PENGATURAN SYARAT KEBARUAN DALAM

MEMPEROLEH PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI
BERDASARKAN TRIPS AGREEMENT

Kadek Feby Adhiyanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: kdfeby9@gmail.com

Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: agung_indrawati@unud.ac.id

DOI : KW.2021.v11.i01.p02

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengkaji bentuk perlindungan hukum dari desain industri berdasarkan UU Desain Industri serta pengaturan syarat kebaruan dalam memperoleh perlindungan desain industri berdasarkan TRIPs Agreement. TRIPs Agreement merupakan suatu konvensi internasional yang tidak semata-mata melindungi hak cipta, namun konvensi tersebut melindungi juga hak milik industrial salah satunya yakni hak desain industri. Jenis penelitian yang dipakai pada artikel ini merupakan metode penelitian hukum yuridis normatif, di mana memakai pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yang berarti bahan-bahan yang dijadikan sebagai sumber dari penelitian ini baik bahan hukum primer maupun sekunder yang kemudian dicari dan diolah untuk selanjutnya dianalisis. Hasil penelitian ini memperlihatkan bentuk perlindungan pada desain industri berdasarkan UU Desain Industri diperoleh dengan 2 cara, yakni secara preventif dan juga represif. Secara preventif dilakukan dengan cara pendaftaran yang dikenal dengan sistem konstitutif atau First to File System. Namun, tidak semua pendaftaran terhadap desain industri mendapatkan hak desain industri, berlandaskan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Desain Industri hanya karya yang baru yang mendapatkan hak tersebut. Kemudian secara represif dilakukan melalui pengadilan (litigasi) yakni terdapat pada Pasal 46 serta non litigasi (di luar pengadilan) yang terdapat dalam Pasal 47. Berdasarkan TRIPs Agreement, desain industri yang bisa memperoleh perlindungan secara hukum ialah bilamana suatu desain industri tersebut memiliki kesan estetis yang memiliki perbedaan secara substansial apabila dibandingkan dengan pengungkapan yang ada sebelumnya serta memiliki perubahan yang besar (major change).

Kata Kunci: Kebaruan, Desain Industri, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

This research aims to examine the form of legal protection from industrial design based on the Industrial Design Law as well as the regulation of novelty requirements in obtaining industrial design protections under the TRIPs Agreement. Trips Agreement is an international convention that not only protects copyright, but it protects industrial property rights, one of which is industrial design rights. The type of research used in this article is a method of normative juridical law research, which uses a statutory approach (The Statute Approach) which means the materials used as the source of this research both primary and secondary legal materials are then sought and processed for further analysis. The results of this study show that the form of protection in industrial design based on the Industrial Design Law is obtained in two ways, namely preventively and repressively. Preventively done using registration known as a constitutive system or First to File System. However, not all registrations of industrial design get industrial design rights, based on Article 2 paragraph (1) of the Industrial Design Law only new works get the right. Then repressively done through the court (litigation) which is contained in Article 46 and non-litigation (outside the court) contained in Article 47. Based on the TRIPs Agreement, industrial design that can get legal protection is when an industrial design has an aesthetic impression that has a substantial difference when compared to previous disclosures and has a major change.

Key Words: Novelty, Industrial Design, Legal Protection

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu negara peserta World Trade Organization (WTO), Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Perjanjian Pembentukan WTO. Di mana di dalamnya menyangkut mengenai Agreement on Trade Realted Aspect of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut TRIPs Agreement), akibatnya Indonesia berkewajiban untuk mengharmoniskan sistem hukum Kekayaan Intelektual (KI) sesuai dengan TRIPs Agreement dengan mematuhi standar internasional. TRIPs Agreement merupakan suatu konvensi internasional yang tidak semata-mata melindungi hak cipta, namun konvensi tersebut juga melindungi hak milik industrial salah satunya yakni hak desain industri. Seluruh konvensi internasional yang memiliki keterkaitan dengan Kekayaan Intelektual (KI) masih diakui oleh TRIPs Agreement dan tetap mengikat serta berlaku bagi seluruh negara anggota. Perjanjian internasional yang memiliki keterkaitan dengan perlindungan terhadap desain industri ialah, Bern Convention, Lucamo Agreement, Paris Convention for the Protection of Leterary and Artistic Works, Universal Comersial Code, dan Hague Agreement.1 Selain desain industri, berbagai aspek dagang yang diatur dalam TRIPs Agreement yang berkaitan dengan KI, terdiri dari bidang Hak Cipta, Paten, Rahasia Dagang, Merek, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, serta Perlindungan Varietas Tanaman. Sebagai konsekuensi bagian dari negara anggota WTO, maka Indonesia harus melakukan penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual, termasuk juga dalam aspek desain industri.2

Berdasarkan Pasal 7 TRIPs Agreement, dijelaskan mengenai tujuan dari TRIPs yaitu: “The protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations.” Apabila diterjemahkan maka dapat diketahui bahwa TRIPs bertujuan: “Melindungi dan

menegakkan hukum hak milik intelektual guna membantu perkembangan timbulnya inovasi, pengalihan, serta penyebaran teknologi diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, menyeimbangkan hak dan kewajiban serta menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi.”

TRIPs Agreement secara tegas mengatur bahwa negara-negara peserta wajib mematuhi serta menerapkan standar umum TRIPs secara full compliance guna melindungi KI. Standar universal TRIPs yang wajib ditaati oleh negara anggota termasuk Indonesia adalah yang berkaitan dengan Non-Discrimination Principle yang tertuang dalam Article 3: National Treatment dan dalam Article 4: Most-Favoured-Nation Treatment. Secara lebih rinci dapat dipahami bahwa National Treatment (NT) merupakan prinsip yang mengedepankan bahwa standar perlindungan hukum yang diberikan secara nasional kepada warga negara sendiri harus sama dengan yang bersumber dari luar negeri yang merupakan bagian dari negara-negara anggota. Kemudian, Most Favoured Nations Treatment ialah prinsip yang melarang dikriminasi antar negara anggota tertentu dengan negara anggota yang lain. Sebagai Basic Principle

dalam TRIPs Agreement maka wajib ditranformasikan ke dalam hukum nasional dengan dijabarkan dalam perundang-undangan.3 Di Indonesia, standar-standar TRIPs Agreement tersebut telah dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang ada salah satunya ialah UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

WTO memberikan definisi tentang desain industri, yaitu: “An Industrial Design is that aspect of a useful article which is ornamental aesthetic. It many consist of threedimensional features, such as the shape or surface af an article, or two-dimensional features, such as patterns, lines, or color.” Sesuai dengan pengertian tersebut dapat diartikan perlindungan bagi desain industri ini dengan kesan estetisnya. Di mana kesan estetis tersebut berbeda dengan kekayaan intelektual lainnya, yaitu dalam Hak Cipta berdasarkan seni, ilmu pengetahuan, serta sastra, sementara itu dalam Paten berdasarkan teknologi. Kesan estetis disini adalah penilaian yang berdasarkan dengan tampilan luar atau kesan luarnya saja. Dalam TRIPs Agreement tidak memberikan pengertian mengenai desain industri. TRIPs disini hanya mengatur mengenai kewajiban dari negara-negara anggota agar melindungi desain industri, pelanggaran, standar perlindungannya, serta dari jangka waktu perlindungan.4

Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai desain industri terdapat dalam UU No. 31 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan UU Desain Industri), yang terdiri dari 57 pasal di mana semenjak diundangkan tidak pernah mengalami perubahan hingga saat ini. Sebagai bagian dari kekayaan intelektual, desain industri adalah wadah untuk memperoleh nilai tambah ekonomi.5 Subyek desain industri adalah Pendesain, di mana sesuai dengan Pasal 1 angka 2 meberikan definisi: “Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri.” Desain industri adalah karya intelektual dalam bidang industri di mana obyek desain industri ialah barang atau komoditi yang digunakan dalam proses industri. Perlindungan bagi karya desain industri didapatkan dengan cara melakukan sistem pendaftaran. Dengan kata lain bahwa, apabila tidak melakukan pendaftaran maka tidak mendapatkan hak desain industri, serta tidak dapat perlindungan. Mengenai keuntungan pendaftaran desain industri dapat dilihat dari 2 aspek, yakni:

  • a.    Aspek hukum, di mana pendesain akan mendapatkan perlindungan hukum dari siapapun yang ingin menjiplak serta melakukan pembajakan.

  • b.    Aspek ekonomi, di mana dengan didaftarkannya karya desain industri maka keuntungan bagi pendesain tersebut akan bertambah, karena dengan hak atas desain industri pendesain akan mendapatkan imbalan dari pemberian lisensi kepada pihak yang membutuhkan.6

Dalam melakukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan desain industri, terdapat batasan yang diberikan oleh undang-undang. Batasan yang dimaksud ialah kebaruan (novelty) dalam desain industri. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1)

UU Desain Industri diatur: “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.Kemudian, pada ayat berikutnya diatur “Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya”. Pada penjelasan undang-undang tersebut dijelaskan mengenai definisi dari pengungkapan yaitu: “Pengungkapan melalui media cetak atau elektronik, termasuk juga keikutsertaan dalam suatu pameran.”

Berlandaskan dengan Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri terdapat kalimat “tidak sama” yang menyebabkan berbagai interpretasi/multitafsir. Multitafsir disini dikarenakan terdapat 2 penafsiran yang berbeda, yang pertama yaitu desain industri dikatakan baru bilamana tidak terdapat persamaan secara substansial dengan yang ada sebelumnya. Sementara itu, penafsiran yang kedua yaitu desain industri dikatakan baru bilamana terdapat perbedaan sedikit dengan yang sebelumnya. Karena ketidak tegasan dari undang-undang sendiri dalam mengatur unsur kebaruan dalam perlindungan industri menyebabkan ketidakpastian hukum. Jadi, potensi penyalahgunaan hak atas desain industri serta sengketa akan bertambah sehingga dapat mengakibatkan keraguan bagi kepastian hukum dalam perlindungan desain industri. Maka dari itu, dalam penelitian ini membahas mengenai bagaimana makna kebaruan berdasarkan TRIPs Agreement.

Sebagai bahan perbandingan keaslian pada penelitian ini, diperoleh dua penelitian yang identik namun terdapat perbedaan dari segi pembahasan. Penelitian yang dimaksud, penelitian yang pertama dilakukan oleh Destri Ayu Larasati Mahayana7 yang mengangkat judul “Analisis Pemaknaan Unsur Kebaruan Dalam Pengaturan Desain Industri di Indonesia (Studi Kasus EcoBottle vs Biolife)”. Titik fokus bahasan yakni mengenai tolak ukur kebaruan (novelty) desain industri di Indonesia serta menganalisis ratio decidendi hakim di dalam penafsiran syarat kebaruan pada sengketa Eco Bottle dan Biolife Borneo. Yang kedua, penelitian yang dilakukan oleh Zico Armanto Mokoginta yang mengangkat judul “Perlindungan Hukum Atas Desain Industri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri”. Penelitian ini berfokus membahas mengenai pengaturan desain industri dalam kerangka hukum HKI serta bagaimana perlindungan hukum bagi desain industri berdasarkan UU Desain Industri.8 Sedangkan, pada penelitian yang penulis lakukan berfokus mengenai bagaimana pengaturan syarat kebaruan (novelty) berdasarkan TRIPs Agreement, mengingat berdasarkan penelitian di atas belum ada yang mengkaji permasalahan tersebut. Beranjak dari hal tersebut, maka disini penulis mengangkat judul “Pengaturan Syarat Kebaruan Dalam Memperoleh Perlindungan Desain Industri Berdasarkan TRIPs Agreement”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi desain industri berdasarkan UU Desain Industri?

  • 2.    Bagaimanakah pengaturan syarat kebaruan dalam memperoleh desain industri berdasarkan dengam TRIPs Agreement?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari artikel ini adalah mengetahui serta memahami bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi desain industri berdasarkan UU Desain Industri dan menganalisa pengaturan terkait syarat kebaruan dalam memperoleh desain industri berdasarkan dengam TRIPs Agreement.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini mengadopsi penelitian hukum yuridis normatif, di mana memakai pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yang berarti bahan yang dijadikan sebagai sumber dari penelitian ini yang kemudian dicari dan diolah untuk dianalisis lebih lanjut agar memperoleh jawaban atas permasalahan yang telah penulis usulkan. Bahan hukum primer yang dikaji mencakup TRIPs Agreement, UU No. 31 Tahun 2000. Selain itu buku, jurnal, serta literatur lain yang berhubungan dengan HKI dikategorikan bahan hukum sekunder. Seluruh bahan hukum yang telah dikumpulkan menggunakan teknik studi dokumen, serta dianalisis secara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Desain Industri Berdasarkan UU Desain Industri

Sumber utama perlindungan KI pada bidang desain industri adalah UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. UU tersebut ditetapkan karena Indonesia merupakan bagian negara anggota WTO yang menyangkut tentang TRIPs maka perlu adanya pengaturan yang lebih baik mengenai desain industri. Selain itu, tekad dari pemerintah untuk menekan berbagai macam bentuk pelanggaran desain industri, seperti pembajakan, peniruan, serta penjiplakan sehingga dipandang perlu diberikan perlindungan yang efektif. Perlindungan desain industri baik itu dalam perlindungan hak moral ataupun hak ekonomi bilamana diberikan secara memadai maka akan berkorelasi erat terhadap peningkatan kreasi dari pendesain sehingga bisa memberikan kontribusi yang besar pada bidang ekonomi baik bagi pendesain dan juga negara, sebab perlindungan bagi desain industri ini mempunyai nilai yang berharga bagi dunia perdagangan serta investasi. Dengan memberikan perlindungan yang komprehensif ini maka diharapkan dapat dijadikan sebagai faktor untuk merangsang pendesain agar dapat meningkatkan kreativitas juga sebagai wadah agar menghasilkan pendesain yang produktif. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Desain Industri diatur bahwa: “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.” Kemudian pada Pasal 1 angka 5 UU Desain Industri diatur bahwa, “Hak Desain Industri adalah hak ekslusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.” Berdasarkan ketentuan tersebut, diketahui bahwa hak desain industri merupakan hak khusus bagi pendesain yang terdaftar dan diberikan oleh negara. Yang memiliki pengertian bahwa, hak kepemilikan atas desain industri merupakan akibat dari pendaftaran desain industri di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Bentuk perlindungan hukum bagi karya desain industri terdapat 2 cara, yakni secara preventif dan respresif. Perlindungan hukum secara preventif ini berujuan agar mencegah terjadinya pelanggaran dan untuk mencegah terjadinya sengketa. Secara preventif bentuk perlindungan hukum terhadap desain industri dengan cara mengajukan pendaftaran. Sistem pendaftaran ini dikenal dengan sistem konstitutif atau First to File System yang merupakan pendaftar pertama yang akan memperoleh sertifikat desain industri (yang telah memenuhi persyaratan). Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk terjadinya hak desain industri. Bilamana pendesain tidak melakukan pendaftaran untuk karya desain industrinya, maka pendesain tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum. Dengan kata lain, jika desain industri tidak didaftarkan maka hak desain industri serta perlindungan terhadap desain tersebut tidak akan ada. Sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU Desain Industri diatur: “Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru”. Kemudian dalam Pasal 12 diatur mengenai: “Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.” Di mana seseorang bisa dikatakan sebagai pemegang hak atas desain industri bilamana ia merupakan orang yang mengajukan permohonan pendaftaran pertama kali. Jadi dengan melakukan permohonan pendaftaran maka ada alasan untuk mengurangi dari perbuatan atas desain industri, seperti misalnya pembajakan, peniruan, serta penjiplakan. Maka dengan adanya perlindungan ini, pendesain diharapkan merasa aman, mendapatkan kepastian hukum, serta mendapatkan manfaat di bidang ekonomi setelah desain tersebut terdaftar.9

Secara represif, bentuk perlindungan hukumnya yakni memberikan perlindungan bagi pemegang hak apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak yang menggunakan hak orang lain. Perlindungan secara represif ini dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi) serta di luar pengadilan (non litigasi). Pasal 46 pada prinsipnya mengatur: “Pemegang hak desain industri atau penerima lisensi dapat menggugat siapa pun yang dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri melalui gugatan ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang merupakan pelanggaran tersebut yang diajukan ke Pengadilan Niaga.” Dalam UU Desain Industri penyelesaian sengketa secara perdata telah diatur secara eksplisit pada Bab VIII, kemudian pada Bab X dan Bab XI tentang penyelesaian sengketa secara pidana. Penyelesaian sengketa dimungkinkan juga dilakukan di luar pengadilan (non litigasi), di mana diatur dalam Pasal 47 UU Desain Industri yang menegaskan: “Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.” Alternatif penyelesaian sengketa dilakukan dengan negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Pemberian perlindungan hukum terhadap karya desain industri dengan memberikan insentif ekonomi untuk pendesain yang bertujuan mengembangkan produk ke arah lebih baik guna meningkatkan inovasi serta kreativitas pendesain. Jadi dengan diberikan perlindungan hukum maka akan mendorong aktivitas yang kreatif bagi pendesain agar selalu menciptakan desain yang baru.

Orang yang melahirkan karya desain industri sebagai pemiliknya maka ia berhak mendapatkan hak ekslusif berkaitan terhadap desain tersebut.10 Jangka waktu perlindungan hukum bagi suatu karya desain industri berdasarkan TRIPs Agreement adalah 10 tahun, dan selama kurun waktu tersebut tidak dapat diperpanjang yang mana terhitung semenjak tanggal diterimanya permohonan. Pendesain memiliki hak khusus selama tenggang waktu tersebut, seperti membuat, memakai, mengekspor, mengedarkan, dan atau menjual barang hasil dari desain industri yang dilindungi tersebut, dan juga termasuk diberikan lisensi terhadap pihak lain sesuai dengan perjanjian lisensi. UU Desain Industri juga mengatur mengenai jangka waktu perlindungan terhadap karya desain industri, yakni pada Pasal 5 yang memiliki jangka waktu perlindungannya sama seperti TRIPs Agreement yaitu dalam kurun waktu 10 tahun yang terhitung semenjak tanggal penerimaan serta tidak bisa diperpanjang lagi. Seandainya terjadi pelanggaran terhadap karya desain industri, maka pendesain dapat menuntut pihak yang melanggar secara perdata dan/atau pidana. Apabila waktu perlindungan terhadap desain industri ini telah habis, karya desain industri tersebut sebagai Public Domain, di mana hal tersebut berarti siapapun dapat memakai desain tersebut dan tidak perlu minta izin serta membayar royalty fee kepada pendesain terlebih dahulu.

  • 3.2    Pengaturan Syarat Kebaruan Dalam Memperoleh Desain Industri Berdasarkan

    Dengam TRIPs Agreement

Pada dasarnya dalam desain industri pendaftaran merupakan syarat paling mutlak untuk diberikannya hak desain industri. Namun, tidak semua pendaftaran mendapatkan hak tersebut, dan hanya karya yang baru yang memperoleh hak tersebut. Perjanjian internasional yang mengatur dalam bidang desain industri antara lain, Konvensi Paris, Konvensi, Persetujuan Locarno, Persetujuan Hague, serta Persetujuan TRIPs. TRIPS’s Agreement dipandang sebagai perjanjian internasional di bidang KI yang paling komprehensif. TRIPs Agreement merupakan perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia yang memberikan ketentuan mengenai dalam hal perlindungan terhadap desain industri maka diwajibkan mempunyai kebaruan saat memohon perlindungan. Perlindungan bagi desain industri berdsarkan TRIPs diatur pada Pasal 25 dan Pasal 26.

Pasal 25 ayat (1) TRIPs Agreement, mengatur: “Members shall provide for the protection of independently created industrial design that are new or original. Members may provide that design are not new or original if they do not significantly differ from known design features. Members may provide that such protection shall not extend to design dictated essentially by technical or functional considerations”. Apabila diterjemahkan, ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Anggota wajib memberikan perlindungan terhadap karya cipta yang berupa desain produk industri yang baru atau asli. Anggota dapat menentukan bahwa suatu desain industri tidak baru atau asli apabila desain yang bersangkutan tidak secara jelas berbeda dari atau kombinasi beberapa desain yang sudah terkenal. Anggota dapat menetapkan bahwa perlindungan yang diberikan tidak mencakup desain yang sangat tergantung pada pertimbangan-pertimbangan teknis atau fungsi.” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwasanya desain industri yang mendapatkan hak desain industri hanya yang bersifat baru serta orisinil. Yang mana, desain industri dipandang baru jika terdapat perbedaan yang

signifikan terhadap desain industri yang sebelumnya.11 Konsep desain industri pada pasal tersebut mengacu kepada seluruh jenis desain estetis, termasuk karya seni artistik, serta karya seni terapan.12 Prinsip kebaruan (novelty) yang dianut pada desain industri berbeda dengan kebaruan dalam paten, di mana kebaruan dalam desain industri berkaitan dengan aspek ornamental atau estetis yang diterapkan pada suatu barang desain industri dan dibatasi oleh aspek visual. Dibandingkan dengan kebaruan pada desain industri, kebaruan paten lebih mengacu kepada aspek teknis.

Selain Indonesia, terdapat negara-negara lain yang menyiratkan kebaruan (novelty) pada peraturan perundang-undangan negara tersebut untuk memberikan perlindungan bagi desain industri. Hal ini karena mengikuti standar minimum sesuai yang diatur pada Pasal 25 TRIPs Agreement. Maka dari itu, disini penulis akan memaparkan beberapa negara yang menganut syarat kebaruan tersebut, yakni Australia, Malaysia, Jepang, dan Inggris.

Di Australia perlindungan bagi desain industry diberikan kepada desain yang baru dan juga khas. Makna baru diartikan apabila suatu desain tidak mempunyai persamaan yang identik dengan desain sebelumnya. Kemudian, khas dimaknai sebagai apabila suatu desain mempunyai persamaan yang signifikan terhadap keseluruhan suatu desain.

Selanjutnya, ketentuan di Malaysia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yakni dalam perlindungan desain industri hanya mengisyaratkan kebaruan (novelty), namun bedanya Malaysia memberikan pemaknaan yang jelas mengenai arti dari kebaruan (novelty). Makna baru disini berarti apabila suatu desain industri mempunyai perbedaan yang immaterial, di mana perbedaan immaterial berarti bahwa perbedaan pada elemen yang kecil memiliki pengaruh akan penilaian kebaruan suatu desain industri.

Kemudian, di Jepang perlindungan desain industri diperuntukkan pada desain yang memiliki kebaruan dan kreativitas. Kebaruan disini memiliki arti suatu desain tidak memiliki kesamaan pada umumnya dengan yang di dalam ataupun di luar negeri. Selanjutnya memiliki kreativitas, yang diukur berdasarkan tingkat kesulitan yang tinggi yang dimiliki suatu desain dalam proses pembuatannya, yang mana apabila dikerjakan oleh orang awam di bidang desain industri tidaklah gampang.

Sedangkan, di Inggris dalam memperoleh perlindungan terdapat 2 syarat, yakni kebaruan dan karakter individual. Desain industri dikatakan baru bilamana tidak mempunyai kesamaan yang identik dan memiliki perbedaan materiil. Sementara itu, karakter individual berarti keseluruhan kesan suatu desain yang mencerminkan karakter dari pendesain itu sendiri yang berbeda dengan desain pada umumnya.13

Kemudian berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) TRIPs Agreement, mengatur: “The owner of a protected industrial design shall have the right to prevent third parties not having the owner’s consent from making, selling or importing articles bearing or embodying a design which is a copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes.” Apabila diterjemahkan, ketentuan tersebut menegaskan

bahwa: “Pemilik suatu desain industri yang dilindungi mempunyai hak untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh izin darinya untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung atau memuat desain yang merupakan salinan, atau secara substansial merupakan salinan dari desain yang dilindungi, apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial.” Berdasarkan pasal tersebut terkandung makna mengenai pelanggaran terhadap desain industri terjadi jika seseorang tanpa izin memproduksi, mengimpor, atau menjual, suatu barang tiruan dari suatu desain demi keperluan komersial.

Mengacu pada Pasal 26 ayat (1) TRIPs Agreement bahwasanya yang dinyatakan melanggar terhadap desain industri tidak hanya yang sama persis atau identik, namun juga mencakup desain yang mirip (substantially a copy) dengan desain industri yang dilindungi. Jadi, walaupun terdapat perbedaan tetapi pada dasarnya meniru sehingga mirip dengan desain industri yang dilindungi, maka dapat dianggap melanggar. Dengan demikian, indikator syarat kebaruan dalam TRIPs Agreement yaitu apabila suatu desain industri yang memiliki kesan estetis yang memiliki perbedaan secara substansial apabila dibandingkan dengan pengungkapan yang ada sebelumnya serta memiliki perubahan yang besar (major change). Desain industri dipandang tidak baru bilamana desain tersebut tidak terdapat perbedaan secara substansial dengan desain yang sudah ada sebelumnya atau terhadap kombinasi dari kreasi desain yang dikenal.

  • 4.    Kesimpulan

Sesuai dengan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik bahwasanya perlindungan hukum terhadap desain industri sesuai dengan UU Desain Industri terdapat 2 cara, yakni preventif dan respresif. Secara preventif bentuk perlindungan hukum terhadap desain industri dengan cara mengajukan pendaftaran. Di mana sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Desain Industri, bahwasanya hak atas desain industri hanya diperuntukkan pada karya yang baru. Perlindungan secara represif dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi) serta di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian melalui jalur litigasi tertuang dalam Pasal 46 UU Desain Industri. Dalam UU Desain Industri penyelesaian sengketa secara perdata telah diatur secara eksplisit pada Bab VIII, kemudian penyelesaian sengketa secara pidana pada Bab X dan Bab XI. Mengenai penyelesaian melalui jalur non litigasi diatur dalam Pasal 47 UU Desain Industri. Kemudian berdasarkan TRIPs Agreement pengaturan mengenai desain industri terdapat pada Pasal 25 dan Pasal 26. Adapun indikator syarat kebaruan dalam TRIPs Agreement yaitu apabila suatu desain industri yang memiliki kesan estetis yang memiliki perbedaan secara substansial apabila dibandingkan dengan pengungkapan yang ada sebelumnya serta memiliki perubahan yang besar (major change).

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dharmawan, Ni Ketut Supasti, et.all. Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual (Denpasar, Swasta Nulus, 2018), 96.

JURNAL ILMIAH

Ardanel, Asyifa Zahra, Budi Santoso, and Rinitami Njatriani. "Implementasi Prinsip Kebaruan (Novelty) Desain Konfigurasi (Studi Putusan Nomor: 445 K/PDT. SUS-HKI/2016)." PhD diss., Universitas Diponegoro, 2019: 1-14, h. 5.

Badung, Dewa Ayu Dwi Indah Cahyanti. "Transformasi Trips Agreement Terhadap Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 1 (2019): 67-78, h. 68.

Dewi, Anak Agung Ayu Putri Tunggal, Ni Ketut Supasti Dharmawan, and I. Nyoman Mudana. "Implementasi Pendaftaran Perak Sebagai Karya Desain di Desa Celuk." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 9: 1-12, h. 2.

Dharmawan, Ni Ketut Supasti, and Nyoman Mas Aryani. "Keberadaan Regulasi Desain Industri Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Atas Karya Desain di Bali." Kertha Patrika 33, no. 1.

Fataruba, Sabri. "TRIPs dalam Kaitannya dengan Perlindungan Hukum Terhadap Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu di Indonesia." Sasi 26, no. 1 (2020): 1-8, h. 5.

Mahayana, Destri Ayu Larasati. “Analisis Pemaknaan Unsur Kebaruan Dalam Pengaturan Desain Industri di Indonesia (Studi Kasus EcoBottle vs Biolife)”. Jurnal Kertha Semaya 9, no. 5 (2021): 827-837.

Mayana, Ranti Fauza. "Kepastian Hukum Penilaian Kebaruan Desain Industri di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Kekayaan Intelektual dan Perbandingan Hukum." Jurnal Litigasi (e-Journal) 18, no. 1 (2018): 9-13.

Mokoginta, Zico Armanto. "Perlindungan Hukum Atas Desain Industri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri." Lex Privatum 5, no. 5 (2017): 123-131.

Sinaga, Niru Anita. "Perlindungan Desain Industri Sebagai Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia." Jurnal Teknologi Industri 4 (2021): 53-68, h. 61.

Siswanto, Cecep Tedi. "Pelaksanaan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Terhadap Desain Industri Pada Industri Kerajinan Bambu di Wilayah Kabupaten Sleman." Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1 (2017): 35-73, h. 38.

Sulistianingsih, Dewi, and Bagas Bilowo Nurtantyono Satata. "Dilema dan Problematik Desain Industri di Indonesia." Jurnal Suara Hukum 1, no. 1 (2019): 1-14, h. 5.

Yuliasih, Yuliasih. "Perlindungan Hukum Desain Industri Dalam Pelaksanaan Prinsip Keadilan Menurut Teori Keadilan John Rawls (Studi Kasus Putusan Nomor 35 PK/PDT. SUS-HKI/2014)." Notarius 8, no. 2 (2015): 152-279, h. 156.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 243 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045.

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

TRIPs Agreement (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Jurnal Kertha Wicara Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm.11-21