KAJIAN YURIDIS TERHADAP BIDANG PERPAJAKAN GUNA MENYIKAPI MODUS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA TREATY SHOPPING

Arga Rizki Juan Daniel Panjaitan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : argapanjaitan@yahoo.com

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: raisetiabudhi_fhunud@yahoo.com

ABSTRAK

Penghindaran pajak berganda atau Tax Treaty ialah perjanjian pajak melalui 2 negara yang mengurus perihal yang berhubungan atas pemisahan hak perpajakan berdasarkan pendapatan yang didapat oleh masyarakat dari salah satu atau kedua sisi negara dengan tujuan mencegah adanya pengenaan pajak berganda guna mengambil penanaman dana luar negeri menuju dalam negeri. Skema Treaty Shopping adalah sebuah modus penghindaran pajak berganda, dimana penggunaan tax treaty oleh orang yang bukan resident (subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara mitra tax treaty, biasanya melalui pembentukan perusahaan cangkang (conduit) di salah satu negara mitra tax treaty tersebut. Dalam perkembangannya, skema penghindaran pajak terus bertumbuh, adanya ruang dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu celah yang hanya mampu dibuat oleh badan korporasi selaku wajib pajak badan. Pokok permasalahan dalam kajian ini adalah pada hakekatnya Tax Treaty dibuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana penghindaran pajak berganda, namun dalam pemberlakuannya terdapat celah yang justru sering kali digunakan untuk melakukan tindak pidana penghindaran pajak berganda itu sendiri. Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui tingkat keefektivitasan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-25/PJ/2010 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam menyikapi modus penghindaran pajak terutama modus penghindaran pajak berganda dengan skema Treaty Shopping. Kajian ini memakai metode penelitian hukum normatif, yang mana kajian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Kesimpulan dari penulisan ini adalah dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-25/PJ/2010 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda masih terdapat celah hukum yang bisa digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan penyalahgunaan penghindaran pajak melalui modus Treaty Shopping.

Kata kunci: Penghindaran Pajak Berganda, Treaty Shopping, Pemangkasan Pajak, Manajemen Pajak.

ABSTRACT

Avoidance of double taxation or Tax Treaty is a tax treaty through 2 countries that manages matters relating to the separation of taxation rights based on income obtained by the community from one or both sides of the country with the aim of preventing the imposition of double taxation in order to take foreign investment into the country. . The Treaty Shopping scheme is a mode of double taxation avoidance, in which the use of a tax treaty by a non-resident person (domestic tax subject) from both

tax treaty partner countries, usually through the establishment of a conduit company in one of the tax treaty partner countries. In its development, the tax avoidance scheme continues to grow, there is room in the legislation as a gap that only corporate entities can make as corporate taxpayers. The main problem in this study is that in essence the Tax Treaty was made to avoid the occurrence of double taxation avoidance, but in its implementation there is a loophole that is often used to commit the crime of double tax avoidance itself. The purpose of writing this paper is to determine the level of effectiveness of the Regulation of the Director General of Taxes Number Per-25/PJ/2010 concerning the Prevention of Misuse of Double Taxation Avoidance Agreements in addressing the tax avoidance mode, especially the double tax avoidance mode with the Treaty Shopping scheme. This study uses a normative legal research method, in which this study uses a statutory approach (The Statue Approach). The conclusion of this paper is that in the Director General of Taxes Regulation Number Per-25/PJ/2010 concerning the Prevention of Abuse of Double Taxation Avoidance Agreements, there are still legal loopholes that can be used by taxpayers to abuse tax avoidance through the Treaty Shopping mode.

Keywords: Tax Treaty, Treaty Shopping, Withholding Taxes, Tax Palnning.

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.   Latar Belakang

Penghindaran pajak adalah upaya yang dilakukan oleh wajib pajak dengan memanfaatkan celah hukum guna memperkecil nominal pajak yang harus dibayarkan.1 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama. Dalam perkembangannya hingga saat ini banyak modus yang dapat digunakan dalam penghindaran pajak. Menurut Hutagaol J dan Darussalam, modus-modus yang disebutkan diatas antara lain adalah skema Transfer Pricing, Thin Capitalization, Controlled Foreign Corporation dan Treaty Shopping.2 Skema Transfer Pricing adalah suatu pengalihan penghasilan dari suatu perusahaan dalam suatu negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke perusahaan lain dalam satu grup di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah sehingga mengurangi total beban pajak group perusahaan tersebut. Skema Thin Capitalization adalah situasi di mana sebuah perusahaan memiliki jumlah utang yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah modal atau sering disebut “highly leveraged”. Skema Controlled Foreign Corporation adalah situasi dimana suatu perusahaan yang didirikan di luar negeri yang kepemilikan dan pengendaliannya dijalankan oleh wajib pajak dalam negeri. Skema Treaty Shopping adalah sebuah situasi dimana wajib pajak suatu negara yang tidak memiliki Tax Treaty dan mendirikan anak perusahaan di negara yang memiliki Tax Treaty, kemudian melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan tersebut, sehingga investor tersebut dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam Tax Treaty tersebut. Diantara

semua modus yang telah disebutkan diatas, skema Treaty Shopping menjadi pembahasan utama dalam karya tulis ini. Skema Treaty Shopping terbilang cukup menarik untuk dibahas karena cukup sering terjadi di Indonesia. Menurut Mansury dalam pelaksanannya di Indonesia, skema Treaty Shopping dapat digambarkan sebagai upaya dari wajib pajak yang sebenarnya bukan wajib pajak dalam negeri dari negara yang mempunyai Tax Treaty dengan Indonesia untuk mendirikan suatu badan hukum baru di negara yang mempunyai Tax Treaty dengan Indonesia. Penghindaran pajak melalui skema Treaty Shopping memberikan dampak yang cukup serius bagi suatu negara.

Di Indonesia sendiri berdasarkan laporan yang berasal dari Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Belanda, yakni SOMO, menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 2010 hingga 2019 saja Indonesia telah merugi sebesar Rp.390,5 Milyar akibat dari skema Treaty Shopping. Melihat tingginya pengaruh dari skema Treaty Shopping ini maka Darussalam menyatakan Indonesia perlu melakukan renegoisasi Tax Treaty untuk dapat memasukkan ketentuan menyangkut pembatasan penggunaan Tax Treaty bagi mereka yang melakukan penyimpangan dari tujuan diadakannya Tax Treaty, yaitu ketentuan tentang Limitation on Benefit (LoB).3 Limitation on Benefit (LoB) merupakan langkah yang digunakan untuk pencegahan penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dilakukan melalui identifikasi Beneficial Owner.4 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.06/2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi Balai Lelang, yang dimaksud dengan Beneficial Owner (pemilik manfaat) adalah orang perseorangan yang: memiliki hak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan Transaksi Pengguna Jasa, baik secara langsung maupun tidak langsung; merupakan pemilik sebenarnya dari harta kekayaan yang berkaitan dengan Transaksi Pengguna Jasa; mengendalikan Transaksi Pengguna Jasa; memberikan kuasa untuk melakukan Transaksi; mengendalikan Korporasi; merupakan pengendali akhir dari Transaksi yang dilakukan melalui Korporasi atau berdasarkan suatu perjanjian.

Dalam beberapa kasus di Indonesia diketahui bahwa penyebab utama terjadinya treaty shopping adalah kurang adanya definisi yang jelas tentang Beneficial Owner ataupun Limitation of Benefit Clause yang menjelaskan siapa yang berhak mendapatkan Treaty Benefit (keuntungan dalam sebuah perjanjian).5 Hal ini yang menyebabkan modus penghindaran pajak dengan skema Treaty Shopping masih bisa terjadi di Indonesia. Penghindaran pajak berganda sendiri sebenarnya diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-25/PJ/2018 Tentang

Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Pencegahan terjadinya penyalahgunaan terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-25/PJ/2010 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dengan adanya aturan-aturan terkait Penghindaran Pajak ini seakan belum cukup bisa membatasi seseorang untuk melakukan penyalahgunaan penghindaran pajak terutama melalui skema Treaty Shopping. Dalam karya tulis ini berusaha untuk melihat celah-celah apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak terutama melalui skema Treaty Shopping jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur.

Dari penulisan karya ilmiah ini terdapat beberapa karya penulisan ilmiah yang memiliki tema serupa. Diantaranya adalah karya penulisan ilmiah dari “NURCHALIS” dengan judul “EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA DALAM UNDANGUNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN DALAM MENANGGULANGI PENGHINDARAN PAJAK KORPORASI” pada tahun 2018, karena penulis merasa karya penulisan tersebut memiliki perspektif yang hamper sama dalam mengkaji tindak pidana penghindaran pajak. Selanjutnya juga karya penulisan ilmiah dari “Anthony Tiono dan R. Arja Sadjiarto” dengan judul “PENENTUAN BENEFICAL OWNER UNTUK MENCEGAH PENYALAHGUNAAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA” pada tahun 2013, yang membuat penarik tertarik dari karya penulisan tersebut adalah disana bisa meleberkan sudut apa saja yang berkaitan dengan tindak pidana penghindaran pajak. Maka dari itu penulis tertarik untuk menkaji karya penulisan ilmiah yang berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP BIDANG PERPAJAKAN GUNA MENYIKAPI MODUS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA TREATY SHOPPING”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan terhadap wajib pajak terkait tindak pidana penghindaran pajak berganda dengan skema Treaty Shopping melalui ketentuan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 Tentang Perubahan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Perdirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2010)?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana wajib pajak terkait tindak pidana penghindaran pajak berganda dengan skema Treaty Shopping ?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara aturan pidana dan perpajakan, diantaranya adalah :

  • 1.    Untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap wajib pajak terkait tindak pidana penghindaran pajak berganda dengan skema Treaty Shopping melalui ketentuan Perdirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2010.

  • 2.    Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana wajib pajak terkait tindak pidana penghindaran pajak berganda dengan skema Treaty Shopping.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan didalam kajian ini ialah kajian hukum normatif, yang mengutamakan analisis pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU Perpajakan) dan juga Perdirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 Maka Teknik pengumpulan data untuk keperluan menganalisia dilakukan berdasarkan kajian kepustakaan6 (library research), dengan cara mendalami buku hukum, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah. Karya tulis ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach).

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.   Pengaturan Terhadap Wajib Pajak Terkait Tindak Pidana Penghindaran

Pajak Berganda Dengan Skema Treaty Shopping Melalui Ketentuan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-25/PJ/2010.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dibuat dalam bentuk usaha guna mencegah berlangsungnya pajak berganda diantara kedua Negara. Namun, dalam pemberlangsungannya, Penghindaran Pajak Berganda malah digunakan daripada wajib pajak guna melewatkan pembayaran pajak menggunakan modus treaty shopping. Treaty Shopping merupakan sebuah modus yang dipakai guna memiliki fasilitas, contohnya pemangkasan biaya pengurangan pajak (withholding taxes) yang dipersiapkan daripada sebuah persetujuan penghindaran pajak berganda, berasal dari subjek pajak yang pada hakekatnya tidak memiliki hak guna memiliki fasilitas itu. Treaty Shopping adalah suatu usaha pelanggaran Penghindaran Pajak Berganda (treaty abuse) dikarenakan memakai ketentuan-ketentuan didalam persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dimana kurang sesuai terhadap maksud dan tujuan diberlakukannya Tax Treaty, ialah guna mengingkari pajak berganda dan juga mencegah berlangsungnya penghindaran pajak. Terdapat beberapa perumpamaan usaha pelanggaran Penghindaran Pajak Berganda, yaitu persetujuan jual beli yang tidak memiliki substansi ekonomi dipergunakan dengan memakai skema sejalan dengan tujuan hanya untuk mendapatkan manfaat guna dari Penghindaran Pajak Berganda. Perumpamaan lain adalah persetujuan jual beli dengan skema yang format hukumnya (legal form) tidak sama terhadap substansi ekonomisnya

(economic substance) sejalan dengan tujuan hanya untuk memperoleh manfaat guna dari Penghindaran Pajak Berganda. Perumpamaan terakhir adalah penerima manfaat Penghindaran Pajak Berganda bukanlah merupakan pemilik yang sebenarnya berdasarkan manfaat ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).

Direktorat Jenderal Pajak pada hakekatnya telah melakukan upaya pencegahan berlangsungnya pelanggaran Penghindaran Pajak Berganda. Tersebut ialah berdasarkan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Berdasarkan permulaannya PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah sebuah ketentuan yang telah dibuat berlandaskan kepada kewenangan Pasal 24 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 kepada Direktorat Jendral Pajak untuk mengurus tentang mekanisme penerapan Penghindaran Pajak Berganda. PER-10/PJ/2017 ini merupakan penyelarasan dan juga pengoptimalan terhadap 4 (empat) ketentuan yang sebelumnya dimana telah dinyatakan ditarik dan sudah tidak berlaku sejak berlakunya ketentuan ini. Ketentuan ini juga diedarkan sebagai bentuk jawaban terhadap maraknya permasalahan terhadap pajak internasional sebagai akibat daripada ketentuan yang sebelumnya dimana multitafsir, juga sebagai pembaharuan atas antiavoidance rules kontemporer.

Di Indonesia sendiri penghindaran pajak (tax avoidance) adalah sebuah kegiatan yang legal dan penyelundupan pajak (tax evasion) merupakan sebuah aktivitas yang ilegal. Masalah ini serupa terhadap pernyataan dari Early Suandy yang mana dalam rangka mengoptimalkan dan mengembangkan daya saing maka para manajer wajib meminimalkan beban pajak seoptimal mungkin.7 Tetapi, Rohatgi menyatakan “jika pada umumnya penghindaran pajak dibedakan lagi menjadi 2, tersebut ialah penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan”. Berdasarkan pernyataan Rohatgi tersebut, penghindaran pajak mungkin saja termasuk dalam tindakan ilegal jika dilakukan hanya untuk penghindaran pajak dan tidak memiliki etikad bisnis yang baik. Di dalam korelasinya terhadap Penghindaran Pajak Berganda juga manfaat yang terdapat dalam Penghindaran Pajak Berganda, pada dasarnya bentuk dari penghindaran pajak yang dilakukan adalah Treaty Shopping. Menurut penulis, jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya, Peraturan direktur Jenderal pajak nomor “PER-61/PJ./2009 dan PER-62/PJ./2009 lebih terdapat kepastian mengenai standar dari kriteria beneficial owner. Hal itu diraih dengan diberlakukannya standarisasi format SKD untuk memberikan landasan jika penerima penghasilan merupakan beneficial owner. Surat Keterangan Domisili (SKD) pada dasarnya adalah surat keterangan bagi Wajib Pajak yang tinggal di luar domisilinya untuk memperoleh manfaat dari adanya tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dengan diberlakukannya standardisasi tersebut, maka perbedaan terhadap interpretasi dari Wajib Pajak terkait dokumen pembuktian dapat diminimalkan. Perdirjen ini sekaligus mencabut SE- 03/PJ.03/2008. PER-62/PJ./2009 cukup

komprehensif karena penentuan beneficial owner lebih dilihat dari sudut pandang ekonomis dari suatu transaksi, tidak hanya sekedar bentuk hukumnya saja.

Sebagaimana yang tertulis dalam pasal 4 ayat 2 f dimana terhadap wajib pajak badan terdapat beberapa kriteria yang harus disanggupi. Semua ketentuan tersebut juga tertulis didalam SKD sesuai kepada PER61/PJ/2009 yang mana menjadi syarat administratif penting guna bisa memakai Penghindaran Pajak Berganda. Kewajiban guna melengkapi SKD sebagaimana telah dilampirkan dalam PER61/PJ/2009 ada pada WPLN.8 Jadi ketika Wajib Pajak Pemotong menerima SKD daripada WPLN, SKD itu akan dianggap sudah dilengkapi dengan baikm dan benar. Dengan begitu, selama DJP belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut, tidak akan diketahui apakah WPLN yang menerima manfaat Penghindaran Pajak Berganda benar-benar berhak untuk mendapatkannya. Pastinya hal ini menyebabkan resiko hilangnya pendapatan pajak yang mana disebabkan pemberian manfaat Penghindaran Pajak Berganda terhadap WPLN yang sudah seharusnya tidak memiliki hak namun tidak diketahui oleh DJP dikarenakan belum dilangsungkannya pemeriksaan lebih lanjut . Secara garis besar, berikut merupakan perbedaan yang cukup krusial sebagaimana harus diperhatikan diantara PER-10/PJ/2017 terhadap ketentuan yang sebelumnya (PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010):

  • a.    Tingkat Komprehensif

PER-10/PJ/2017 menyelaraskan ketentuan dari PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010, sehingga mengakomodir sekaligus juga ketentuan terkait tata cara penerapan Penghindaran Pajak Berganda dan juga pencegahan penyalahgunaan Penghindaran Pajak Berganda. Dengan begitu sudah tidak diperlukan kembali untuk melihat dua jenis ketentuan yang berbeda dalam rangka menerapkan Penghindaran Pajak Berganda di Indonesia.

  • b.    Kejelasan Payung Hukum

PER-10/PJ/2017 dibuat berlandaskan kepada perintah juga kewenangan dari Pasal 24 ayat (2) PP 94/2010, selayaknya telah dinyatakan didalam konsideran ‘Menimbang’ huruf d. Wajib dipahami jika ketentuan sebelumnya yaitu PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010”, tidak diedarkan berlandaskan kepada kewenangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi banyak permasalahan terjadi dikarenakan ketentuan itu dirasa bukan peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pastinya beriringan dengan dinyatakan secara tegas payung hukum dari penerbitan PP 94/2010, maka ketentuan ini sudah memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan yang mengikat.

  • c.    Kewajiban Pemotongan atau Pemungutan Pajak

PER-10/PJ/2017 menyatakan “beberapa kriteria lagi untuk dapat menerapkan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai ketentuan Penghindaran Pajak Berganda (vide Pasal 2 ayat (2) PER-10/PJ/2017 dan vide Pasal 3 ayat (1)

PER-61/PJ/2009) dari yang sebelumnya hanya 3 (tiga) kriteria (vide Pasal 3 ayat (1) PER-61/PJ/2009).

  • d.    Penerapan General Anti Abuse Rule (GAAR) berupa Principal Purpose Test (PPT)

Pasal 9 ayat (1) PER-10/PJ/2017 mengatur tentang pemberlakuan GAAR yang berupa PPT yang sebelumnya tidak ditetapkan dalam PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. PER-10/PJ/2017 memastikan apabila tujuan utama ataupun salah satu tujuan utama persetujuan jual beli merupakan hal untuk mendapatkan manfaat Penghindaran Pajak Berganda, maka ketentuan Penghindaran Pajak Berganda tidak dapat dilangsungkan. Hal ini cukup berbeda dengan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010, dimana Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b memagari pengertian pelanggaran Penghindaran Pajak Berganda hanya kepada persetujuan jual beli yang semata-mata untuk mendapatkan manfaat dari Penghindaran Pajak Berganda. Dengan demikian dapat dipastikan GAAR dalam PER-10/PJ/2017 lebih menyeluruh daripada PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010.

  • e.    Pengertian Beneficial Owner

Beneficial Owner dikatakan dalam PER-10/PJ/2017 ataupun PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. Pasal 10 ayat (1) PER-10/PJ/2017 memilah-milah pengertian Beneficial Owner terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) orang pribadi juga WPLN badan, dimana hal ini tidak diatur secara eksplisit didalam PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010”.

Menurut penulis, lima perbandingan diatas yang menjadi titik pokok dalam karya tulis ini. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dibuat dalam rangka mencegah terjadinya Tindak pidana penghindaran pajak melalui skema Treaty Shopping, namun dalam pelaksanaannya terdapat celah yang acap kali digunakan untuk melakukan tindak pidana penghindaran pajak melalui skema Treaty Shopping.

  • 3.2.    Pertanggungjawaban Pidana Wajib Pajak Terkait Tindak Pidana Penghindaran Pajak Berganda Dengan Skema Treaty Shopping.

Penerapan hukum pidana dalam perundang-undangan di bidang perpajakan bersifat sebagai jalan terakhir untuk menegakkan hukum sekaligus membangun kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.9 Oleh sebab itu, apabila sanksi administrasi tidak mampu menuntaskan persoalan pelanggaran hukum pajak, maka hukum pidana akan ditempuh sebagai upaya terakhir. Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)” atau sanksi yang dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan undang-undang.10 Sudarto mengemukakan bahwa hukum pidana pada dasarnya memiliki hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Maka dari itu, hukum pidana bersifat sebagai pengganti yang artinya hukum pidana dapat didayagunakan apabila upaya-

upaya di luar hukum pidana telah ditempuh namun tidak mampu menyelesaikan suatu perkara. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 58 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) secara tegas mengatur ihwal tujuan dilaksanakannya suatu pemidanaan sebagai beriku:

  • a.    “Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari perlindungan dan pengayoman masyarakat;

  • b.    Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan agar menjadikannya orang baik dan berguna;

  • c.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana, memulihkan keseimbangan dengan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”.

Menurut Van Bemmelen, terdapat perbedaan yang menonjol antara sanksi dalam hukum pidana dengan sanksi di luar bidang hukum pidana. Penjatuhan hukuman dalam konteks hukum pidana dimaksudkan untuk memberikan rasa nestapa yang diberikan oleh negara kepada pelaku kejahatan secara sengaja tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya korban dari perbuatan pidana yang dilakukan. Diferensiasi sifat penjatuhan sanksi pidana dengan sanksi di bidang hukum lain itulah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa hukum pidana ditempatkan sebagai sarana terakhir dalam rangka penegakan hukum. Hukum pidana dapat diterapkan dengan suatu pembatasan tertentu karena memiliki karakteristik yang memberikan suatu penderitaan. Sanksi pidana dijatuhkan kepada seseorang apabila sebelumnya telah diterapkan sanksi di luar hukum pidana, tetapi belum ada efek jera yang dirasakan oleh pelaku. Yang dikenakan sanksi secara pidana terhadap wajib pajak adalah ketentuan Pasal 38 UU KUP tentang pelanggaran akibat kealpaan yaitu tidak menyampaikan SPT atau penyampaian SPT tetapi tidak sesuai. Selanjutnya, tindak pidana pajak yang dilakukan dengan sengaja sebagaimana diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP. Perbuatan yang diduga kuat melanggar ketentuan pidana pajak dapat dialihkan penyelesaiannya melalui sanksi administrasi yang terbagi menjadi 3 tahap atau fase. Pada fase pertama, wajib pajak dapat memperbaiki SPT yang telah dibuat semasih belum dilakukan penyelidikan untuk mengumpulkan alat bukti. Di samping itu, terhadap wajib pajak juga dikenakan bunga sebesar 2% per bulan atas pajak yang kurang bayar.

Jika ini menjadi pilihan wajib pajak, maka akan menutup peluang untuk diperiksa. Selanjutnya pada fase kedua, jika wajib pajak atas kehendaknya sendiri mengungkapkan perbuatannya yang tidak benar dan bersedia membayar pajak yang terutang berikut dengan dendanya sejumlah 1,5 kali lipat dari nilai pajak yang belum dibayarkan, maka pemeriksaan atau proses hukum pidana tidak dilanjutkan pada tahap penyidikan.11 Fase kedua ini memperlihatkan bahwa pembentuk undang-undang masih memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya dengan cara mengalihkan penyelesaian masalah yang semula diproses melalui hukum pidana menjadi pengenaan sanksi administrasi berupa pengenaan denda. Berikutnya pada fase ketiga, kendatipun proses hukum terhadap wajib pajak telah memasuki tahap penyidikan, demi

kepentingan negara, Menteri keuangan dapat meminta Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan dengan syarat perkaranya belum diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Sebelum penghentian tersebut dilakukan, wajib pajak wajib membayar denda sebagaimana diatur dalam Pasal 44B sebagai berikut: a. “Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri

Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan

  • b.     Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan”.

Ketentuan sebagaimana tersebut di atas justru bukan memperlihatkan hukum pidana sebagai jalan terakhir untuk menegakkan hukum karena penerapannya berbarengan dengan sanksi administrasi. Setiap fase yang telah disinggung sebelumnya memberikan kesempatan untuk mengalihkan penyelesaian perkara yang semula diproses secara pidana berubah menjadi pengenaan sanksi administrasi dengan membayar sejumlah denda. Selain itu, pengalihan tersebut juga hanya diperuntukkan terhadap perbuatan-perbuatan tertentu yaitu penyampaian SPT yang tidak sesuai dan tidak lengkap. Konsep ini semakin mengaburkan posisi hukum pidana dalam undang-undang perpajakan karena ketiadaan aturan yang jelas kapan sanksi pidana dapat diterapkan terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan undang-undang. Sudarto mengemukakan bahwa hukum pidana pada dasarnya memiliki hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Maka dari itu, hukum pidana bersifat sebagai pengganti yang artinya hukum pidana dapat didayagunakan apabila upaya-upaya di luar hukum pidana telah ditempuh namun tidak memadai.12

Tindak pidana penghindaran pajak melalui skema Treaty Shopping dalam penegakan hukumnya merupakan kewenangan dari Direktorat Jendral Pajak (Ditjen) Pajak. Ketika ada sebuah kasus tindak pidana penghindaran pajak melalui skema Treaty Shopping maka Direktorat Jendral Pajak akan melakukan penyidikan terlebih dahulu. Para wajib pajak yang diduga melakukan tindak pidana penghindaran pajak melalui sekma Treaty Shopping akan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Selanjutnya para wajib pajak tersebut ditindaklanjuti dengan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai dengan Pasal 8 Ayat (3) UU Perpajakan. Setelah melalui proses tersebut barulah para wajib pajak akan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Ketika para wajib pajak tersebut telah melalui proses penyidikan, para wajib pajak akan ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sesuai dengan Pasal 13A UU Perpajakan.

Hasil penyidikan tersebut akan masuk menjadi berkas perkara jika dirasa telah lengkap. Setelah itu jika para wajib pajak terindikasi melakukan tindak pidana penghindaran pajak, maka akan dilakukan penyitaan asset terhadap wajib pajak tersebut oleh Direktorat Jendral Pajak. Menurut pasal 48B UU Perpajakan, ketika sudah mencapai tahap ini akan dilakukan penghentian penyidikan guna melakukan penghitungan jumlah aset yang telah disita. Dan pada akhirnya selepas menyelesaikan penghitungan aset akan dilaksanakan tahap akhir yaitu penyelesaian pelaksanaan forensik digital dan pemanfaatan hasil pengolahan data elektronik. Penjelasan diatas merupakan bentuk dari upaya penindakan lanjut terkait inidikasi kasus penghindaran pajak terutama dalam skema Treaty Shopping.

  • IV.    Kesimpulan

Penghindaran pajak merupakan sesuatu yang kurang tepat untuk dilakukan. Banyak skema yang dapat dilakukan dalam modus Penghindaran Pajak. Dalam kajian ini secara terkhusus mengacu kepada Penghindaran Pajak Berganda melalui skema Treaty Shopping. Treaty Shopping adalah usaha untuk menyalahgunakan P3B lantaran menerapkan aturan tentang penghindaran pajak berganda yang menyimpang dari maksud dan tujuan awal tax treaty. Penghindaran Pajak Berganda terkhusus melalui skema Treaty Shopping sendiri ketentuannya terdapat dalam Ketentuan Perdirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2010. Tax Treaty dibuat dalam rangka mencegah terjadinya Penghindaran Pajak Berganda, namun dalam pelaksanaannya justru celah dalam Tax Treaty cenderung digunakan untuk menjalankan Tindak Pidana Penghindaran Pajak Berganda melalui Skema Treaty Shopping. Tujuan penjatuhan pidana sebagai upaya membina wajib pajak belum terwujud dengan baik. Bahkan, saat ini paradigma yang memandang pajak sebagai beban terus terjadi. Peraturan lain yang berkaitan dengan penghindaran pajak dengan skema terdapat dalam Pasal 19 UU PPH dimana terkait sanksi, Dirjen Pajak melalui wewenang yang melekat padanya dapat menentukan kembali nilai pajak yang harus dibayar sesuai dengan kewajaran. Namun demikian, aturan tersebut tidak dapat dinilai sebagai sanksi lantaran sanksi seharusnya mengarah pada pemberian beban kepada wajib pajak. Penetapan nilai pajak yang besarannya disesuaikan dengan pendapatan yang diperoleh dari harga pasar mengandung makna bahwa wajib pajak untuk menunaikan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan nilai yang seharunya. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk koreksi pajak saja. Dalam pelaksanaanya, wajib pajak yang terindikasi melakukan pelanggaran Tindak Pidana Penghindaran Pajak Berganda melalui skema Treaty Shopping bisa dikenai sanksi pidana sesuai dengan UU Perpajakan.

Daftar Pustaka

Buku

Al- Anshari dan Insan, Tindak Pidana Perpajakan, Straftrecht Study Center, Jakarta, 2012.

Early Suandy, Perencanaan Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2003.

Hutagaol J., Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, Salemba Empat, Jakarta, 2007.

Lamintang PAF, Dasar - Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT Citra ditya Bakti, Bandung, 1997.

M. Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dan Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo, Jakarta, 2007.

Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/ Jasa, Visimedia Pustaka, Jakarta, 2014.

Soejono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003

Jurnal Ilmiah

Ahmadi, W. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) Dalam Kaitannya Dengan Transaksi Internasional, Jurnal Hukum Pro Justitia. 25(4): 388-401, 2007.

Anjari, Warih. "Pertanggung jawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana." E-Journal Widya Yustisia 1, no. 2 (2017).

Malvinas, F. Et. Al. Analisis Tentang Beneficial Owner Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Belanda Dalam Sengketa Banding PT. Indosat., Tbk, Di Pengadilan Pajak. Syiah Kuala Law Journal. 2(2): 276-286, 2018.

Kusumo, Bambang Ali. "Pertanggung jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia." Wacana Hukum 7, no. 2 (2012).

Mustafa Bola & Romi Librayanto. “Korelasi Putusan hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi (Suatu Studi tentang Aliran Pemikiran Hukum)”. Hasanuddin law review,1(1), (2015):40

Rahayu, N. “Evaluasi Regulasi Atas Praktik Pneghindaran Pajak Penanaman Modal Asing, Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 7(1): 61-78, 2010.

Ramli, Samsul dan Fahrurrazi. Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Jakarta: Visimedia Pustaka, 2014.

Santo, P., A., F., D. Aspek Hukum Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap Menurut Hukum Positif di Indonesia. Binus Business Review. 1(1): 252-265, 2010.

Saidi, M. Djafar. Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dan Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.

Siamena, E., Et Al. Pengaruh Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Manado, Jurnal Riset Akuntansi Going Concern, 12(2): 917-927, 2017.

Suandy, Early. Perencanaan pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Sudarto. Tonggat, Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan”. Malang: UMM Press, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 Tentang Perubahan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Per DJP Nomor : Per - 32/Pj/2011 Tentang: Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-43/Pj/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No 8 Tahun 2020, hlm. 36-48.

48