Kewenangan Pra Peradilan Dalam Memeriksa Dan Memutus Penetapan Status Tersangka
on
KEWENANGAN PRA PERADILAN DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PENETAPAN STATUS TERSANGKA
I Gusti Ayu Ica Laksmi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Nyoman Satyayudha Dananjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i11.p08
ABSTRAK
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap penetapan tersangka dalam pra peradilan serta status tersangka seseorang yang digugurkan dalam pra peradilan. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pra peradilan dalam KUHAP memiliki fungsi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dari perbuatan sewenang-wenang penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Perlindungan bagi seorang tersangka diatur dalam Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945, serta sesuai dengan asas presumtion of innocence dan asas persamaan dimuka hukum. Penetapan tersangka merupakan wewenang pra peradilan akan tetapi pra peradilan tidak dapat membatalkan status tersangka, karena pada dasarnya pra peradilan tidak dapat menghapus kesalahan serta bukti yang cukup untuk penetapan seorang tersangka, melainkan hanya menguji prosedur secara formil. Seseorang yang telah digugurkan status tersangkanya dapat kembali menjadi tersangka jika terdapat bukti baru yang didapatkan oleh penyidik, sekurang-kurangnya 2 alat bukti dapat mengembalikan seseorang yang status tersangkanya digugurkan dapat kembali lagi menjadi tersangka, terdapatnya perlindungan terhadap hak tersangka tidak mengakibatkan bahwa seorang tersangka dinyatakan tidak bersalah atau dugaan tindak pidananya dinyatakan gugur, dimana dapat menimbulkan adanya penyidikan ulang berdasar dengan tata cara dan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Penetapan Tersangka, Pra Peradilan
ABSTRACT
The purpose of writing this article is to find out the legal protection against the determination of a suspect in pre-trial and the status of a suspect in a person who was aborted in a pre-trial. This writing uses a normative legal research method using a statutory and conceptual approach. The results of this study indicate that pre-trial in the Criminal Procedure Code has the function of protecting human rights from arbitrary actions by law enforcement in the criminal justice system. Protection for a suspect is regulated in Article 27 Paragraph 1 and Article 28 G Paragraph 1 of the 1945 Constitution, and is in accordance with the principle of presumption of innocence and the principle of equality before the law. Determination of a suspect is a pre-trial authority, but pre-trial cannot cancel the status of a suspect, because basically the pre-trial cannot erase errors and sufficient evidence for the determination of a suspect, but only examines formal procedures. A person who has had his suspect status aborted can return to being a suspect if there is new evidence obtained by the investigator, at least 2 pieces of evidence can return a person whose suspect status has been aborted and can return to being a suspect, the protection of the suspect's rights does not result in a suspect
being declared not guilty or the alleged crime is declared void, which can lead to a re-investigation based on the procedures and provisions that have been regulated in the law.
Keywords : Legal Protection, Determination of Suspects, Pre-trial
Permasalahan dalam proses penegakan hukum kerap kali ditemukan, salah satunya mengenai penetapan status seorang tersangka yang mana hal tersebut melanggar kode etik dan bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia menjadikan yang bersangkutan mengalami kerugian. Hal tersebut menjadi suatu alasan bahwasannya masyarakat semakin menyadari haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang diperolehnya sebagai warga negara. Pra peradilan merupakan suatu lembaga yang muncul dari pemikiran guna menjalankan tindakan pengawasan yang ditujukan kepada aparat penegak hukum. Lembaga pra peradilan berfungsi untuk menguji validitas suatu proses perkara pidana sebelum berlanjut pada tahap pemeriksaan pokok perkara di pengadilan. Keberadaan Lembaga pra peradilan ini bertujuan untuk menguji terkait aturan-aturan yang wajib diperhatikan saat menjalankan proses penegakan hukum terhadap tersangka yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan ketika proses pemeriksaan,penahanan,penangkapan dapat masuk kedalam ketentuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya Kewenangan pra peradilan hanya dalam tahapan mengadili sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan ganti kerugian atau rehabilitas. Dalam hal ini pra peradilan memiliki peran penting sebagai Lembaga yang mengawasi jalannya proses penyidikan dan memperhatikan kepolisian dan jaksa penuntut umum Ketika melaksanakan tugasnya dalam menegakkan keadilan.1 Maka Lembaga pra peradilan semestinya dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak bagi seorang tersangka dalam praktik pra peradilan yang bertujuan untuk perlindungan diri dari tindakan yang semestinya tidak didapatkan.
Sebagai negara hukum tentunya tindakan yang diambil oleh pemerintah haruslah bertepatan dengan kaidah dan aturan yang berlaku dengan dijalankan sesuai dengan prosedur, oleh karenanya tindakan pemerintah seharusnya dilaksanakan berdasarkan kewenangan yang mana terdapat dalam ketentuan. Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan oleh karena itu warga negara patut diberikan suatu perlindungan hukum untuk meminimalisir hal-hal yang tidak patut yang dilakukan petugas ketika dalam proses hukum menangani tersangka. Guna perwujudan terhadap perlindungan hak asasi manusia agar tidak dilanggar. Perlindungan terhadap seorang tersangka tertuang dalam “Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”. Hal tersebut membangkitkan hukum nasional yaitu mengutamakan hak asasi terhadap tersangka. Dalam hal ini juga diharapkan sebagai penegakan hukum yaitu dengan memberi tanggung jawab kepada aparat
hukum dalam pemeriksaan dan memutus suatu perkara. Penetapan status tersangka pada dasarnya diterapkan kepada terduga tersangka yang melakukan suatu kejahatan pidana. Pra peradilan pada saat menetapkan seorang tersangka tersebut dapat membantu agar berfungsinya perlindungan hukum yang lebih baik lagi dan menjadi pedoman penyidik dalam melakukan penyidikan dalam Lembaga pra peradilan.
Dalam KUHAP terdapat suatu kewenangan pemerintah guna mencari dan memeriksa terduga dikontrol dengan perilaku yang sewajarnya dilakukan untuk tidak sewenang-wenang dalam penangkapan dan pemeriksaan dan menetapkan tersangka dengan mengikuti prosedur yang sesuai dalam ketentuan. Seorang tersangka patut dipandang serta dianggap seperti layaknya manusia diperlakukan oleh sesama manusia lainnya. Dalam proses penetapan di lingkup pra peradilan tersangka melewati proses pemeriksaan dalam penyidikan yang mana kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap perampasan kemerdekaannya yang menimbulkan intimidasi sehingga mendapatkan rasa takut apabila berbuat atau tidak berbuat sesuatu dimana berkaitan dengan hal tersebut dengan HAM sesuai dengan “Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945”. Perlindungan bagi hak asasi seorang tersangka didasarkan oleh asas paduga tak bersalah(presumtion of innocence). Tidak sedikitkpun KUHAP memberikan jalan yang bertujuan untuk menghilangkan status seorang tersangka menimbulkan arti lain yang membuat tersangka dapat menjadi tersangka dalam kurun waktu yang tidak jelas kapan berakhir. Melalui pra peradilan terkait penetapan tersangka, perbuatan atau kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum dapat diminimalisir.
Sebagai perbandingan, penulisan ini juga menelaah dari beberapa karya tulis untuk mendapatkan penguatan dari sisi substansi diantaranya dari karya tulis yang berjudul “Praperadilan Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Pemeriksaan Di Tingkat Penyidikan” yang ditulis oleh “Sahri Sebayang”, dalam penulisan tersebut fokus kepada kewenangan pra peradilan berdasarkan Putusan MK dan peran pra peradilan dalam melindungi hak-hak tersangka dalam proses penetapan tersangka.2 Serta karya tulis yang berjudul “Wewenang Praperadilan: Memeriksa Dan Memutus Penetapan Status Tersangka” yang ditulis oleh “Wahyu Rahman” yang pada penelitiannya mengenai batasan wewenang pra peradilan dalam penetapan status tersangka dengan ditunjang studi kasus. 3Sedangkan dalam karya tulis ini lebih memfokuskan terkait perlindungan hukum penetapan status tersangka dalam pra peradilan dan mengenai status tersangka seseorang yang sebelumnya telah digugurkan. Berdasarkan penjelasan diatas penulis melakukan kajian yang
berjudul “Kewenangan Pra Peradilan Dalam Memeriksa Dan Memutus Penetapan Status Tersangka”.
-
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penetapan status tersangka
dalam pra peradilan?
-
2. Apakah seseorang yang status tersangkanya digugurkan dalam pra peradilan dapat kembali menjadi tersangka?
Terdapat tujuan umum dalam penulisan ini adalah sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya dalam konteks penelitian serta peningkatan kemampuan diri dalam melakukan pengkajian secara terstruktur dan sistematis dengan berdasarkan pada sumber-sumber. Tujuan khusus dalam artikel ini guna mengetahui,mengkaji dan menganalisis terkait perlindungan hukum terhadap penetapan tersangka dalam pra peradilan serta status tersangka seseorang yang digugurkan dalam pra peradilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah Normative Law Research atau yang biasa disebut dengan hukum normative yang mana penelitian ini membantu menjawab permasalahan hukum terkait penulisan ini4. Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan konseptual dengan mengkaji mengenai studi dokumen, yaitu menggunakan berbagai bahan hukum primer dan sekunder maupun tersier dimana terdiri dari peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, pendapat para sarjana dan teori hukum yang berkembang. Dalam tulisan ini meniliti terkait dengan kekosongan norma yang terdapat pada “UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana” mengenai batas waktu atau jangka waktu maksimal dalam pemberian status tersangka.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Perlindungan Hukum Terhadap Penetapan Status Tersangka Dalam Pra Peradilan
-
Pengertian pra peradilan dalam KUHAP yakni Pra memiliki arti “mendahului”, yang mana berarti sebelum masuk ke proses sidang di Pengadilan sudah melewati proses pendahuluan.5 KUHAP yang didalamnya tertuang ketentuan-ketentuan mengenai dinamika terhadap pra peradilan, sudah sepatutnya hak asasi tersangka lebih diperhatikan dan diharapkan akan lebih mendapat kepastian hukum. Dalam KUHAP terdapat aturan yang mengatur mekanisme pra peradilan yang mana berrtujuan untuk mengimbangi kekuasaan
yang dimiliki oleh negara dalam melaksanakan penegakan hukum materiil yang mana kerap kali mengalami pelanggaran terhadap hak-hak individu ketika saat prosedur pra peradilan berlangsung. Tuntutan untuk memperoleh keadilan bagi tersangka adalah pengimplementasian dari bentuk cita hukum “rechtsside”.6 Keberadaan pra peradilan ini diharapkan terlaksana sesuai prosedur yang telah ditentukan, sehingga meminimalisir hal-hal seperti orang-orang yang tidak bersalah masuk dalam proses penangkapan dan penahanan.
Pengaturan mengenai pra peradilan tertuang dalam pasal 77 KUHAP yang mana dikatakan bahwasannya “kewenangan Pengadilan Negeri dalam pemeriksaan dan pemutusan terkait validitas Ketika proses penangkapan ,penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan ganti kerugian atau rehabilitas yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam menjalankan proses penyidikan”. Seorang tersangka dapat didampingi kuasa hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan. Terkandung di dalam KUHAP mengenai landasan filosofis pra peradilan yaitu sebagai perlindungan terhadap perlakuan yang layak yang didapatkan oleh tersangka terhadap tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang bertugas pada saat menjalankan tahapan-tahapan menuju persidangan. Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka namun syarat-syaratnya belum terpenuhi maka tersangka dapat mengajukan pra peradilan. Pemahaman yang berkembang dimasyarakat adalah ketika seseorang telah melakukan kejahatan pidana dianggap tidak memberikan kepastian hukum karena tidak ada batasan waktu oleh aparat hukum terkait kurun waktu seseorang yang telah melakukan kejahatan pidana tersebut meyandang status tersangka. Kemungkinan terjadinya ketidakadilan, karena pada saat penyidikan dilaksanakan, dapat disalah gunakan sebagai ruang kriminalisasi. Penetapan status tersangka dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya kepastian dalam penyidikan, dan ditambah dengan kurangnya alat bukti yang menyebabkan terhambatnya proses dalam penindak lanjutan maka hal itu sama saja dengan merampas kemerdekaan seseorang.
Keberadaan lembaga pra peradilan diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/puu-xii/2014 yang didalamnya mengandung tambahan dari wewenangan pra peradilan untuk menimbang keabsahan tindakan penggeledahan dan tindakan penyitaan serta sebagai pemeriksa dan mengadili sah atau tidaknya penetapan tersangka.7 Alasan penambahan tersebut adalah terkait hak asasi seorang tersangka dalam menguji validitas dalam menetapkan status tersangka. Perluasan kewenangan pra peradilan antara lain menunjang pengujian terkait menetapkan seorang menjadi tersangka memang bisa dilihat dari sisi perlindungan hak-hak kemanusiaan.8 Pada Pasal 1 angka 10 KUHAP yang dimana tertulis bahwasannya “Pengadilan Negeri memiliki kewenangan
pra peradilan sebagai pemeriksa dan pemutus mengenai sahnya suatu penangkapan,penahanan,permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka, sahnya suatu penghentian penyidikan yang diajukan ke pengadilan.” Didalam KUHAP sendiri hanya mengatur mengenai pengertian tersangka dan penyidikan saja, sedangkan mengenai batas waktu atau jangka waktu maksimal dalam pemberian status tersangka pada diri seseorang, maupun pelimpahan berkas ke pengadilan itu tidak diatur. Hal tersebut potensial menimbulkan sebuah keadaan atau kondisi dimana seseorang menjadi tersangka selama bertahun-tahun. Akibat yang demikian menyebabkan tersangka tersebut tidak mendapat suatu kepastian hukum.9
Seseorang yang berada proses penangkapan dan penahanan serta penetapan menjadi tersangka wajib memiliki bukti permulaan yang cukup dengan minimal memiliki dua alat bukti. Penetapan status tersangka adalah serangkaian dalam proses penyidikan dimana hak asasi pada tersangka merupakan objek yang bisa mendapatkan perlindungan hukum di lingkup praperadilan. Berkaitan dengan sistem akusatur yang ada dalam KUHAP karena memang patutnya tak menjadikan tersangka sebagai objek tetapi menjadikan tersangka subjek selayaknya manusia yang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum yang mempunyai hak untuk mengajukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Adanya asas persamaan dimuka hukum dalam Pasal 27(1) UUD NRI tahun 1945 juga dapat menopang perlindungan hukum terhadap tersangka wajib mendapatkan proses hukum dan penjatuhan hukuman yang tidak pandang bulu dan tidak semata-mata untuk kepetingan individu atau kelompok merujuk pada peraturan yang terdapat dalam ketentuan hukum yakni dengan kata “barang siapa” yang berarti semua sama dimata hukum. Terlepas dari perbuatannya prosedur sepatutnya dilaksanakan dengan mengindahkan kaidah hukum yang ada. Selaras pula dengan asas hukum yang berlaku yaitu asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), yang mana asas tersebut berarti tersangka tidak dikatakan terbukti melakukan tindak pidana sebelum diputusankannya oleh pengadilan yang mana membuktikan bahwa dirinya terbukti bersalah. Mengenai proses melaksanakan tugasnya termasuk pada saat mengontrol tentang bagaimana memperlakukan setiap orang sama kedudukannya dimata hukum diatur dalam Hukum Acara Pidana sebagai perlindungan seorang tersangka dari hal-hal yang tidak diinginkan dilakukan oleh penyidik yang bisa saja terjadi pada saat penetapan tersangka. Penetapan seseorang menjadi tersangka tersebut merupakan professional judgement atau implementasi pengetahuan yang relevan yang harus melewati proses menegakkan kebenaran dan pengevaluasian Ketika ada pada hasil yang menyatakan orang tersebut telah masuk ke kategori sebagai tersangka tersebut sudah melewati skala sesuai dengan hal tersebut dipertimbangkan penyidik dalam menetapkan tersangka. Meskipun tidak menutup kemungkinan dalam
proses tersebut seorang tersangka mengalami perlakuan tidak pantas oleh aparat penegak hukum.
Penetapan tersangka dalam praperadilan dinilai sebagai implementasi dari pengawasan dalam proses penegakan hukum berkaitan dengan terjaminnya perlindungan hukum seperti makna asas due proces of law menjadi bentuk implementasi terhadap perlindungan khususnya pada tersangka. Pra peradilan yang menjadikan penetapan tersangka menjadi objeknya dapat menyeimbangkan terkait adanya benturan kepentingan sebagai penilai apakah ketika proses penetapan tersangka sudah dilakukan secara adil, apabila tidak dilakukan dengan benardapat dibawa ke dalam pra peradilan, yang mana pra peradilan memiliki fungsi sebagai penilai dan penyeimbang guna melaraskan kepentingan individu dengan aparat hukum. Dalam menetapkan seorang tersangka dilakukan dengan proses penyidikan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, tertuang definisi penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam KUHAP guna memperoleh bukti yang dimana bukti tersebut berguna sebagai titikterang berkaitan dengan kejahatan yang bagaimana yang dilakukannya dan untuk menemukan tersangkanya. Ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP dikatakan bahwa tersangka yang bila dilihat dari yang dilakukannya dan kondisinya serta atas dasar bukti yang cukup dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan kejahatan pidana.
Pada saat proses penangkapan dan penahanan serta penetapan menjadi tersangka harus atas dasar bukti permulaan agar dapat di bawa ke tahapan selanjutnya, mengenai bukti permulaan terkandung dalam Pasal 17 KUHAP yang mana disebutkan “bukti permulaan yang cukup dianggap jika terdapat minimal dengan 2(dua) alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP”. Pada saat itu seseorang dapat dikatakan sebagai tersangka bila berdasarkan bukti yang didapatkan dari proses hukum yang telah dilalui. Dalam hal tersebut ketentuan meyebabkan adanya 2 pandangan tafsir, karena dalam penentuan bukti permulaan kemungkinan dapat terjadi perbedaan pengertian antara penyidik dengan tersangka.10 Hal tersebut bertujuan guna tidak terjadinya sangka yang kurang wajar(adfire prejudice). Apabila hanya dengan laporan pelapor, sifatnya sangat subjectif, maka untuk mengobjectifkannya laporan tersebut harus memeriksa seseorang yang diduga sebagai tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukannya penetapan, dimana hal tersebut bertujuan agar laporan tersebut sesuai dengan yang terjadi dilapangan dengan bersasarkan pada informasi yang akurat yang menjadikan pengambilan keputusan oleh penyidik tidak terdapat keraguan untuk menetapkan tersangka dan melanjutkan ke tahapan berikutnya.11
Secara yuridis penetapan tersangka merupakan wewenang pra peradilan akan tetapi pra peradilan tidak dapat membatalkan status tersangka, karena pada dasarnya pra peradilan tidak dapat menghapus kesalahan serta bukti yang cukup untuk penetapan seorang tersangka, melainkan hanya menguji prosedur secara formil. Dalam praktiknya pra peradilan dimana guna memberi perlindungan terhadap tersangka sering langsung dimasukkan dalam pemeriksaan dengan siding pokok perkara, sehingga menyebabkan permohonan pra peradilan gugur sendirinya yang mana hal tersebut dilakukan permohonan tidak dikabulkan oleh hakim.12 Jika suatu perkara selesai di periksa oleh pengadilan negeri, namun pemeriksaan mengenai permohonan terhadap pra peradilan belum diselesaikan maka permohonan tersebut dikatakan gugur. Sebagai penegak hukum dalam menjalani tugas dan kewenangannya menangani perkara patut berpegangan pada prinsip kehati-hatian guna menghindari terjadinya tindakan yang seharusnya tidak dilakukan pada saat proses penegakan hukum berlangsung seyogyanya melihat seorang tersangka sebagai manusia yang sama kedudukannya dimata hukum yang mana belum tentu benar melakukan tindak pidana yang diadukan kepada dirinya. Memberikan sebuah pernyataan atau bukti yang tidak akurat yang dapat menyebabkan seorang dinyatakan sebagai tersangka dengan tidak mengindahkan proses yang sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam aturan hukum yang mana hal tersebut dapat menimbulkan pelanggaran atas sikapnya sebagai pihak yang melakukan penyidikan.
Tersangka bisa diberi upaya paksa yaitu ditahan dan ditangkap yang mana menyebabkan terampasnya hak atas rasa aman dan menghindari intimidasi yang menyebabkabn rasa takut pada saat melakukan suatu perbuatan adalah hak asasi sesuai dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Keberadaan lembaga pra peradilan sebagai lembaga pelindung hak-hak tersangka maka tindakan kesewenang-wenangan atau tindakan yang merugikan tersangka yang terjadi diluar prosedur undang-undang dapat diproses lebih lanjut dan bisa dibawa hingga kemuka pengadilan. Tersangka j uga berhak mengajukan permohonan ganti rugi ataupun rehabilitasi jika terdapat bukti yang benar bahwa upaya paksa dilakukan bertentangan dengak ketentuan yang mengatur.13 Dengan penjelasan hukum tersebut, dikarenakan dasar penangkapan dan penahanan kepada pihak yang bersangkutan didalam perkara adalah berkaitan dengan hal-hal yang sudah dipertimbangkan dan sudah melewati tahapan-tahapan yang semestinya dilewati dan dinyatakan sah dengan berdasarkan minimal 2 bukti yang didapatkan.
Berkaitan dengan pembahasan tersebut atas dasar Putusan MK No:21/PUU-XIII/2014 “pada seseorang dalam status tersangkanya digugurkan pra peradilan adalah dapat kembali sebagai lagi sebagai tersangka apabila terdapat bukti baru minimal 2(dua) yang mana sesuai dengan yang tertuang didalam KUHAP”. Penyidikan kembali dapat dilakukan sesaui dengan kaidah hukum yang ada, hal tersebut juga dapat ditunjang dengan bukti baru yang menjadi titik terang bahwa seseorang tersebut dapat kembali menjadi tersangka apabila penetapannya dikatakan terbukti sah menurut ketentuan hukum. Perlindungan terhadap hak tersangka tidak menjadi alasan yang mutlak meniadakan kesalahan seorang tersangka dan tak menghilangkan persepsi terdapatnya suatu tindak pidana, hal tersebut dapat menyebabkan penyidik dapat kembali melakukan penyidikan kepada seseorang tersangka.14
4.Kesimpulan
Praperadilan terkait kewenangannya dalam proses penetapan tersangka untuk melaksanakan pemeriksaan dan memutus suatu perkara berkaitan dengan proses penetapan tersangka. Diperkuat lagi dengan “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014”. Perolehan Perlindungan bagi seorang tersangka sehingga kemerdekaannya tidak dirampas pada saat penyidikan wajib didapatkan oleh tersangka hal tersebut didasarkan pada Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28 G ayat 1 UUD NRI tahun 1945, asas persamaan di muka umum serta asas presumtion of innocence. Penetapan tersangka merupakan wewenang pra peradilan akan tetapi pra peradilan tidak dapat membatalkan status tersangka, karena pada dasarnya pra peradilan tidak dapat menghapus kesalahan serta bukti yang cukup untuk penetapan seorang tersangka, melainkan hanya menguji prosedur secara formil. Seorang dikatakan sebagai tersangka bisa disandangnya dalam kurun waktu yang tidak pasti kapan berakhir karena tidak terdapatnya aturan yang jelas mengenai Batasan waktu dari berakhirnya seseorang sebagai tersangka yang mana tersangka tersebut menyandang status tersangka seumur hidup. Adanya bukti baru yang didapatkan oleh penyidik, sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dapat mengembalikan seseorang yang status tersangkanya digugurkan dapat kembali lagi menjadi tersangka, terdapatnya perlindungan terhadap hak tersangka tidak mengakibatkan bahwa seorang tersangka dinyatakan tidak bersalah atau dugaan tindak pidananya dinyatakan gugur, dimana dapat menimbulkan adanya penyidikan ulang berdasar dengan tata cara dan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Soekanto, Soerjono. Faktot-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Jurnal
Afandi, Fachrizal. “Perbandingan Praktik Praperadilan Dan Pembentukan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan Dalam Peradilan Pidana Indonesia.” Mimbar Hukum 28, No. 1. (2016): 170-198.
Basri, Bahran. “Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Hukum dan Pemikiran 17, No. 2 (2018): 220-239.
Brahmi Putri Biya, Cok Istri. “Dasar Hukum Kewenangan Praperadilan Dalam Memutus Penetapan Tersangka.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 07, No. 1 (2018): 1-5.
Ismail, D. E., & Tamu, Y. “Upaya Perlindungan Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Melalui Mekanisme Praperadilan di Kota Gorontalo.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 21, No. 1 (2009): 81-92.
Kusumastuti, Ely. “Penetapan Tersangka Sebagai Obyek Praperadilan.” Yuridika Fakultas Hukum Universitas Airlangga 33, No. 1 (2018): 1-18.
Muntaha. “Pengaturan Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.” Mimbar Hukum 29, No. 3 (2017): 463-473.
Plangiten, M. “Fungsi dan Wewenang Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia.” Lex Crimen 2, No. 6 (2013): 29-38.
Rahman, Wahyu. "Wewenang Praperadilan: Memeriksa dan Memutus Penetapan Status Tersangka." Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE: Kajian Ilmiah Hukum 4, No.1 (2019): 166-177.
Sebayang, Sahri. “Praperadilan Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak- Hak Tersangka Dalam Pemeriksaan di Tingkat Penyidikan (Studi Pengadilan Negeri Medan).” Jurnal Hukum Kaidah 19, No. 2 (2020): 329-383.
Teslatu, Leo Christy Menoha. “Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan Dalam Putusan Mk No. 21/puu/xii/2014 Sebagai Pemenuhan Ham Dan Tercapainya Sistem Peradilan Pidana Terpadu.” Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA 2, No. 2 (2019): 132-144.
Website
Saputra, Andi. 2017. “Apakah Menang Praperadilan Bisa Jadi Tersangka Lagi?
Ini Kata MK”, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3666395/apakah-menang-praperadilan-bisa-jadi-tersangka-lagi-ini-kata-mk., pada tanggal 19 Agustus 2021.
Ketentuan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209).
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014.
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.11 Tahun 2021, hlm.948-958
Discussion and feedback