PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN KEJAHATAN SEKSTORSI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Ni Putu Resha Arundari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v11.i01.p12

ABSTRAK

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana regulasi terkait kejahatan sekstorsi diatur dalam hukum positif di Indonesia, serta bagaimana perlindungan hukum yang didapat korban atas terjadinya kejahatan ini. Jurnal ini dapat digolongkan sebagai penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jika memang kejahatan sekstorsi belum diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan namun pelaku dapat dijerat pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, UU Pornografi, dan juga UU ITE. Terdapat pula kekaburan norma dalam UU ITE, dimana belum ada kepastian hukum tentang kewajiban penghapusan data yang berkaitan dengan perkara sekstorsi serta bagaimana mekanisme dalam pemberian hak untuk dilupakan bagi para korban. UU ITE hanya mengatur mengenai kewajiban penghapusan informasi elektronik yang tidak relevan saja, sehingga frasa “informasi elektronik yang tidak relevan” ini belum jelas mencakup pula data pribadi korban atau tidak.

Kata kunci : Sekstorsi, Pengaturan, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

The purpose of writing this journal is to find out the extent to which regulations related to the crime of sextortion are regulated in positive law in Indonesia, as well as how legal protection is obtained by victims of this crime. This journal can be classified as normative legal research using a statutory approach. Based on the results of the study, it was found that the crime of sextortion has not been specifically regulated in the legislation, but the perpetrators can be charged with criminal charges as stipulated in the Criminal Code, the Pornography Law, and the ITE Law. There is also a vagueness of norms in the ITE Law, where there is no legal certainty regarding the obligation to delete data related to sextortion cases and how the mechanism is in granting the right to be forgotten for victims. The ITE Law only regulates the obligation to delete irrelevant electronic information, so the phrase "irrelevant electronic information" is not clear whether or not it includes the victim's personal data.

Keywords: Sextortion, Regulation, Legal Protection

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Kasus kejahatan sekstorsi di Indonesia kian marak terjadi di tengah era digitalisasi ini. Sekstorsi merupakan kekerasan seksual berbasis gender online dengan cara pemerasan terhadap korban melalui video dan atau foto intim milik korban yang didapat oleh pelaku dengan cara hacking ataupun yang langsung didapatkan dari pihak

korban dalam menjalin sebuah hubungan. Konten intim milik korban tersebut kemudian dijadikan pelaku sebagai bahan untuk mengancam korban sehingga berujung pada kerugian baik secara materiil maupun immateriil.1 Ancaman pelaku sekstorsi adalah berupa penyebaran konten seksual korban disertakan dengan pemerasan seperti memaksa korban membayar sejumlah uang, berhubungan seksual, ataupun meyerahkan konten intim kembali. Kasus kejahatan sekstorsi ini tentunya sangat meresahkan masyarakat, terlebih para kaum wanita yang lebih sering menjadi korbannya. Sektorsi memang tidak menyebabkan luka fisik, namun hal ini tentu akan sangat berdampak pada kondisi psikologis setiap korbannya akibat rasa malu pada lingkungan sekitar. Selain itu kejahatan sekstorsi juga dapat menimbulkan kerugian materiil, karena adanya unsur ancaman yang membuat korban tidak mempunyai opsi lain selain mengikuti apa yang diinginkan pelaku.

Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, tak jarang korban dari kejahatan sekstorsi malah diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Mayoritas masyarakat malah bereaksi dengan menyalahkan para korban atau yang dapat disebut dengan istilah victim-blaming serta dengan mempermalukannya atau yang disebut dengan istilah slut-shaming. Adapun slut-shaming merupakan sebuah kontrol sosial yang memberi stigma pada seseorang sebab berperilaku “liar”. Sedangkan victim-blaming merupakan perbuatan menyalahkan korban serta beranggapan jika korban lah yang bersalah atas kejahatan yang menimpanya.2 Tentu saja hal ini akan menjadikan potret yang sangat buruk dari penegakan hukum bagi para korban kejahatan sekstorsi, dimana korban akan terus merasa malu dan enggan untuk menindak lanjuti kejahatan yang telah menimpanya. Korban akan terus dihantui rasa takut pada stigma buruk masyarakat, sehingga semakin sedikit yang berani untuk melawan kejahatan ini. Dengan demikian pelaku pun akan tetap berkeliaran di masyarakat karena tidak mendapatkan efek jera atas apa yang terjadi. Maka dari itu tentu perlu adanya perlindungan hukum yang cukup untuk menanggulangi terjadinya kejahatan sekstorsi, serta memberi perlindungan bagi para korbannya.

Penelitian mengenai perlindungan hukum bagi para korban dari kejahatan sektorsi masih belum dilakukan secara spesifik. Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan topik pembahasan dalam jurnal ini antara lain adalah skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Sekstorsi Dalam kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) “ yang ditulis oleh Fikri Chandra Permana dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun 2021 yang mengulas mengenai bagaimana kejahatan sekstorsi dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana serta pertanggungjawaban hukum bagi para pelaku kejahatan sekstorsi menurut hukum Indonesia.3 Selain dari pada itu, penulis juga menemukan jurnal ilmiah berjudul “Sekstorsi: Kekerasan Berbasis Gender Online dalam Paradigma Hukum Indonesia” yang ditulis oleh Jordy Herry Christian dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang tahun 2020 yang menulis perihal kejahatan sekstorsi sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) beserta

aturan-aturan yang meregulasinya.4 Adapun yang menjadi state of art atau hal yang menjadi perbedaan dalam penulisan jurnal ini adalah dengan lebih dijelaskannya secara mengkhusus mengenai bagaimana pentingnya perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sekstorsi yang tak hanya memiliki hak atas ganti kerugian secara materi serta pidana terhadap pelaku kejahatannya saja namun juga memiliki hak atas pendampingan psiskis dan dipulihkan pula nama baiknya atas penyebaran data pribadi yang merugikan melalui kewajiban penghapusan konten terkait. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis bernaksud ingin menganalisa lebih dalam lagi mengenai perlindungan hukum yang dapat diperoleh para korban kejahatan sekstorsi melalui penulisan jurnal ini dengan mengangkat judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN KEJAHATAN SEKSTORSI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditarik dua rumusan masalah yang dapat menjadi pembahasan di dalam penelitian ini, antara lain :

  • 1.    Bagaimana pengaturan mengenai kejahatan sekstorsi di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sekstorsi di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini antara lain bertujuan agar dapat mengetahui dan menganalisis tentang bagaimana pengaturan terkait kejahatan sekstorsi dalam hukum positif di Indonesia serta bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sekstorsi di Indonesia.

  • 2. Metode Penelitian

Penelitian ini dalam penulisannya menerapkan metode penulisan hukum normatif, yang mana metode tersebut merupakan sebuah penelitian hukum dengan memposisikan hukum bagai sebuah sistem norma.5 Penggunaan metode penulisan hukum normatif ini bermaksud agar dapat mengkaji mengenai aturan-aturan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai kejahatan sekstorsi serta perlindungan hukum terhadap korban dari kejahatan sekstorsi, dimana belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur mengenai kejahatan sekstorsi. Walau pelaku dapat dipidana berdasarkan KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE, rupanya masih ada kekaburan norma dalam UU ITE, dimana belum ada kepastian hukum tentang kewajiban penghapusan data yang berkaitan dengan perkara sekstorsi serta bagaimana mekanisme dalam pemberian hak untuk dilupakan bagi para korban.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Kejahatan Sekstorsi di Indonesia

Sekstorsi merupakan bagian dari cybercrime yang bentuk kejahatannya adalah dengan memanfaatkan konten pornografi korbannya untuk dijadikan suatu ancaman guna memeras korban baik dari segi materiiil maupun immateriil. Adapun cybercrime

pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai semua bentuk akses yang tidak sah di dalam suatu sistem komputer.6 Cybercrime kini semakin menjadi ancaman dan merupakan salah satu isu kejahatan internasional terlebih dikarenakan situasi pandemi Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan. Faktor aparat penegak hukum yang kurang mampu dalam menangani kasus-kasus cybercrime menjadikan kejahatan ini terus berkembang pesat dan meresahkan masyarakat. Kejahatan cyber memiliki beberapa bentuk, cyber pornography merupakan bentuk kejahatan cyber yang paling banyak terjadi saat ini.7 Sekstorsi merupakan salah satu contoh dari cyber pornography yang juga merupakan bagian dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Pelaku sekstorsi umumnya bertujuan mendapatkan imbalan secara seksual ataupun materi dengan adanya unsur ancaman pada diri korban.8 Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum menjelaskan bahwa terdapat delapan bentuk KBGO yang dapat dicatat oleh Komnas Perempuan. Adapun delapan bentuk kekerasan tersebut meliputi: pelecehan online, pendekatan untuk memperdaya, peretasan, konten ilegal, ancaman pengedaran konten berupa foto atau video pribadi, pelanggaran privasi, pencemaran nama baik, serta rekrutmen online.9 Sekstorsi termasuk diantara kedelapan bentuk tersebut sebagai bentuk dari ancaman distribusi foto/video pribadi atau yang disebut dengan istilah malicious distribution.

Mayoritas korban sekstorsi adalah perempuan, sedangkan pelakunya mayoritas berjenis kelamin laki-laki baik dari kalangan mahasiswa maupun orang-orang terdekat korban sendiri. Seperti yang dilansir dari tirto.id bahwa berdasarkan survey yang telah dilakukan kepada 1.631 korban kejahatan sekstorsi yang rata-rata berusia 18 sampai dengan 25 tahun diketahui bahwa kebanyakan dari pelaku kejahatan tersebut sudah tahu mengenai identitas korban sebelum melakukan aksinya.10 Walau demikian tak hanya orang-orang terdekat yang mengetahui identitas korban saja yang dapat berpeluang menjadi pelaku kejahatan. Namun bisa juga sejumlah orang tak dikenal yang menyalahgunakan teknologi hingga dapat melakukan pembocoran data pribadi milik korban. Perbuatan pemerasan secara seksual pada dasarnya merupakan sebuah kejahatan yang telah diatur dalam KUHP sebagai lex generalis dan juga peraturan perundang-undangan lainnya sebagai lex specialist. Sekstorsi memang memiliki kemiripan dengan Non Consensual Pornography (revenge porn), dimana revenge porn merupakan istilah dari konten seksual milik pribadi yang disebarluaskan ke internet tanpa adanya persetujuan dari yang bersangkutan.11 Yang menjadi perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya adalah adanya unsur ancaman pemerasan oleh pelaku dalam kejahatan sekstorsi.12 Sekstorsi menitikberatkan kepada unsur perbuatan pemerasan secara seksual kepada seseorang, namun saat ini pemerasan yang dilakukan pelaku kejahatan sekstorsi paling banyak terjadi melalui media digital sehingga dapat tergolong sebagai kejahatan cyber.

Aturan hukum terhadap kasus sekstorsi di Indonesia belum diatur secara mengkhusus, namun berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya maka kasus kejahatan sekstorsi dapat ditinjau dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP sebagai lex generalis maupun ketentuan-ketentuan di luar KUHP. Kasus sekstorsi sendiri memiliki dua unsur penting yang menjadi ciri khasnya yakni adanya ancaman penyebaran konten pornografi milik korban dan adanya unsur pemerasan terhadap korban. Sehingga bilamana kasus sekstorsi ini dianalisa melalui sudut pandang KUHP maka tindakan semacam ini bisa dikategorikan menjadi tindak pidana pornografi dan juga pemerasan. Tindak pidana pornografi ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan yang telah diatur dalam Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP. Sedangkan berkaitan dengan adanya unsur pemerasan dalam kejahatan sekstorsi maka KUHP juga telah mengatur ketentuan mengenai tindak pidana pemerasan yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Tindak pidana pemerasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP memiliki unsur objektif : adanya perbuatan memaksa. Adapun perbuatan memaksa yang dimaksud disini adalah berupa perbuatan yang sifatnya menekan pada seseorang, dengan tujuan agar orang tersebut mau melaksanakan sesuatu walau tak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri; adanya orang yang dipaksa; adanya upaya memaksa melalui kekerasan maupun ancaman; adanya tujuan yang juga akibat dari paksaan tersebut antara lain dapat berupa: penyerahan benda, pemberian hutang, penghapusan piutang, dan lain sebagainya. Terdapat pula unsur-unsur subjektif antara lain : unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain, serta unsur dengan melawan hukum.13 Dalam kaitannya dengan sekstorsi, diketahui bahwa sebanyak 45% dari 1631 pelaku melakukan kejahatan tersebut dengan mengancam korban untuk memberikan sesuatu.14 Sehingga dengan adanya unsur ancaman pemerasan ini lah yang membuatnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan sehingga pelakunya dapat dijerat hukuman sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Mengenai adanya penyebaran konten pornografi milik korban dalam kasus sekstorsi maka hal ini dapat dikategorikan dalam kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP. Tindak pidana pornografi ini diatur dalam Pasal 281 dan 282 KUHP. Pasal 281 KUHP mengatur perihal perbuatan yang melanggar kesusilaan, sedangkan Pasal 282 KUHP mengatur perihal penyebarluasan konten yang melanggar kesusilaan. Sehingga disamping pemerasan, bilamana pelaku juga melakukan penyebarluasan konten pornografi milik korban, maka terhadapnya juga dapat dikenai hukuman seperti yang termuat dalam Pasal 282 KUHP.

Tak hanya dalam KUHP saja, pelaku kejahatan sekstorsi juga dapat dipidana jika ia terbukti menyebarkan konten pornografi milik korban sebagaimana yang diatur dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Adapun larangan penyebarluasan ini telah termuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.” Sehingga pelaku kajahatan

sekstorsi yang melanggar ketentun dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut dapat dihukum dengan pidana penjara atau denda. Sesungguhnya unsur pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana pornografi masih perlu dipertanyakan sebab terdapat perluasan makna antara frasa kata perbuatan satu dengan yang lainnya seperti frasa kata memperbanyak dengan menggandakan, memproduksi dengan membuat, serta menyebarluaskan dengan mengedarkan dan menjualbelikan.15

Penyebarluasan konten pornografi dalam kasus sekstorsi ini memang meliputi keterlibatan korban yang merupakan salah satu pihak yang memiliki kontribusi dalam hal diproduksinya konten tersebut, namun tentunya dalam hal ini korban membuatnya sebagai kepentingan diri saja tidak untuk disebarluaskan atau disalahgunkan orang lain terlebih menyebabkan peluang terjadinya tindak pidana pemerasan terhadapnya. Unsur persetujuan penyebarluasan dari pihak yang bersangkutan ini perlu diperhatikan mengingat pembuatan konten bermuatan pornografi untuk kepentingan sendiri dapat dikecualikan dari larangan pornografi berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Sehingga pengecualian ini dapat berarti bahwa pembuatan konten pornografi untuk kepentingan sendiri tak dapat serta-merta digolongkan sebagai sesuatu yang dilarang sepanjang tidak disebarluaskan. Namun pada kasus sejenis revenge porn maupun sekstorsi, penyebarluasan informasi bermuatan pornografi biasanya dilakukan tanpa persetujuan korban serta dengan adanya motif balas dendam dan sakit hati oleh salah satu pihak dalam sebuah hubungan pribadi.16

Perbuatan penyebarluasan konten baik berupa foto maupun video bermuatan pornografi oleh pelaku terhadap korban kejahatan sekstorsi tentu merupakan perbuatan yang dilarang menurut hukum positif di Indonesia. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur mengenai pendistribusian informasi bermuatan melanggar kesusilaan. Selanjutnya diatur pula dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE mengenai larangan penyebarluasan informasi dengan muatan pemerasan. Sehingga terhadap pelanggarnya dapat dikenakan hukuman, sebagaimana yang diatur dalam UU ITE. Adapun ancaman pidana bagi para pelaku menurut UU ITE termuat dalam Pasal 45 ayat (1) dan (4) dengan hukuman pidana yang sama beratnya.

Kejahatan sekstorsi tentu berbeda dengan tindak pidana pemerasan biasa. Sekstorsi lebih dari sekedar pemerasan, dan bukan juga kejahatan seksual biasa. Kerugian yang dialami pun bukan semata-mata kerugian secara materiil saja melainkan kerugian baik secara psikis mupun stigma buruk yang didapat korban. Oleh karena itu rasanya dibutuhkan regulasi yang lebih spesifik lagi dalam pengaturan kejahatan sekstorsi dengan harapan dapat menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan sekstorsi, serta rasa aman bagi para korban.

  • 3.2    Perlindungan Hukum Bagi Korban Kejahatan Sekstorsi

Hak atas rasa aman serta hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak dasar manusia yang telah dilindungi konstitusi sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28G (1) UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan hal tersebut, maka kejahatan sekstorsi dapat digolongkan sebagai suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu penting halnya menjamin terwujudnya perlundungan hukum bagi korban kejahatan sekstorsi. Menurut data CATAHU Komnas Perempuan telah terjadi kenaikan kasus KBGO selama masa pandemi covid-19 hingga berjumlah 940 kasus tercatat di sepanjang tahun 2020.17 Ironisnya kenaikan angka kasus ini tidak dibarengi dengan penanganan kasus secara optimal. LBH APIK mencatat jika dari ratusan kasus yang dapat ditangani hanya ada kurang lebih 10% kasus yang dapat diproses hingga ke meja hijau.18 Fakta ini mencerminkan bahwa perlindungan korban dalam kasus sekstorsi masih kurang mendapatkan perhatian dari segala pihak. Tak jarang pada kasus kejahatan seksual secara digital ini cenderung membebankan pihak korban. Pada beberapa kasus, posisi korban malah bisa berubah menjadi tersangka. Dapat dikatakan bahwa sampai saat ini Indonesia tidak cukup responsif dalam menghadapi kasus kekerasan berbasis gender, terlebih pada KBGO seperti halnya kejahatan sekstorsi. Sejalan dengan hal tersebut, Lidwina Inge Nurtjahyo menegaskan bahwa keterbatasan penanggulangan kasus tersebut dapat dipicu akibat belum tersedianya payung hukum yang memadai guna melindungi para korban.19

Sering kali korban kejahatan sekstorsi mendapat stigma buruk dalam masyarakat manakala melakukan upaya hukum atas kasus yang menimpanya. Masyarakat cenderung menyalahkan pihak korban atas keterlibatannya dalam memproduksi konten intimnya tersebut. Alhasil para korban enggan menindaklanjuti kejahatan yang menimpanya, dan pelaku kejahatan akan terus berkeliaran dengan bebas di masyarakat untuk melancarkan aksinya. Hal ini lah yang akan memicu peningkatan angka kejahatan sekstorsi di masyarakat. Pada dasarnya, tentu setiap orang mempunyai hak penuh atas tubuhnya sendiri sehingga siapapun bebas melakukan apapun dengan tubuhnya sendiri tanpa harus dihakimi orang lain. Telah dipertegas pula dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pornografi yang mengecualikan konotasi frasa kata “membuat” yang mana kata ini bukan dimaksudkan pula sebagai pembuatan untuk kepentingan sendirinya sendiri. Sehingga bilamana korban dalam kasus kejahatan sekstorsi ini terbukti secara sah dan meyakinkan membuat konten sensitif tersebut semata-mata hanya untuk kepentingannya sendiri, maka ia tidak dapat dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Namun bagi pihak yang menyebarluaskannya tanpa seizin korban, maka kepadanya dapat dikenakan pidana. Bagaimanapun caranya konten tersebut dibuat baik itu disertai persetujuan setiap pihak, diambil tanpa izin ataupun dicuri oleh salah satu pihak, perbuatan penyebaran konten privat milik seseorang adalah sebuah kejahatan. Guna mencegah semakin maraknya budaya yang merusak pola pikir masyarakat Indonesia akan stigma negatif pada korban sekstorsi, maka perlu ada perlindungan hukum bagi korban tindak pidana sekstorsi agar hak-hak para korban dapat terlindungi. Selain itu aturan-aturan terkait kasus ini

perlu diperjelas, agar pelaku tak hanya dijatuhi pidana akibat perbuatannya menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan namun juga perbuatan pelecehan seksual yang berujung pada siksaan psikis bagi para korban.20

Ada dua bentuk kebijakan penal yang bisa ditempuh guna menanggulangi kejahatan sekstorsi yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender di media sosial. Antara lain adalah dengan menerapkan sistem peradilan pidana berkeadilan gender yang ditunjukkan melalui adanya keterlibatan korban secara aktif selama proses penanganan perkara. Keterlibatan korban dalam penanganan perkara ini diwujudkan dalam suatu sistem yang mewujudkan adanya keterkaitan antar pihak dalam penanganan kasus kekerasan seksual serta keterjangkauan pelayanan bagi para korban dalam proses peradilan yang dapat disebut juga dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Maka dengan ini korban tak hanya diposisikan sebagai objek untuk dimintai keterangannya saja, namun juga akan diposisikan sebagai subjek. Melalui upaya ini, maka selain berhak untuk didengar keterangannya, korban juga memiliki hak untuk memperoleh informasi perihal upaya hukum yang sedang berlangsung, berhak mendapatkan pertimbangan atas rasa keadilan yang ingin didapatkannya, dan tak kalah pentingnya, korban juga berhak untuk mendapatkan pemulihan situasi dirinya atas perampasan hak yang dialami olehnya.21

Perlindungan hukum merupakan upaya perlindungan kepada korban sebagai subjek hukum menurut hukum yang berlaku yang dapat bersifat preventif ataupun represif. Adapun wujud dari perlindungan hukum terhadap korban kejahatan umumnya bisa diupayakan melalui berbagai tindakan. Bentuk dari upaya perlindungan hukum tersebut akan berkaitan dengan kerugian yang dialami korban. Apabila korban mengalami kerugian materiil maka upaya yang dilakukan dapat berupa ganti kerugian oleh pelaku dalam bentuk materi atau uang. Namun apabila kerugian yang dialami korban bersifat immateriil yang meliputi penderitaan psikis dan mental maka upaya ganti kerugian berupa materi saja tentu tidak cukup, sehingga perlu adanya upaya pemulihan psikis dan mental terhadap korban.22 Dalam kasus sekstorsi, upaya pengaduan pihak korban kepada aparat penegak hukum cukup jarang dilakukan. Korban cenderung mengalami rasa takut dan malu, hanya dapat terdiam dan menyimpan penderitaannya karena merasa kejahatan yang menimpanya merupakan sebuah aib. Perlindungan hukum bagi korban saat ini belum cukup untuk memahami permasalahan mendalam terkait kekerasan seksual.23 Terlebih dalam kasus kejahatan sekstorsi, korban dapat terancam tercemar nama baiknya seumur hidup mengingat tak mudah bagi siapapun untuk menghapus jejak digital yang sudah terlanjur menyebar luas di dunia maya. Dampaknya akan sangat merugikan bagi sang korban tidak hanya untuk beberapa saat, tapi dapat mengancam dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Terkait dengan kasus kejahatan sekstorsi sebagai sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka seorang korban sebagai pihak yang mendapat kerugian dalam kasus ini memiliki beberapa hak. Adapun sejumlah hak tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa korban dalam suatu perkara memiliki beberapa hak seperti: hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dan ancaman; dapat turut serta dalam memilih berntuk perlindungan yang diberikan; memberikan keterangan tidak dalam tekanan; mendapatkan penerjemah; hak memperoleh informasi terkait perkembangan kasus, putusan pengadilan, dan dalam hal terpidana dibebaskan; hak untuk dirahasiakan identitasnya; hak untuk mendapatkan identitas baru, tempat kediaman baru, dan penggantian biaya transportasi; hak untuk memperoleh nasihat hukum serta bantuan biaya hidup. Selain itu Pasal 6 ayat (1) undang-undang ini memberikan hak khusus yang kepada korban kejahatan tertentu salah satunya korban kekeraasan seksual. Adapun hak tersebut antara lain yakni berupa hak untuk mendapatkan bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial. Olehkarena sekstorsi merupakan kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual, maka para korbannya berhak pula memperoleh bantuan medis dan rehabilitasi tersebut. Korban kejahatan sekstorsi juga berhak memperoleh restitusi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7A ayat (1). Adapun restutusi yang dimaksudkan Pasal 7A ini sesuai dengan poin b yakni berupa ganti kerugian yang merupakan akibat dari penderitaan yang berkaitan secara langsung dengan terjadinya tindak pidana.

Telah diketahui bahwa para korban sekstorsi akan berpotensi mengalami kerugian berkepanjangan akibat penyebaran data pribadi miliknya di internet. Terkait hal ini telah diatur mengenai adanya perlindungan data pribadi seseorang yang dipergunakan dalam penyebaran informasi pada media elektronik, dimana untuk menggunakan data pribadi seseorang maka dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan. Bilamana timbul kerugian atas penyebaran informasi terkait data pribadi tersebut dengan ini pihak yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan seperti halnya yang telah disebutkan dalam Pasal 26 UU No. 19 Tahun 2016. Walau UU ITE telah mengatur tentang perlindungan penyebaran informasi pribadi, hal ini belum cukup kuat untuk melindungi para korban kejahatan sekstorsi dari kerugian berkepanjangan akibat penyebarluasan konten pribadinya. UU ITE belum secara jelas mengatur mengenai kewajiban penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penghapusan data atau konten pribadi yang merugikan pihak korban. Hal ini penting sebab korban perlu mendapatkan pemulihan atas nama baiknya akibat kejahatan yang dilakukan pelaku. Hak untuk dilupakan ini memiliki hubungan dengan hak privasi seseorang yang telah dijamin secara implisit dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945. Dalam UU ITE penghapusan data pribadi milik korban pasca terjadinya kejahatan sekstorsi ini masih terbatas dalam ranah perdata yakni dapat dilakukan namun harus melalui permintaan atau pengaduan dari orang yang bersangkutan. Sejauh ini UU ITE hanya mengatur mengenai penghapusan informasi elektronik yang tidak relevan saja, sehingga belum jelas apakah frasa “informasi elektronik yang tidak relevan” ini juga mencakup data pribadi yang merugikan yang bersangkutan atau tidak. Selain itu belum ada kepastian hukum juga baik mengenai kewajiban penghapusan data yang berkaitan dengan perkara sekstorsi serta bagaimana mekanisme dalam pemenuhan hak untuk dilupakan atas terjadinya perkara tersebut.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik melalui penulisan ini antara lain adalah: 1. Pengaturan mengenai kasus kejahatan sektorsi dalam hukum yang tengah berlaku saat ini di Indonesia memang belum diatur secara mengkhusus namun pelaku kejahatan sekstorsi dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan terkait antara lain: Pasal 281, 282, dan 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 26 ayat (1) dan (4) dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.; 2. Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban kejahatan sekstorsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selain meliputi beberapa hak yang termuat dalam Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban, juga meliputi hak khusus berupa bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial. Selain itu korban juga berhak mendapatkan restitusi seperti yang diamanatkan dalam Pasal 7A ayat (1). Korban kejahatan sekstorsi juga memiliki hak untuk dilupakan melalui pelenyapan jejak digital atas konten yang merugikan dirinya. Untuk itu rupanya UU ITE belum belum cukup mengatur kewajiban penyelenggara sistem elektronik dalam penghapusan data atau konten pribadi yang merugikan pihak korban. Hal ini penting sebab korban perlu mendapatkan pemulihan atas nama baiknya akibat kejahatan yang dilakukan pelaku. Dalam UU ITE nampak adanya ketidak jelasan mengenai hak penghapusan data pribadi korban pasca terjadinya tindak pidana sekstorsi. UU ITE hanya mengatur mengenai kewajiban penghapusan informasi elektronik yang tidak relevan saja, sehingga frasa “informasi elektronik yang tidak relevan” ini belum jelas mencakup pula data pribadi korban atau tidak. Mekanisme penghapusan data juga masih terbatas dalam ranah perdata dengan perlu adanya permintaan dari yang bersangkutan terlebih dahulu untuk melakukanya, sehingga korban memerlukan upaya hukum terlebih dahulu untuk mendapatkan haknya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Fajar, Mukti, and Yulianto Achmad. "Dualisme Penelitian Hukum Empiris & Normatif." Yogyakarta: Pustaka Pelajar (2010).

Kusuma, Ellen, and Nenden Sekar Arum. "Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online." (2019).

JURNAL

Alweni, Mohammad Kenny. “Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal 368 KUHP”, Lex Crimen VIII, No. 3 (2019).

Antoni. “Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) Dalam Simak Online”. Jurnal Nurani 17, No.2 (2017).

Arisanti, Ni Putu Winny dan I Ketut Rai Setiabudhi. “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Revenge Porn (Pornografi Balas Dendam) Menurut Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Kertha Desa 9, No. 2 (2021).

Atem. “Ancaman Cyber Pornography Terhadap Anak-Anak”. Jurnal Moral Kemasyarakatan 1, No.2 (2016).

Christian, Jordy Herry. “Sekstorsi : Kekerasan Berbasis Gender Online Dalam Paradigma Hukum Indonesia”. Binamulia Hukum 9, No. 1 Juli (2020).

Christianto, Hwian. “Konsep Hak Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, Mimbar Hukum 32, No. 2 (2020).

Hikmawati, Puteri. “Pengaturan Kekerasan Berbasis Gender Online: Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum”. Jurnal Negara Hukum 12, No. 1 (2021).

Prameswari, Jihan Risya Cahyani dkk. “Kekerasan Berbasis Gender Di Media Sosial” PAMALI: Pattimura Magister Law Review 1, No. 1 (2021).

Runtu, Johan. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana”. Lex Crimen I, No.2 (2012).

Saputra, Dadin Eka. “Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pornografi Melalui Media Sosial”.Al’Adl IX, No. 2 (2017).

Sugiyanto, Okamaisya. “Perempuan dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan Indonesia dari Perspektif Viktimologi”. Jurnal Wanita dan Keluarga 2, No. 1 (2021).

Surayda, Helen Intania. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Kajian Hukum Islam”. Jurnal Ius Constituendum 2, No. 1 (2017).

Zahra, Abid Fatem. “Revenge porn: Bahaya Hiperealitas dan Kekerasan Siber Berbasis Gender”. IIS Brief 2 (2018).

SKRIPSI

Permana, Fikri Chandra. "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku “Sekstorsi” Dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)." PhD diss., Universitas Airlangga, 2021.

INTERNET

Komnas Perempuan, “Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19 Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020. URL: https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf. diakses 20 September 2021.

Rachmawati, “Cerita Korban Kekerasan Online, Konten Seksual Disebar, Dicekik hingga Mencoba               Bunuh               Diri”.               URL:

https://regional.kompas.com/read/2021/04/07/113000878/cerita-korban-kekerasan-online-konten-seksual-disebar-dicekik-hingga?page=all.  diakses 29

September 2021.

Yulaika Ramadhani, “Waspada Sekstorsi, Kejahatan Siber yang Mengancam Anak dan Remaja", URL: https://tirto.id/cy9V, diakses 29 September.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm.121-132