AKIBAT HUKUM TERHADAP FRANCHISEE YANG MELAKUKAN WANPRESTASI KEPADA FRANCHISOR DALAM PERJANJIAN FRANCHISE
on
AKIBAT HUKUM TERHADAP FRANCHISEE YANG MELAKUKAN WANPRESTASI KEPADA FRANCHISOR DALAM PERJANJIAN FRANCHISE
Kadek Suarkayasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: Kadeksuarkayasa27@gmail.com
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dharma_laksana@unud.ac.id
DOI : KW.2021.v11.i01.p03
ABSTRAK
Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana akibat hukum terhadap franchisee karena melakukan suatu wanprestasi dalam perjanjian franchise, penulisan ini menggunakan metode hukum normatif yaitu perbandingan perundang-undangan sebagai objek kajian. Adapun dalam kajian ini memakai metode kepustakaan (library reseach). Penelitian hukum normatif meliputi penelitian sistematika hukum dan perbandingan hukum. Perjanjian franchise dapat tidak terlaksana karena salah satu dari dua tersebut pihak tidak patuh/wanprestasi dalam perjanjian franchise tersebut maka dari itu pelaksanaan perjanjian franchise sangat-sangat rentan terjadi masalah atau perselisihan dari pada itu tidak jarang terjadi wanprestasi perjanjian franchise yang buat oleh franchisee (penerima). Jenis wanprestasi dari penerima waralaba yaitu terlambatan membayar biaya pendirian, menyelesaikan sesuatu yang ditolak oleh penerima waralaba, melakukan atau menyelesaikan pengaturan bantuan yang tidak sesuai dengan strategi kerangka pemahaman pendirian yang telah telah dikelola dalam pengaturan, tidak mengembalikan hak kepada penerima waralaba. Tidak dapat dipungkiri jika dalam perjanjian franchise terdapat pihak franchisee melakukan wanprestasi terhadap isi perjanjian yang telah dibuat dengan kesepakatan bersama dapat mengakibatkan kerugian terhadap franchisor.
Kata Kunci: Wanprestasi, Perjanjian, Franchise
ABSTRACT
The purpose of this research to find out the extent of a legal consequences for franchise due to default in the franchise agreement, the author uses normative legal research methods and and utilizations near enactment as the object of exploration. Technique used is library research method. Normative legal research includes legal systematic research and comparative law. This can be seen from the Government Regulation the Implementation of Franchise and Civil Law involved in the franchise business agreement,implementation of the franchise agreement both parties in the agreement cannot be implemented because one of the parties does not fulfill/default in franchise agreement, therefore in implementation to franchise agreement, it is wide open to such problems or disputes, therefore there are often defaults on the franchise agreement that must be carried out by the franchisee. The type of default from the franchisee is late paying the establishment fee, completing something that is rejected by the franchisee, making or completing assistance courses of action that are not as per the strategy the establishment understanding framework that has been regulated in the arrangement, not returning the rights franchisee. It’s undeniable in the franchise agreement there is a franchisee who is in default of the substance of the understanding that has been made based on a mutual agreement, which can result in losses for the franchisor.
Keywords: Fail, Agreement, Franchise
Berdagang yakni menjadi sesuatu hal dapat memperkuat sektor perkonomi masyarakat. Selain itu perdagangan juga mempunyai peran penting untuk Indonesia karena dapat mebantu pelaksanaan pembangunan nasional agar bisa melakukan pemerataan pembangunan berserta dapat juga membantu kestabilan prekonomian nasional. Kegiatan berdagang adalah suatu hal yang melekat pada kehidupan bermasyarakat, Menurut Pasal 1 angka 1 UU no.7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan menyebutkan: “Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.” Persaingan di dunia bisnis khususnya di indonesia semakin sulit. Fenomena ini semakin mengerakan pebisnis untuk mencari metodologi imajinatif serta gebrakan yang kreatif dalam mendongkrak industri pasar. Untuk terus tetap bertahan, perluasan atau peningkatan usaha adalah keputusan yang di perlukan para pengusaha. Pendapat Warren J. Keegen, sukses atau terpuruknya usaha sangat ditentukan oleh metodologi pemasaran yang dilakukan dengan mempromosikan suatu barang secara universal melalui pengiriman ekspor-impor, memberian lisensi, membentuk usaha bersama, dan kepemilikan penuh dengan membuat usaha langsung melalui konsolidasi, akuisisii, atau kemajuan lain yang dapat dicapai untuk memperluas bisnis. Pengembangan usaha dapat dari berbagai cara, salah satunya waralaba atau franchise, kegiatan pemasaran tersebut banyak digunakan pada saat ini.1
Saat ini berbisnis dengan konsep waralaba dalam berbagai bidang sedang diminati di kalangan masyarakat. Berbisnis dengan konsep waralaba diminati karena selain dilihat dari segi keuntungan serta berbagai kemudahan berbisnis yang ditawarkan oleh pihak franchisor kepada pihak franchisee. Di dalam perjanjian waralaba telah memuat ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan jangka waktu perjanjian waralaba, serta ketentuan lain yang mengatur hubungan antara franchisor dengan franchisee. Aturan tentang franchise telah diatur pada Permendag Republik Indonesia No.71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggarraan Waralaba Pasal 1 angka (1) “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba.” franchise merupakan suatu ide bisnis dengan memberi pemanfaatan kuasa inovasi berlisensi serta pengaturan latihan fungsional oleh franchisor kepada franchisee2. Sistem waralaba menjadi bentuk terobosan pegembangan usaha yang kemudian lahirlah suatu produk hukum yaitu tentang perjanjian franchise yang menghubungkan pihak franchisor terhadap franchisee, awal pertama lahirnya waralaba mengacu pada UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.3 Dampak kemajuan era, franchise berkembang sangat pesat di Indonesia. Franchise di Indonesia
dikenal nama waralaba pada instansi pengembang waralaba. Kemajuan bisnis pendirian franchise berkembang luas dan menjadi tonggak ekonomi di Indonesia, dengan alasan bahwa kegiatan waralaba tersebut lebih menguntungkan baik kedua belah pihak.
Ikatan franchisor dan franchisee merupakan suatu ikatan timbal balik. Karena franchisor memberikan lisensi menggunakan suatu HKI dalam menggunakan logo, merk dagang, paten, desain industri, teknologi, dan resep rahasia untuk franchisee. Di sisi franchisee tentunya wajib menyiapkan lahan, sarana prasarana dan membayar royalty fee terhadap franchisor4. Perjanjian waralaba tunduk pada Buku III KUHPerdata tentang perikatan, hubungan hukum yang sah pemberi waralaba dan penerima waralaba ini juga diikatkan pada suatu syarat waralaba sebagaimana dimaksud dalam Permendag Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Menjalankan kegiatan bisnis warlaba berhasil dan tidaknya benar-benar bergantung pada kerja sama yang baik memperhatikan aspek penberi dan pemeroleh waralaba pada kuasa dan kewajiban5. Merebak luasnya waralaba tidak terlepas dari budaya instant para pembisnis dalam hal berbisnis, pengusaha menawarkan produk yang cepat dengan sistem yang baku dan telah teruji cepat mengahasilkan pundi-pundi uang. Pihak pemberi waralaba wajib untuk membimbing penerima dengan cara training tentang mengoperasikan waralaba secara lanjut. Dalam setiap hubungan hukum, termasuk perjanjian franchise harus ada keselarasan dan kedudukan yang setara antara dua pihak agar tidak terjadi permasalahan kepentingan. Namun kenyataan dilapangan tidak pasti berlajan mulus, pasti saja ada kemungkinan salah satunya melakukan wanprestasi dalam perjanjian waralaba ini karena keadaan yang memungkinkan dari satu pihak memiliki keinginan yang serakah dengan menggunakan modal seminim-minimnya agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Membuat suatu perjanjian franchise pasti memiliki resiko besar terjadi masalahan tersebut, maka memungkinkan adanya suatu wanprestasi perjanjian franchise yang dilakukan oleh franchisee (penerima). Tak dapat dibantahkan jika didalam perjanjian franchise pihak penerima mengabaikan isi substansi kesepakatan yang telah disahkan dengan kesepakatan bersama dapat mengakibatkan kerugian terhadap franchisor.6
Dalam perjanjian waralaba sangat penting untuk memahami serta mengontrol kepastian hukum kepada para pihak dengan dibuatnya aturan hukum yang layak maka menyebakan adanya suatu prasangka aman serta percaya untuk golongan masyarakat untuk melakukan suatu kesepakatan franchise agar nantinya usaha franchise dapat membuat mengembang lebih maju dan bahkan potensial tersebut membantu bagi kelangsungan prekonomian di Indonesia. Maka pada karya tulis ini lebih memfokuskan pada akibat hukum bilamana dalam perjanjian warabala khususnya bagi penerima waralaba (franchise) melakukan wanprestasi. Berdasarkan penjabaran yang telah dibuat dalam latar belakang pada tulisan diatas, penulis melakukan penelitian dengan judul “AKIBAT HUKUM TERHADAP FRANCHISEE YANG MELAKUKAN WANPRESTASI KEPADA FRANCHISOR DALAM PERJANJIAN FRANCHISE /WARALABA”
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas adapun beberapa permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
-
1. Apasajakah hak serta kewajiban yang harus dijalankan para pihak dalam
perjanjian franchise?
-
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap franchisee karena melakukan
wanprestasi dalam perjanjian franchise?
Adapun maksud tujuaan dari penulisan tersebut yaitu untuk memahami ebih lanjut bagaimana akibat hukum berdasarkan hukum yang berlaku terhadap franchisee yang memicu suatu kelalalian/wansprestasi kepada franchisor pada saat pengikatan perjanjian franchise/waralaba dan serta menelaah lebih lanjut hak maupun kewajiban yang patut dipenuhi dalam perjanjian waralaba/franchise
Metode penelitiian yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini merupakan metode yuridis normatif dimana pendekatan yang dilakukan yaitu menggunakan pendekatan perundangan sebagai objek kajian menganalisis peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum primer dalam penulisan kali ini. Selain itu terdapat sumber hukum sekunder yang bertujuan untuk memperjelas isi yang terdapat dalam sumber hukum primer seperti jurnal, buku, makalah serta lainnya. Dan ada pula sumber hukum tersier yang berperan untuk memberikan penjelasan dari apa yang terkandung dalam sumber hukum primer dan sekunder. Berkaitan dengan teknik pengumpulan data dalam sebuah penilitian ini , penulis mempergunakan studi kepustakaan, yang dimana studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa informasi yang didapatkan melalui buku, peraturan undang-undangan, artikel ataupun jurnal yang selanjutnya dirangkai menggunakan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif, dengan artian data serta bahan yang telah dikumpulkan kemudian diolah lalu dianalisis sehingga dapat diberikan makna ataupun kesimpulan yang tetap berpatokan pada bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian.7
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Hak Serta Kewajiban Yang Harus Dijalankan Para Pihak Dalam Perjanjian Franchise
-
Bisnis franchise merupakan suatu kegiatan usaha yang menggunakan metode dagang yang bisa memesatkan menemukan keuntungan untuk para pelakunya. Turun naiknya pertumbuhan franchise tidak menyurutkan minat wujud bisnis ini, franchise senantiasa jadi opsi apik serta menarik untuk siapa saja yang mau berwirausaha revolusi industri menyebabkan barang keperluan masyarakat dibuat secara massal. Melimpahnya produk masyarakat jelas membutuhkan perluasan pasar, dari sektor market lokal ke sektor market regional dan sektor bisnis di seluruh dunia. Demi alasan efisiensi, maka pelaku usaha tidak lagi menjual sistem lama kepada pembeli, namun menjualnya melalui pedagang delegasi seperti agen, distributor/grosir, ataupum memberikan lisensi membuat serta mengirimkan barang serta jasa melalui waralaba (francishe).8
Bisnis yang berkembang disaat ini butuh dilindungi payung hukum agar dapat melindungi pelaku-pelaku didunia usaha yaitu tidak terlepas juga usaha franchise. Hal tersebut sangat bermanfaat untuk mepayungi para pihak didalam berbisnis franchise. Kemunculan aturan hukum dalam businese memeliki peran memberi kepastiain hukum dan menciptaakan keaadaan adil dalam kegiatan pelaku usaha, sehingga ada dasar dari pada hukum bila terjadi suatu masalah yang datang daripada bisnis itu sendiri. Agar dapat mengantisipasi suatu hal yang tidak diinginkan oleh setiap pihak pelaku usaha atau pun pembisnis-pembisnis baru/amatir yang baru mau masuk didalam pasar bisnis lebih baik belajar lebih dalam agar dapat memahami lebih dulu hukum bisnis seperti apa yang akan diterapkan nuntuk menciptakan keadaan positif serta manfaat bagi masyarakat luas dalam mensejahterakan dan juga memberikan manfaat bagi perorangan atau individu agar bisnis yang ditekuni berjalan sebagaimana mestinya dengan baik.9
Didalam kesepakatan franchise yang menjadikan subjek hukum yang sah yaitu pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Pemberi waralaba dapat dicirikan sebagai suatu badan/orang yang memberikan izin, seperti lisensi, tanda tukar, jejak administrasi, atau lainnya kepada penerima franchise.10 Setelah itu sipenerima waralaba merupakan konsumen nantinya diberikan/mendapatkan sertifikat (lisen) tanda dari pemberi waralaba. Suatu objek dalam suatu perjanjian waralaba yakni berbentuk lisensi, dimana dapat berbentuk izin yang diperoleh dari pemberi waralaba. Waralaba suatu kewenangan khusus yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada peneriman waralaba dengan beberapa kesepakatan/ketentuan dalam hal payment atau menjualkan produk-produk bisa seperti barang dari pemberi waralaba, sesuai perjanjian waralaba.11
Agar memberikan kepastian hukum maupun perlindungan hukum melakukan pendirian bisnis dalan franchise nantinya, pemerintah sudah mengantur secara rinci didalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba (Franchise) dan teranyar yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaaraan Waralaba, karena otoritas publik menganggap bahwa franchise ini merupakan suatu strategi baik agar dapat menumbuhkan ekonomi nasional yang sedang jauh merosot akibat pandemi.12 Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) tentang Waralaba, mengartikan franchise “hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Adapun hubungan hukum antara para pihak franchise ini kemudian ikatkan dalam suatu perjanjian franchise sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 dimana penyelenggaraan franchise wajib berdasarkan pada isi daripada perjanjian franchise yang disusun bersama-sama pihak terkait yang mendapati kedudukan hukum yang sama dan kepada para pelaku usaha yang terlibat menggunakan hukum Indonesia. Mengenai haknya serta kewajiban pihak franchisor ataupun pihak franchise yakni pemberi waralaba patut membagikan propektus penawaaran franchise kepada calon penerima franchise dikala melaksanakan penawaran, pemberi waralaba patut membagikan pembinaan bisa berbentuk pelatihan, tutorial operasional manejemen, pemasaran, dan pengembangan secara bertahap, pemberi franchise patut mengutamakan penggunan benda jasa daripada pembuatan produksi negeri sendiri semasih memenuhi standar. Pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menentukan bahwa “waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.” Dengan disepakati bersama poin-poin perjanjian franchise yang tertulis maka kedua belah pihak dapat mengetahui dan memahami apasaja hak maupun kewajiban daripada mereka untuk dilaksanakan sebagai acuan dasar.
Dalam rahasia dagang sesuatu yang dirahasiakan sebetulnya dapat dilindungi berdasarkan perlindungan hak cipta dan paten, tetapi rahasia dagang tersebut akan tidak bersifat rahasia lagi karena sudah menjadi public domein yaitu hak tersebut sudah bebas dimiliki siapapun.Termasuk pada resep dibidang makanan dan minuman, sekarang sangat banyak adanya penjiplakan maupun pencurian yang dilakukan oleh pihak luar maupun pihak dalam yang ada diperusahaan tersebut. Sehingga perlu adanya upaya untuk mencegah adanya pembocoran rahasia dagang terhadap resep pada usaha dibidang makanan dan minuman.13
Sesuatu data dikatakan rahasia bilamana data tersebut senantiasa diketahaui khusus oleh pihak-pihak terkait, ataupun tidak di uraikan secara universal dengan masayarakat. Kemudian data informasi dianggap mempunyai harga jual apabila sifat khusunya dapat dipergunakan untuk membuat suatu usaha yang mempunyai sifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. Dalam sudut pandang hukum, Pemilik rahasia dagang berhak menggunakan rahasia dagangnya, serta dapat memberikan lisensi rahasia dagang untuk melarang pihak lain dalam menggunakan rahasia dagang dan tidak mengungkapkan rahasia dagangnya kepada pihak ketiga.14 Rahasia dagang memiliki sifat tidak mutlak, yang artinya kerahasiaannya dapat diketahui oleh pihak-pihak lain dengan digunakannya suatu izin melalui perjanjian. Unsur-unsur tersebut diatas adalah bersifat mutlak artinya semuanya harus saling terpenuhi dan saling terhubung. Jika dari sifat tersebut tidak ada, akan mengakibatkan tidak ada lagi rahasia dagang.15
Dalam ketentuan mengenai rahasia dagang suatu franchise objek yang dilindungi adalah bidang usaha yang memiliki suatu nilai yaitu niIai ekonomis serta tak boleh diumumkan oleh masyarakat luas, adapun dari bidang yang dilindungngi yaitu metode produksinya, metode pengolahan, metode penjualan maupun informasi-informasi yang rahasia16, menurut pasal 4 U17ndang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 pemilik usaha dagang memiliki kewenangan untuk menggunakan sendiri rahasia dagang yang dibuka dan memberikan lisensi kepada atau pihak yang lainnya menggunakan rahasia dagangnya atau memberitahukan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Dalam dekade terakhir ini ataupun kerap disebut masa globalisasi, batas non aktual antar negara sangat sulit untuk mengenalinya18 kemajuan yang sangat pesat memberi peran yang lumayan besar di nyaris segala bidang tidak terkecuali juga di bidang ekonomi. Pertumbuhan sangat drastis terjalin dalam bidang bisnis serta jasa yang salah satu nya merupakan usaha franchise. Bisnis usaha franchise ini sangat tumbuh dengan baik di Indonesia ataupun luar negeri. Pesatnya pertumbuhan serta berhasilnya kegiatan franchise tersebut diakibatkan karena sebagian aspek. Aspek yangpaling sangat mendasar merupakan franchise ialah campuran dari hasil pemikiran serta kekuatan dari ketekunan satu usaha bisnis yang telah terdapat ataupun memang sudah sangat maju.19
Objek dalam pembuatan kesepakatan bisnis franchise dapat dilakukan oleh dua pihak yang bersangkuatan yang memiliki kepentingan bisnis yang sama. Dimana sebelum membuat suatu kontrak atau perjanjian hal yang mendasar adanya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan pasal 1338 yaitu tentang asas kebebasan berkontrak, yang dimana mengatur kesepakatan para
pihak, kecakapan para pihak tertentu, serta sebab yang halal20. Dalam membuat perjanjian franchise terhadap para pihak, diperlukan sesuatu tempat dalam penerapannya selaku proteksi hukum. Proteksi hukum yang bisa dicoba kepada para pihak ialah subyek pelakon franchise serta franchisor semacam proteksi hukum preventif serta represif di Indonesia sendiri belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif ini.21
Dalam usaha franchise sangat diperlukan perlindungan hukum preventif yang dimana ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perdebatan antara kedua pelaku usaha pendirian franchise tersebut. Kedua pihak Franchisee diberikan waktu dan tempat untuk menyampaikan keluhan atau perasaan sebelum suatu prinsip pilihan aturan keputusan mendapat bentuk yang sudah pasti (defenitif). Penjaminan legitimasi preventif dilakukan untuk mencegah pelanggaran seperti pendirian dan memberi tanda atau larangan dalam melakukan komitmen dalam menyelesaikan pendirian. penjaminan legitimasi yang sewenang-wenang ditujukan untuk penyelesaian perdebatan antara kedua pemain terhadap pendirian tersebut. Perlakuan jaminan legitimasi dalam penyelesaian masalah ini diselesaikan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri di Indonesia. Perlindungan tersebut merupakan perlindungan akhir dimana bisa berupa hukuman untuk para pihak semacam denda, kurungan penjara, dan tambahan hukuman yang diberikan apabila terjalin suatu kasus masalah franchise. Franchisor mempunyai tempat yang lebih besar dari pada franchisee, itu dikarenakan franchisor sebagai pengusaha/pemilik bisnisnya kepada franchisee mengandalkan pada syarat bahwa franchisee tidak akan menyewakannya ke pihak yang berbeda. posisi inipun memungkinkan pemilik waralaba untuk memutuskan substansi pengaturan dan bahkan mengakhiri perjanjian.
Dalam tiap jalinan hukum, tercantum perjanjian franchise wajib terdapat penyeimbang serta peran yang setara antara para pihak agar tidak terjalin perpecahan kepentingan. Tetapi pada kenyataannya tidak senantiasa demikian, Senantiasa ada mungkin para pihak melakukan wanprestasi dalam perjanjaian waralaba ini karena keadaan yang memungkinkan dari satu pihak memiliki keinginan yang serakah dengan menggunakan modal seminim-minimnya agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Dalam penerapan perjanjian franchise sangat terbuka lebar mungkin terjalin perkara ataupun perselisihan tersebut, hingga tidak tidak sering terjalin wanprestasi perjanjian franchise yang dicoba oleh franchisee (penerima). Tidak bisa dipungkiri bila dalam perjanjian franchise pihak franchisee melanggar isi perjanjian yang sudah terbuat dengan kesepakatan bersama bisa menyebabkan kerugian terhadap franchisor. Pemutusan perjanjian ataupun kontrak bisa diakibatkan sebab wanprestasi ataupun kelalaian dari pihhak franchisoor (pemberi waralaba) serta wansprestasi ataupun kealpaan dari pihak franchisee (penerima waralaba).
Umumnya penyebabnya franchisor memutuskan perjanjian, sebab pihak franchisee tidak mengindahkan daripada perjanjian yang sudah terbuat. Jenis- jenis pelanggaran yang ada dalam perjanjian franchise baik dari peneriima waralaba serta dari pihak pemberi waralaba merupakan, pelanggaran ataupun wanprestasi dari penerima waralaba bisa berbentuk keterlambatan menyetor bayaran waralaba, penerima waralaba melakukan perihal/suatu yang diluar SOP yang telah diberikan oleh pemberi waralaba, melaksanakan syarat pelayanan yang tidak cocok dengan isi daripada
kesepakatan waralaba yang sudah dibangun padah konvensi perjanjian, tidak mengembalikan seluruh hak atas intelekktual franchisor sesudah perjanjian telah usai, pihak franchisee jadi produser serta berkompetisi dengan membuat bisnis baru dengan mengenakan sebagian ataupun seluruhnya nama ataupun merek yang lama dengan tipe bisnis yang sejenis yang telah diberikan oleh franchisor waralaba terdahulu.
Perlindungan hukum untuk para pelaku-pelaku bisnis dalam pelaksanaan perjanjian franchise ialah salah satu peran penting dalam mengawasi perlindunganan hukum kepada seluruh pelaku bisnis agar dapat terhindarnya terjadi kegiatan merusak usaha orang lain nantinya. Pada nanti terjadinya wansprestasi franchisee kepada franchisor sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian yang telah disepakat bagi franchisor dapat meminta kerugian yang dialaminya dengan penuntutan kompensasi ganti rugi karena wanprestasi. Jika pada saat pemutusan perikatan, bekas franchisee tidak bisa lagi berwenang memakai HKI, Pada dasarnya dalam pemutusan perjanjian franchise secara sepihak oleh franchisee secara khusus harus memenuhi klausul syarat putus yang telah terpenuhi yang diatur dalam Peraturan tentang waralaba dan harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam perjanjian waralaba tersebut harus memuat cara-cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian demi tercapainya tujuan dari perjanjian franchise yang sama-sama menguntungkan, perjanjian franchise didukung oleh pihak pihak yang bersangkutan dimana para pemberi waralaba serta penerima waralaba benar benar memahami serta melaksanakan isi perjanjian yang telah dikehendaki dan dapat memutuskan perjanjian franchise dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak baik dengan musyawarah terlebih dahulu dengan memberikan teguran ataupun somasi atau melalui keputusan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Gunawan Widjaja. Lisensi atau Waralaba Suatu Panduan Praktis, (Jakarta, cet.1, PT. Raja
Grafindo Persada,2004) hal.5.
Satjipto Rahardjo. Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung, Alumni 1978) hal. 14.
Supasti Dharmawan, Ni Ketut, “Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia”, (Denpasar, Swasta Nulus, 2018) hal.109
Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus (Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2009) Hal.39
Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, (Bandung, Nuansa Aulia, 2010), hl 52.
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung, Nuansa Aulia, 2010), hal 1.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta, Sinar Grafika 2018)
JURNAL
Aidi Zil and Hasna Farida.”Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan.” Jurnal Cendikia Hukum 4, No.2 (2019)
Ayu Sucipta Dewi, Ni Kadek. “Pengaturan Confidentiality Agreement Terhadap
Perlindungan Rahasia Dagang”. Journal Kertha Semaya 6, No.4 (2018): h.10
Dalem Andi Yusianti, Ni Nyoman. “Pengaturan Perlindungan Hukum Haki Bidang Rahasia Dagang Terkait Pembocoran Infromasi Oleh Pekerja Menurut UU No.30 Th 2000 Tentang Rahasia Dagang.” Jurnal Kertha Semaya 5, No.5 (2017) : h. 4
Dinda Agustina, Kadek and Nurmawati, Made. “Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang Dalam Usaha Franchise Di Bidang Makanan Dan Minuman” journal kertha semaya 6, No.11 (2018) : hal.10
Lanneme, “Akibat Hukum Pemutusan Perjanjian Franchise Secara Sepihak Oleh Franchisor Sebelum Berakhirnya Kontrak”, Lex Privatum III, No.1 (2015) : 12-13
Maria Cynthia Sesa Maryono and I Wayan Novy Purwanto,“Akibat Hukum Wansprestasi Yang Dilakukan Oleh Penerima Waralana Es Teh Poci Di Denpasar” Jurnal Kertha Semaya 8, No. 11 (2020)
Prasmita Sari, Putu. “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Bisnis Franchise.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No.2 (2018): hal.3
Suleman, Dede. “Keuntungan Yang Di Dapat Dari Mengembangkan Usaha Dengan Sistem Franchise” (Studi Kasus Di Indonesia), Jurnal JDM 2, No.01 (2019) :2-3
Syahdar Idrus, Norman. “Aspek Hukum Perjanjian Waralaba Dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam”. Jurnal Yuridis 4, No. 1 (2017): ISSN 1693-4458
Trisnadewi, Ida Ayu and Mahartayasa, Made. “Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Indonesia” Jurnal Kertha Semaya 2, No. 2 (2014): 2-3
Wulan Purwanti, Ni Luh Putu and Pasek Eka Wisanjaya, I Gede. “Tinjauan Yuridis terhadap Klausula dalam Perjanjian Waralaba yang Dapat Menimbulkan Praktik Monopoli”, Kertha Semaya 2 No. 6 (2014): Hal.2.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgelik Wetboek (BW)
Undang-Undang No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralaba, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4742
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm. 22-31
Discussion and feedback