PENGATURAN PENGGANTIAN SERTIPIKAT TANAH KONVENSIONAL MENJADI ELEKTRONIK SEBAGAI BENTUK DIGITALISASI AGRARIA NASIONAL

Luh Nyoman Savitri Tritya Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i03.p2

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepastian dan kebermanfaatan hukum penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi sertipikat tanah elektronik serta untuk mengetahui kesiapan regulasi agraria nasional dalam menghadapi sistem digitalisasi sertipikat tanah yang pada penerapannya masih terjadi pro kontra dalam masyarakat terkait kebijakan tersebut. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan membandingkan antar satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan saling terkait serta membandingkan dengan sumber hukum lainnya. Hasil studi menunjukkan bahwa adanya kebijakan penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik masih belum perlu diterapkan di Indonesia secara cepat karena di Indonesia sendiri masih belum siap dengan teknologi yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, selain itu masih banyak permasalahan agraria lainnya yang perlu diatasi terlebih dahulu, sebelum mengimplementasikan kebijakan tersebut. Regulasi di Indonesia terkait el-sertipikat sendiri cukup baik, namun masih perlu perbaikan terkait kesesuaian antara regulasi dan penerapnnya. Seiring berkembangnya teknologi, digitalisasi agraria nasional dengan penggantian sertipikat konvensional menjadi elektronik perlu diterapkan secara bertahap dengan pertimbangan yang matang dan tidak terburu-buru.

Kata Kunci: Sertipikat Tanah, Digitalisasi Agraria, Regulasi.

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the legal certainty and usefulness of replacing conventional land certificates with electronic land certificates and to determine the readiness of national agrarian regulations in the face of the land certificate digitization system, which in its application there are pros and cons in society regarding this policy. This study uses a normative legal research method by comparing one statutory regulation with other and interrelated laws and regulations and comparing it with other legal sources. The results of the study show that the policy of replacing conventional land certificates with electronic ones still does not need to be implemented in Indonesia quickly because Indonesia itself is still not ready with the technology needed to implement the policy, besides that there are still many other agrarian problems that need to be addressed first, before proceeding. implement the policy. Regulations in Indonesia regarding e-certificates are quite good, but still need improvement regarding the suitability between regulations and their implementation. As technology develops, digitalization of national agrarian by replacing conventional certificates with electronic ones needs to be implemented gradually with careful consideration and not in a hurry.

Keywords: Land Certificate, Agrarian Digitization, Regulation.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Dalam revolusi industri 4.0 segala hal berdasarkan cyber physical system, internet of things, dan networks yang memungkinkan segala hal dilakukan dengan bantuan teknologi digital sehingga diharapkan bisa menambah nilai efisiensi pada suatu lingkungan kerja serta kehidupan. Di era modern ini, segala kebutuhan masyarakat mulai berubah, terkhusus beberapa hal yang menggunakan teknologi manual, seiring berjalannya waktu digantikan dengan adanya sebuah digitalisasi yang mempermudah kehidupan masyarakat. Adanya digitalisasi ini terlihat dari banyak sisi seperti bidang pendidikan, sosial politik, dan hukum. Terjadinya digitalisasi ini tidak bisa dihindari karena adanya kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang serta adanya penemuan teknologi-teknologi canggih yang mampu mempermudah memenuhi kebutuhan masyarakat. Digitalisasi ini juga diterapkan dalam bidang hukum, salah satunya adanya kebijakan pemerintah terkait penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi sertipikat tanah elektronik. Hal ini bertujuan untuk mendorong proses transformasi digitalisasi agraria nasional serta dinilai lebih aman daripada sertipikat konvensional. Mengacu seberapa pentingnya kedudukan kepemilikan sertipikat tanah ini pengubahan sertipikat konvensional menjadi sertipikat elektronik menjadi pro kontra di masyarakat. Banyak dari masyarakat yang menilai pemerintah belum siap untuk menerapkan sertipikat tanah elektronik, namun juga ada masyarakat yang mendukung adanya pengubahan sertipikat konvensional menjadi elektronik dengan alasan keamanan sertipikat elektronik lebih terjamin.

Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan tugas pemerintahan untuk melayani masyarakat dalam bidang pertanahan ini tidak luput menyita perhatian masyarakat, pasalnya sesuai dengan hasil kunjungan kerja DPR RI ke sejumlah kanwil BPN di daerah Jawa dan Sumatera di awal tahun 2022 hampir 80% BPN dalam melakukan kinerjanya lambat laun semakin kurang maksimal karena adanya penambahan volume pekerjaan serta adanya prosedur yang kurang efektif terkait dengan pengurusan tanah. Pengurusan tanah dalam BPN prosedurnya dinilai rumit, lama, dan mahal oleh masyarakat. Pada mulanya memang prosedur pengurusan terkait pertanahan dilakukan secara manual sehingga pengurusannya terbilang cukup rumit. Dalam meningkatkan kinerja BPN, pemerintah pusat menciptakan adanya kebijakan baru yaitu berupa digitalisasi, sebagai salah satu implementasinya adalah dengan mengubah sertipikat tanah konvensional yang merupakan bukti kepemilikan dan hak seseorang atas tanah atau lahan yang dikeluarkan oleh BPN menjadi sertipikat tanah elektronik tanpa mengurangi adanya kekuatan hukum didalamnya. Dalam Pasal 1 Angka (9) UU No. 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi “Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik”. Kebijakan mengenai sertipikat elektronik juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 yang mengatur tentang Sertipikat Elektronik. Umumnya sertipikat tanah konvensional diterbitkan dalam bentuk cetak kertas dengan dilengkapi hologram berlogo BPN untuk menghindari adanya pemalsuan sertipikat ataupun penggandaan sertipikat, namun jika hal ini diterapkan juga dalam sertipikat elektronik masih belum menjamin jika sertipikat elektronik

tersebut tidak akan dipalsukan atau digandakan karena dalam proses manipulasi data digital cukup mudah dilakukan, sehingga perlu adanya mekanisme jika sertipikat elektronik tidak berubah dari aslinya sebagai upaya meminimalisir kejahatan.

Penelitian sebelumnya yang membahas mengenai digitalisasi sertipikat tanah yang ditulis oleh Novita Agustiani Eka Putri dengan judul “Perbandingan Penggunaan Sistem Komputerisasi dengan Sistem Manual dalam Pembuatan Sertifikat Tanah di Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung”1 menjelaskan mengenai kinerja BPN kurang maksimal dikarenakan adanya penyimpanan data yang kurang terorganisir dengan baik sehingga menyebabkan adanya data duplikat yang membuat rancu serta sulitnya pencarian data mengenai sertipikat tanah seseorang yang diakibatkan banyaknya volume pendaftar tanah. Peneliti juga mengatakan bahwasannya jika memang sistem mengenai pendaftaran tanah harus diubah menjadi digital masih ada beberapa kelemahan seperti pegawai BPN yang bertugas kurang menguasai teknologi dan dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan digitalisasi sertipikat konvensional yang bisa mengakibatkan terganggunya kinerja BPN untuk melayani masyarakat. Adapun artikel lainnya yang ditulis oleh Leonardo Refiely, Edi Sediyono, dan Adi Setiawan yang menyebutkan sertipikat elektronik ini sudah dijamin terkait keamanannya karena di dalam sertipikat elektronik tersebut terdapat digital signature yang digunakan sebagai kunci utama keamanan sertipikat elektronik, penulis menjelaskan bahwa terdapat teknologi keamanan khusus e-signature yang dibubuhkan di sertipikat elektronik tersebut.2 Dalam tulisan ini penulis bermaksud untuk mengkaji pengaturan pengubahan sertipikat tanah konvensional menjadi sertipikat elektronik dalam implementasi Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 tentang sertipikat elektronik, yang pada artikel lain belum ada yang membahas tentang hal ini. Dengan adanya tulisan ini, diharapkan dapat memberikan informasi terkait efektif atau tidaknya pengubahan sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik serta kesiapan regulasi mengenai sertipikat elektronik tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kepastian dan kebermanfaatan hukum penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi sertipikat tanah elektronik?

  • 2.    Bagaimana kesiapan regulasi agraria nasional dalam menghadapi sistem digitalisasi sertipikat tanah?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepastian dan kebermanfaatan hukum penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi sertipikat tanah elektronik

serta untuk mengetahui kesiapan regulasi agraria nasional dalam menghadapi sistem digitalisasi sertipikat tanah.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penulisan artikel jurnal ini adalah menggunakan penelitian hukum normatif, yang bertujuan memberikan argumentasi yuridis tentang kekosongan, ambiguitas dan konflik norma, serta untuk mempertahankan keilmuan hukum sebagai ilmu normatif yang sui generis.3 Penelitian hukum normatif ini menganalisis suatu masalah dengan cara membandingkan pada peraturan perundang-undangan, referensi lain berupa buku atau jurnal sebagai acuan dan bahan perbandingan yang nantinya akan dihimpun menggunakan Teknik analisis dan deskripsi yang akan diberikan argumentasi.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kepastian dan Kebermanfaatan Hukum Penggantian Sertipikat Tanah Konvensional menjadi Sertipikat Tanah Elektronik

Dalam Pasal 1 Angka (1) UU No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berbuyi “Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran kepemilikan dan pengelolaan tanah dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yang selanjutnya disebut dengan PP Pendaftaran Tanah.4 Adapun beberapa asas-asas dari pendaftaran tanah sendiri adalah 1) Sederhana 2) Aman 3) Terjangkau 4) Mutakhir 5) Terbuka5. Pendaftaran tanah bisa dilakukan secara sistematik dan sporadik. Pendaftaran tanah sistematik merupakan suatu sistem kegiatan mendaftarkan tanah untuk pertama kali pada tanah yang belum pernah didaftarkan sebelumnya dengan mendaftarkan seluruh objek tanah tersebut dan dilakukan oleh pemilik tanah secara serentak di suatu wilayah, pada pendaftaran tanah secara sporadik memiliki sistem yang sama tetapi hanya beberapa obyek atau satu obyek tanah yang didaftarkan dalam suatu wilayah.

  • A.    Sertipikat Tanah Konvensional

Menurut Pasal 1 Angka (20) PP Pendaftaran Tanah menyebutkan “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah

dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”. Pada dasarnya setiap orang yang telah mendaftarkan tanah miliknya akan memiliki buku tanah dan diberikan sertipikat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut. Sertipikat tanah ini berbentuk berkas fisik yang di dalamnya memuat (1) Nama pemegang hak atas tanah, (2) Jenis hak atas tanah, (3) Nomor identifikasi bidang tanah, (4) Nomor Induk Kependudukan, (5) Kutipan peta pendaftaran, (6) Tanggal penerbitan dan pengesahan. Fungsi adanya informasi di dalam sertipikat itu adalah untuk memberikan informasi secara jelas mengenai data-data terkait tanah yang dimiliki seseorang.

Sertipikat tanah konvensional diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertipikat sebagai bukti otentik jika seseorang telah mendaftarkan tanah miliknya. Pada hal ini, BPN juga menerbitkan sertipikat tanah dan buku tanah. Perbedaan dari buku tanah dan sertipikat tanah yaitu sertipikat tanah bisa digunakan menjadi alat transaksi jual beli sesuai dengan kepentingan pemilik tanah, namun jika buku tanah hanya berupa data-data yuridis dan data fisik mengenai tanah tersebut yang tidak bisa digunakan untuk transaksi jual beli tanah, selain itu buku tanah disimpan oleh BPN, jadi bisa disimpulkan jika sertipikat tanah yang diberikan kepada seseorang oleh BPN merupakan salinan dari buku tanah yang disimpan oleh BPN sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan tugas pemerintahan dalam bidang pertanahan. Adanya sertipikat tanah konvensional ini juga merupakan sebagai penjamin kepastian hukum dan menjadi syarat wajib yang dimiliki jika seseorang akan melakukan perbuatan hukum.

Pada kenyataannya, sepenting apapun sertipikat tanah menjadi alat untuk melakukan perbuatan hukum, namun masih banyak masyarakat yang terlalu meremehkan kepastian hukum sertipikat tanah, sebagai contoh masih banyak masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang sertipikat tanahnya sudah hilang selain itu dalam pelaksanaannya pendaftaran sertipikat dikarenakan adanya keterlambatan kelengkapan dokumen oleh pemohon dan kurangnya pelayanan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan sertipikat tanah, sehingga dalam penyelesaiannya masih terjadi keterlambatan. Perlu diingat sertifikat tanah untuk menjamin legalitas kepemilikan atas tanah dan juga dapat dimanfaatkan untuk memperoleh modal komersial, sehingga penting untuk melakukan sertifikasi tanah.6 Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi masyarakat oleh pemerintah akan pentingnya kedudukan sertipikat tanah. Namun, adanya sertipikat tanah konvensional ini juga sering di salah gunakan oleh seseorang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kejahatan kriminal, seperti adanya penggandaan sertipikat, pemalsuan sertipikat, dan pencurian sertipikat.

  • B.    Sertipikat Tanah Elektronik

Pengubahan sertipikat konvensional menjadi sertipikat elektronik dengan mengesampingkan kelebihan yang dimiliki sertipikat elektronik, hal ini perlu ditinjau kembali mengenai bentuk pendaftarannya, persyaratan, serta kewajiban atau tidaknya seseorang untuk mengubah sertipikat konvensional menjadi sertipikat elektronik. Terobosan yang diambil oleh pemerintah mengenai sertipikat elektronik ini adalah dengan membuat sistem informasi yang dapat digunakan dengan cepat, efisien, dan efektif menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh manajemen. Sistem elektronik berbasis web ini juga dipercaya dapat membantu untuk mempercepat pembuatan sertipikat tanah.7

Pelaksanaan pendaftaran sertipikat elektronik dilakukan saat seseorang akan mendaftarkan tanah pertama kalinya pada pertanahan. Namun jika seseorang telah mendaftarkan tanahnya, maka sertipikat konvensional baru bisa diganti dengan sertipikat elektronik jika seseorang tersebut melakukan perbuatan hukum, seperti balik nama sertipikat; jual beli tanah. Kemudian adanya penerbitan sertipikat elektronik ini bertujuan untuk menekan jumlah angka sengketa pertanahan seperti penggandaan sertifikat dan pemalsuan sertipikat. Sertipikat tanah elektronik ini juga diyakini bisa memberikan efektifitas terkait biaya yang lebih murah, sistem output dan input data yang lebih efisien serta untuk jaminan keamanan dari sertipikat elektronik ini lebih terjamin karena segala sistem berbasis cyber. Sertipikat elektronik juga dianggap sah setelah adanya pembubuhan tanda tangan elektronik. Tujuan utama dari penerbitan sertipikat elektronik adalah untuk menghindari adanya kehilangan sertipikat; sertipikat basah; sertipikat terbakar serta dalam menjalankan misi pemerintah berbasis go green yang meminamilisir penggunaan kertas.

  • C.    Penggantian Sertipikat Tanah Konvensional menjadi Elektronik

Mengingat pentingnya sertipikat tanah dalam hak kepemilikan tanah perseorangan atau badan usaha, maka perlu adanya keefektivitasan untuk pelaksanaan pembuatan sertipikat tanah tersebut. Di Indonesia sertipikat tanah konvensional sudah diberlakukan cukup lama, seperti sudah diatur dalam Pasal 1 Angka 20 PP Pendaftaran Tanah yaitu “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.” Mengesampingkan segala kelebihan sistem sertipikat elektronik, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang terkait sertipikat elektronik ini.

  • a.    Sistem pendaftaran dan validasi mengenai data tanah terhadap sertipikat elektronik masih belum jelas.

Sistem pendaftaran tanah hingga sekarang belum secara jelas disosialisasikan pada masyarakat, hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat kurang mengetahui akan adanya sistem baru di pertanahan. Pemerintah memang sudah mengeluarkan peraturan terkait sertipikat elektronik. Tapi pada nyatanya masyarakat kurang

memahami dengan regulasi pemerintah terbaru dengan melakukan digitalisasi sertipikat tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran sertipikat elektronik dan validasinya dilakukan bertahap dari tanah pemerintah dan badan usaha terlebih dahulu, kemudian masih belum jelas apakah proses pendaftaran tanah dan validasi hanya dilakukan oleh BPN saja atau masyarakat turut andil di dalamnya, hal ini menyangkut hak publisitas masyarakat yang memiliki prinsip:

  • 1.    Transparansi, masyarakat berhak untuk memahami setiap keputusan dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam pemerintahan secara langsung atau tidak langsung dan mempengaruhi masyarakat.

  • 2.    Keterbukaan, sikap terbuka kepada publik untuk memperoleh informasi penyelenggaraan pemerintah yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, dengan tetap mengutamakan perlindungan hak-hak individu, kelompok, dan rahasia negara. Pemerintah harus bersedia memberikan informasi yang akurat. 8

Hak publisitas ini wajib diterapkan oleh BPN, khususnya pada penyelenggaraan sertipikat elektronik guna, mempertahankan kepercayaan masyarakat pada pelayanan BPN.

  • b.    Sistem keamanan IT di Indonesia belum menjamin keamanan dan sumber daya manusia belum mendukung

Pemerintah terus memperbaiki sistem IT di Indonesia, tapi tidak menyangkal jika hingga saat ini IT di Indonesia masih belum terjamin keamanannya. Sistem keamanan tentunya menjadi hal pokok jika di Indonesia menerbitkan sertipikat elektronik. Yang perlu diwaspadai jika adanya sertipikat elektronik adalah adanya kejahatan penggandaan sertipikat yang bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemalsuan sertipikat, mengingat di era zaman digital seperti sekarang mudah sekali untuk memanipulasi data hingga sampai peretasan data tersebut oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Ada beberapa sistem IT yang mulai diterapkan di Indonesia oleh pemerintah yaitu:

  • a.    Sistem Kriptografi, pada metode ini keamanan data yang digunakan untuk menjaga kerahasiaan, keaslian, dan keaslian pengiriman. Selain itu dalam Kriptografi pula memiliki tujuan agar orang yang tidak berwenang tidak dapat mengetahui atau menggunakan informasi rahasia yang dikirim melalui telekomunikasi publik. 9

  • b.    Sistem Digital Signature, Sistem Digital Signature ini merupakan tanda tangan elektronik  yang bisa diverifikasi dan di

autentifikasi pada suatu  dokumen. Digital signature jika

dibubuhkan dalam suatu dokumen maka secara sah informasi elektronik itu milik pribadi pembuat tangan. Selain itu fungsi dari digital signature ini sendiri yaitu suatu pengaman data digital yang bersifat pribadi (private signature key).10

Sayangnya, teknologi ini belum menyeluruh ada di Indonesia. Serta kedua dari teknologi ini pemerintah masih belum bisa menjamin keamanannya. Selain itu sumber daya manusia di Indonesia juga belum mendukung akan adanya kemajuan teknologi ini, salah satunya pegawai BPN masih belum menguasai teknologi ini sebagai teknologi pendukung terbitnya sertipikat elektronik. Sehingga dibutuhkan sosialisasi kepada pegawai BPN untuk mendukung adanya penerbitan sertipikat elektronik.

  • c.    Pendaftaran tanah secara sistematis belum dilakukan secara maksimal

Pendaftaran hak atas tanah di Indonesia masih belum dilakukan secara maksimal dan serentak. Pendaftaran tanah yang dimaksud seperti diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) UUPA yang menjelaskan bahwa bentuk kepastian hukum oleh pemerintah di bidang agraria terhadap masyarakat yaitu dengan cara diadakannya registrasi tanah di Indonesia sesuai dengan peraturan. Kepastian aturan yang dimaksud pada aktivitas registrasi tanah yaitu:

  • -    Kepastian aturan tentang orang atau badan yang menjadi pemegang hak (subyek hak);

  • -    Kepastian aturan tentang lokasi, batas, dan luas suatu bidang tanah;

  • -    Kepastian aturan tentang haknya.11

Permasalahan yang cukup sulit untuk dipecahkan mengenai agraria salah satunya yaitu pendaftaran tanah. Di Indonesia masih banyak tanah yang masih belum terdaftar, pada kenyataannya pendaftaran tanah sangat penting yaitu untuk kepastian hukum, mengetahui status bidang tanah tersebut baik dari pemiliknya, luasnya, hingga haknya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pendaftaran tanah yang bersifat menyeluruh di Indonesia seperti Program Nasional Agraria (Prona), Policy Development Project, dan program lainnya yang diupayakan bisa mendukung pemerataan registrasi tanah di seluruh Indonesia tetapi usaha tersebut belum maksimal. Saat ini pemerintah mulai melakukan program kerja baru guna mendukung adanya pemerataan pendaftaran tanah program tersebut yaitu Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL).

Perbedaan PTSL terhadap program-program pendaftaran tanah sebelumnya adalah jika program sebelumnya tersebut yang turun tangan hanya sampai kementrian namun di PTSL ini presiden bisa langsung turun tangan serta mengevaluasi pelaksanaan PTSL. Hingga saat ini PTSL dianggap paling efektif untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematis di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaan PTSL ini juga mengalami beberapa kendala yaitu terkait pajak, sarana dan prasarana, serta sengketa tanah.12 Dengan adanya kendala dalam pendaftaran tanah secara sistematis di Indonesia belum tepat jika pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terbaru terkait penggantian sertipikat konvensional menjadi elektronik, karena sistem pendaftaran tanah secara sistematis yang masih cukup sulit diterapkan tentunya hal ini oleh pemerintah bisa diutamakan untuk penyelesaiannya. Kekhawatiran yang terjadi jika pemerintah terlalu terburu-buru untuk mengambil kebijakan untuk mengubah sertipikat konvensional menjadi elektronik adalah pemerataan pendaftaran tanah di Indonesia akan carut marut serta tidak adanya kepastian hukum yang ada di dalamnya.

  • d.    Penerbitan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 melanggar regulasi yang lebih tinggi

Sebelum terbitnya regulasi Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 tentang sertipikat elektronik yang selanjutnya disebut dengan Permen ATR/BPN 01/21 terdapat beberapa UU yang mengatur tentang sertipikat tanah, baik itu dalam tata cara pendaftaran tanah, penyimpanan sertipikat tanah, dan hak yang dimiliki seseorang untuk menyimpan sertipikat tanah berbentuk fisik. Terdapat beberapa regulasi yang kedudukannya lebih tinggi daripada Permen ATR/BPN 01/21 yaitu PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah yang selanjutnya disebut dengan PP No. 40/1996. Peraturan Pemerintah ialah pengaturan yang bentuk pendelegasian atau klasifikasi lebih lanjut dari Undang-undang, jika dibandingkan dengan adanya peraturan lain yaitu Peraturan Menteri kemungkinan yang terjadi adalah muatan yang terkandung dalam kedua peraturan tersebut berbeda tetapi beberapa hal saling bersinggungan, yang pada dapat menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.13

Terkait dengan sertipikat tanah juga selalu berkaitan dengan “hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah” yang sudah termuat di regulasi yang lebih tinggi yaitu PP RI No. 40 Tahun 1996 yang dimana dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 23, dan Pasal 43 PP No. 40/1996 yang mengatur mengenai tanda bukti hak

kepada pemegang hak-hak tanah diberikan sertipikat tanah tersebut, dalam pasal tersebut secara tersirat menyebutkan bahwa mendapatkan kepemilikan sertipikat tanah merupakan sebuah hak seseorang jika orang tersebut telah memenuhi persyaratan terkait hak-hak tanah tersebut. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak menjelaskan sertipikat tersebut harus berbentuk fisik atau elektronik. Namun yang perlu dititik beratkan terkait hak seseorang untuk mendapatkan sertipikat tanah tersebut. Berbeda halnya dalam Pasal 13 ayat (1) Permen ATR/BPN 01/21 yang menyebutkan jika sertipikat elektronik pada dasarnya tidak akan diberikan kepada seseorang yang memiliki hak tanah namun tanah tersebut masih dalam sengketa. Pada prinsipnya dari hal tersebut perlu mengacu dengan kenyataan yang ada di lapangan dimana hingga saat ini pun masih banyak sengketa tanah dan tentu tidak mudah untuk diselesaikan baik oleh pemerintah maupun oleh pemilik tanah tersebut. Namun seharusnya bukan menjadi suatu alasan untuk mengambil hak masyarakat dalam kepemilikan suatu sertipikat tanah. Dari sana bisa dikatakan Permen ATR/BPN 01/21 tersebut melanggar sebuah regulasi yang lebih tinggi yaitu PP No. 40/1996

  • e.    Analisis Kepastian dan Kebermanfaatan Hukum Penggantian Sertipikat Tanah Konvensional menjadi Elektronik

Adanya penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik dilihat dari sisi kepastian hukumnya adalah kepastian hukum sertipikat tanah elektronik sama dengan kepastian hukum dalam sertipikat tanah konvensional. Hal ini didasarkan pada hakikatnya sertipikat tanah adalah salah satu bukti kepemilikan seseorang dalam suatu tanah, selain itu informasi dan identitas yang termuat baik dalam sertipikat konvensional dan elektronik sama hanya berbeda dalam pengkajiaan data saja, jika sertipikat konvensional memberikan kajian data dalam berbentuk cetak jika sertipikat elektronik mengkaji data dalam sistem elektronik kemudian kepastian hukum bagi pemegang hak seritifikat Elektronik tersebut dapat mengurangi jumlah angka persengketaan terkait sertipikat ganda dan pemalsuan sertipikat.14 Selain itu dilihat dari sisi kebermanfaatannya sertipikat tanah konvensional hingga saat ini masih memberikan manfaat yuridis bagi pemilik sertipikat tersebut, jadi untuk penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik bukanlah suatu hal yang harus dilakukan terburu-buru karena mengingat kebermanfaatan sertipikat konvensional yang masih ada hingga sekarang. Kebermanfaatan antara sertipikat tanah konvensional dan elektronik hampir sama, yang membedakan hanya jika sertipikat elektronik memberikan manfaat lebih praktis bagi pada pemiliknya.

  • 3.2    Kesiapan regulasi Agraria Nasional untuk Menghadapi Digitalisasi Sertipikat Tanah

Digitalisasi sertipikat tanah adalah upaya agraria nasional untuk mengikuti adanya perkembangan zaman yang lebih modern, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi dan mencegah adanya sengketa tanah maupun masalah pertanahan lainnya. Namun bagaimana kesiapan regulasi di Indonesia terkait adanya kebijakan dalam penerbitan sertipikat tanah elektronik masih menimbulkan tanda tanya besar. Penyelenggara sistem pendafataran tanah secara elektronik yaitu Kementrian ATR/BPN mengatakan siap namun untuk pelaksanannya masih bertahap.15 Pendaftaran tanah yang nantinya akan diterbitkan sebuah sertipikat tanah telah diatur ketentuannya dalam Pasal 19 UU Pokok Agraria (UUPA), Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 UUPA tentang Pendaftaran Tanah, dibentuk PP No. 10 Tahun 1961 dan telah dicabut serta diganti dengan PP No 24 Tahun 199716. UU No. 11 Tahun 2008 yang mengatur mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah barang bukti yang sah.17 Terkait pendaftaran tanah di Indonesia secara elektronik sudah terdapat pada Bab VII Bagian Kesatu mengenai Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Secara Elektronik PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran tanah. Selain itu dalam Pasal 35 ayat (5) PP Pendaftaran Tanah juga menyatakan jika registrasi tanah dalam penyimpanan dan penyajiannya menggunakan alat elektronik atau mikro film yang akan dilakukan secara bertahap, yang berarti dari penerbitan regulasi tersebut sudah di rancang adanya penerbitan sertipikat tanah elektronik di Indonesia.

Penindaklanjutan dalam pengaplikasian sertipikat elektronik dijelaskan dalam Permen ATR/BPN 01/21 Pasal 16 terdapat 4 Ayat yaitu dalam Ayat (1) menyebutkan penggantian sertipikat menjadi sertipikat elektronik sekaligus juga penggantian buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah. Kemudian di dalam Ayat (2) menyebutkan penggantian sertipikat menjadi sertipikat elektronik tercatat dalam buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah satuan rumah susun, Selanjutnya di Ayat (3) menyebutkan Pihak Pertanahan menarik sertipikat untuk disatukan menjadi satu dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah di Kantor Pertanahan. Ayat (4) menyebutkan warkah yang dimaksud di Ayat (3) disimpan berupa scan di dalam pangkalan data. Dari keempat ayat tersebut tidak bisa dimaknai satu per satu, keempat ayat tersebut harus dimaknai secara bersamaan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Sebagai contoh Kantor BPN melakukan penarikan terhadap sertipikat konvensional bagi pemilik sertipikat yang sudah mengganti sertipikatnya

menjadi elektronik Tidak ada larangan bagi Kantor BPN untuk menarik sertipikat konvensional tersebut serta merta dengan keluarnya regulasi itu.18 Pemerintah mengerti ketidaksempurnaan adanya Permen ATR/BPN 01/21 sehingga dari pemerintah sendiri mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran tanah, jika dilihat pemerintah menggabungkan mengenai pendaftaran tanah dengan ketentuan obyek lainnya merupakan upaya sementara, untuk menindaklanjuti Permen ATR/BPN 01/21 yang terlebih dahulu terbit19. Sebaiknya karena registrasi tanah adalah hal penting demi kepastian hukum, pemerintah bisa merevisi/mengubah mengenai PP Pendaftaran Tanah. Jika dikaitkan dengan praktinya antara regulasi dan penerapan sertipikat elektronik masih belum sinkron karena masih banyak masyarakat yang masih belum mampu menerima sistem pendaftaran tanah secara elektronik. Hingga saat ini regulasi di Indonesia yang mengatur tentang pendaftaran elektronik sudah cukup baik, namun masih belum diatur secara rinci dan detail terkait adanya persengketaan tanah jika sertipikat elektronik ini diterapkan secara keseluruhan di Indonesia.

  • IV.    Kesimpulan sebagai Penutup

  • 4. Kesimpulan

Menurut penelitian diatas, kesimpulan artikel ini adalah sebagai bentuk digitalisasi agraria nasional, pemerintah mengambil kebijakan penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik. Sertipikat tanah sendiri terbit karena adanya registrasi tanah melalui beberapa tahap. Sertipikat tanah merupakan suatu dokumen yang penting sebagai jaminan kepastian hukum seseorang atas tanah yang dimilikinya. Penggantian sertipikat konvensional menjadi elektronik masih belum efektif karena di Indonesia sistem pendaftaran tanah dan validasi data atas tanah masih belum jelas, sistem keamanan IT di Indonesia masih belum mendukung adanya sertipikat elektronik, pendaftaran tanah secara sistematis di seluruh Indonesia masih belum berjalan dengan baik padahal saat penggantian sertipikat tanah konvensional menjadi elektronik seharusnya permasalahan mengenai pendaftaran secara sistematis di Indonesia sudah dapat teratasi, dan adanya penerbitan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 melanggar regulasi yang lebih tinggi. Terkait kepastian dan kebermanfaatan hukum antara sertipikat konvensional dan elektronik hampir sama, hanya berbeda dalam pengkajian data. Sertipikat elektronik di Indonesia perlu dikaji ulang salah satunya terkait dengan regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut. Regulasi mengenai sertipikat elektronik di Indonesia cukup baik, namun masih perlu perbaikan untuk kedepannya dalam penerapan regulasi ini. Digitalisasi Agraria Nasional dengan penggantian sertipikat konvensional menjadi elektronik memang perlu dilakukan di Indonesia, namun perlu dilakukan secara bertahap dan sebaiknya pemerintah tidak mengambil kebijakan secara terburu-buru.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Diantha, I. Made Pasek, and MS SH. Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media, 2016.

Harsono, Boedi. "Hukum Agraria Indonesia." BUKU DOSEN-2014 (2015

Muwahid, Muwahid. "Pokok-pokok hukum agraria di Indonesia." (2016).

JURNAL ILMIAH

Alimuddin, Nur Hidayani. "Implementasi Sertifikat Elektronik Sebagai Jaminan Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia." SASI 27, no. 3 (2021): 335-345.

Arisaputra, Muhammad Ilham, Muhammad Ashri, Kasman Abdullah, and Dian Utami Mas Bakar. "Akuntabilitas Administrasi Pertanahan dalam Penerbitan Sertifikat." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 29, no. 2 (2017): 276-291.

Hakim, Arif Rahman. "TINJAUAN YURIDIS PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI AUTENTIK PENGUASAAN HAK ATAS TANAH." PhD diss., Universitas Gunung Rinjani, 2021.

Indah Pratiwi, Agung Sri Indrawati. “Legalitas Tanda Tangan Elektronik dalam Sertifikat Hak Tanggungan Elektronik.” Fakultas Hukum Universitas Udayana 9, No. 7 (2021): 1249-1261

Maulana, Arief, Nurul Fadillah, and Mudhi Ulfani. "SISTEM INFORMASI PENDAFTARAN SERTIFIKASI TANAH BERBASIS WEB DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA LANGSA." J-ICOM-Jurnal Informatika dan Teknologi Komputer 1, no. 1 (2020): 19-27.

Mujiburohman, Dian Aries. "Potensi permasalahan pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL)." BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan 4, no. 1 (2018): 88-101.

Mujiburohman, Dian Aries. "Transformasi dari Kertas ke Elektronik: Telaah Yuridis dan Teknis Sertipikat Tanah Elektronik." BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan 7, no. 1 (2021): 57-67

Nababan, Joslin, Pristiwanto Pristiwanto, and M. Sayuthi. "Implementasi Algoritma Ripemd160 Untuk Mendeteksi Keaslian Sertifikat Tanah." KOMIK (Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komputer) 3, no. 1 (2019).

Putri, Novita Agustiani Eka. "Perbandingan penggunaan sistem komputerisasi dengan sistem manual dalam pembuatan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung." PhD diss., UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2013.

Refialy, Leonardo, Eko Sediyono, and Adi Setiawan. "Pengamanan sertifikat tanah digital menggunakan digital signature SHA-512 dan RSA." JuTISI (Jurnal Teknik Informatika dan Sistem Informasi) 1, no. 3 (2015).

Silviana, Ana. "Urgensi Sertipikat Tanah Elektronik Dalam Sistem Hukum Pendaftaran Tanah di Indonesia." Administrative Law and Governance Journal 4, no. 1 (2021): 51-68.

Sukardi, Sukardi, and Ekawestri Prajwalita Widiati. "Pendelegasian Pengaturan Oleh Undang-Undang Kepada Peraturan Yang Lebih Rendah dan Akibat Hukumnya." Yuridika 25, no. 2 (2010): 103-116.

Tehupeiory, Aartje. Pentingnya pendaftaran tanah di Indonesia. Raih Asa Sukses, 2012.

Wijayanti, Esti. "Implementasi Elektronik Pendaftaran Tematik Sistematis Lengkap Di Kantor ATR/BPN Kabupaten Kudus." Jurnal Informatika Upgris 5, no. 1 (2019).

Yani, Ahmad, and Rezky Amalia Syafiin. "Pengarsipan Elektronik Sertifikat Tanah untuk Menjamin Ketersediaan Arsip sebagai Alat Bukti yang Sah pada Sengketa Pertanahan." Khazanah: Jurnal Pengembangan Kearsipan 14, no. 1: 57-73.

INTERNET

Simdos    Unud."Diktat    Hukum    Agraria."    2017    Retrieverd    from

(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/1b763d83146b7454cf3 2c0bac035c744.pdf) (diakses pada tanggal 28 Oktober 2021).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Undang-Undang No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 6630)

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59)

Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat elektronik

Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 3 Tahun 2022, hlm. 474-487