TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT AKIBAT KELALAIAN TENAGA MEDIS DALAM PELAYANAN KESEHATAN
on
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT AKIBAT KELALAIAN TENAGA MEDIS DALAM PELAYANAN
KESEHATAN
Ni Luh Putu Dilvia Mas Manika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2022.v11.i02.p1
ABSTRAK
Tujuan daripada penelitian ini yaitu memahami tanggung jawab rumah sakit akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan kesehatan. Lebih lanjut penelitian ini memiliki tujuan memahami perlindungan hukum kepada hak pasien akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan Kesehatan. Metode penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) digunakan dalam penelitian ini dengan melihat bentuk peraturan perundang-undangan dan menelah materi muatannya. Pertanggungjawaban hukum rumah sakit tercantum pada UU Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 46 mengenai Rumah Sakit, dimana bentuk tanggung jawabnya adalah mengganti kerugian kepada pasien yang telah dirugikan karena kelalaian oleh tenaga medis. Selanjutnya perlindungan hukum terhadap hak pasien akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan kesehatan yaitu berupa ganti rugi, baik itu ganti rugi materiil maupun ganti rugi immaterial.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Rumah Sakit, Kelalaian Tenaga Medis.
ABSTRACT
The purpose of this research is to understand the responsibility of the hospital due to negligence of medical personnel in health services. Furthermore, this study intended to grasp the legal protection of patient rights due to negligence of medical personnel in health services. Anormative legal research (Statute Approach) was used as the method by looking at the form of legislation and examining its material's content. The hospital's legal responsibility has been regulated in concerning Hospitals Number 44 of 2009 Article 46 of Law, in which the form of responsibility is to compensate patients who have been harmed by negligence committed by medical personnel. Furthermore, legal protection for patient rights due to negligence of medical personnel in health services is in the form of compensation, both material compensation and immaterial compensation.
Keywords: Responsibility, Hospital, Negligence of Medical Personnel
Rumah sakit selaku bentuk sarana pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan yang berarti serta sangatlah strategis guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Pemerintah sudah besungguh- sungguh dalam melakukan upayanya untuk menjamin serta menaikkan kualitas pelayanan secara preventif,
promotive, kuratif, serta rehabilitasi.1 UU Nomor. 44 Tahun 2009 mengatur mengenai rumah sakit yang secara ekplisit disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) berbunyi “rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat”. Secara yuridis pada Pasal 2 dan 3 Rumah sakit berlandaskan dan berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme, etika, dan kemanusiaan, keselamatan pasien, perlindungan, permasaan hak, pemerataan, anti diskriminasi dan memuat manfaat keadilan serta harus mempunyai dan terdapat fungsi sosial.2 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan sebuah definisi terkait Rumah Sakit yaitu merupakan sebuah “Gedung yang memberikan suatu layanan berupa pelayanan kesehatan dan tempat menyediakan maupun merawat orang yang sakit yang berkaitan dengan berbagai masalah mengenai kesehatan”. Dapat dikatakan, dalam bentuk terselenggaranya upaya pelayanan kesehatan, rumah sakit merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk hal tersebut. Dalam rangka untuk dapat memaksimalkan kesehatan masyarakat dan juga mendukung terselenggaranya pelayanan kesahatan yang optimal, maka negara bertanggungjawab dan memiliki kewajiban mempriotaskan hal tersebut. Pelayanan kesehatan merupakan berbagai hal yang menyangkut tindakan medis dengan pasien yang diperoleh melalui pendidikan sehingga memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memelihara kesehatan masyarakat oleh seorang dokter, perawat serta tenaga kesehatan di rumah sakit lainnya.3 Rumah sakit mempunyai tugas utama yaitu memberikan suatu layanan kesehatan yang ditujukan kepada perorangan, yang dalam hal ini secara paripurna menurut UU No 44 Tahun 2009. Hal tersebut berkaitan dengan pencegahan, pemulihan, penyembuhan, dan pemeliharaan kesehatan dari tenaga kesehatan dalam rangka memberi pelayanan kesehatan pada perorangan. Oleh sebab itu, rumah sakit diharuskan supaya sanggup melakukan pengelolaan kegiatannya, dengan mementingkan tanggung jawab para professional di bidang kesehatan, lebih khusus tenaga kedokteran serta tenaga keperawatan ketika melaksanakan tugas serta kewenangan.4 Berdasarkan UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pada Pasal 1 Ayat (10) di wilayah hukum Indonesia harus menempuh jenjang pendidikan dan memiliki keilmuan tertentu untuk melaksanakan peran sebagai profesi dokter, yang dalam hal ini memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan dijalankan penuh tanggungjawab dan sesuai kode etik. Berdasarkan hukum, tentunya dokter memiliki keterikatan moral dan profesi.5
Tidak sepenuhnya pelayanan medis dapat berjalan dengan optimal di Rumah Sakit dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan. Terkadang dalam pelayanan kesehatan yang dalam hal ini diberikan sering kali dijumpai adanya suatu kelalaian yang terjadi hingga menyebabkan hal yang tidak diingikan seperti; meninggal dunia, lumpuh, catat dan sebagainya yang merupakan malapetaka yang dalam hal ini tanpa disengaja. Rekam medis ialah hal penting di dunia kesehatan, hal tersebut berguna
bagi pasien maupun tenaga medis mengenai pihak rumah sakit ialah sebagai arsip untuk dapat menjadi panduan maupun pedoman dalam menangani pasien dilain waktu yang dipergunakan sebagai Riwayat catatan medis. Rekam medis merupakan dokumen yang dalam hal ini memuat berupa salinan laporan mengenai identitas, pemeriksaan, pengobatan, langkah medis serta pelayanan lain yang diberi dan dilakukan dalam rangka menyembuhkan pasien yang ditegaskan kembali di dalam Pasal 46 UU Praktek Kedokteran tentang kewajiban membuat rekam medis.6 Seperti yang ada di media, baik media elektronik atau media cetak sudah sangat lumrah dijumpai sejumlah berita dimana pasien menuntut dan juga menggugat rumah sakit atas tidak optimalnya layanan kesehatan yang diberikan. Beberapa kasus berupa gugatan yang difokuskan pada pihak Rumah Sakit maupun tenaga medis karena suatu tindakan yang dilakukannya merugikan pasien, yaitu tidak optimalnya layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang semakin meningkat. Pada umumnya gugatan hukum yang diajukan yaitu tentang tuduhan telah adanya kelalaian ataupun suatu malapraktek terkait tindakan berlebihan yang diberikan dalam layanan kesehatan. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 58 ayat (1) Tentang Kesehatan, bahwasanya “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang diterimanya”. Oleh karena itu, pasien bisa menuntut tenaga medis maupun pihak rumah sakit melalui gugatan secara perdata mengenai ini meminta ganti rugi yang diakibatkan oleh kelalaian ataupun kesengajaannya dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 mencantumkan bahwasanya “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkanatas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Kerugian merupakan suatu uang dalam jumlah tertentu yang dalam hal ini diterima pasien dalam rangka pasien bisa kembali kepada kondisi awalnya sebagai kompesasi sebelum adanya sengketa medik.7
Pada praktiknya sering kali upaya tersebut dalam rangka untuk meminta ganti rugi yang diakibatkan karena kelalaian tidak berhasil dan juga tidak mudah, untuk itu perlu kiranya diperjelas mengenai suatu mekanisme pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit maupun tenaga medis yang diakibatkan atas kelalaian di dalam layanan kesehatan. Pihak rumah sakit perlu memetakan mengenai bentuk-bentuk kelalaian yang menjadi tanggungjawab rumah sakit ataupun yang tidak menjadi tanggungjawab rumah sakit. Bersumber pada latar belakang permasalahan, penulis berkeinginan meneliti lebih dalam terkait: “TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT AKIBAT KELALAIAN TENAGA MEDIS DALAM PELAYANAN KESEHATAN”
Penulisan jurnal ini ialah penuangan ide dalam bentuk tulisan yang orisinil. Dimana sejauh pengamatan yang sudah dicoba, belum ditemukan jurnal dengan judul yang sama dengan karya tulis ini. Tetapi demikian, tidak bisa dipungkiri tentunya terdapat sebagian tulisan yang mempunyai konsep yang seragam tetapi mempunyai fokus kajian ataupun kasus yang berbeda dengan tulisan ini. Contohnya seperti penelitian oleh I Gusti Ayu Agung Mas Pradnya Paramitha serta Ida Bagus Putu Sutama tahun 2018 dengan judul “Perlindungan Terhadap Hak Pasien Dalam Memperoleh Ganti Kerugian Oleh Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Kesalahan Atau Kelalaian”. Pada karya tersebut mempunyai keterkaitan ialah mangulas tanggung jawab Rumah Sakit pada hak pasien. Tetapi, ada perbandingan fokus kasus yang
dibahas. Karya tulis ini lebih mangulas mengenai tanggung jawab rumah sakit diakibatkan kelalaian tenaga medis pada pelayanan kesehatannya.
-
1. Bagaimana tanggung jawab rumah sakit akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan kesehatan?
-
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak pasien akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan kesehatan?
Tujuan daripada penelitian ini ialah guna memahami serta mengetahui bagaimana tanggung jawab rumah sakit akibat kelalaian tenaga medis dalam pelayanan Kesehatan. Lebih lanjut penelitian ini memiliki tujuan agar memahami perlindungan hukum pada hak pasien akibat kelalaian tenaga medis terkait pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Penelitian jurnal berjudul “Tanggung Jawab Rumah Sakit Akibat Kelalaian Tenaga Medis Dalam Pelayanan Kesehatan” ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Metode tersebut merupakan metode yang digunakan dalam penelitian hukum dari perspektif internal dengan norma hukum sebagai objek penelitian, yang berangkat dari terdapatnya problem norma ialah terdapatnya kekaburan norma pada UU Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 Pasal 46, yang menetukan bahwa rumah sakit bertanggunjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga medis di rumah sakit. Implikasi dari ketentuan itu ternyata tidak mudah bagi masyarakat/pasien untuk melakukan gugatan ganti kerugian rumah sakit, karna ternyata terdapat alasan-alasan yang dapat menyebabkan tidak semua kelalaian tenaga medi dirumah sakit merupakan tanggung jawab pihak rumah sakit. Alaan-alasan terebut seperti: tenaga kesehatan/tenaga medis tersebut bukan pekerja dirumah sakit, tidak diketahui bagian mana yang termasuk dalam perjanjian terapeutik dengan dokter dan bagian mana yang termasuk ke dalam kontrak denga rumah sakit. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan bahan hukum yaitu metode riset dokumen, dan analisis yang dilaksanakan dengan cara deduktif yaitu suatu pola penarikan simpulan dari hal umum kepada hal lebih khusus.
-
3 . Hasil dan Pembahasan
Undang-undang mengenai rumah sakit diselenggarkaan agar dapat memberikan dan mensejahterakan kesehatan di masyarakat. Tanggungjawab rumah sakit dalam memberikan kesehatan didasari pada aspek profesi, etika, perdata, administrasi, dan pidana.8 UU rumah sakit memberi perlindungan dan jaminan kepada pasien maupun tenaga medis yang berkaitan dalam layanan kesehatan. Dan juga memberikan
kepastian dalam rumah sakit untuk memaksimalkan fungsi manajemen, mengatur dan mengontrol berbagai hal yang menjadi tanggungjawab rumah sakit sehingga bisa meminimalisir berbagai hal yang tentunya bisa merugikan pasien. Terjamin dan terlindunginya tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan merupakan salah satu bukti dari terjaminnya hak pasien di rumah sakit yang secara yuridis termuat pada UU No 44 Tahun 2009 Pasal 46. Akibat kelalaian tenaga kesehatan dirumah sakit, dan berdasarkan pada pasal tersebut maka seluruh kerugian yang menimpa seseorang, rumah sakit wajib bertanggungjawab. Apabila terjadi kelalaian karena tenaga medis yang menimbulkan kerugian, maka berdasarkan penasfiran dari pasal 46 tersebut rumah sakit harus dapat bertanggungjawab. Namun, apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan merupakan suatu kelalaian dari rumah sakit maka rumah sakit tak dapat bertanggungjawab. Kemudian apabila suatu kelalaian terjadi dan dilakukan di rumah sakit, maka rumah sakit diharuskan melakukan pertanggungjawaban.9
Saat ini, tugas, fungsi dan kewajiban serta penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia, diatur dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Pasal 4). Dengan adanya tugas rumah sakit tersebut, maka selanjutnya fungsi rumah sakit di Indonesia ditentukan, sebagai berikut. Pertama, menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Kedua, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis. Ketiga, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dan keempat, penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Pasal 5). Sehubungan dengan tugas dan fungsi rumah sakit tersebut, maka rumah sakit mempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu hal-hal yang harus diperbuat atau sesuatu hal yang harus dilaksanakan. Kewajiban terdiri kewajiban sempurna dan kewajiban tidak sempurna. Kewajiban sempurna yaitu kewajiban yang selalu dikaitkan dengan hak orang lain, sedangkan kewajiban tidak sempurna adalah kewajiban yang tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna dasarnya adalah kewajiban, dan kewajiban tidak sempurna dasarnya adalah moral. Dari aspek hukum, kewajiban adalah bentuk beban yang diberikan atau ditentukan oleh hukum kepada orang atau badan hukum.10
Harus terdapat suatu konsesus bersama diantara tenaga dan medis dan pasien, apabila akan dilakukannya suatu tindakan medis dirumah sakit. Persetujuan medis berfungsi ganda, yakni berfungsi bagi tenaga medis namun disisi lain berfungsi juga bagi pasien. Bagi tenaga medis, apabila dikemudian hari ditemukan adanya suatu gugatan ataupun tuntutan dari pihak keluarga ataupun pasien apabila timbul suatu akibat yang tidak diinginkan namun nyatanya telah terlebih dahulu adanya kesepakatan dan konsesus bersama sebelum suatu tindakan medis dilakukan maka hal tersebut dapat menjadi pembelaan diri. Bagi pasien, persetujuan tindakan medis sangat memberikan rasa nyaman dan aman ketika melaksanakan sebuah tindakan medis dan selaku alat pembelaan diri apabila terjadi ataupun terdapat sebuah tindakan malpraktik yang dilakukan tenaga medis sehingga dapat menuntut ataupun
menggugat pelayanan kesehatan tersebut atas diabaikannya hak-hak dari pasien. Di dalam sarana kesehatan, pada tindakan medis yang beresiko tinggi dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal persetujuan tindakan medis karena hal tersebut berkaitan dengan kewajiban yang tertuang dalam hal ini pada rekam medis. Berkas yang mencakup berbagai hal terkait identitas pasien, berbagai tindakan serta pelayanan yang berkaitan dengan pemeriksaan dan pengobatan merupakan suatu hal tentang praktek kedokteran yang secara yuridis rekam medis termuat pada UU No. 29 Tahun 2004. Apabila timbul suatu kerugian pada pasien, maka pasien tersebut berhak untuk menuntut ataupun meminta pertanggungjawab dari tenaga medis atas suatu kelalaian yang timbul terhadap dirinya. Kesepakatan diawal yang diikat dengan perjanjian ataupun kontrak oleh kedua belah pihak yakni pasien dan tenaga medis, bisa menjadi suatu bukti otentik untuk menakar sejauh mana tanggungjawab yang akan ditanggung apabila terjadi suatu kelalaian atas suatu tindakan medis apabila dilihat dari segi keperdataan. Dalam hal ini kelalaian tenaga medis dalam pelayanan kesehatan yang tentunya akan merugikan pasien bisa menggunakan Pasal 1371 KUHPerdata ini sebagai dasar hukumnya sehingga korban mempunyai hak menuntut pergantian biaya pengobatan serta kerugian oleh luka ataupun cacat karena tenaga medis tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban kontraktual dengan melakukan kesalahan secara professional.11 Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dapat dijadikan dasar untuk meminta pertanggungjawaba dalam hal ini ditujukan kepada dokter, apabila dalam melakukan suatu tindakannya bertentangan dengan berbagai azas, diantaranya: kehatian-hatian dan kepatutan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik profesinya.12
“Kelalaian institusi” (corporate negligence) merupakan hal yang harus ditanggung oleh konstitusinya apabila ditemukannya suatu kelalaian tenaga medis ketika melaksanakan suatu tindakan medis di rumah sakit pada pasiennya. Hal ini dikarenakan rumah sakit dinilai kurang melakukan kontrol dan pengawasan sehingga menyebabkan kelalaian. Karena berdasarkan doktrin tersebut rumah sakitsebagai suatu institusi yang berperan memberikan layanan pengobatan (cure and care) harus dapat memantau segala aktivitas yang terjadi dan bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi di dalam wilayahnya. Berkembangnya berbagai aspek dalam hal penguasaan teknologi dan hukum kesehatan mendorong rumah sakit untuk dapat lebih adaptif dan juga tidak bisa serta merta lepas dari tanggungjawabnya, yang dalam hal ini termasuk berbagai hal yang dilakukan dan dijalankan oleh tenaga kesehatan yang bernaung dibawah institusi rumah sakit terkait.13 Pengaturan terkait rumah sakit secara yuridis yang dalam hal ini berkaitan dengan tanggungjawabnya termuat di dalam Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009. Dengan timbulnya ketentuan terkait, dalam hal ini rumah sakit yang berperan dalam memberikan layanan kesehatan serta juga sebagai institusi yang melakukan tindakan medis dan membawahi tenaga medis harus dapat bertanggungjawab atas segala hal yang berhubungan dengan kelalaiannya yang dilakukan oleh tenaga medisnya. Corporate Liability merupakan doktrin yang diterapkan dalam rumah sakit, yang memiliki implikasi dan konsekusi yuridis kepada rumah sakit agar dapat bertanggungjawab atas kewajibannya dan segala peristiwa
yang dalam hal ini terjadi di rumah sakit. Doktrin terkait, mengharuskan kepada rumah sakit agar dapat mengontrol juga selalu mengawasi segala hal yang berkaitan dengan lingkup pekerjaan yang dilakukan bawahannya agar dapat diminimalisir terjadinya suatu kerugian yang diakibatkan oleh kelaliannya. Bentuk tanggung jawabanya adalah dengan mengganti kerugian kepada pasien yang telah dirugikan dengan adanya kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis.
Hukum dibuat agar dapat mengatur segala hal yang dilakukan dan dijalankan oleh warga negaranya, sehingga unsur perlindungan hukum merupakan hal mutlak yang harus ada dalam suatu negara. Karena hal tersebut mendorong terjadinya sebuah interaksi sesame warga negara dengan warga negara lainnya.14 Pasien adalah seorang konsumen karena ia merupakan seorang pemakai jasa, yaitu jasa seorang dokter. Pasien sebagai konsumen dalam jasa pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sebagai konsumen akhir, karena pasien tidak termasuk kedalam bagian dari produksi. Sifat konsumeristik dari pelayanan kesehatan tampak dari adanya pergeseran paradigma pelayanan kesehatan dari yang semula sosial berubah menjai menjafi sifat komersial karena pasien haruis mengeluarkan biaya cukup tinggi untuk upaua kesehatannya. Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyebutkan hak pasien yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter, mendpatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis.
Agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan oleh pasien dalam hal ini diberikan suatu hal terkait mekanisme perlindungan hukumnya yang diatur dan diakomidr di dalam berbagai norma-norma dan peraturan-peraturan terkait yang melindungi hak dan kewajibannya. Antaratenaga kesehatan dan pasien yang berkaitan dengan perlindungan hukumnya diantaranya, yaitu; pertanggungjawab hukum dan cara penyelesaiannya serta hak-hak dan kewajiban yang dimilikinya. Hal tersebut dapat merujukan pada suatu perikatan yang dalam hal ini terkandung di dalam KUHPerdata yang melambangkan hubungan antara pasien dan dokter tersebut. Karena Undang-Undang ataupun karena perjanjian suatu perikatan dapat timbul karena pada hakikatnya suatu transaksi terapeutik tidak dapat lepas dari kedua sumber yang dalam hal ini termasuk perikatan tersebut karena hal itu sangat jelas sebuah perikatan, yaitu dalam hal ini adanya hubungan hukum diantara pasien dan dokter dalam memberikan ataupun melakukan pelayanan medik.
Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan berhati-hati didalam melaksanakan tugas medis. Dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka sudah tentu menjadi kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan u tuk mengganti kerugian. Korban dari tindakan tersebut mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga sangat wajar kalau mereka yang dirugikan menapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang dirugikan.
Pada KUHPerdata Pasal 1365, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Terdapat hubungan kasual antara kegurian dan perbuatan dalam pasal tersebut. Dikenal dua konsep ganti rugi dalam bidang hukum, yaitu secara yuridis diantaranya:
-
a. Konsep ganti rugi dikarenakan adanya wanprestasi
-
b. Konsep ganti rugi dikarenakan suatu perikatan dalam hal ini mencakup perbuatan melawan hukum.
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya” hal tersebut didasarkan pada rumusan yang terpadat dalam UU No. 36 Tahun 2009 pasal 58 ayat 1 tentang Kesehatan. Pemberian hak ganti rugi merupakan salah satu upaya dalam memberikan erlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting mengingat akibat kelalaian atau kesalahan itu dapat mengakibatkan kematian atau menimbulkan cacat yang permanen. Yang dimaksud kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang.
Dokter yang telah melaksanakan suatu tindakan malpraktek dapat diadukan ataupun dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Dinas Kesehatam Kepolisian, serta Jaksa baik secara lisan maupun tertulis yang kemudian dapat didaftarkan gugatannya dalam hal ini secara perdata yang ditujukan kepada wilayah hukum Pengadilan Negeri setempat yang dalam hal ini mengakibatkan suatu kerugian bagi pasien.15 Karena kelalaian ataupun kesehatan yang ditimbulkan oleh pihak rumah sakit baik secara fisik dan non fisik yang menyebabkan kerugian bagi pasien, maka diperlukannya suatu bentuk pemberian ganti rugi atas hal tersebut yang dalam hal ini sebagai suatu upaya nyata dalam memberikan perlindungan hukum. Dalam hal ini fisik yang dirugikan yaitu hilangnya berbagai fungsi yang terdapat pada organ tubuh baik sebagaian ataupun secara keseluruhan, sementara yang dimaksud dengan kerugia non fisik yaitu adanya suatu kerugian materiil yang dalam hal ini dialami oleh pasien.
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang terdapat dikala ini belum mengatur secara tegas mengenai tingkatan kesalahan dokter dalam melakukan malpraktek berkaitan dengan ganti rugi yang dapat diterima oleh seseorang pasien. Sebuah kerugian ialah sejumlah uang tertentu yang wajib didapatkan penderita selaku kompensasi dengan tujuan penderita bisa Kembali ke kondisi awal seperti dikala saat sebelum adanya sengeta medik. Namun tidak mudah kerugian yang dialami disebut menyebabkan kecederaan maupun kematian, sehingga kerugian terkait haruslah dihitung dengan benar adanya agar mencapai jumlah yang sangat layak (reasonable maupun fair) dikarenakan sebuah kecederaan sukar dihitung pada wujud finansial. Mengenai perlindungan hukum pada pasien korban malpraktek untuk menuntut sejumlah ganti rugi diatur pada Pasal 58 ayat 1 UU Kesehatan yang menerangkan “tiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, serta ataupun penyelenggaran kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan”. Namun, pasal tersebut tidak mengatur lebih lanjut besaran ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pasien berdasarkan tingkat kesalahan dokter. Pada UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 58 tentang Kesehatan dikatakan juga “yang termasuk kerugian akibat pelayanan kesehatan termasuk didalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran.” Oleh sebab itu, untuk memberikan penjelasan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi agar lebih jelas, perlu mengikuti
peraturan pemerintah atau Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan).16 Kesempatan untuk menggugat harus memenuhi 4 unsur, yaitu terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat), dan ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian itu.
4.Kesimpulan
Tanggung jawab rumah sakit yang menyebutkan bahwasanya: “rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang disebabkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit” tercantum pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 46 mengenai Rumah Sakit. Perihal ini bisa diartikan bahwa rumah sakit memiliki tanggung jawab akan kelalaian yang ditimbulkan tenaga medis ketika melaksanakan tindakan medisnya. Ditambah lagi dengan terdapatnya doktrin Corparate Liability mengharuskan rumah sakiit untuk bertanggung jawab secara hukum atas seluruh peristiwa yang terjalin di rumah sakit. Wujud tanggung jawabnya merupakan dengan mengganti kerugian kepada pasien yang sudah dirugikan dengan terdapatnya kelalaian oleh tenaga medis. Ketentuan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 adalah dasar hukum untuk pasien dalam menuntut pertanggungjawaban pihak rumah sakit bilamana pasien mengalami luka atau cacat karena kelalaian tenaga medis tidak melaksanakan kewajiban. Konsep pertanggungjawaban rumah sakit dalam kerugian yang diterima pasien dikarenakan lalainya tenaga kesehatan berbeda-beda, yang mana ganti rugi tersebut dapat berupa gugatan hukum yang diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum maupun gugatan hukum yang diajukan berdasarkan wanprestasi. Gugatan hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum diajukan dalam upaya mendapatkan ganti rugi berupa keadilan untuk pasien ataupun keluarga yang dirugikan karena kelalaian daripada tenaga kesehatan, yang dapat berupa ganti rugi secara materiil dan ganti rugi secara immaterial. Berbeda dengan gugatan hukum yang diajukan berdasarkan wanprestasi yang dalam hal ini hanya dapat diajukan utuk mendapatkan gani rugi materiil saja.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Marwan dan Jimm. Kamus Hukum: Dictionary Of law Complete Edition. Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Soekanto, Soerjono, dan Kartono Muhamma. Aspek Hukum Dan Etika Kedokteran Indonesia. (Jakarta: Grafiti Press, 2007).
Jurnal Ilmiah
Adnyana, Gede Prasetia, dan I Wayan Bela Siki Layang. “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Dokter Yang Melakukan Kesalahan Tindakan Kedokteran Kepada Pasien.”, Jurnal Kertha Semaya 01, No. 06 (2013).
Arini, Kadek dan Ida Bagus Putra Atmadja. “Pengaturan Tingkat Kesalahan Dokter Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi Pada Pasien Korban Malpraktek.” Jurnal Kertha Wicara 5 No. 04 (2016).
Asvatham, Ni Komang Hyang Permata Danu, dan Sagung Putri M.E Purwani. “Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Apabila Melakukan Malpraktik Medis.” Jurnal Kertha Semaya 8, No. 4 (2020).
Ernika, Kadek Riska, dan Komang Pradnyana Sudibya. “Analisis Pertanggungjawaban Perdata Seorang Dokter Kasus Malpraktek.” Jurnal Kertha Semaya 6, No. 12 (2018).
Isliko, Firdalia Emyta Nurdiana, Gde Made Swardhana, dan I Made Walesa Putra. “Pertanggungjawaban Pidana terhadap tenaga Medis Yang Melakukan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran.” Jurnal kertha Wicara 7, No. 2 (2018).
Mingkid, Billy Imanuel. “Implikasi Yuridis Pasal 46 UU No 44 Thn 2009 Tentang rumah Sakit Terhadap Kelalaian Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan Dalam hal Ini Tenaga Medis.” Jurnal Lex Et Societatis 8, No.1 (2020).
Nurdin, M. “Perlindungan hukum Terhadap Pasien Atas Korban Malpraktek Kedokteran.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 10 No. 1 (2015).
Ratih, Gusti Agung Nyoman Ananda Devi Semara, dan Sagung Putri M. E Purwani. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemalsuan Rekam Medis Oleh Tenaga Medis.” Jurnal Kertha Wicara 8, No. 8 (2019).
Sutopo, J.K. “Studi Evaluasi Pelayanan Informasi RSUD dr. Raden Soedjati Soemodiardjo Kabupaten Grobogan Tahub 2012.” Jurnal of Rural and Development 3, No. 1 (2012).
Syamsyu, Zulhasmar, dan VennySulistyawati. “Pertanggujawaban Perdata Seorang Dokter Dalam Kasus Malpraktek Medis.” Lex Jurnalica 8, No. 3 (2011).
Tawaris, Thegra. “Tanggung Jawab Menurut Hukum Perdata Rumah Sakit Akibat Kelalaian Tenaga Medis.” Jurnal Lex Et Societatis 5, No.3 (2017).
Tendean, Michael Eman. “Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Tindakan Dokter Yang Melakukan Malpraktek.” Jurnal Lex Et Societatis 7, No. 8 (2019).
Wahyudi, Setya. “Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan.” Jurnal Dinamika Hukum 11, No. 3 (2011).
Widjaja, Sutono. “Perlindungan hukum Bagi Pasien Selaku Konsumen Terhadap Tindakan Malpraktik Di Bidang Kesehatan.” Jurnal Rechtens 9, No. 1 (2020).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No. 2 Tahun 2022, hlm. 224-233
Discussion and feedback