PENGATURAN BATASAN WEWENANG DESA DALAM MELAKUKAN PENGELOLAAN OBYEK WISATA
on
PENGATURAN BATASAN WEWENANG DESA DALAM MELAKUKAN PENGELOLAAN OBYEK WISATA
Kadek Krisna Purnama Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Putu Edgar Tanaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v11.i01.p15
ABSTRAK
Jurnal ini memiliki tujuan untuk memberi pemahaman tentang wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata dan untuk mengetahui pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata.",Metode yang dipergunakan pada artikel terkait pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata ini mempergunakan penelitian hukum dengan jenis yuridis normatif, dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisis isu hukum pada artikel ini. Hasil dari studi ini menemukan jika Secara khusus terkait pengaturan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata sudah dilakukan pengaturan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.".Namun terdapat hingga saat ini belum terdapat pengaturan secara khusus terkait batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata, sejauh mana desa memiliki wewenang dalam melakukan pengelolaan terhadap obyek wisata tidak dijelaskan lebih lanjut.
Kata Kunci : Wewenang, Desa, Obyek Wisata
ABSTRACT
This journal has the aim to provide an understanding of the authority of the village in managing tourism objects and to determine the limits of village authority in managing tourism objects. The method used in the article related to setting limits on village authority in managing tourism objects uses legal research with a normative juridical type, using a statutory approach to analyze legal issues in this article. The results of this study found that specifically related to the regulation of village authority in managing tourism objects, arrangements have been made in the Minister of Home Affairs Regulation Number 30 of 2006 concerning Procedures for Delegating Regency / City Government Affairs to Villages. However, until now there has been no specific regulation regarding the limits of village authority in managing tourism objects, the extent to which villages have the authority to manage tourism objects is not explained further.
Key Words: Authority, Village, Tourist Attraction
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keindahan, sumber daya alam yang beraneka ragam, budaya dan adat istiadat, tengah berupaya untuk lebih berkembang
dan lebih mampu mengelola potensi wisatanya.1 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Undang-Undang Kepariwisataan) menyatakan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Kepariwisataan merupakan kegiatan yang kompleks karena melibatkan banyak komponen pariwisata.
Sektor pariwisata adalah primadona untuk usaha pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan memiliki efek yang sangat luas. Karena usaha-usaha di sektor pariwisata berpengaruh terhadap banyak sektor-sektor yang lain, sehingga berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.2 Kebijakan pemerintah lokal dalam mengembangkan pariwisata sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata nasional.3 Pengembangan pembangunan objek wisata akan mampu memberikan sumbangan yang sangat besar apabila dikelola secara profesional, karena dengan partisipasi daerah yang bersangkutan, pariwisata bisa memacu pertumbuhan kawasan sekitar objek wisata tersebut.4 Peraturan mengenai otonomi daerah memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk mengelola pariwisatanya. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU PD), pasal 12 Ayat (3) menjelaskan bahwa pariwisata adalah salah satu urusan pemerintahan pilihan. Sehingga perencanaan pengembangan daerah wisata dapat dimulai dengan mengenali potensi wilayah yang akan dijadikan sebagai lokasi pengembangan kepariwisataan.
Terdapat prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan, diantaranya adalah memberdayakan masyarakat setempat. Prinsip tersebut menjadi pedoman baik oleh pemerintah dan masyarakat dalam melakukan pengelolaan pariwisata di daerah-daerah seluruh Indonesia.5 Pasal 23 huruf b Undang-Undang Kepariwisataan juga mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum. Pemberdayaan masyarakat memiliki tujuan memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari ketidakmampuan pada segi ekonomi, keterbelakangan dan kesenjangan.
Saat ini yang bisa menjadi tempat wisata bukan hanya di kota–kota besar saja dengan bangunan-bangunan yang megah dan juga bersejarah. Hal ini dikarenakan wisata lokal ataupun wisata Desa saat ini sudah mulai banyak berkembang.6 Setiap daerah yang mempunyai potensi-potensi baik dari alam ataupun buatan saat ini sudah terlihat mengembangkan wisatanya. Desa dalam hal ini merupakan suatu wilayah yang berada pada kekuasaan pemerintah daerah secara administrasi. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan pembangunan desa. Oleh karena itu pemerintah daerah menjadikan desa sebagai prioritas pembangunan dengan mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD Daerah kepada desa berupa Alokasi Dana Desa (ADD).7 Desa juga merupakan salah satu bagian dari pemerintahan yang diserahi wewenang oleh kabupaten/kota dalam bidang pariwisata sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa (Permendagri No. 30/2006). Secara limitatif pengertian desa diatur dalam UU PD Pasal 1 ayat (43) yakni “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Desa merupakan organisasi pemerintahan yang secara politis memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau kominitasnya. asas rekognisi dan subsidiaritas, asas rekognisi yaitu pengakuan terhadap hak asal usul dan subsidiaritas yaitu penetapan kewenangan bersekala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.8 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), desa berkewenangan untuk mengurus dan mengelola Desanya sendiri dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam undang-undang tersebut mengakui Juga mengakui adanya otonomi Desa, maka secara otomatis dengan adaya otonomi Desa tersebut Desa juga memiliki kewenangan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, maupun dalam pengelolaan keuangan.
Salah satu upaya dalam pembangunan pedesaan adalah dengan pengembangan pariwisata di pedesaan. Pariwisata adalah fenomena yang berkembang pesat dan menjadi salah satu industri terbesar di dunia.9 Pariwisata dianggap memiliki potensi yang besar untuk pembangunan sosial ekonomi dan regenerasi daerah pedesaan, khususnya mereka yang terkena dampak penurunan kegiatan pertanian tradisional, daerah pedesaan pinggiran yang dianggap terpencil sehingga dianggap memiliki
kehidupan dan budaya yang unik.10 Pariwisata telah menjadi komponen yang semakin popular dari strategi pembangunan di banyak daerah tertinggal, dengan potensi untuk meningkatkan ekonomi lokal dan mengurangi kemiskinan.11 Dengan demikian, dorongan untuk mengembangkan pariwisata pedesaan telah menjadi kebijakan umum di berbagai negara, baik negara maju.12
Setiap desa memiliki potensi untuk dijadikan komoditas wisata unggulan. Keindahan dan keunikan alam akan menajdi wisata alam. Dalam dekade ini, perkembangan pariwisata sudah sedemikian pesat. Pariwisata merupakan sektor yang dapat memberikan peranan besar bagi pembangunan suatu daerah sekaligus memberikan kontribusi bagi perolehan devisa maupun penciptaan kesempatan kerja. Melihat peranan dan kontribusi yang begitu besar maka kekayaan pariwisata perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Perkembangan dunia pariwisata telah mengalami berbagai perubahan baik perubahan pola,bentuk dan sifat kegiatan, dorongan orang untuk melakukan perjalanan, cara berpikir, maupun sifat perkembangan itu sendiri.
Terkait dengan menjalankan kepariwisataan di desa, bahwasannya sudah sejak lama masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan sektor pariwisata melalui konsep pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism/CBT). CBT adalah konsep pembangunan kepariwisataan melalui pemberdayaan masyarakat lokal, dimana masyarakat turut terlibat dalam proses penyusunan strategi, pelaksanaan, dan pemberian suara hingga membuat keputusan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial serta budaya.13 CBT dianggap berpihak kepada masyarakat lokal, sebab pelaksanaan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri dan bertujuan untuk pemerataan akses perekonomian. Pengembangan kepariwisataan di desa dengan konsep CBT dapat terkendala oleh lemahnya manajemen komunitas masyarakat, maupun kinerja pengurus yang kurang maksimal.14
Pasal 18 UU Desa menyebutkan, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Pasal 19 menyebutkan, kewenangan berdasarkan hak asal usul; kewenangan lokal berskala Desa; kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan kewenangan tersebut, desa mempunyai hak untuk melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, termasuk sector wisata di desa. Hak desa atas sumber daya alam, juga diatur dlam dan dipertegas pada Pasal 371 ayat (2) UU PD, yaitu bahwa Desa memopunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai desa. Asasasas pengaturan desa sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 huruf a dan b UU Desa memiliki dua asas yang penting yaitu: rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul dan subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala local dan pengambilan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.
Secara eksplisit UU Desa tidak menjelaskan wewenang desa dalam hal pengelolaan obyek wisata. Kewenangan desa berdasarkan UU Desa meliputi; kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan kepada prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa. Adapun urusan pemerintahan kabupaten/kota yang dapat diserahkan pada bidang pariwisata kepada desa sebagaimana dalam Permendagri No. 30/2006 salah satunya adalah Pengelolaan obyek wisata dalam desa di luar rencana induk pariwisata. Norma tersebut terlihat mengalami kekaburan norma sehingga menyebabkan terjadinya banyak penafsiran artinya apabila itu merupakan rencana induk pariwisata maka desa tidak memiliki wewenang dalam melakukan pengelolaan padahal di sisi yang lain desa memiliki wewenang dalam rekomendasi pemberian ijin pendirian pondok wisata pada kawasan wisata di desa selain itu tidak dijelaskan pula rencana induk pariwisata yang dimaksud apakah terkhusus pada kabupaten saja atau meluas hingga ke rencana induk pariwisata nasional karena secara eksplisit UU PD juga tidak menjelaskan aturan tentang pengelolaan pariwisata oleh Desa. Untuk itu perlulah di perjelas sejauh mana batasan wewenang desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata, apakah memang tidak ada pengelolaan sama sekali oleh desa apabila itu merupakan rencana induk pariwisata baik kabupaten maupun nasional dan legalitas kewenangan dari desa dalam pengelolaan obyek wisata apakah cukup hanya diatur dalam Peraturan Menteri saja karena dalam UU Desa sendiri juga tidak ada pengaturan terkait pengelolaan obyek wisata oleh desa.
Penelitian ini adalah karya ilmiah asli yang memiliki harapan untuk bisa memberikan kontribusi serta memberikan peran pada peningkatan ataupun proses berkembangnya ilmu pengetahuan. Beberapa studi terdahulu yang telah mengkaji alat bukti elektronik diantaranya pertama, ditemukan pada Jurnal Reformasi berjudul “Peran Pemerintah Desa Dalam Mengelola Wisata Hutan Pinus Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Desa Di Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang”. Kedua, ditemukan pada Jurnal Selat berjudul “Peran Pemerintah Kabupaten Bintan Dalam Meningkatkan Kemampuan Desa Terhadap Pengelolaan Kewenangan (Studi Pelaksanaan Kewenangan Desa Malang Rapat Dalam Mengelola Potensi Wisata)”. Ketiga yaitu Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, berjudul “Peranan Hukum Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Skala Desa Oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa”. Dalam tulisan ini fokus membahas mengenai Pengaturan Batasan Wewenang Desa Dalam Melakukan Pengelolaan Obyek Wisata. Adapun dalam penulisan jurnal ini memiliki perbedaan dengan tulisan terdahulu yakni mengenai pengaturan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan maupun pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan Obyek wisata. Secara spesifik dalam pengaturan wewenang maupun pengelolaan obyek wisata dilakukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Belum terdapat aturan yang mengatur secara spesifik terkait batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek
wisata serta tidak dijelaskannya secara luas. Sehingga dalam tulisan ini memiliki kebaharuan dibandingkan dengan tulisan terdahulu
-
1.2. Rumusan Masalah
Untuk itu, artikel ini akan memberikan pembahasan terkait hal-hal meliputi:
-
1. Bagaimanakah pengaturan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan
obyek wisata?
-
2. Bagaimanakah pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan
pengelolaan Obyek wisata?
-
1.3. Tujuan Penelitian
Artikel ini mempunyai tujuan untuk memberi pemahaman tentang wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata dan untuk mengetahui pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata.
-
2. Metode Penelitian
Artikel ini yakni penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu metoda penelitian yang dilaksanakan untuk melakukan penelitian pada bahan sekunder.15 Artikel ini adalah penelitian yuridis normatif mengenai pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata. Suatu penelitian hukum yuridis normatif dapat pula dikatakan sebagai suatu prosedur penelitian yang menggunakan logika ilmu hukum dari sudut pandang normatif untuk menemukan kebenaran, hal tersebut kemudian mampu menjelaskan pengaturan batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata.16 Penelitian ini mempergunakan statute approach (pendekatan peraturan perundang-undangan) dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini. Penelitian isu hukum ini menggunakan bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier. Penelitian ini mempunyai sifat deskriptif analisis yakni memberikan konsep tentang masalah yang dibahas artikel ini dan melaksanakan analisis pada peraturan hukum yang memiliki keterkaitan untuk memberi jawaban atas masalah dalam penelitian ini. \
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Wewenang Desa Dalam Melakukan Pengelolaan Obyek Wisata
-
Setiap penyelengaran kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dengan demikian, subtansi asas legalitas adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut, bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Wewenang merupakan kekuasaan yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik.17
Dalam bahasa Belanda, konsep kewenangan dikenal dengan istilah “bevoegdheid” yang diartikan sebagai wewenang atau kuasa.18 Atmosudirdjo memahami bahwa kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari legislative (kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau kekuasaan eksekutif administratif.) selanjutnya segala tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku, sehingga tindakan pemerintah yang sah adalah tindakan pemerintah yang sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan atas hukum. Konsep kewenangan sangat kental dengan aspek legalitas, menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt sumber kewenangan ada 3 (tiga), yaitu19:
-
a. Attributie toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
-
b. Delegatie overdracht van een bevoegheid van het ene bestuurorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
-
c. Mandaat een bestuurorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.".
Ruang lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya dan distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam konstitusi pembentukan wewenang pemeritah di dasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.20 Dengan kata lain, bahwa setiap penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian substansi dan legalitas ialah wewenang yaitu kemampuan untuk melaksanakan tindakan tindakan hukum tertentu.
Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Kemudian dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan unruk mengatur sendiri (zelfregelan) dan mengelola sendiri (zelfsubstein) sedangkan kewajiban secara horizontal berati kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagai mana mestinya. Pemerintah merupakan kerangka dasar kewenangan dan kekuasaan hukum sebagai dasar untuk bertindak dalam penyelenggaraan penetapan (beschikking), pengaturan (regulasi) izin-izin mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip.21
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas otonomi. Dalam otonomi daerah, kewenangan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bukan tanpa batas, asas otonomi yang ditetapkan dalam prinsip otonomi daerah adalah otonomi seluas-luasnya namun terbatas (bebas-terbatas). Daerah diberikan sebagian wewenang dengan mempertimbangkan segala faktor yang ada dengan tetap patuh peraturan pemerintah pusat, adapun prinsip-prinsip Negara yang berotonomi22; a) Otonomi adalah perangkat dalam Negara kesatuan. Jadi seluas-
luasnya otonomi tidak dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan Negara kesatuan; b) Otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintah tidak dapat dikenali jumlahnya. Pembagian urusan (urusan yang diserahkan) dilihat dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu lebih ditekankan pada urusan pelayanan (services). Dengan demikian, segala urusan yang akan menjadi ciri dan kendali keutuhan Negara kesatuan akan tetap pada pusat; 3) Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme kendari dari pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali keuangan.
Pasal 12 ayat (3) UU PD secara tegas dinyatakan bahwa pariwisata merupakan urusan pemerintahan pilihan, bagian dari urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan oleh pusat kepada daerah dan yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi kepariwisataan yang dimiliki daerah tersebut. Potensi yang dimaksud adalah ketersediaan sumber daya di Daerah yang telah dan yang akan dikelola yang memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan desa adalah hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Adapun yang dimaksud dengan mengatur, mengurus serta urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Mengatur dan mengurus memiliki makna adalah23: 1) Mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan) tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan; 2) Bertanggung jawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan permasalahan yang muncul. Adapun kegiatan pembangunan atau pelayanan yang dilakukan adalah kegiatan yang sifatnya kewenangan lokal; 3) Memutuskan dan menjalankan alokasi sumber daya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumber daya kepada penerima manfaat; 4) Mengurus berarti menjalanakan, melaksanakan, maupun merawat publik dengan baik.Implementasi pembangunan maupun pelayanan publik merupakan bentuk kongkrit dari mengurus.
Berhubungan dengan kewenangan desa terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa (PP Desa) dalam pasal 33 menjelaskan, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa itu meliputi: 1) Kewenangan berdasarkan hak asal-usul; 2) Kewenangan lokal berskala Desa; 3) Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan 4) Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada intinya pengelolaan obyek wisata oleh desa hanya diatur dalam Permendagri No. 30/2006, pengaturannya pun hanya sedikit, baik dalam UU Desa, UU PD, maupun PP Desa tidak mengatur mengenai wewenang desa dalam hal melakukan pengelolaan terhadap obyek wisata.".
Pasal 2 ayat (2) UU PD mengatur bahwa daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Pembangunan
perdesaan sesuai dengan amanat UU Desa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa dengan mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Pembangunan sektor kepariwisataan pada prinsipnya sangat memerlukan adanya dukungan yang berupa komitmen, peran aktif dan keterlibatan sinergis (partisipasi) dari semua pemangku kepentingan terkait, baik dari unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Masing-masing pihak memiliki fungsi dan perannya sesuai ddengan otoritas dan kapasitasnya. Dengan dikeluarkannya UU Desa, Pemerintah Desa diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurusi urusan rumah tangganya masing-masing. Tujuannya supaya desa menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung dengan bantuan pemerintah pusat. Dengan kewenangan yang diberikan, Pemerintah Desa berhak untuk mengolah potensi-potensi yang ada didesa.
UU PD menegaskan bahwa Desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah Kabupaten sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya. Pemerintah Desa sebagai badan terendah pemerintahan menunjukkan pada tugas pekerjaan atau fungsi yang sejalan dengan denyut jadi kehidupan masyarakat atau yang di perintah. Hal itu menunjukkan bahwa Desa sebagai badan pemerintahan memiliki kepentingan untuk melayani masyarakat atau yang di perintah.
UU Desa mengatur secara umum eksistensi dan wewenang desa menjadi lebih besar dari sebelumnya, sehingga percepatan pembangunan di desa tergantung pada penyelenggaraan pemerintah. Lahirnya UU Desa semakin mendukung kedudukan desa sebagai daerah otonom. Desa memiliki ruang lebih banyak dalam urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memiliki hak dan kewajiban. Namun meskipun dengan UU Desa ini membuat wewenang desa menjadi lebih besar, secara eksplisit UU Desa tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan desa dalam mengelola obyek wisata. Padahal dalam membentuk suatu obyek wisata di ranah pedesaan, desa lah yang paling mengetahui potensi yang ada pada desa tersebut.
Peran pemerintah desa dalam pengembangan objek wisata alam merupakan bagian integral pemberdayaan kapasitas institusional. Pengembangan objek wisata oleh pemerintah desa meliputi tindakan yang dilakukan pemerintah desa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab untuk membangun wilayah melalui eksplorasi asset yang dimiliki desa.24 Dikaitkan dengan batasan wewenang desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata hanya tercantum dalam Permendagri No. 30/2006 yakni desa memiliki wewenang dalam melakukan pengelolaan obyek wisata dalam desa di luar rencana induk pariwisata. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut terkait batasan-batasan kewenangan Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata. Menurut SK. MENPARPOSTEL No: KM. 98 / PW.102 / MPPT-87, obyek wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan.
Istilah pengelolaan identik dengan istilah manajemen, dimana manajemen itu sendiri merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah pengelolaan memiliki pengertian yang sama dengan manajemen, dimana pengelolaan merupakan bagian dari proses manajemen karena didalamnya harus diperhatikan mengenai proses kerja yang baik, mengorganisasikan suatu pekerjaan, mengarahkan dan mengawasi, sehingga apa yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik. Pengelolaan juga dapat diartikan sebagao pengendalian dan pemanfaatan semua faktor sumber daya yang merupakan suatu perencanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tujuan kerja tertentu. Di dalam pengelolaan terdapat 3 hal utama yakni:25
-
a. Perencanaan, dalam arti luas adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Handoko dalam Adisasmita mengemukakan bahwa perencanaan adalah (1) pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan (2) penentuan strategi, kebijakan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Dalam fungsi manajemn, tindakan dan peranan sangat memegang peranan penting karena perencanaan yang baik akan menjamin terlaksananya kegiatan selanjutnya dalam suatu organisasi.
-
b. Pelaksanaan, yakni salah satu kegiatan yang dapat dijumpai dalam proses administrasi, pelaksanaan sebagai proses dapat kita pahami dalam bentuk rangkaian kegiatan yakni berawal dari kebijakan guna mencapai suatu tujuan maka kebijakan itu ditirunkan dalam suatu program dan proyek.
-
c. Pengawasan, dari fungsi-fungsi manajemen terdahulu tidak akan efektif tanpa fungsi pengawasan (controlling), atau sekarang banyak digunakan istilah pengadilan, pengawasan juga merupakan penemuan dan penerapan cara dan peralatan untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah diterapkan.".
Maka berdasarkan hal tersebut diatas terkait pengelolaan obyek wisata oleh desa lebih lanjut diperlukan suatu pengaturan yang lebih jelas terkait batasan wewenang desa dalam baik itu perencanaan yakni sejauh mana perencanaan yang dapat dilakukan oleh desa, kemudian pelaksanaan, sejauh apa hal-hal yang dapat dilakukan oleh desa dari segi pelaksanaan, dan yang terakhir pengawasan sejauh mana pengawasan yang dapat dilakukan oleh desa sehingga aturan yang ada tidak malah menimbulkan multitafsir atau penafsiran ganda terkait pengelolaan obyek wisata yang dilakukan oleh desa.
-
4. Kesimpulan
Secara khusus terkait pengaturan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata sudah dilakukan pengaturan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Namun terdapat hingga saat ini belum terdapat pengaturan secara khusus terkait batasan wewenang Desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata, sejauh mana desa memiliki wewenang dalam melakukan pengelolaan terhadap obyek wisata tidak dijelaskan lebih lanjut. Hal ini
memperlihatkan adanya kekaburan norma yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum mengenai batas wewenang desa dalam melakukan pengelolaan obyek wisata.".
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ibrahim, J, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayu Media, 2017).
JURNAL
Afrizal, A., & Nazaki, N. “Peran Pemerintah Kabupaten Bintan Dalam Meningkatkan Kemampuan Desa Terhadap Pengelolaan Kewenangan (Studi Pelaksanaan Kewenangan Desa Malang Rapat Dalam Mengelola Potensi Wisata)”. Jurnal Selat, 5(1), (2017): 88-104.
Angkadai, Y. F. “Hak Menetapkan Peraturan Daerah Untuk Melaksanakan Otonomi Daerah Dan Tugas Pembantuan The Right To Stipulate The Regional Regulations To Implement Regional Autonomy”. Tadulako Master Law Journal, 5(2), (2021), 165-183.
Arina, A. I. S., Masinambow, V. A., & Walewangko, E. N.”Pengaruh Dana Desa Dan Alokasi Dana Desa Terhadap Indeks Desa Membangun Di Kabupaten Minahasa Tenggara”. JURNAL PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH, 22(3), (2021): 22-41.
ASLI, H. P. U. M. P. “Peran Pemerintah Desa dalam Mengelola Wisata Hutan Pinus untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Desa di Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang”. Jurnal Reformasi. 9(2). (2019): 161-167.
Dewi, A. A. I. A. A. “Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat: Community Based Development”. Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN, 18(2), (2018): 163-182.
Ernaningsih, Z. “Strategi Pengembangan Potensi Desa Ekowisata dan Kerajinan Perak di Desa Pampang”. Jurnal Atma Inovasia, 1(3), (2021): 258-264.
Hasim, D. “Peran Pemerintah dalam Pengembangan Objek Wisata Yendi Beach pada Kampung Yendidori Distrik Yendidori Kabupaten Biak Numfor. Sosio e-Kons, 12(02), (2020): 138-149.
Hidayat, E. S., & Djadjuli, R. D. “Peran Pemerintah Desa Dalam Pengembangan Objek Wisata Curug Kembar Desa Raksabaya”. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 7(2), (2020): 277-293.
Julianti, N. P. D., Sukadana, I. K., & Seputra, I. P. G. “Pengelolaan Objek Wisata Tirta Empul oleh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring”. Jurnal Interpretasi Hukum, 1(2), (2020): 153-157.
Maftucha, M., & Wulandari, I. A. “Penerapan Pariwisata Berbasis Masyarakat Dalam Upaya Meningkatkan Industri Kreatif Di Kampung Lawas Maspati Kota Surabaya”. CULTOURE: Culture Tourism and Religion, 2(1), (2021): 50-60.
Maslikan, M., & Jimantoro, A.”Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. JURNAL KEADILAN HUKUM, 1(2), (2021): 6-12.
Mulia, V. B. “Memahami Dan Mengelola Dampak Pariwisata”. JURNAL KEPARIWISATAAN, 20(1), (2021): 75-85.
Nurhidayati, S. E. “Studi evaluasi penerapan Community Based Tourism (CBT) sebagai pendukung agrowisata berkelanjutan”. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 28(1), (2015): 1-10.
Santoso, A. B. “Tinjauan Yuridis Peranan BUM Desa Dalam Strategi Pengembangan Desa Wisata”. Amnesti Jurnal Hukum, 1(1), (2019): 36-48.
Santoso, R. E. P. “Peran Community Based Tourism Dalam Pengembangan Cultural Tourism Berkesinambungan”. ARTHAVIDYA, 17(2). (2015): 53-58.
Setiawan, R. I. “Pengembangan sumber daya manusia di bidang pariwisata: perspektif potensi wisata daerah berkembang”. Jurnal Penelitian Manajemen Terapan (PENATARAN), 1(1), (2016): 23-35.
Soeswoyo, D. M. “Potensi Pariwisata Dan Strategi Pengembangan Desa Wisata Sukajadi di Kabupaten Bogor”. Masyarakat Pariwisata: Journal of Community Services in Tourism, 2(1), (2021). 13-26.
Sumiasih, K. “Peran BUMDes Dalam Pengelolaan Sektor Pariwisata (Studi di Desa Pakse Bali, Kabupaten Klungkung)”. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 7(4), (2018): 565-585.
Surono, A. “Peranan Hukum Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Skala Desa Oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa”. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 6(3), (2017): 459-478.
Talib, D., & Usu, N. F. “Peran Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alam Arung Jeram Papualangi Kabupaten Gorontalo Utara”. TULIP (Tulisan Ilmiah Pariwisata), 2(2), (2019): 130-148.
Yanti, A. I. E. K. “Community Based Tourism dalam Menyongsong New Normal Desa Wisata Bali”. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(1), (2021): 72-86.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LN No. : 157, TLN No. : 5076).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (LN No: 11, TLN No: 4966).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (LN No: 7, TLN No: 5495)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LN No: 244, TLN No: 5587).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa.
Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm.153-164
Discussion and feedback