KEPASTIAN HUKUM JUAL BELI PAKAIAN IMPOR BEKAS

Ni Made Dwik Rusniati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i12.p04

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana konflik norma yang terjadi antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan mengenai jual beli pakaian impor bekas dan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian konflik norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta pendekatan konseptual. Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa konflik norma antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum terhadap jual beli pakaian impor bekas di Indonesia. Berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori dan asas lex specialis derogat legi generalis maka yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Kata Kunci : Konflik Norma, Pakaian Bekas, Impor, Penyelesaian Konflik

ABSTRACT

This study aims to find out how the conflict of norms that occurs between Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 7 of 2014 concerning Trade regarding the sale and purchase of second-hand imported clothes and to find out how to resolve the conflict of norms between Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection with Law Number 7 of 2014 concerning Trade. This study uses a normative juridical research method with a statutory approach, namely Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 7 of 2014 concerning Trade as well as a conceptual approach. The results of the study show that the conflict of norms between Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 7 of 2014 concerning Trade causes legal uncertainty regarding the sale and purchase of used imported clothing in Indonesia. Based on the lex posterior derogat legi priori principle and the lex specialis derogat legi generalis principle, Law Number 7 of 2014 concerning Trade applies.

Keywords: Norms Conflict, Used Clothing, Imports, Conflict Resolution

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, seperti yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pada konstitusi yang mengatur, sudah tentu Indonesia tunduk terhadap hukum yang berlaku. Produk

hukum di Indonesia yaitu peraturan perundang-undangan. Lahirnya peraturan perundang-undangan diharapkan mampu mengontrol tingkah laku manusia atau disebut dengan hukum sebagai alat kontrol sosial.1 Walaupun diharapkan demikian, kenyataannya masih terdapat permasalahan yang dijumpai pada peraturan perundang-undangan seperti, “kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.”2 Permasalahan tersebut tentunya memiliki akibat terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Berdasarkan permasalahan Peraturan Perundang-Undangan tersebut, satu dari tiga permasalahan yang penting untuk diketahui yaitu konflik antar norma hukum. Konflik norma hukum memiliki pengertian bahwa terdapat pertentangan antara satu aturan dengan aturan yang lain.3 Konflik antar norma hukum ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Konflik norma yang bersifat vertikal yaitu ketidaksesuaian peraturan yang kedudukannya lebih rendah dengan yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Sedangkan konflik norma yang bersifat horizontal yaitu ketidaksesuaian antara peraturan yang sederajat.4 Sifat dari konflik norma ini dilihat berdasarkan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Konflik antar norma hukum mengakibatkan keragu-raguan penggunaan undang-undang dan tidak tercapainya satu dari tiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik atau pertentangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UU Perdagangan). Pertentangan antara undang-undang tersebut merupakan konflik norma yang bersifat horizontal karena bersumber pada hierarki peraturan perundang-undangan keduanya mempunyai kedudukan yang sederajat. Kedua peraturan perundang-undangan ini sama-sama memiliki ketentuan pasal yang mengatur mengenai jual beli pakaian bekas. Meskipun sama-sama mengatur mengenai penjualan pakaian bekas, apabila dilihat terdapat perbedaan yang sangat terlihat antara kedua undang-undang ini. Pada Pasal 8 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen yang pada intinya mengatur bahwa pelaku usaha tidak diizinkan melakaukan perdagangan barang bekas, kecuali sebelumnya telah menginformasikan bahwa barang tersebut merupakan barang bekas. Apabila ditelaah, ketentuan pasal ini memberikan izin kepada pelaku usaha untuk mengadakan jual beli barang bekas dimana pakaian bekas baik impor ataupun tidak juga termasuk di dalamnya dengan catatan telah memberikan informasi bahwa barang tersebut merupakan barang bekas. Untuk menjamin kepastian hukum jual beli pakaian bekas berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, maka penjual dan pembeli harus sepakat melakukan perjanjian berdasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Tetapi berbeda dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) UU Perdagangan dengan tegas mengatur bahwa, “setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.” Terlihat jelas antara UU Perlindungan

Konsumen dan UU Perdagangan mengatur dua hal yang sama tetapi saling bertentangan. Kedua ketentuan ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum karena ketidakselarasan undang-undang itu sendiri.

Akibat adanya konflik norma dan ketidaktahuan masyarakat terhadap hukum yang berlaku menjadikan jual beli pakaian impor bekas banyak di Indonesia. Masyarakat menjadi konsumen pakaian bekas juga dikarenakan tuntutan kebutuhan yaitu kebutuhan terhadap pakaian. Kebutuhan akan pakaian ini membuat banyak produk-produk pakaian yang dicari oleh masyarakat seperti baju dan celana. Seiring dengan perkembangan, kebutuhan terhadap pakaian kini sudah menjadi tren. Sekarang bukan sekedar untuk menutup dan melindungi tubuh tetapi juga memberi kesan indah bagi penggunanya. Oleh karena itu, minat masyarakat terhadap pakaian terus meningkat. Minat terhadap pakaian diminati oleh semua golongan masyarakat, baik golongan rendah, menengah, dan atas. Pakaian yang banyak peminatnya adalah pakaian-pakaian merek dari luar negeri. Pakaian merek luar negeri oleh sebagian masyarakat dipercaya memiliki ciri khas sebagai peningkat status sosial dan dianggap lebih fashionable. Kualitas pakaian merek luar negeri juga dianggap lebih bagus, akan tetapi harganya juga pasti lebih mahal. Masyarakat dari status sosial atas tidak akan kesulitan untuk memenuhi keinginannya membeli pakaian merek luar negeri. Masyarakat dari status sosial menengah bahkan rendah akan memikirkan dua kali untuk membelinya. Hal ini sudah tidak berlaku lagi, sekarang muncul solusi bagi masyarakat yang ingin menghemat pengeluarannya untuk membeli pakaian merek luar negeri yaitu dengan membeli pakaian impor bekas. Maraknya pedagang di Indonesia yang melakukan jual beli pakaian impor bekas memberikan kemudahan bagi masyarakat selaku pembeli yang berminat membeli pakaian merek luar negeri yang dilihat dari segi harga lebih murah.

Tanpa disadari bahwa jual beli pakaian bekas ini bisa dibilang legal ataupun illegal karena peraturan yang mengatur yaitu UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan memiliki tumpang tindih dimana ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak terhadap jual beli barang bekas. Selain dari segi hukum penggunaan pakaian bekas juga harus ditimbang kembali karena dilihat dari segi kesehatan tentunya pakaian bekas ini memiliki kandungan yang membahayakan bagi tubuh.5 Sebelumnya pernah dilakukan penelitian sejenis tentang pakaian impor bekas dengan judul penelitian “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penjualan Pakaian Bekas Impor Yang Merugikan Konsumen Di Pasar Kodok Tabanan oleh A.A. Sagung N. Indradewi dan Ni Putu Sri Windayati” yang dimuat dalam jurnal Kerta Dyatmika Fakultas Hukum Universitas Dwijendra. Adapun dalam jurnal tersebut memiliki sudut pandang dari segi perlindungan konsumen terhadap konsumen pakaian bekas di Pasar Kodok Tabanan dan penelitian tersebut merupakan penelitian empiris. Dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan tersebut, maka dalam penulisan penelitian ini penulis membahas sudut pandang yang berbeda yaitu dari segi konflik norma mengenai pengaturan jual beli pakaian impor bekas dan penyelesaian konflik norma tersebut serta penelitian ini merupakan penelitian normatif. Oleh karena hal tersebut sehingga penulis tertarik untuk membuat tulisan yang berjudul “Kepastian Hukum Jual Beli Pakaian Impor Bekas”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana konflik norma yang terjadi antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2014 mengenai jual beli pakaian impor bekas ?

  • 2.    Bagaimana penyelesaian konflik norma antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2014 mengenai jual beli pakaian impor bekas ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui konflik norma yang terjadi antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2014 mengenai jual beli pakaian impor bekas.

  • 2.    Untuk mengetahui penyelesaian konflik norma antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2014 mengenai jual beli pakaian impor bekas.

  • 2.    Metode Penelitian

Bersumber persoalan yang terkandung pada penelitian ini yaitu konflik norma antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan mengenai jual beli pakaian impor bekas, sehingga penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sebagaimana menurut pendapat Soerjono Soekanto yang memberikan pengertian “penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.”6 Adapun penggunaan pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan Peraturan Perundang-Undangan dan Pendekatan Konseptual. “Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis semua Peraturan Perundang-Undangan dan regulasi yang memiliki kaitan dengan isu”.7 Dalam penelitian ini penulis akan menelaah aturan terkait perdagangan pakaian yang dimasukan ke Indonesia yang asalnya dari luar negeri. Peraturan yang digunakan yaitu : UU Perlindungan Konsumen, UU Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2020 Tentang Barang Dilarang Impor. Kedua; pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual yaitu bahan hukum dianalisa kemudian dapat ditemukan arti yang terkandung pada istilah-istilah hukum. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan konseptual untuk menemukan penyelesaian konflik norma yang terjadi antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder berupa: buku, doktrin yang memiliki kaitan dengan persoalan yang dibahas. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum juga digunakan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konflik Norma Yang Terjadi Antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 2014 Mengenai Jual Beli Pakaian Impor Bekas

Sebagaimana yang kita ketahui bersama manusia merupakan mahluk yang tidak terlepas dari kebutuhan dan juga keinginan. Kebutuhan dan keinginan merupakan hal penting dari kehidupan manusia tetapi antara kebutuhan dan keinginan memiliki nilai yang berbeda. Dari dua hal tersebut yang paling penting adalah kebutuhan, karena apabila kebutuhan tidak terpenuhi maka kehidupan manusia akan terganggu.

Pemenuhan terhadap kebutuhan manusia tersebut terdiri dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan.8 Kebutuhan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan pokok manusia atau disebut dengan kebutuhan primer.9 Isu yang hangat mengenai kebutuhan sandang menjadikan kebutuhan sandang sebagai salah satu yang penting untuk dibahas. Kebutuhan sandang yaitu kebutuhan akan pakaian. Tidak bisa disangkal bawasannya pakaian menjadi bagian yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan manusia. Hal inilah yang menjadikan pakaian banyak diminati dan dicari. Pakaian bukan hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan tetapi lebih dari itu, yaitu untuk memberikan rasa puas terhadap penggunanya. Tren yang ada di Indonesia saat ini yang berhubungan dengan pakaian adalah maraknya jual beli pakaian bekas. Banyak pedagang yang menjual pakaian bekas dan masyarakat juga merasa nyaman-nyaman saja untuk membelinya. Tanpa disadari bahwa dalam jual beli pakaian bekas terdapat beberapa hal yang masih perlu ditimbang kembali.

Hal pertama yang harus ditimbang kembali sebelum melakukan jual beli pakaian bekas adalah dari segi kesehatan. Pakaian bekas sudah tentu pakaian yang dijual kembali setelah digunakan oleh pengguna sebelumnya. Hal yang tidak diketahui adalah bagaimana pakaian-pakaian tersebut dikumpulkan dan dipilah kembali sebelum dijual. Proses yang tidak diketahui ini bisa berbahaya karena kandungan-kandungan yang terdapat dalam pakaian bekas jika tidak diproses dengan baik akan sangat membahayakan bagi kesehatan manusia. Berdasarkan hasil uji sampel yang telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bahwa terdapat beberpa jenis mikroorganisme yang terkandung dalam pakaian bekas, diantaranya yaitu bakteri escherichia coli (e-coli), jamur kapang, dan staphylococcus aures.10

Permasalahan selanjutnya mengenai jual beli pakaian bekas yaitu berkaitan dengan hukum. Permasalahan hukum terkait jual beli pakaian bekas menjadi hal utama yang perlu dibahas karena berkaitan dengan masalah regulasi. Hukum menjadi paying utama apakah pakaian bekas khususnya pakaian impor bekas bisa masuk ke Indonesia atau tidak. Hukum diharapkan tegas sehingga tidak terjadi tumpeng tindih dalam penerapannya di masyarakat. Tetapi hal ini dirasakan belum maksimal karena sampai sekarang terdapat permasalahan mengenai hukum, salah satunya peraturan perundang-undangan yang mengatur atas jual beli pakaian bekas khusunya pakaian impor bekas.

Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai jual beli pakaian bekas. Melalui UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan, pemerintah telah memberikan aturan terkait dengan jual beli pakaian bekas. UU Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai jual beli pakaian bekas, yang diatur pada ketentuan Pasal 8 Ayat (2) menyatakan bahwa, “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.” UU tersebut sudah mengatur tentang barang yang dilarang dipergagangkan dengan mempertimbangkan beberapa alasan, yaitu rusak, atau bekas, dan tercemar. Apabila ketiga poin ini terdapat dalam barang yang diperdagangkan

maka barang tersebut dilarang untuk dijual. Tetapi melihat ketentuan pasal tersebut lebih lanjut, pasal tersebut memperbolehkan perdagangan barang bekas dengan terpenuhinya syarat bahwa pedagang telah menginformasikan dengan apa adanya mengenai kondisi barang yang dijual. Barang yang dimaksud oleh pasal ini termasuk juga pakaian. Pakaian bekas baik impor maupun dari dalam negeri menurut ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen diperbolehkan untuk dijual dan dibeli dengan syarat pedagang telah memberikan informasi bahwa pakaian yang dijual merupakan pakaian bekas baik impor maupun tidak. Untuk dapat melakukan transaksi pakaian bekas maka sebelumnya antara penjual dan pembeli harus melakukan kesepakatan sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Dimana pasal tersebut mengatur perihal syarat sahnya perjanjian. Transaksi antara penjual dan pembeli pakaian bekas harus dilakukan persetujuan terlebih dahulu agar pakaian bekas tersebut dapat diperdagangkan.

Jual beli pakaian bekas juga diatur dalam UU lain, yaitu dalam UU Perdagangan. Pengaturan jual beli pakaian bekas dalam UU Perdagangan diatur dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (1), “setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.” Berarti pengaturan terhadap jual beli pakaian bekas oleh UU ini tidak diperbolehkan. Sebab telah dinyatakan bahwa barang yang memperoleh izin impor ke Indonesia patut memiliki kondisi baru. Ini juga berlaku terhadap pakaian yang diimpor. Pakaian yang diimpor harus dalam kondisi baru, artinya pakaian bekas tidak boleh diimpor untuk alasan apapun termasuk untuk dijual. Selanjutnya Pasal 47 Ayat (2) UU Perdagangan menyatakan, “dalam hal tertentu menteri dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.” Ini berarti apabila terdapat peraturan Menteri yang menerangkan barang boleh diimpor dalam kondisi bekas, maka barang bekas boleh diimpor. Tetapi tidak ada peraturan menteri yang memperbolehkan impor pakaian bekas, justru sebaliknya. Kemudian pada pasal 51 Ayat (2) UU Perdagangan menyatakan, “importir dilarang mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diimpor.” Merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, yang mana Permen ini adalah turunan dari Pasal 47 Ayat (1) UU Perdagangan, dalam pasal 2 sudah diatur bawasannya pakaian bekas dilarang diimpor ke Indonesia. Kemudian larangan ini diperkuat kembali dengan diundangkannya Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan No. 12 Tahun 2020 Tentang Barang Dilarang Impor, yang mana Peraturan Menteri ini merupakan turunan dari Pasal 51 Ayat (3) UU Perdagangan. Pada ketentuan Pasal 2 Ayat (3) menyatakan barang yang termasuk dalam barang dilarang impor telah dicantumkan dalam lampiran diperaturan Menteri ini. Pada lampiran II peraturan Menteri ini telah dinyatakan tegas bahwa yang termasuk dalam barang dilarang impor salah satunya adalah pakaian bekas.

Berbicara mengenai konflik norma hukum (antinomi hukum) yang memiliki arti bahwa terdapat suatu aturan dan suatu aturan lain yang mengatur hal sama tetapi saling bertentangan. Berdasarkan pengertian tersebut maka kedua aturan tersebut yaitu UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan mengalami konflik. Keduanya mengatur hal yang sama yaitu mengenai jual beli pakaian bekas tetapi ada beberapa hal yang menjadi tumpang tindih diantara keduanya. Pertama, UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pakaian bekas dapat dijual dan dibeli dengan syarat bahwa pedagang telah memberikan informasi kepada konsumen secara lengkap dan benar bahwa pakaian tersebut merupakan pakaian bekas. Sedangkan dalam UU Perdagangan mengatur hal yang lain yaitu dinyatakan dengan tegas bahwa, “barang yang diimpor harus dalam keadaan baru”. Artinya pakaian yang sudah pernah dipakai atau

digunakan tidak diperbolehkan untuk diimpor. Peraturan Menteri juga mengatur demikian, bahwa pakaian bekas tidak memiliki izin impor. Kedua, UU Perlindungan Konsumen tidak menentukan barang bekas yang dapat dijual tersebut apakah hasil impor atau tidak. Sehingga dapat dianalisis bahwa berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, barang bekas termasuk didalamnya pakaian bekas baik yang impor ataupun tidak dapat dijual dan dibeli dengan catatan telah memberikan informasi mengenai kondisi barang terhadap konsumen. Sedangkan UU Perdagangan secara tegas menyatakan larangan terhadap barang impor bekas termasuk pakaian bekas. Akibat dari adanya konflik norma ini tentunya berimbas terhadap masyarakat. Masyarakat yang menjadi penjual atau pembeli akan merasa aman menjual dan mengkonsumsi pakaian bekas tetapi tanpa disadari bahwa secara hukum hal ini masih menjadi pertanyaan dikarenakan adanya konflik norma.

  • 3.2    Penyelesaian Konflik Norma Antara UU No. 8 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun

    2014 Mengenai Jual Beli Pakaian Impor Bekas

Bagian penting dari negara hukum ialah Peraturan perundang-undangan karena memuat peraturan yang mengikat masyarakat sehingga masyarakat tunduk pada hukum dan hidup damai sebagai mahluk sosial. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah, selain dilihat dari tahapan yang panjang juga menyangkut kepentingan masyarakat. Suatu hal yang berkaitan dengan orang banyak merupakan hal yang rumit. Karenanya saat penyusunan peraturan perundang-undangan patut menimbang kepentingan dari masyarakat dan masyarakat juga berhak berpartisipasi dalam rancangan peraturan perundang-undangan sesuai yang dijamin oleh undang-undang. Pendapat secara tuturan (lisan) dan atau tertera (tertulis) bisa disampaikan masyarakat sebagai wujud partisipasinya.11 Selain itu pemerintah juga dituntut agar bekerja secara maksimal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Walaupun diharapkan demikian permasalahan mengenai peraturan perundang-undangan sampai sekarang ini masih dijumpai. Permasalahan terkait dengan aturan mengenai jual beli pakaian bekas yaitu yaitu berupa disharmonisasi atau konflik norma antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan.

Konflik norma hukum baik yang bersifat vertikal maupun horizontal tentunya mengakibatkan tidak tercapainya kepastian hukum, terdapat perbedaan penafsiran dalam penerapan peraturan perundang-undangan, dan efektivitas serta efisiensi peraturan perundang-undangan belum terlaksana.12 Hal ini juga menghambat tercapainya tujuan hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan konflik norma hukum diberlakukan “asas preferensi hukum”. “Asas preferensi hukum merupakan asas yang memperlihatkan hukum yang didahulukan berlaku, apabila terdapat suatu peristiwa hukum yang patuh pada dua aturan atau lebih”.13 Asas preferensi hukum merupakan

“pengobat hukum (legal remedies)”,14 karena fungsinya sebagai penyelesai konflik apabila terjadi aturan yang mengatur suatu hal yang sama tetapi terdapat konflik. Asas preferensi hukum terdiri dari 3, yaitu:

  • 1.    “asas lex superior derogat legi inferiori

asas ini memiliki arti bahwa peraturan perundang-undangan dengan kedudukan lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan dengan kedudukan lebih rendah

  • 2.    asas lex posterior derogat legi priori

asas ini memiliki arti bahwa peraturan perundang-undangan yang baru dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.

  • 3.    asas lex specialis derogat legi generalis

yaitu asas yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang sifatnya lebih khusus.”15

Ketiga jenis asas preferensi hukum tersebut merupakan cara untuk menyelesaikan permasalahan konflik norma yang terjadi antara peraturan perundang-undangan. Penyelesaikan konflik norma hukum yang sifatnya vertikal maka yang berperan adalah “asas lex superiori derogat legi inferiori”. Bilamana peraturan perundang-undangan berkedudukan di atas berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, sehingga peraturan perundang-undangan dengan kedudukan lebih tinggi berlaku. Untuk menyelesaikan konflik norma hukum yang sifatnya horizontal maka dapat berlaku “asas lex specialis derogat legi generalis atau asas lex posterior derogat legi priori”. Keadaan dimana “asas lex specialis derogat legi generalis” berlaku yaitu ketika dijumpai dua peraturan perundangan-undangan mengatur hal yang sama kemudian yang sifatnya lebih khusus akan berlaku. Asas lex posterior derogat legi priori digunakan ketika peraturan perundangan-undangan yang kedudukannya sama mengalami pertentangan maka yang berlaku adalah yang terbaru.

Konflik norma yang terjadi antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan mengenai jual beli pakaian impor bekas merupakan konflik norma horizontal. Dimana antara UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan mempunyai posisi yang sejajar dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Konflik norma yang sifatnya horizontal dapat diselesaikan dengan asas lex specialis derogat legi generalis mupun asas lex posterior derogat legi priori. Konflik norma yang terjadi antara UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan diberlakukan asas lex posterior derogat legi priori. Maksudnya peraturan terkini mengesampingkan aturan yang lama. Antara UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan dalam ketentuan pasal yang mengatur mengenai pakaian bekas yang terbit lebih dahulu adalah UU Perlindungan Konsumen dan yang terbaru adalah UU Perdagangan, sehingga dalam hal ini UU Perdagangan mengesampingkan UU Perlindungan Konsumen. Adanya turunan dari UU Perdagangan yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas sebagai turunan dari Pasal 47 Ayat (1) UU

Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2020 Tentang Barang Dilarang Impor yang merupakan turunan dari Pasal 51 Ayat (3) UU Perdagangan sehingga asas lex specialis derogat legi generalis juga berlaku.

Pengaturan jual beli pakaian impor bekas berdasarkan asas preferensi hukum maka yang berlaku adalah UU Perdagangan. UU Perdagangan merupakan aturan terbaru yang mengatur bahwa pakaian impor bekas dilarang untuk diimpor untuk alasan apapun termasuk untuk dijual kembali dan terdapat aturan pelaksana dari UU Perdagangan berupa peraturan Menteri. Kemudian sesuai dengan pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, telah dinyatakan secara tegas bahwa pakaian bekas dilarang diimpor ke Indonesia dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2020 Tentang Barang Dilarang Impor. Pada ketentuan Pasal 2 Ayat (3) menyatakan barang yang termasuk dalam barang dilarang impor telah dicantumkan dalam lampiran diperaturan Menteri ini. Pada lampiran II peraturan Menteri ini telah dinyatakan tegas bahwa yang termasuk dalam barang dilarang impor salah satunya adalah pakaian bekas.

  • 4.    Kesimpulan Sebagai Penutup

Konflik norma yang terjadi antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan yaitu mengenai jual beli pakaian impor bekas. Pada Pasal 8 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen mengatur, “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.” Artinya UU Perlindungan memperbolehkan jual beli atas barang bekas (termasuk pakaian bekas) dengan terpenuhinya tuntutan bahwa pedagang telah membagikan fakta mengenai kondisi barang yang merupakan pakaian bekas baik impor maupun tidak. Berbeda dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) UU Perdagangan menerangkan, “setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.” Ini berarti pengaturan terhadap jual beli pakaian bekas oleh UU ini secara tegas tidak diperbolehkan. Untuk mengatasi permasalahan konflik norma antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU Perdagangan maka diberlakukan “asas lex posterior derogat legi priori dan asas lex specialis derogat legi generalis”. Antara UU Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan yang lebih baru adalah UU Perdagangan dan terdapat aturan turunan dari UU Perdagangan berupa Peraturan Menteri. Sehingga dalam hal ini UU Perdagangan mengesampingkan UU Perlindungan Konsumen.

Hukum merupakan hal yang penting bagi suatu negara hukum. Hukum untuk menertibkan masyarakat. Melalui produk hukum yaitu peraturan perundang-undangan diharapkan tercapainya tujuan dari hukum. Akan tetapi peraturan perundang-undangan justru membuat penafsiran yang berbeda-beda dimasyarakat dikarenakan terdapat konflik antar norma hukum. Dengan itu diharapkan dalam merancang peraturan perundang-undangan pemerintah sebagai badan pembuatnya harus bekerja lebih maksimal agar nantinya peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Sehingga dapat menghindari terjadinya konflik antar norma hukum. Masyarakat diharapkan agar menggunakan haknya dalam hal berpartisipasi saat pembuatan rancangan peraturan perundang-undangan. Adapun keikutsertaan masyarakat bisa berbentuk pendapat secara tuturan (lisan) dan atau tersurat (tertulis).

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Kementerian Perdagangan. 2015. “Analisis Impor Pakaian Bekas.” Jakarta:

Kementerian Perdagangan.

Mamudji, Soerjono Soekanto dan Sri. 2003. "Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat". Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Marzuki, Peter Mahmud. 2014. "Penelitian Hukum Edisi Revisi Cetakan Ke-31". Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Jurnal :

Agustina, Shinta. "Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana." Masalah-Masalah Hukum 44, no. 4 (2015).

Antari, Kadek Widya, Ratna Artha Windari, dan Dewa Gede Sudika Mangku. "Tinjauan Yuridis Mengenai Antynomy Normen (Konflik Norma) Antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terkait Jangka Waktu Perolehan Hak Atas Tanah." Jurnal Komunitas Yustisia 2, no. 2 (2020).

Arfiliananda, M. Alvian, dan Atina Shofawati. "Rasionalitas Konsumsi Petani Muslim Pada Desa Sumber Kabupaten Probolinggo dalam Perspektif Islam." Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan 5, no. 8 (2018).

Arifah, Risma Nur. "Kendala-Kendala Pencegahan Perdagangan Pakaian Bekas Impor di Kota Malang." Journal de Jure 7, no. 1 (2015).

Butarbutar, E. Nurhaini. "Antinomi Dalam Penerapan Asas Legalitas Dalam Proses Penemuan Hukum." Yustisia Jurnal Hukum 1, no. 1 (2012).

Christy, Evie, Wilsen, dan Dewi Rumaisa. “Kepastian Hukum Hak Preferensi Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kasus Kepailitan.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 22, no. 2 (2020).

Diab, Ashadi L. "Peranan hukum sebagai social control, social engineering dan Social welfare." Al-'Adl 7, no. 2 (2014): 53-66.

Fitriana, Mia Kusuma. "Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Laws And Regulations In Indonesia As The Means Of Realizing The Country’S Goal)." Jurnal Legislasi Indonesia 12, no. 2 (2018).

Irfani, Nurfaqih. "Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum." Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020).

Shidarta dan Petrus Lakonawa. “Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum.” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020).

Suasti, Yurni. "Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pokok Rumah Tangga di Padang Utara (Studi: Rumah Tangga Tukang Becak Dayung di Kecamatan Padang Utara)." Jurnal Buana 3, no. 5 (2019).

Taqiuddin, Habibul Umam. "Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Dalam Putusan Hakim." JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) 1, no. 2 (2019).

Peraturan Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan

Impor Pakaian Bekas.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2020 Tentang Barang Dilarang Impor.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.12 Tahun 2021, hlm. 1000-1010