaku usaha telah memberikan ganti rugi kepada konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), hal tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana yang didasarkan pada pembuktian unsur kesalahannya. Artinya perusahaan game online selaku pelaku usaha juga harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kerugian yang dialami oleh pemain game online, walaupun perusahaan game online telah mengganti kerugian tersebut. Korporasi sebagai subjek hukum pidana diakui oleh seluruh dunia melalui konferensi internasional ke-14 di Athena pada tahun 1994 tentang Criminal Liability of Corporation, yang dilatarbelakangi oleh persamaan pendapat bahwa korporasi dapat dikategorikan sebagai subjek hukum pidana, seperti orang pribadi (natural person).21
Korporasi merupakan badan hukum yang memiliki anggota, tetapi hak dan kewajiban antara badan dengan anggotanya dipisahkan. Korporasi sebagai legal personality diartikan mempunyai harta kekayaan sendiri layaknya manusia yang dapat dituntut secara perdata, namun dalam perkembangannya muncul pemikiran bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana meski pidana yang dikenakan berupa pidana denda atau tindakan lain berupa tata tertib atau tindakan administratif.22
Pelanggaran atas hak-hak konsumen yang dilakukan oleh korporasi sehingga menimbulkan pertanggungjawaban pidana dapat diketahui pada rumusan Pasal 61-63 UUPK. Pasal 61 UUPK menentukan bahwa penuntutan secara pidana dapat dikenakan kepada pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Ada pun Pasal 62 UUPK merumuskan sanksi pidana sebagai berikut:
-
1. Pelaku usaha dan/atau pengurusnya melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 miliar rupiah.
-
2. Pelaku usaha dan/atau pengurusnya melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak 5 ratus juta rupiah.
-
3. Pemberlakuan ketentuan pidana yang berlaku bagi pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
Sanksi yang telah disebutkan di atas juga dapat dikenakan hukuman tambahan, sebagaimana diatur pada Pasal 63 UUPK sebagai berikut.
-
a. penyitaan produk terpilih;
-
b. pengumuman keputusan hakim;
-
c. pembayaran kompensasi;
-
d. dihentikannya aktivitas yang merugikan pihak konsumen;
-
e. ditariknya peredaran produk; atau
-
f. dicabutnya izin kegiatan.
Pengenaan sanksi di atas hanya dapat dikenakan kepada game online jika dalam kontrak elektronik mencantumkan bahwa apabila terdapat kontradiksi antara kontrak elektronik dan hukum di negara atau tempat tinggal pemain, maka hukum di negara pemain tersebut yang akan berlaku. Artinya, perusahaan game online bisa saja mematuhi dan bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku di negara pemain berada bila dalam kontrak elektronik mengatur hal demikian.
Pemerintah diharapkan mengawasi dan memperhatikan peredaran game online yang menerapkan gacha agar di kemudian hari, para pihak dapat terhindar dari tindakan yang saling merugikan satu sama lain. Di bawah pengawasan pemerintah, segala kepentingan yang merugikan salah satu pihak bisa diminimalisasi. Demikian juga bagi pemain game online, alangkah lebih baik untuk membaca kontrak elektronik sebelum memainkan game online untuk pertama kalinya agar tidak merasakan kerugian karena telah mengeluarkan uang ratusan bahkan jutaan rupiah untuk gacha. Jika mengalami kerugian, pemain dapat menghubungi layanan game online terlebih dahulu untuk meminta ganti rugi atau mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Pemain game online sebagai konsumen mendapat perlindungan hukum untuk melindungi hak-haknya dalam melakukan gacha, dimana hal tersebut telah diatur oleh UUPK dan UU ITE. Perlindungan hukum juga dijamin oleh perusahaan game online dengan mencantumkan Terms of Service yang memuat klausula baku dan harus disetujui oleh pengguna. Perusahaan game online sebagai pelaku usaha berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia memiliki tanggung jawab secara perdata dan pidana terhadap konsumen terkait dengan pemberlakuan gacha pada game online. Tanggung jawab secara perdata perusahaan game online harus dilaksanakan oleh pelaku usaha dengan cara bertanggung jawab mengganti kerugian yang dialami konsumen sebagaimana diatur pada Pasal 19 UUPK. Tanggung jawab pelaku usaha secara pidana telah diatur dalam rumusan Pasal 61-63 UUPK berupa sanksi pidana penjara atau denda, dan hukuman tambahan. Pemerintah diharapkan mengawasi dan memperhatikan peredaran game online yang menerapkan gacha agar dikemudian hari tidak terjadi tindakan-tindakan yang merugikan pihak satu sama lain. Demikian juga bagi pemain game online sebaiknya terlebih dahulu membaca kontrak elektronik sebelum memainkan game online agar tidak mengalami kerugian karena telah mengeluarkan uang untuk membeli barang virtual secara gacha.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Burhanudin. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal (Malang, UIN
Maliki Press, 2011).
Efendi, Jonadi dan Ibrahim, Johnny. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris
(Depok, Prenada Media Group, 2018).
Khairandy, Ridwan, Nandang Sutrisno dan Jawahir Thontowi. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Yogyakarta, Gama Media, 2015).
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, Sinar Grafika, 2011).
JURNAL
Dimyati, Hilda Hilmiah. "Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Pasar Modal."
Jurnal Cita Hukum 2, no. 2 (2014): 341-356. DOI:
https://doi.org/10.15408/jch.v1i2.1473
Desfyana, Vernia, I Made Sarjana, dan Suatra Putrawan. "Perlindungan Konsumen
Terhadap Batasan Kandungan Tar Dan Nikotin Pada Produk Rokok." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 8 (2019): 1-18. DOI: http://xxxxx
Huda, Miftahul. "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 25, no. 14 (2019): 1-7. DOI: http://xxxxx
Kanerva, Taija. “Virtual worlds apart: A comparative study on digital games in Japan and the West.” (2015). DOI: http://xxxxx
Kartika, I Made Surya dan A. A. Sagung Wiratni Darmadi. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Periklanan dalam Memberikan Informasi yang Lengkap dan Benar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2015): 1-5. DOI: http://xxxxx
Nisrinafatin. “Pengaruh Game Online Terhadap Motivasi Belajar Siswa”. Jurnal Edukasi Nonformal 1, no. 1 (2020): 135-142. DOI: http://xxxxx
Ratomi, Achmad. “Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Menghadapi Arus Globalisasi Dan Industri).” Al-Adl: Jurnal Hukum 10, no. 1 (2018): 1-22. DOI: http://xxxxx
Sannyasa, Gede Darma dan I Ketut Mertha. “Pengaturan Tindak Pidana Perjudian Dan Pertanggungjawban Pidana Korporasi Dalam Micro-Transaction Pada Game Online.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 9 (2020): 1478. DOI: https://doi.org/10.24843/KS.2020.v08.i09.p14
Saputra, Setiya Yunus. "Permainan tradisional vs permainan modern dalam penanaman nilai karakter di sekolah dasar." ELSE (Elementary School Education Journal): Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar 1, no. 1 (2017): 93. DOI:
Situmorang, Jegesson P., Pujiyono dan Ameik Soemarmi. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perikanan.” Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-17. DOI: http://xxxxx
Suhardiyana, I Kadek Adi dan AA Ketut Sukranatha. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Ketidakjujuran Karyawan Pada Struk Belanja." Kertha Semaya 5 (2017): 7. DOI: http://xxxxx
Syamsudin, M. dan Fera Aditias Ramadani. “Perlindungan Hukum Konsumen Atas Penerapan Klausula Baku.” Jurnal Yudisial 11, no. 1 (2018): 94. DOI:
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i1.252
Wibawa, I Made Satria, Anak Agung Ketut Sukranatha dan I Made Dedy Priyanto.
"Perlindungan Konsumen Terhadap Kecurangan Pengisian Bahan Bakar Minyak Pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Di Bali." Kertha Semaya: Journal Ilmu
Hukum 7, no. 12 (2019): 1-15. DOI:
https://doi.org/10.24843/KM.2019.v07.i02.p14
Yulius, Rina. “Analisis Perilaku Pengguna Dalam Pembelian Item Virtual Pada Game Online”. Journal of Animation and Games Studies 3, no.1 (2017): 2. DOI:
https://doi.org/10.24821/jags.v3i1.1582
WEBSITE
Arifiyadi, Teguh. 2017. “Apakah ‘Term of Service’ Bisa Membebaskan Penyedia Layanan dari Hukum.?” URL:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f26da047affd/apaka h-term-of-service-bisa-membebaskan-penyedia-layanan-dari-hukum, diakses
pada tanggal 19 Oktober 2021.
Baseel, Casey dan SoraNews24. 2019. “Square Enix receives death threat from gamer angry at ‘gacha’ losses.” URL :
https://japantoday.com/category/crime/%27final-fantasy%27-publisher-square-enix-receives-death-threat-from-gamer-angry-at-%27gacha%27-losses, diakses pada tanggal 22 Oktober 2021.
Merriam-Webster.com Dictionary, s.v. “video game.” URL : https://www.merriam-webster.com/dictionary/video%20game, diakses pada tanggal 03 September 2021.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3821).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 5 Tahun 2022, hlm. 1079-1091
Discussion and feedback