Pemidanaan Wajib Pajak Atas Pelanggaran Kewajiban Perpajakan (Perspektif Undang-Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan)

I Made Walesa Putra 1, Marcus Priyo Gunarto2, Dahliana Hasan 3

1Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

  • 2Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

  • 1Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk: 21st February 2022 Diterima: 10th May 2022

    Terbit: 12th May 2022

    Keywords:

    Restriction, Tax Administration

    Violations, Tax Crime


    Kata kunci:

    Batasan; Pelanggaran Hukum Administrasi Perpajakan; Tindak Pidana Perpajakan


    Corresponding Author:

    I Made Walesa Putra, e-mail: [email protected]

    DOI:

    10.24843/JMHU.2022.v11.i01.p14


Abstract

Article aimed to examine the restriction between tax administration violations with tax crimes in order to prevent or minimize disparities in tax law enforcement, for more objective and have legal certainty in distinguishing or determining to what extent a violation of tax administration provisions classified as a tax crime. The type of research is normative research with a statutory and consept approach. The results of study indicated that the restriction of a tax administration violation committed by a taxpayer therefore, it can become a tax crime is based on whether it has fulfilled the formulation of offense element in Article 38, Article 39, and Article 39A of the Tax Law (UU KUP). Beside the fulfillment of the article formulation, there is a policy of the tax authorities or law enforcement officers in accordance with the Tax Law, which is very decisive to become a criminal act by prioritizing the principles of taxation, administrative penal law by the ultimum remedium character. The policy concerns the authority to stop cases in the process of examining preliminary evidence and stopping investigations, to be resolved administratively by paying the repayment added with fine. Even if criminal law is enforced, fines are prioritized over imprisonment or confinement, as the benefit principle is prioritized in tax law enforcement.

Abstrak

Penulisan artikel bertujuan mengkaji batasan pelanggaran administrasi perpajakan dengan tindak pidana pajak, sehingga dapat mencegah ataupun meminimalisir disparitas penegakan hukum perpajakan agar lebih objektif dan berkepastian hukum dalam membedakan ataupun menentukan sejauh mana suatu pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dapat menjadi tindak pidana perpajakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian menjelaskan bahwa batasan suatu pelanggaran administrasi perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak sehingga dapat menjadi suatu tindak pidana perpajakan adalah berdasarkan apakah telah memenuhi rumusan unsur tindak pidana dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 39A UU KUP. Disamping pemenuhan rumusan pasal tersebut, ada kebijakan fiskus ataupun aparat penegak hukum

sesuai UU KUP yang sangat menentukan untuk menjadi tindak pidana dengan mengedepankan prinsip perpajakan, administrative penal law yang karakternya ultimum remedium. Kebijakan tersebut, menyangkut kewenangan untuk menghentikan perkara pada proses pemeriksaan bukti permulaan dan penghentian penyidikan, untuk dapat diselesaikan secara administratif dengan membayar pelunasan ditambah denda. Bahkan jika dilakukan penegakan hukum pidana maka sanksi pidana denda diprioritaskan daripada penjara maupun kurungan, sebagaimana asas kemanfaatan yang lebih diutamakan dalam penegakan hukum perpajakan.

  • I.    Pendahuluan

Hukum pajak adalah bagian dari hukum publik (hukum negara). 1 Hukum pajak merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur hubungan hukum antara negara (fiscus) sebagai pemungut pajak dan masyarakat sebagai pembayar pajak. 2 Hukum pajak erat kaitannya dengan hukum perdata maupun hukum pidana. Peristiwa-peristiwa, keadaan dan kejadian dalam hukum perdata dijadikan sasaran perlakukan pajak oleh hukum pajak dan dituangkan pada undang-undang pajak. Hubungannya dengan hukum pidana, yakni ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) banyak digunakan dalam istilah perundang-undangan pajak serta sanksi pidana juga digunakan dalam undang-undang perpajakan.3

Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, tidak menutup kemungkinan terjadi pelanggaran yang dilakukan wajib pajak. Beragam jenis pelanggaran terhadap ketentuan perpajakan dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur perundang-undangan perpajakan nasional. Sanksi-sanksi tersebut terdiri atas sanksi administrasi meliputi sanksi denda, bunga, dan kenaikan, serta sanksi pidana perpajakan meliputi denda pidana, kurungan dan penjara.4 Pengenaan sanksi bukan satu-satunya jalan terbaik, namun dapat mempengaruhi atau membuat sadar wajib pajak, petugas pajak atau pihak ketiga yang melakukan perbuatan menyimpang dari undang-undang berlaku.5

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) sebagai ketentuan hukum pajak formil terhadap pajak penghasilan (PPh) serta pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sekaligus merupakan ketentuan umum perpajakan nasional. UU KUP diantaranya mengatur berbagai jenis pelanggaran hukum perpajakan, berserta sanksi, dan ketentuan tata cara

penegakan hukum secara administrasi maupun pidana. Pelanggaran hukum perpajakan yang dimaksud adalah terhadap pajak pusat, yang diantaranya: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah, bea meterai serta pajak bumi dan bangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Pajak pusat dikelola pemerintah pusat dan diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 6 Beberapa pelanggaran yang terdapat di dalam UU KUP ada yang diancamkan sanksi administrasi namun pada kondisi tertentu dapat beralih ke dalam ranah hukum pidana, sebagaimana yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini.

Disisi lain, ada ketentuan pajak daerah yang diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (untuk selanjutnya disebut UU PDRD). UU PDRD kemudian disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bahwa ketentuan mengenai pajak daerah yang menyangkut pelanggaran hukum serta penegakan hukum, baik di ranah hukum administrasi maupun hukum pidana diatur secara khusus didalam perudang-undangan pajak daerah tersebut. Sehingga pelanggaran hukum terhadap ketentuan pajak daerah diperlukan kajian khusus dalam suatu penelitian berbeda secara khusus pula.

Yustinus Prastowo berpendapat, salah satu prinsip perpajakan Indonesia termaktub dalam UU KUP yakni administrative penal law dimana hukum pajak merupakan bagian hukum administrasi yang memiliki sanksi pidana. 7 Sedangkan, Andi Hamzah menjelaskan lebih lanjut, administration penal law adalah perundang-undangan administrasi negara bersanksi pidana.8 Artinya, suatu pidana yang digantungkan pada hukum administrasi negara, jadi sebagai suatu dependent crime.9 Dengan demikian, hukum pajak sebagai bagian dari hukum administrasi yang terdapat sanksi pidana, dimana sifat tercelanya perbuatan pidana administrasi tersebut mengikuti atau tergantung kepada ketentuan hukum administrasi yang ada dalam perundang-undangan perpajakan.

Dalam konteks hukum pidana administratif, memiliki karakter diantaranya yaitu ultimum remedium. Artinya hukum pidana adalah sarana terakhir jika pranata hukum lain tidak lagi berfungsi untuk menegakkan hukum.10 Sifat ultimum remedium di bidang perpajakan, yakni penegakan pelanggaran hukum perpajakan yang diutamakan adalah sanksi administratif sedangkan penerapan sanksi pidana dilakukan apabila cara-cara yang dilakukan sudah tidak efektif lagi untuk membuat wajib pajak patuh

pada ketentuan perpajakan. 11 Oleh karena itu, ketentuan perpajakan sebagai administratif penal law dimana pengenaan sanksi pidana sangat tergantung ketentuan hukum administrasinya serta apabila telah memenuhi persyaratan untuk dikenakan sanksi pidana tetap harus mengedepankan sanksi administrasi dalam penegakan baru kemudian penegakan sanksi pidana sebagai langkah terakhir, sebagaimana karakter ultimum remedium.

Prinsip ultimum remedium (last resort), pernah diatur secara implisit di Penjelasan Pasal 13A UU KUP, “bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak”. Sekalipun hanya dalam penjelasan pasal, pentingnya penegasan prinsip tersebut dapat sebagai pedoman aparatur perpajakan (fiskus) yakni Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) serta penegak hukum untuk selalu mengutamakan upaya administrasi daripada pidana. Sayangnya, ketentuan Pasal 13A UU KUP lama, telah dihapus berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, oleh karenanya otomatis menghilangkan keberadaan penjelasan pasal tersebut.

Dalam ranah penegakan hukum administrasi, data penanganan sengketa pajak (Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan) sejumlah 187.435 penyelesaian permohonan di akhir tahun 2020.12 Namun, data tindak pidana di bidang perpajakan juga tidak bisa dipandang sebelah mata, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), selama tahun 2020 menyebutkan jumlah Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) terkait dugaan tindak pidana perpajakan mencapai 1.602 laporan.13 Sementara, Laporan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di akhir Tahun 202014, berkas penyidikan dengan status P-21 (siap dilimpahkan ke Kejaksaan) sampai dengan akhir tahun 2020 sejumlah 95 berkas serta diantaranya ada 91 kasus telah divonis pidana pajak. Meskipun vonis pidana hanya sedikit (91 kasus) dibandingkan data PPATK (1.602 LTKM) dan data penyelesaian hukum administrasi (187.435 penyelesaian), namun kerugian negara akibat tindak pidana pajak mencapai Rp. 670,71 miliar15 atas 91 putusan tersebut.

Meskipun pemidanaan terhadap wajib pajak telah dijatuhkan dalam beberapa putusan pengadilan, namun masih menjadi diskursus di kalangan akademisi, praktisi, dan aparatur perpajakan sendiri. Diskursus dalam menentukan sejauh mana suatu pelanggaran ketentuan kewajiban administrasi perpajakan harus diselesaikan menggunakan hukum pidana. Mengingat dalam UU KUP sendiri belum ada ketentuan eksplisit menegaskan batasannya serta tidak ada ketentuan menyebutkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) setelah di hapus Pasal 13A UU KUP, sebagai salah satu karakter prinsip perpajakan yakni administrative penal law.

Ilustrasinya yakni terjadi diskursus, putusan Pengadilan Negeri Bandung No 1164/Pid.B/2019/PN Bdg terhadap Heru Purnomo. Dalam pertimbangan hukum hakim, bahwa Heru Purnomo terbukti membuat faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (faktur TBTS) dari PT. Buana Intan Gemilang untuk dikreditkan oleh PT. Kurnia Astasurya (masa pajak Januari s/d Desember 2016)16. Heru Purnomo melakukan bersama-sama dengan Heryawan Surya Kusumajaya (Diretur utama PT. Kurnia Astasurya). Namun hal yang menarik, Heryawan Surya Kusumajaya tidak diproses pidana karena sebelumnya telah melakukan penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara dengan membayar pokok pajak dan sanksi administrasi denda empat kali lipat (atas pelanggaran Pasal 39A huruf a jo Pasal 43 (1) UU KUP). Menurut Majelis Hakim penghentian penyidikan tersebut adalah hak wajib pajak (Heryawan Surya Kusumajaya, Dirut. PT Kurnia Astasurya) berdasarkan perundang-undangan perpajakan.17 Sementara untuk Heru Purnomo yang terbukti melakukan tindak pidana atas faktur TBTS tersebut dan tidak melakukan penghentian penyidikan maka tidak dapat digunakan sebagai alasan penghapus pidana.18

Putusan PN Bandung tersebut jelas ada perlakukan berbeda terhadap Heru Purnomo yang dijatuhi sanksi pidana dengan Heryawan Surya Kusumajaya yang dijatuhi sanksi administrasi atas suatu perbuatan yang sama membuat faktur pajak (TBTS) fiktif. Gambaran yang mempertegas urgensi diperlukannya penelitian mengkaji batasan ketentuan kedua ranah hukum, yakni administrasi dan pidana terhadap pelanggaran hukum bidang perpajakan. Adanya klausul “penghentian penyidikan untuk kepentingan keuangan negara” yang membedakan perlakuan terhadap kedua pelaku tersebut menunjukkan pula, bahwa penegakan hukum perpajakan lebih menekankan aspek kemanfaatan. Sebagaimana Jeremy Bentham, bahwa fungsi hukum19 adalah memberikan nilai kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar terhadap sebanyak-banyaknya masyarakat.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 38 UU KUP menyebutkan bahwa “pelanggaran kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana”. Oleh karena itu, yang diancam dengan sanksi pidana adalah perbuatan yang bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.20 Penjelasan tersebut seolah membedakan tegas antara pelanggaran administrasi dan yang

merupakan tindak pidana perpajakan. Dengan kata lain, diartikan bahwa antara ranah hukum administrasi dan ranah hukum pidana adalah dua hal yang sangat terpisah.

Apabila dilihat secara yuridis normatif, beberapa ketentuan UU KUP justru sulit dibedakan dan seperti terjadi tumpang tindih apakah suatu jenis pelanggaran harus diterapkan pengenaan sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Semisal, terlambat melaporkan SPT (Pasal 7 ayat 1 UU KUP) dikenakan sanksi administrasi denda. Namun, belum ada kejelasan sejauh mana wajib pajak tidak dikatakan terlambat, melainkan dikatakan tidak melaporkan SPT baik karena “kealpaan” (dalam Pasal 38 ayat 1 UU KUP) maupun karena “sengaja” (dalam Pasal 39 ayat 1 huruf c UU KUP) yang diklasifikasikan tindak pidana perpajakan, kembali hal tersebut belum ada pengaturan penegasannya. Sehingga potensi disparitas dalam penanganan suatu pelanggaran perpajakan sangat besar, terhadap suatu perkara diselesaikan secara administrasi namun perkara serupa lainnya dimungkinkan sampai ke ranah pidana, dengan demikian sulit dikatakan sejalan dengan Penjelasan Pasal 38 UU KUP.

Diperlukan suatu kajian melalui penelitian atas permasalahan: pertama, bagaimana analisis yuridis pelanggaran ketentuan kewajiban administrasi dan tindak pidana perpajakan oleh wajib pajak. Kedua, bagaimana batasan pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan dan tindak pidana perpajakan yang dapat diancam dan dikenakan sanksi pidana. Batasan penelitian, difokuskan terhadap pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan maupun tindak pidana yang dilakukan hanya oleh wajib pajak, sehingga tidak termasuk pelanggaran yang dilakukan pejabat atau petugas pajak serta pihak ketiga terkait lainnya. Dengan penelitian, diharapkan dapat meminimalisir disparitas penegakan hukum perpajakan sehingga bersifat lebih objektif, berkeadilan dan berkepastian hukum pada akhinya diharapkan dapat mengoptimalkan tingkat kepatuhan perpajakan wajib pajak serta berdampak positif pada peningkatan pendapatan negara di sektor perpajakan.

Harsanto Nursadi 21 dalam tulisan ilmiahnya menganalisis sehubungan tindakan administrasi negara dalam perpajakan yakni keluarnya penetapan berupa surat atau surat keputusan dari fiskus atau aparatur perpajakan. Serta tindak pidana yang dilakukan adalah oleh fiskus menyangkut penetapan atau keputusan yang di luar kewenangannya. Tulisan ilmiah lainnya, Edward Omar Sharif Hiariej22menitikberatkan mengenai hukum pidana pajak sebagai ius singulare yakni hukum pidana khusus yang amat sangat khusus. Bahwa disamping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum pidana pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial. Dengan demikian, orisinalitas karya ilmiah ini mengkaji pelanggaran hukum administrasi dan tindak pidana perpajakan oleh wajib pajak, berbeda dengan tulisan ilmiah Harsanto Nursadi yang mengkaji terhadap tindakan administrasi dan tindak pidana yang dilakukan aparatur perpajakan. Perbedaan pula jika dibandingkan tulisan Edward Omar Sharif Hiariej yang tidak memberikan batasan ketentuan hukum administrasi

dengan hukum pidana di bidang perpajakan sebagaimana yang menjadi kajian dalam penelitian ini.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif, penelitian terhadap peraturan perundang-undangan (perpajakan), yang berangkat dari kekaburan norma mengenai batasan pelanggaran hukum administrasi dan tindak pidana perpajakan.23 Dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) mengkaji pengaturan kewajiban administrasi perpajakan, pelanggaran hukum perpajakan dan sanksinya baik administrasi maupun pidana, yakni berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, beserta ketentuan-ketentuan peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Serta pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk mengkaji konsep pelanggaran hukum administrasi perpajakan dan tindak pidana perpajakan.

Penelitian ini menggunakan bahan hukum: 1) Bahan-bahan hukum yang mengikat (bahan hukum primer) yakni: UU KUP, dan UU Pengadilan Pajak; serta 2) Bahan hukum yang berasal dari buku-buku dan jurnal hukum (bahan hukum sekunder). Dalam mengkaji dan mengumpulkan bahan hukum menggunakan teknik studi dokumenter. Jenis analisis adalah analisis kualitatif, yakni mengutamakan kualitas bahan-bahan hukum mengacu norma pada peraturan perundang-undangan terkait. Bentuk analisis yang bersifat kualitatif berupa narasi atau pendapat hukum yang bersifat normatif dan pada fase akhir memberikan preskripsi mengenai hal-hal yang sifatnya esensial.24

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Analisis Yuridis Pelanggaran Ketentuan Kewajiban Administrasi dan Tindak Pidana Perpajakan oleh Wajib Pajak

      • 3.1.1    Pelanggaran Ketentuan Kewajiban Administrasi Perpajakan oleh Wajib Pajak

Sistem perpajakan dianut Indonesia adalah self assessment system, sebagaimana pergeseran dari sistem perpajakan official assessment saat reformasi perpajakan tahun 1983. Official assessment system yakni pemungutan yang memberikan kewenangan kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang, 25 saat ini masih dipertahankan untuk pemungutan pajak bumi dan bangunan. Sedangkan Self assessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan penuh wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan

melaporkan sendiri pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sistem self assessment dimuat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP.

Kepercayaan yang besar kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya membuka peluang terjadinya pelanggaran sehubungan kegiatan administrasi perpajakan menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri pajak terutang tersebut. Salah satunya disebabkan kurangnya kesadaran perpajakan masyarakat Indonesia.26 Pada prinsipnya, meskipun menggunakan sistem self assessment tetap ada rambu-rambu yang harus ditaati sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Wajib pajak yang melanggar kewajiban administrasi perpajakan, tentunya sanksi hukum administrasi yang akan dikenakan. UU KUP mengatur tegas sanksi-sanksi dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban perpajakan berupa: bunga, denda atau kenaikan. Namun UU KUP, tidak menjelaskan secara khusus mengenai definisi pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan, hanya diatur beberapa jenis pelanggaran beserta ancaman sanksi administrasi. Beberapa pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan beserta sanksi, secara ringkas diuraikan unsurnya, yakni sehubungan:

  • a.    Kewajiban Daftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif diwajibkan undang-undang untuk ber-NPWP atau dikukuhkan sebagai PKP. Bagi yang tidak memenuhi kewajiban tersebut, tergolong pelanggaran hukum administrasi perpajakan. Menurut Pasal 2 ayat 4 UU KUP, bahwa Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dapat menerbitkan NPWP/PKP secara jabatan atas pelanggaran administratis tersebut. Ada konsekuensi sanksi hukum administrasi apabila penerbitan dilakukan secara jabatan, yaitu: kekurangan pajak terutang ditambah sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 13 ayat 2 UU KUP).

  • b.    Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)

Wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban SPT, diantaranya: SPT Masa atau Tahunan (orang pribadi ataupun badan) tidak disampaikan batas waktu (sebagaimana Pasal 3 ayat 5a UU KUP) diberikan sanksi administrasi teguran. Selanjutnya, ancaman sanksi bagi yang melanggar batas waktu SPT dapat dikenakan sanksi administrasi denda (Pasal 7 ayat 1 UU KUP) mulai dari seratus ribu rupiah sampai dengan satu juta rupiah. Kedua pasal tersebut merupakan ancaman sanksi administrasi terhadap pelanggaran kewajiban melaporkan SPT.

  • c.    Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Wajib pajak yang terlambat pembayaran pajak (Pasal 9 ayat 2a dan 2b UU KUP) akan dikenakan sanksi administrasi bunga. Bunga tersebut sebesar tarif bunga perbulan ditetapkan Menteri Keuangan (maksimal 24 bulan). Demikian pula halnya

dengan penyetoran pajak, atas keterlambatannya dapat dikenakan saksi dalam rumusan pasal yang sama.

  • d.    Kekurangan Pembayaran Pajak

  • a)    Dirjen Pajak dalam jangka waktu lima tahun dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dalam hal:

  • i.    Hasil pemeriksaan pada wajib pajak, ditemukan ada pajak yang tidak atau kurang bayar dan/atau telah diterbitkan NPWP/PPKP secara jabatan maka atas pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 13 ayat 2 UU KUP);

  • ii.    Pengusaha Kena Pajak yang tidak melakukan penyerahan atau ekspor barang atau jasa kena pajak namun telah diberikan pengembalian atau telah mengkreditkan pajak masukan maka dikenai sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 13 ayat 2a UU KUP);

  • iii.    SKPKB yang terbit sebagai akibat:

  • -    SPT tidak disampaikan sebagaimana Pasal 3 ayat (3) UU KUP. Pasal 3 ayat 3 UU KUP menentukan batas waktu penyampaian SPT: (1) untuk SPT masa, paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak; (2) untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak; atau (3) untuk SPT Tahunan PPh Badan, paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak. ataupun disebut dalam surat teguran; atau

  • -    Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak seharusnya dikompensasi atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); atau

  • -    Kewajiban pembukuan dan pemeriksaan uji kepatuhan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut maka jumlah dalam SKPKB wajib pajak, ditambah sanksi administrasi (sebagaimana Pasal 13 ayat 3 UU KUP) yaitu:

  • -    Bunga dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak (tarif bunga perbulan, maksimal 24 bulan, ditetapkan Menteri Keuangan);

  • -    Bunga dari PPh yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut (tarif bunga perbulan, maksimal 24 bulan, ditetapkan Menteri Keuangan);

  • -    Kenaikan sebesar 75% dari PPN Barang dan Jasa dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar; atau

  • -    Kenaikan sebesar 75% dari PPh yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

  • iv.    SKPKB berdasarkan pemeriksaan Dirjen Pajak terhadap wajib pajak yang telah dilakukan pengembalian kelebihan pajak namun terdapat kurang bayar, dapat dikenakan sanksi administrasi kenaikan (Pasal 17D ayat 5 UU KUP) sebesar 100%.

  • b)    Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP), dalam hal:

  • i.    Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar atau hasil penelitian ada kekurangan bayar pajak akibat salah tulis dan/atau hitung, maka kewajiban kekurangan pajak ditambah sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan

Menteri Keuangan (sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 14 ayat (3) UU KUP);

  • ii.    Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat membuat faktur pajak; atau tidak mengisi secara lengkap faktur, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tandatangan, dalam hal penyerahan dilakukan oleh PKP pedagang eceran. Maka kewajiban setor pajak terutang ditambah sanksi administrasi denda sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) huruf d dan e jo Pasal 14 ayat (4) UU KUP).

  • c)    Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun, apabila setelah pemeriksaan ditemukan data baru mengakibatkan penambahan pajak terutang maka dikenakan sanksi administrasi kenaikan 100%, kecuali SKBKBT terbit atas kehendak sendiri wajib pajak sebelum dilakukan pemeriksaan Dirjen Pajak (Pasal 15 UU KUP).

  • d)    Apabila jumlah pajak harus dibayar bertambah akibat dikeluarkan SKPKB/SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 19 ayat 1 UU KUP).

  • e.    Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT)

  • a)    Wajib pajak atas kemauan sendiri (sebelum pemeriksaan Dirjen Pajak), mengajukan pembetulan SPT jika ada kurang bayar maka dikenakan sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan (maksimal 24 bulan) ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 8 ayat 2, 2a dan 2b UU KUP).

  • b)    Bahkan setelah pemeriksaan bukti permulaan dugaan tindak pidana perpajakan, dengan prasyarat pelunasan utang pajak ditambah denda administrasi 100%, wajib pajak masih diberikan kesempatan mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya baik “sengaja” maupun karena “kelalaian” yaitu: a. Tidak menyampaikan SPT; atau b. Menyampaikan SPT isinya tidak benar / tidak lengkap atau melampirkan keterangan tidak benar, sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan ke penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) dan (3a) UU KUP).

  • c)    Pengungkapan ketidakbenaran SPT juga dapat dilakukan wajib pajak meski telah dilakukan pemeriksaan namun Dirjen Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Dalam hal pengungkapan tersebut mengakibatkan pajak kurang bayar, maka dapat dikenakan sanksi administrasi bunga sebesar tarif bunga perbulan ditetapkan Menteri Keuangan (Pasal 8 ayat 4, 5 dan 5a UU KUP).

Penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan kewajiban perpajakan tersebut merupakan lingkup kewenangan internal Dirjen Pajak. Wajib pajak dapat mengajukan Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Dirjen Pajak. Apabila Keberatan yang diajukan tersebut ditolak atau diterima sebagian maka Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi denda 30%

dari jumlah keputusan keberatan dikurangi yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (Pasal 25 ayat 9 UU KUP).

Setelah ada keputusan keberatan, wajib pajak masih berkesempatan mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Dimana putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap (inkracht) sebagaimana Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) serta tidak dapat diajukan lagi gugatan, banding atau kasasi (Pasal 80 UU pengadilan Pajak). Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian wajib pajak dikenai sanksi administrasi denda sebesar 60% dari jumlah pajak putusan banding dikurangi dengan yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (Pasal 27 ayat 5d UU KUP).

Sekalipun demikian, UU Pengadilan Pajak pula memberikan upaya hukum lain dapat ditempuh pihak-pihak bersengketa atas putusan pengadilan pajak, dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (Pasal 77 ayat 3 UU Pengadilan Pajak). PK merupakan upaya hukum luar biasa untuk memeriksa dan memutus kembali putusan pengadilan pajak (Pasal 1 Angka 3 Peraturan MA No. 7 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak). Pengajuan permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan putusan pengadilan pajak. Dalam hal Putusan PK menyebabkan jumlah pajak harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administrasi denda 60% dari jumlah pajak putusan PK dikurangi dengan yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (Pasal 27 ayat 5d dan 5f UU KUP).

Dengan demikian, begitu lengkapnya pengaturan mengenai pelanggaran hukum kewajiban administrasi perpajakan disertai sanksi dan proses penegakan hukumnya secara administratif. Penegakan hukum tersebut, baik di tingkat internal Dirjen Pajak maupun dengan penyelesaian melalui pengadilan pajak. Bahkan upaya hukum tersebut dapat sampai dengan peninjauan kembali di MA.

Berdasarkan jenis-jenis pelanggaran ketentuan kewajiban administrasi perpajakan yang telah dijabarkan yang dapat dikenakan sanksi administrasi, maka yang dimaksud pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan dalam hal ini, merupakan pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan sehubungan sistem self assessment yang meliputi kewajiban menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri oleh wajib pajak. Pelanggaran mana dapat dikenakan sanksi melalui ketetapan Dirjen Pajak maupun putusan Pengadilan Pajak sebagaimana jenis sanksi administrasi yakni berupa denda, bunga atau kenaikan yang diatur dalam perundang-undangan perpajakan.

  • 3.1.2    Tindak Pidana Perpajakan oleh Wajib Pajak

Disamping pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan, UU KUP sebagai induk perundang-undangan perpajakan nasional mengatur pelanggaran hukum pidana di bidang perpajakan atau yang sering dikenal tindak pidana perpajakan. Nindi Achid

Arifki menyebutkan,27 bahwa pengaturan sanksi pidana dalam UU KUP merupakan sarana strategis dalam penyelesaian segala bentuk ketidakpatuhan wajib pajak. Meskipun demikian, UU KUP tidak memberikan definisi tindak pidana perpajakan, hanya dirumuskan beberapa pasal tindak pidana perpajakan yang disertai ancaman sanksi pidana, baik berupa pidana denda, kurungan maupun penjara bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan.

Moeljatno menyebut “tindak pidana” dengan istilah “perbuatan pidana” merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 28 Berdasarkan definisi dikemukakan Moeljatno kemudian dapat dikaitan dengan tindak pidana perpajakan. Dengan demikian, tindak pidana perpajakan merupakan perbuatan yang dilarang hukum tersebut yakni dilarang karena dikualifikasikan sebagai tindak pidana oleh perundang-undangan perpajakan yang disertai ancaman sanksi pidana perpajakan tertentu bagi pelanggarnya.

Dasar penentuan suatu tindak pidana yakni asas legalitas. Tujuan asas legalitas berdasarkan sejarahnya adalah kepastian hukum tentang perbuatan mana yang dipidana dan yang tidak dipidana. Dengan demikian, mencegah kesewenang-wenangan penguasa untuk menetepkan pemidanaan kepada pelaku tindak pidana.29 Perumusan ketentuan tindak pidana perpajakan yang dilakukan khusus hanya oleh wajib pajak di dalam UU KUP yaitu di dalam Bab VIII mengenai Ketentuan Pidana dalam Pasal 38, 39, dan 39A UU KUP. Mengingat bahwa ketentuan-ketentuan pasal tersebut yang terkait langsung dengan hak dan kewajiban perpajakan dari wajib pajak (diluar tindak pidana oleh petugas pajak serta pihak ketiga lainnya). Kajian dilakukan terlebih dahulu terhadap unsur-unsur beberapa ketentuan pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan yang terdapat ancaman sanksi pidana tersebut.

Adami Chazawi, membedakan unsur-unsur tindak pidana dalam dua sudut pandang: (1) dari sudut teoretis, yakni berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin dalam bunyi rumusannya; dan (2) dari sudut undang-undang, yakni bagaimana kenyataan tindak pidana dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal peraturan perundang-undangan yang ada. 30 Apabila dilihat dari sudut undang-undang yaitu terhadap UU KUP, unsur-unsur tindak pidana dimaksud yang diintisarikan dari Pasal 38, 39, dan 39A UU KUP dengan pengelompokan sebagai berikut:

  • a.    Kewajiban Daftar NPWP atau Pengukuhan PKP

Wajib pajak yang sengaja tidak mendaftar untuk diberikan NPWP atau Pengukuhan PKP atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, sehingga dapat merugikan pendapatan negara, dipidana penjara enam bulan sampai dengan enam tahun dan pidana denda dua sampai

dengan empat kali pajak tidak atau kurang bayar (Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b UU KUP).

  • b.    Pengisian dan Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)

Wajib pajak karena “kealpaan” tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT tetapi tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan isinya tidak benar, dapat merugikan pendapatan negara dipidana denda satu sampai dengan dua kali pajak tidak atau kurang bayar atau pidana kurungan tiga bulan sampai dengan satu tahun (Pasal 38 UU KUP). Apabila perbuatan dilakukan dengan “sengaja” maka dipidana penjara enam bulan sampai dengan enam tahun dan denda dua sampai dengan empat kali pajak tidak atau kurang bayar (Pasal 39 ayat 1 huruf c dan d UU KUP).

  • c.    Penyetoran Pajak

Wajib pajak yang sengaja tidak menyetor pajak telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat merugikan pendapatan Negara, dipidana penjara enam bulan sampai dengan enam tahun dan denda dua sampai dengan empat kali pajak tidak atau kurang bayar (Pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP).

  • d.    Faktur Pajak

Wajib Pajak yang sengaja menerbitkan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan, pemotongan, atau bukti setoran pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya ataupun menerbitkan faktur sebelum dikukuhkan PKP, dipidana penjara dua tahun sampai dengan enam tahun dan denda dua sampai dengan enam kali nilai faktur, bukti pemungutan, pemotongan atau setoran pajak (Pasal 39A UU KUP).

  • e.    Pemeriksaan Uji Kepatuhan

Wajib pajak sengaja menolak pemeriksaan menguji kepatuhan, dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara, demikian pula memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang tidak sebenarnya, dipidana penjara enam bulan sampai dengan enam tahun dan denda dua sampai dengan empat kali pajak tidak atau kurang bayar (Pasal 39 ayat 1 huruf e dan f UU KUP).

  • f.    Sehubungan Penyelenggaraan Pembukuan atau Pencatatan

Wajib pajak yang sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan serta tidak melakukan penyimpanan yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan tersebut dipidana penjara enam bulan sampai dengan enam tahun dan denda dua sampai dengan empat kali pajak tidak atau kurang bayar (Pasal 39 ayat 1 huruf g dan h UU KUP).

Berdasarkan uraian, beberapa rumusan pasal tindak pidana perpajakan tersebut adalah berawal dari pelanggaran ketentuan kewajiban administrasi perpajakan. Tampak jelas beberapa rumusan pasal menyangkut kualifikasi pelanggaran kewajiban yang sama baik ranah hukum administrasi maupun pidana, tetapi perbedaan terletak di unsur-unsur pasalnya serta ancaman sanksi. Apabila dianalisis unsur-unsur tindak pidana pajak secara umum untuk dapat menemukan perbedaan permulaan kedua ranah hukum tersebut, dari segi antara lain:

  • -    Setiap orang dalam hal ini wajib pajak;

  • -    Karena kealpaan (culpa/kelalaian) atau sengaja (dolus/opzet);

  • -    Melakukan perbuatan melawan hukum (perundang-undangan perpajakan);

  • -    Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, kecuali Pasal 39A UU KUP;

  • -    Diancam sanksi pidana.

Pertama, unsur “setiap orang” dimaksud yakni wajib pajak yang meliputi “orang pribadi” maupun “badan”, sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UU KUP. Rumusan pasal mengenai wajib pajak tersebut terletak di “Ketentuan Umum” UU KUP. Oleh karena itu, dalam hal unsur “setiap orang” dapat merupakan bagian dari pelaku pelanggaran hukum administrasi maupun pula tindak pidana perpajakan.

Kedua, setiap pasal mengenai tindak pidana perpajakan pada UU KUP dirumuskan unsur kesalahan baik kealpaan (culpa/schuld) atau kesengajaan (dolus/opzet). Asas kesalahan ini adanya dalam ajaran hukum pidana dan sebagai asas fundamental disamping asas legalitas. Asas kesalahan (culpabilitas) sebagai dasar patut dicela pelaku yang bentuk pencelaan berupa pidana, sedangkan asas legalitas dasar patut dipidananya perbuatan. 31 Kesengajaan dan kealpaan keduanya adalah terkait dengan kesalahan yang merupakan hubungan antara sikap batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukan.32 Kesalahan adalah dasar yang mengesahkan pidana.33 Termasuk dalam bidang perpajakan, perbuatan yang dapat dipidana apabila terdapat kesalahan, baik kesengajaan ataupun kealpaan. Kesengajaan apabila orang menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatannya dilarang 34 , sedangkan kealpaan atau kelalaian sehubungan jika kemampuan berpikir, berperasaan tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang.35 Bentuk-bentuk kesalahan tersebut tidak dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan pelanggaran hukum administrasinya.

Ketiga, melawan hukum yakni sehubungan postulat, contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, artinya seseorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum36. Dalam UU KUP, tidak ditulis dengan frasa “melawan hukum” namun unsur ini ada dalam setiap pasal seperti kata-kata atau frasa antara lain: tanpa hak, tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, tidak mendaftarkan diri, tidak menyampaikan serta frasa lainnya. Melawan hukum formal, merupakan syarat dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas37, dalam hal ini memenuhi rumusan delik dari UU KUP.

Keempat, kejahatan di bidang perpajakan tidak boleh digolongkan ke dalam kejahatan yang bersifat menimbulkan kerugian pada keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana tindak pidana korupsi. Sebaliknya, kejahatan perpajakan memiliki unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”, kata “dapat” dalam unsur ini menunjukkan bahwa kerugian pada pendapatan negara tidak selalu harus terjelma atau terjadi38 . Dalam hal baru ada potensi kerugian negara, maka sudah dapat dikatakan memenuhi unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”.

Kelima, ancaman sanksi pidana dalam UU KUP cukup jelas, berupa denda, penjara, dan kurungan. Untuk membedakan sanksi pidana denda dengan sanksi denda administrasi, yakni sanksi pidana denda adalah yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan pasal tindak pidana perpajakan dan pengenaannya melalui putusan dalam pengadilan umum. Sedangkan sedangkan sanksi denda administrasi dirumuskan diluar ketentuan pasal-pasal pidana serta penjatuhannya oleh Dirjen Pajak maupun melalui Pengadilan Pajak.

Dengan demikian, untuk dapat dipidananya pelanggaran ketentuan perpajakan tersebut harus memenuhi rumusan unsur-unsur tindak pidana tersebut yang diatur tegas dalam perundang-undangan. Unsur-unsur delik hanya dapat diketahui dengan membaca pasal-pasal yang berisi suatu ketentuan pidana.39 Oleh karena itu, secara sederhana dapat dilihat batasan tersebut terletak dalam unsur-unsur pasalnya. Apabila memenuhi unsur tindak pidana perpajakan yang diatur dalam rumusan pasal, maka pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana perpajakan.

  • 3.2 Batasan Pelanggaran Kewajiban Administrasi Perpajakan dan Tindak Pidana Perpajakan

Menurut Philipus M. Hadjon40, sanksi administrasi diterapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tanpa harus melalui prosedur pengadilan. Karena pada dasarnya penerapan sanksi administrasi (in beginsel) tanpa pelantara hakim, namun dalam beberapa hal ada yang harus melalui proses peradilan. 41 Sebagaimana telah dijelaskan, dalam perpajakan ada sanksi administrasi di tingkat internal Dirjen Pajak serta ada yang penyelesaian melalui Pengadilan Pajak.

Pada penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana, sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan. 42 Artinya dalam perkara pidana, pelaku mendapat status terpidana apabila telah melalui proses peradilan di pengadilan umum dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) baik di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, maupun dalam peninjauan kembali.

Dalam UU KUP, ranah hukum pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan oleh wajib pajak meliputi dua hal: Pertama, pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan; dan Kedua tindak pidana perpajakan. Sebagaimana

disebutkan bahwa wajib pajak yang melanggar kewajiban administrasi perpajakan maka sanksi administrasi yang dapat diancamkan, namun bagaimana jika pelanggaran tersebut pula melanggar ketentuan pidana perpajakan, pertanyaan yang muncul apakah otomatis dapat langsung dilakukan penegakan hukum pidana. Ikhwal tersebut mengingat tindak pidana perpajakan memiliki keterkaitan yang erat atau dengan kata lain tergantung pada pelanggaran hukum administrasi perpajakan.

Untuk menjelaskan hal tersebut, maka setelah ditentukan unsur-unsur pembeda antara ketentuan pelanggaran administrasi dan pidana, selanjutnya dianalisis batasan suatu pelanggaran ketentuan hukum administrasi yang dapat masuk ranah hukum pidana sehingga pada akhirnya dapat dijatuhi pidana. Batasan tersebut dibuat beberapa kualifikasi sebagai berikut:

  • i.    Kewajiban mendaftar NPWP atau Pengukuhan PKP bagi wajib pajak yang memenuhi syarat menjadi suatu tindak pidana apabila ada sikap batin berupa “kesengajaan” tidak mendaftar NPWP/PPKP serta perbuatan “dapat merugikan pendapatan negara”. Sedangkan, untuk pelanggaran hukum administrasi hanya dijelaskan berupa tidak mendaftar NPWP/PPKP. Dengan kata lain, pelanggaran hukum administrasi sehubungan NPWP/PPKP yaitu tidak mendaftar yang bukan diakibatkan karena kesengajaan.

  • ii.    Mengenai pelaporan SPT, apabila ada “kesalahan” wajib pajak baik karena sikap batin “sengaja” ataupun akibat “kealpaan” tidak menyampaikan SPT yang dapat merugikan pendapatan negara, maka merupakan pelanggaran yang masuk ranah hukum pidana. Sedangkan, pada bidang hukum administrasi maka bentuk pelanggarannya berupa terlambat menyampaikan SPT.

UU KUP memang tidak mengatur tegas kapan dianggap keterlambatan melaporkan SPT atau kapan dianggap tidak melaporkan SPT , kewenangan sepenuhnya dimiliki aparatur perpajakan. Menurut penulis, dapat sebagai pertimbangan aparatur perpajakan, dengan berdasarkan penafsiran sistematis UU KUP maka dapat dianggap “terlambat melapor” adalah sampai jangka waktu lima tahun sejak saat terutang atau berakhir masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak yang merupakan batas waktu penerbitan SKP (Pasal 13 ayat 4 UU KUP). Sedangkan dianggap “tidak melapor” dapat dimulai sejak lewat waktu lima tahun tersebut, dikarenakan daluwarsa penuntutan tindak pidana pajak adalah sepuluh tahun (Pasal 40 UU KUP) sehingga ada cukup waktu lima tahun apabila akan dilakukan penuntutan pidana perpajakan.

  • iii.    Pada penyetoran pajak, maka “sengaja” tidak menyetor pajak yang dipotong atau dipungut, dapat merugikan pendapatan negara, merupakan tindak pidana perpajakan. Batasannya yakni terhadap pelanggaran kewajiban administrasi adalah berupa terlambat melakukan penyetoran pajak ataupun tidak menyetor yang dalam hal ini tidak dilakukan dengan sikap batin kesengajaan.

  • iv.    Pembayaran pajak merupakan faktor sangat penting yakni tempat bermuara pelaksanaan kewajiban perpajakan yang bertujuan penerimaan negara. Dalam UU KUP tidak eksplisit ditemukan ancaman pidana atas pelanggaran tidak atau kurang membayar pajak. Namun menganalisis ketentuan pidana Pasal 38 dan 39 UU KUP berupa “sengaja ataupun karena kealpaan melakukan pelanggaran tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap yang dapat merugikan pendapatan negara”. Sesungguhnya ketentuan pasal-pasal tersebut adalah tindak pidana sehubungan pembayaran pajak, sebab ketentuan penyampaian SPT mencakup pula bagi wajib pajak yang tidak

membayar atau kurang membayar pajak. Argumentasinya bahwa pelaporan SPT berisikan jumlah besarnya pajak yang seharusnya telah dibayar. Sebagaimana, Pasal 1 angka 11 UU KUP menentukan “SPT” sebagai surat untuk melaporkan antara lain perhitungan dan/atau pembayaran pajak.

Sementara itu, pelanggaran hukum administrasi sehubungan kekurangan pembayaran diatur detail beberapa pasal baik sehubungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, maupun Surat Tagihan Pajak (STP) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

  • v.    Perbuatan sehubungan “sengaja” dalam penerbitan atau penggunaan faktur, bukti pemungutan, pemotongan dan/atau setoran pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS) atau menerbitkan faktur sebelum dikukuhkan PKP tidak ada padanannya dalam pelanggaran administrasi sehingga hanya merupakan ranah hukum pidana. Sanksi administrasi dikenakan hanya terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak atau terlambat membuat faktur pajak ataupun tidak mengisinya secara lengkap. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d dan e jo Pasal 14 ayat (4) UU KUP).

Tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 39A UU KUP, yaitu tergolong ke dalam delik formal (formele delicten) karena rumusan pasalnya tidak mensyaratkan perbuatan dimaksud “dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara”. Delik formal yaitu43 delik dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.

  • vi.    Pemeriksaan uji kepatuhan yang tidak dipenuhi wajib pajak sehingga mengakibatkan besarnya pajak terutang tidak diketahui ataupun pajak terutang menjadi kurang bayar, sepenuhnya pelanggaran tersebut tergolong suatu pelanggaran administrasi. Sedangkan apabila pemeriksaan uji kepatuhan tersebut “sengaja” ditolak wajib pajak yang dapat merugikan pendapatan negara membawa konsekuensi sanksi hukum pidana.

Batasan keduanya, tampak pada “kesalahan” jika ada berupa “kesengajaan” menolak pemeriksaan uji kepatuhan sehingga dapat masuk ranah pidana.

  • vii.    Kewajiban penyelenggaraan Pembukuan atau Pencatatan yang dilanggar sehingga mengakibatkan besarnya pajak terutang tidak diketahui, merupakan suatu pelanggaran administrasi. Sedangkan padanannya, wajib pajak yang “sengaja” tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan serta tidak melakukan penyimpanan yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan diancam sanksi pidana.

Ranah hukum pidana menegaskan sikap batin “sengaja” serta merumuskan “tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan” sedangkan ranah hukum administrasi dapat lebih luas penafsirannya pada kalimat “tidak dipenuhi kewajiban pembukuan atau pencatatan”.

Dengan demikian, pembatasan paling tegas membedakan ketentuan ranah hukum administrasi dan pidana adalah pada unsur adanya bentuk kesalahan baik berupa “kesengajaan” ataupun “kealpaan”. Apabila pelanggaran ketentuan perpajakan dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan maka akan mengarah pada pelanggaran hukum pidana. Perumusan sikap batin “kesalahan”, mengungkap bahwa UU KUP telah pula mengadopsi asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Artinya, untuk dapat dijatuhi pidana terhadap orang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana disyaratkan adanya kesalahan.44 Selain kesengajaan ataupun kealpaan, ukuran pembatasan lainnya yaitu ranah hukum pidana mensyaratkan “dapat merugikan pendapatan negara”.

Pada kenyataannya, pelanggaran hukum administrasi bukan berarti tidak ada kerugian pendapatan negara yang terjadi. Seperti ditunjukkan pada istilah SKP Kurang Bayar, SKP Kurang Bayar Tambahan, STP dan lainnya, yang tentunya didasarkan kerugian pendapatan negara akibat pelanggaran perpajakan. Serta pula terkait unsur “kesalahan”, sangat dimungkinkan wajib pajak yang melakukan pelanggaran hukum administrasi dengan berdasarkan atas sikap batin “kealpaan” maupun “kesengajaan. Artinya, baik unsur kesalahan dan kerugian pendapatan negara, dapat saja merupakan unsur pelanggaran hukum administrasi maupun tindak pidana perpajakan, sehingga belum dapat tegas membedakan kedua ranah hukum tersebut.

Meskipun secara yuridis normatif ketentuan pelanggaran perpajakan beserta sanksinya telah dirumuskan lengkap dan detail dalam UU KUP maupun peraturan pelaksanaannya, namun untuk membedakan ranah administrasi dengan ranah pidana tidaklah sesederhana demikian. Apabila dianalisis lebih lanjut, ada ruang kebijakan diantara kedua ranah hukum tersebut. Kebijakan tersebut adalah yang dimiliki aparatur perpajakan (fiskus) dan aparat penegak hukum dimana sangat menentukan untuk dapat masuk ranah hukum pidana atau hanya selesai secara hukum administrasi.

Menurut penulis, dengan terpenuhi unsur-unsur ketentuan pidana baik unsur “kesalahan” (kesengajaan ataupun kealpaan) maupun unsur “dapat merugikan pendapatan Negara” tidak sertamerta suatu pelanggaran perpajakan langsung diselesaikan menggunakan penegakan hukum pidana. Unsur-unsur tersebut hanya salah satu indikator untuk suatu perkara dapat diselesaikan dalam ranah hukum pidana. Namun, mengingat prinsip perpajakan sebagai administrative penal law yakni ketentuan pidana terikat pada ketentuan administratif, yang karakternya ultimum remedium maka dalam praktik penegakannya harus didahulukan penyelesaian secara hukum administratif sebelum masuk ke dalam ranah pidana.

Sehubungan “ruang kebijakan diantaranya” yang penulis maksud, adalah dalam pengaturan penegakkan hukumnya. Aparat penegak hukum di bidang perpajakan dalam konteks penegakan hukum administrasi yakni fiskus pada Ditjen Pajak Kemenkeu atau penegakan hukum pidana yakni PPNS Ditjen Pajak, polisi, jaksa dan hakim.45 Dalam hal penilaian fiskus atau aparatur perpajakan, perkara tersebut layak diteruskan dengan hukum pidana, maka selanjutnya baru akan membuktikan unsur-unsur dugaan tindak pidana dalam perbuatannya, apakah terpenuhi sesuai ketentuan pidana dalam UU KUP. Wujud kewenangan tersebut yakni pemeriksaan bukti permulaan (bukper) oleh Dirjen Pajak atas dugaan tindak pidana perpajakan (Pasal 43A UU KUP). Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU KUP menentukan bahwa pemeriksaan

bukti permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana di dalam Hukum Acara Pidana.

Ketentuan pelaksanaan UU KUP yakni PMK No 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diubah dengan PMK No 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU No 11 tahun 2020 di Bidang Perpajakan, PPN dan PPnBM, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (PMK Pemeriksaan Bukper). Pemeriksaan bukper sebagai pintu masuk ke dalam ranah hukum pidana sebelum dilakukan penyidikan. Pemeriksaan bukper bertujuan untuk mendapatkan bukti permulaan, adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan. Bahkan Pasal 2 ayat (4) dan (5) PMK Pemeriksaan Bukper, menentukan bahwa pemeriksaan bukper masih dapat dilakukan meski telah diterbitkan SKP jika terdapat indikasi tindak pidana perpajakan, sepanjang hanya atas data baru selain yang termuat di SKP.

Wajib pajak masih diberikan kesempatan menghentikan pemeriksaan bukper. Penghentian pemeriksaan bukper dengan mengungkap ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan utang ditambah denda administrasi 100% (Pasal 8 ayat 3 dan 3a UU KUP). Maka, secara atributif, Dirjen Pajak memiliki otoritas menentukan untuk meneruskan atau tidak perkara ke ranah pidana berdasarkan hasil penilaian pemeriksaan bukper.

Apabila perkara dilanjutkan ke penyidikan, maka akan menjadi kewenangan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Ditjen Pajak (Pasal 44 ayat 1 UU KUP). Wajib pajak masih berkesempatan menghentikan perkara meski sudah masuk penyidikan, yaitu setelah pelunasan kerugian pada pendapatan negara ditambah “sanksi administrasi denda”. Denda tersebut sebesar satu kali kerugian pendapatan negara untuk pelanggaran Pasal 38 atau tiga kali kerugian pendapatan negara untuk pelanggaran Pasal 39 atau bahkan empat kali kerugian pendapatan negara untuk pelanggaran Pasal 39 A UU KUP. Atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan pendapatan negara (Pasal 44 B ayat 1 dan 2 UU KUP).

Alasan diaturnya mekanisme penghentian penyidikan tindak pidana pajak yang disertai pembayaran denda administratif tersebut adalah untuk penerimaan negara. Prima facie, pengaturan tersebut bermaksud menjalankan fungsi budgeter dari pajak, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara.46 Sejalan bahwa, sanksi pidana pajak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam penegakan hukum pajak artinya bahwa tindakan administrasi didahulukan atau dituntaskan daripada membawa pajak ke penyidikan sebab undang-undang a quo misinya untuk mengamankan penerimaan negara sehingga dapat mengisi kas negara. 47 Demikian pula, sesuai dengan asas subsidiaritas yakni dipergunakan ancaman sanksi yang

paling ringan terlebih dahulu dan jika tidak efekftif baru menggunakan ancaman pidana yang ringan, berat, sampai kepada yang terberat.48

Bahkan, sesuai hakekatnya penyelesaian sengketa pajak adalah penyelesaian sengketa hukum (dispute settlement) dalam ranah hukum administrasi negara. Dengan demikian, untuk pelaku tindak pidana perpajakan, maka sanksi pidana denda perlu diprioritaskan dibandingkan sanksi pidana kurungan atau penjara karena pidana denda lebih menguntungkan negara.49 Pada akhirnya, meski telah dinyatakan terbukti tindak pidana perpajakan, harus diutamakan sanksi pidana denda untuk kepentingan pendapatan negara.

Dengan demikian, selain Dirjen Pajak kewenangan penghentian perkara, jika pada tahap penyidikan dimiliki oleh Jaksa Agung, memberikan peluang lebih luas bagi wajib pajak memilih menyelesaikannya secara administratif. Penghentian pemeriksaan bukper dan penghentian penyidikan dugaan tindak pidana perpajakan merupakan ciri khas hukum acara penyelesaian kasus pajak yang dimiliki UU KUP. Perkara yang tidak diajukan penghentian penyidikan selanjutnya masuk tahap penuntutan di pengadilan yang diatur berdasar ketentuan KUHAP.

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagai perubahan terakhir UU KUP, menambahkan ketentuan menyangkut dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan. Bahwa terdakwa masih dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi denda-denda tersebut. Apabila terdakwa memanfaatkan kesempatan tersebut maka dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara (Pasal 44B ayat 2b UU KUP).

Berdasarkan analisis terhadap beberapa ketentuan yuridis yang mengatur pelanggaran dan sanksi hukum administrasi serta tindak pidana dan sanksi pidana perpajakan serta pengaturan fasilitas-fasilitas atau kesempatan wajib pajak menghentikan perkara masuk ranah pidana, penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan Penjelasan Pasal 38 UU KUP. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan “pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana”. Argumentasinya bahwa dalam analisis yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat kemungkinan pelanggaran yang sebenarnya memenuhi unsur-unsur ketentuan pidana perpajakan diselesaikan secara administrasi atau tidak sampai putusan pengadilan pidana.

Disayangkan bahwa UU Cipta Kerja yang telah menghapus Pasal 13A UU KUP lama, sehingga tumpuan dasar hukum pemidanaan pelanggaran perpajakan sebagai ultimum remedium hanya dari penafsiran pasal-pasalnya, seperti: kesempatan menghentikan pemeriksaan bukper (Pasal 8 ayat 3 dan 3a UU KUP) dan menghentikan penyidikan (Pasal 44 B UU KUP). Dimana tidak otomatis sanksi pidana perpajakan diterapkan meskipun pelanggaran kewajiban perpajakan memenuhi unsur-unsur pasal pidana,

harus diupayakan penyelesaian administratif dahulu, sebagai cerminan pidana perpajakan yang berkarakter ultimum remedium.

Selanjutnya, pembeda dari segi sanksinya, yakni sanksi administrasi ditujukan pada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman berupa nestapa. 50 Tujuan penerapan sanksi administrasi yakni sebagai upaya dari badan administrasi untuk mempertahankan norma-norma hukum administrasi yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan 51 , sedangkan sanksi pidana, meskipun ditempatkan sebagai ultimum remedium, tetaplah sangatlah dibutuhkan sebagai sarana memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan perpajakan yang akan dapat lebih memperkuat sanksi administrasi serta meningkatkan kepatuhan 52 dan akhirnya membantu mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Penegakan hukum administrasi perpajakan (termasuk sanksi berupa denda, bunga dan kenaikan), penghentian proses pemeriksaan bukper dan penghentian penyidikan untuk penerimaan negara serta penegakan hukum pidana perpajakan (yang memprioritaskan pidana denda) menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam perpajakan menekankan pada asas kemanfaatan. Asas kemanfaatan berawal dari teori utilitarianisme Jeremy Bentham, yang dalam substansinya berpedoman bahwa hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan pada kebahagiaan dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang.53 Definisi pajak yang berisikan tujuan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sejalan ajaran utilitarian Bentham, hukum ditujukan untuk sebesar-sebesar kesejahteraan masyarakat. 54 Demikian pula penerapan sanksi administrasi perpajakan bahkan sanksi pidana perpajakan harus bermuara pada tujuan yang sama dengan menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat melalui pemulihan kerugian negara akibat pelanggaran ketentuan perpajakan tersebut.

Pada akhirnya analisis terhadap ketentuan pembatasan ranah hukum administrasi dan pidana perpajakan, untuk optimalnya harus ditopang dalam praktik penegakan hukumnya yakni perlu dukungan integritas aparatur perpajakan dan aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangan masing-masing. Diperlukan pula objektifitas yang baik dari aparatur perpajakan dan aparat penegak hukum dalam penegakan hukum perpajakan. Serta dengan tetap mengedepankan prinsip ultimum remedium, mengutamakan penerimaan negara sektor perpajakan, kejelasan ketentuan tersebut pula dalam upaya mencegah atau meminimalisir terjadi diskrepansi dalam putusan atau pengenaan sanksinya.

  • 4.    Kesimpulan

Pelanggaran kewajiban administrasi perpajakan adalah pelanggaran kewajiban perpajakan sehubungan sistem self assessment yang meliputi kewajiban menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan sendiri oleh wajib pajak. Pelanggaran mana dapat dikenakan sanksi melalui ketetapan Dirjen Pajak maupun putusan Pengadilan Pajak sebagaimana jenis sanksi administrasi berupa denda, bunga atau kenaikan dalam perundang-undangan perpajakan. Tindak pidana perpajakan merupakan perbuatan yang dilarang hukum karena dikualifikasikan sebagai tindak pidana oleh perundang-undangan perpajakan, disertai ancaman sanksi pidana perpajakan tertentu bagi pelanggarnya.

Batasan suatu pelanggaran ketentuan hukum administrasi yang dapat masuk ranah hukum pidana sehingga pada akhinya dapat dijatuhi pidana yakni:

  • -    Adanya kesengajaaan melanggar kewajiban mendaftar NPWP atau Pengukuhan PKP serta “dapat merugikan pendapatan negara”. Apabila dilakukan bukan dengan kesengajaan maka dapat menjadi pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Adanya “kesengajaan” atau “kealpaan” pelanggaran sehubungan tidak menyampaikan SPT yang “dapat merugikan pendapatan negara”. Apabila bentuknya keterlambatan SPT maka merupakan pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Adanya “kesengajaan” tidak menyetor pajak yang “dapat merugikan pendapatan negara”. Apabila terlambat setor atau tidak setor dilakukan bukan dengan kesengajaan maka dapat menjadi pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Kesengajaan ataupun kealpaan tidak SPT atau SPT namun tidak benar/lengkap sesungguhnya adalah tindak pidana tidak membayar pajak. Sedangkan apabila wujudnya keterlambatan bayar pajak maka mengarah pada pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Adanya “kesengajaan” pelanggaran sehubungan faktur pajak, bukti pemungutan, pemotongan atau bukti setoran pajak TBTS atau menerbitkan faktur sebelum dikukuhkan PKP. Apabila terlambat atau tidak membuat faktur ataupun tidak mengisinya secara lengkap, maka dapat menjadi pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Adanya “kesengajaan” menolak pemeriksaan uji kepatuhan yang “dapat merugikan pendapatan negara”. Apabila dilakukan bukan dengan kesengajaan maka dapat menjadi pelanggaran hukum administrasi.

  • -    Adanya “kesengajaan” tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Apabila dilakukan bukan dengan kesengajaan, sehingga mengakibatkan besarnya pajak terutang tidak diketahui, maka dapat menjadi pelanggaran hukum administrasi.

Ada ruang “kebijakan” di antara kedua ranah hukum yang sangat menentukan untuk dapat masuk ranah hukum pidana atau selesai secara administrasi. Diantaranya fasilitas penghentian pemeriksaan bukti permulaan oleh Dirjen Pajak dan penghentian pemeriksaan penyidikan oleh Jaksa Agung. Bahkan, perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa masih dapat melunasi kerugian pendapatan negara beserta sanksi denda, yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara, sebagai cerminan prinsip perpajakan sebagai administrative penal law yang karakternya ultimum remedium.

Sekalipun sanksi pidana perpajakan yang harus dijatuhkan, tetap harus bermuara pada tujuan kemakmuran masyarakat melalui pemulihan kerugian negara, yakni lebih menekankan pada asas kemanfaatan. Penulis merekomendasikan adanya penyempurnaan UU KUP mempertegas batasan suatu pelanggaran ketentuan hukum administrasi yang dapat masuk ranah hukum pidana, diantaranya mengatur: (1) Penegasan kapan dianggap keterlambatan melaporkan SPT atau kapan dianggap tidak melaporkan SPT ”; (2) Perlu diatur eksplisit ketentuan pidana atas pelanggaran tidak atau kurang membayar pajak; serta (3) Dirumuskan kembali konsep ultimum remedium dalam perundang-undangan perpajakan. Diharapkan akan mengatasi kekaburan norma, meminimalisir disparitas penegak hukum sehingga lebih menjamin kepastian hukum serta berdampak positif pada peningkatan pendapatan negara di sektor perpajakan.

Daftar Pustaka

Achmad, Yulianto, and N D Mukti Fajar. “Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.” Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.

Ainullah, Ainullah. “Penerapan Teori Kemanfaatan Hukum (Utilitarianisme) Dalam Kebijakan Pembatasan Usia Pernikahan.” Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman 3, no. 1 (2017): 86–97.

Anjari, Warih. “Kedudukan Asas Legalitas Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Dan 025/PUU-XIV/2016.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 1–22.

Arifki, Nindi Achid, and Ilima Fitri Azmi. “Penghindaran Pajak Dalam Diskursus Tindak Pidana Pencucian Uang.” Pandecta Research Law Journal 15, no. 2 (2020): 167–77.

Bandung, Pengadilan Negeri. “Putusan Pengadilan Negeri Bandung No 1164/Pid. B/2019/PN    Bdg.”    Putusan    Mahkamah    Agung.go. id,    2020.

https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/profil/pengadilan/pn-bandung/page/2.html.

Chazawi, Adami. “Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stesel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana,” 2002.

Direktorat Jenderal Pajak. “Halaman Laporan Tahunan DJP.” DJP, 2020. https://www.pajak.go.id/id/tahunan-page.

Eddy, O S Hiariej. “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana.” Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.

Fios, Frederikus. “Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer.” Humaniora 3, no. 1 (2012): 299–309.

Hakrisnowo, Hakristuti. Demi Keadilan, Antologi Hukum Pidana Dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Kemang, 2016.

“Halaman Laporan Tahunan DJP | Direktorat Jenderal Pajak,” n.d.

Hiariej, Eddy OS. “Sanksi Dalam RUU Cipta Kerja.” Kompas.id, 2020. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/03/11/sanksi-dalam-ruu-cipta-kerja/.

Hiariej, Edward Omar Sharif. “Asas Lex Specialis Systematis Dan Hukum Pidana Pajak.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 1–12.

Juli, Wan, and Titik Suharti. “Tinjauan Pertanggungjawaban Pidana Wajib Pajak Badan Dalam Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.” Perspektif 17, no. 2 (2012): 70–78.

Khalimi, and Moch Iqbal. “Hukum Pajak-Teori Dan Praktik.” Bandar Lampung: Aura

Publisher, 2020.

Kurniawan, Rudi, and Didik Endro Purwoleksono. “Politik Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan.” Pamator Journal 12, no. 2 (2019): 108–12.

Kusumo, Bambang Ali. “Sanksi Hukum Di Bidang Perpajakan.” Wacana Hukum 8, no. 2 (2009).

Kuswardani, Kuswardani, and Gilang Kartiko. “Asas Kesalahan Dalam Hukum Pidana Pilar Perlindungan Hak Asasi Manusia.” In SEMINAR NASIONAL ONLINE & CALL FOR PAPERS, 11–20, 2020.

Lamintang, P.A.F, and F.T. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

Mudzakkir. “Pengaturan Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Dan Hubungannya Dengan Hukum Pidana Umum Dan Khusus.” Legislasi Indonesia 8, no. 1 (2011): 49.

Muljono, Djoko. Hukum Pajak, Konsep, Aplikasi, Dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: Andi, 2010.

Nahak, Simon. Hukum Pidana Perpajakan: Konsep Penal Policy Tindak Pidana Perpajakan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum. Setara Press, 2014.

Nugroho, Adrianto Dwi. “Kedudukan Asas Efisiensi Pemungutan Pajak Dalam Hukum Acara Perpajakan Di Indonesia.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, 206–21.

Nursadi, Harsanto. “Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan Yang Dapat Berakibat Pada Tindakan Pidana.” Jurnal Hukum & Pembangunan 48, no. 1 (2018): 110–36.

Prastowo, Yustinus. “Sistem Perpajakan Dan Penegakan Hukum Di Bidang Perpajakan,” 2015. https://mahupiki.files.wordpress.com/2020/05/mahupiki-21-copy. pdf.

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.

Rio Christiawan, S H. “Kajian Filosofis Yuridis Implementasi Sistem Kesehatan Nasional Dalam Perspektif Utilitarianisme.” Jurnal Hukum Staatrechts 1, no. 1 (2017): 34–56.

Saidi, Muhammad Djafar, and Eka Merdekawati Djafar. Kejahatan Di Bidang Perpajakan.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Sambas, Nandang, and Ade Mahmud. “Perkembangan Hukum Pidana Dan Asas-Asas Dalam RKUHP.” Refika Aditama, 2019.

Schaffmeister, D, N. Keijzer, and E.Ph Sutorius. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Supanto. Kejahatan Ekonomi Global Dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 2010.

Susanto, Sri Nur Hari. “Karakter Yuridis Sanksi Hukum Administrasi: Suatu Pendekatan Komparasi.” Administrative Law and Governance Journal 2, no. 1 (2019): 126–42.

Sutedi, Adrian. Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008.

Tarigan, Suranta Ramses, Syafruddin Kalo, Bismar Nasution, and Sunarmi Sunarmi. “Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Perpajakan Melalui Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.” USU Law Journal 2, no. 2

(2014): 123–35.

Virginia, Erja Fitria, and Eko Soponyono. “Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3, no. 3 (2021): 299–311.

Wildan, Muhamad. “PPATK Terima 4.641 Laporan Transaksi Mencurigakan Pidana Perpajakan.” DDTC News, 2022. https://news.ddtc.co.id/ppatk-terima-4641-laporan-transaksi-mencurigakan-pidana-perpajakan-36685.

Yoserwan. “Fungsi Sekunder Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 20, no. 02  (2020).

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.165-176.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736).

Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189).

Peraturan Menteri Keuangan No. 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diubah dengan PMK No 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU No 11 tahun 2020 di Bidang Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

214