KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
on
KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )
Oleh :
Cok Istri Widya Wipramita Putu Tuni Cakabawa L.
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT :
This paper shall be entitled as “SPECIALTY REVERSE BURDEN OF PROOF IN MONEY LAUNDERING”. Money laundering is an extraordinary crime that the proof system using reverse burden of proof. Of proof systems are specific rules established by the government through the issuance of the provisions of Act No.8 of 2010 on Preention and Eradication of Proof in Money Laundering. There is norm conflict in the reversed burden of proof, as opposed to several articles in the criminal law and the principles of the verification system itself. So be used a normative study with the approach of legislation and comparison on the existing principles that can be unknown and deduced about settings as well as legal basis and validity appear reversed the burden of proof in Money Laundering in Indonesia.
Key words: Inverted proof, Crime, Money laundering
ABSTRAK :
Makalah ini diberi judul “KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)”. Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa yang dalam sistem pembuktiannya menggunakan beban pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik adalah aturan khusus yang dibentuk pemerintah melalui dikeluarkannya ketentuan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tendapat konflik norma dalam pembuktian terbalik ini, karena bertentangan dengan beberapa pasal dalam hukum pidana dan asas-asas sistem pembuktian itu sendiri. Maka digunakanlah penelitian normatif dengan melakukan pendekatan pada peraturan perundang-undangan dan perbandingan pada asas-asas yang ada sehingga dapat diketahui dan ditarik simpulan mengenai pengaturan serta dasar hukum muncul dan berlakunya beban pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.
Kata kunci : Pembuktian terbalik, Tindak pidana, Pencucian uang
Tindak pidana pencucian uang merupakan extra ordinary crime ( kejahatan yang sangat luar biasa) sehingga diperlukan penanggulangan yang besifat luar biasa / khusus (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary
measures).1 Penanganan khusus tersebut, yaitu dengan pergeseran komprehensif pada sistem pembuktiannya menjadi pembuktian terbalik dimana beban pembuktian terdapat pada terdakwa bukan pada Jaksa Penuntut Umum seperti yang disebutkan dalam KUHAP. Latar belakang tersebut menunjukan adanya konflik norma karena sistem pembuktian terbalik tersebut bertentangan dengan norma hukum yaitu beberapa pasal dalam KUHP serta asas-asas dalam sistem pembuktian di Indonesia. Maka dari latar belakang tersebut dapat dilihat permasalahan sebagai berikut : bertentangan dengan apa saja beban pembuktian terbalik ini serta bagaimana pengaturan sistem pembuktian terbalik ini dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.
Dari latar belakang diatas dikemukakan permasalahan yang juga menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pertentangan terhadap beban pembuktian terbalik serta mengetahui bagaimana pengaturan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Oleh karena sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Money Laundering ini berbeda dengan yang diberlakukan pada hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP), maka terdapat konflik norma antara pembuktian terbalik tersebut dengan norma hukum yang ada di Indonesia, maka digunakanlah penelitian hukum normatif. Penelitian normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.2 Serta metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian melalui pendekatan perundang– undangan dan pendekatan perbandingan.
Dalam tindak pidana pencucian uang diperlukan metode yang khusus dan tidak berbelit dalam pengungkapan kasusnya. Metode tersebut adalah beban pembuktian
terbalik, yang beban pembuktiannya bukan pada Jaksa Penuntut Umum tapi pada terdakwa untuk menjelaskan darimana sumber kekayaan yang dimiliki. Sehingga menyulitkan tersangka untuk dapat berbohong mengenai kekayaannya yang bertentangan dengan penghasilan pokok maupun tambahan yang sah secara hukum (Legal Income).3 Namun, beban pembuktian terbalik ini bertentangan dengan beberapa pasal dalam KUHP dan asas – asas sistem pembuktian yang ada, yaitu :
-
- Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”
-
- Pasal 189 Ayat (4) KUHAP : “Keterangan terdakwa saja , tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
-
- Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia terdakwa tidak dibebani oleh beban pembuktian, tetapi dalam beban pembuktian terbalik beban pembuktian terletak pada terdakwa. Hal ini menunjukan terdapat pembalikan beban pembuktian atau “reversal burden of proof”. Terdakwa harus membuktikan perbuatan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan hukum, maka asas yang berlaku di Indonesia, dari asas praduga tek bersalah (presumption of innocence) beralih menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt). Jadi beban pembuktian terbalik ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri.
Dasar hukum muncul dan berlakunya beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan: “Ketentuan- ketentuan dari Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang oleh ketentuan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh UU ditentukan lain.”
Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain dari pada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan
khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex specialis derogate Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.4
Pengaturan mengenai beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 77 dan 78 Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 77 undang – undang tersebut berbunyi : “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Sedangkan pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, menjelaskan dalam prakteknya pembuktian terbalik bersifat terbatas yaitu yang wajib dibuktikan oleh terdakwa hanyalah terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Untuk pembuktian lainnya dari tindak pidana tersebut beban pembuktiannya tetap berada di Jaksa Penuntut Umum. Jadi dalam pelaksanaannya, asas praduga bersalah tidaklah dijalankan secara murni yang mengharuskan si terdakwa yang diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah namun hanya terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang dicurigai merupakan hasil dari tindak pidana saja. Pasal lain yang mendukung pembuktian terbalik ini adalah Pasal 79 ayat (4) yang bertujuan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.5
Pemeriksaan terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. Walaupun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebaga isuatu kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan pencucian uang.6
Dari pembahasan mengenai pertentangan dan pengaturan terhadap beban pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
-
1. Beban pembuktian terbalik bertentangan dengan beberapa pasal dalam KUHAP dan asas dalam pembuktian. Dasar hukum muncul dan berlakunya beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang adalah Pasal 103 KUHP yaitu adanya asas Lex specialis derogate Legi Generali yang memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP (khusus) untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP (umum).
-
2. Pengaturan mengenai beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 77 dan 78 serta pasal 79 (4) UU No.8 Tahun 2010. Pembuktian terbalik dalam prakternya bersifat terbatas karena terdakwa hanya diwajibkan melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah namun hanya terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang dicurigai merupakan hasil dari tindak pidana saja.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Bina Cipta, Bandung.
Hartanti, Eva, 2009, Tindak Pidana Korupsi Edisi Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja grafindo Persada
Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2008, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tim Universitas Syiah Kuala, 2013, “Pelaksanaan Beban Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”, diakses tanggal 17 Oktober 2013 Pukul 20:09 wita, URL : http://alsalcunsyiah. blogspot.com /2013/04/karya-tulis-tentang-pelaksanaan-beban.html.
Sutan Remy Sjahdeini, 2010, “Pemburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat
Pencucian Uang”, diakses tanggal 4 Juli 2013 pukul 14:00 wita, Hukum Online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20memburu-aset-koruptor -denganmenebar-jerat-pencucian-uang.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
-
- Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
-
- Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
-
- Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi
5
Discussion and feedback